Butonmagz, masih dalam proses perbaikan web, bila ada kendala pembacaan informasi mohon permakluman

Himayatuddin, Jejak Heroisme dan Kepahlawanan dari Negeri Buton


SALAH satu tempat di kawasan Wakonti Kota Baubau, terdapat Taman Makam Pahlawan “Oputa Yi Koo”, lokasinya mudah ditemui sebab berada di tepi jalan penghubung utama Kota Baubau menuju Pasarwajo, ibu kota Kabupaten Buton. Oputa Yi Koo, adalah sematan bagi seorang Sultan Himayatuddin Muhammad Saidi, salah satu Sultan Buton yang menolak keras takluk dengan hegemoni Belanda di zamannya. Himayatuddin sangat populer dengan nama kecilnya – La Karambau.

Oputa Yikoo, adalah diksi penggambaran jejak kepahlawanan yang berarti “raja di hutan”. Ya, Himayatuddin memang memilih hutan sebagai simbol ketidaksukaannya dengan Belanda, negara yang dalam sejarah bangsa Indonesia pernah mengkerangkeng semua sendi kehidupan lebih kurang 350 tahun. 

Catatan kesejarahan dari antropolg Universitas Dayanu Ikhsanuddin Baubau, Dr. La Ode Abdul Munafi menyebutkan Sultan Himayatuddin Muhhamad Saidi alias La Karambau alias Oputa Yi Koo adalah sosok yang memperoleh tempat dalam ruang kognisi rakyat Buton sebagai penggerak utama sejarah heroisme. Kegigihannya melawan VOC/Belanda di Buton bukan saja masih diingat tetapi tertanam dan terus hidup dalam sanubari rakyat. Nama besarnya yang dimonumentalkan menjadi nama beberapa sarana publik merupakan refleksi penghormatan akan jasa besar yang pernah diukirnya ±3 abad silam di Negeri Khalifatul Khamis itu.

Sultan Himayatuddin Muhammad Saidi Ibnu Sultani Liyauddin Ismail Muhammad Saidi yang memiliki nama kecil La Karambau dan kelak dimasa gerilya melawan VOC/Belanda diberi gelar Oputa yi Koo (sultan di hutan) oleh rakyat adalah putra Sultan Buton ke-13; Liyauddin Ismail. Ia naik tahta pada 1750 sebagai Sultan Buton ke-20 menggantikan Sultan Saqiuddin Darul Alam (LaNgkariyriy/Oputa Sangia).

Sebelum menjadi sultan, ia menjabat Kapitalau Matanaeo (Panglima Kawasan Timur) yang selama penugasannya berhasil mengkoordinasikan pembangunan benteng-benteng pertahanan dihampir seluruh wilayah Kesultanan Buton. Dari 37 orang Sultan Buton yang memerintah selama 38 masa pemerintahan yang berlangsung ±4 abad (1541-1960).

Himayatuddin lah satu-satunya sultan yang menjabat dua kali; pada 1750-1752 sebagai sultan ke-20 dan pada 1760-1763 sebagai sultan ke-23. Ciri menonjol dalam dua masa pemerintahannya bahkan setelah tidak menjabat lagi sebagai sultan hingga wafatnya adalah rentetan konflik dan perang yang dikobarkannya melawan VOC/Belanda.

Perlawanan Himayatudin.
Kehadiran VOC/Belanda di Buton sejak 1613 memberi warna tersendiri bagi dinamika sejarah Buton, setidaknya pada dua hal: 1) sebagai sekutu bagi Buton dalam menghadapi ancaman kekuatan-kekuatan lain, dan 2) sebagai seteru, karena VOC/Belanda menjadi sumber ancaman kedaulatan Buton (Zuhdi, 2010,2011). Dalam konteks yang disebut terakhir, pernyataan persekutuan Buton–Belanda sebagai ikatan ”persekutuan yang abadi” menjadi tidak benar, dan tampaknya aspek ini yang belum banyak mendapat perhatian sejarahwan.

Sebagai penerus para sultan sebelumnya, Himayatuddin atau La Karambau tidak dapat melepaskan diri dari keharusan mengimplementasikan butir-butir perjanjian VOC–Buton yang ditandatangani sejak 1613. Isi perjanjian ini awalnya hanya mengatur hak dan kewajiban kedua belah pihak untuk saling membantu menghadapi musuh-musuhnya. Kontrak 1613 kemudian menjadi pegangan sultan-sultan Buton selanjutnya dalam berhubungan dengan VOC. Perjanjian dalam bentuk kontrak yang memperlihatkan dominasi Belanda atas Buton tertuang dalam kontrak 1667.

Kontrak ini memuat beberapa pasal tambahan yang memberatkan Buton yaitu; pengaturan (pembatasan) aktivitas berlayar orang Buton, pembebasan pajak kapal-kapal VOC di pelabuhan Buton dan ekstirpasi atau penghancuran tanaman rempah-rempah Buton, khususnya di Kepulauan Tukang Besi yang lazim disebut timpu-pala.

Bagi Himayatuddin, kontrak 1667 dinilai sebagai upaya sistematis VOC meluluh-luntahkan sendi-sendi perekonomian Buton sekaligus penghinaan atas bangsanya. Kerjasama Buton-VOC yang telah berjalan sebelumnya kemudian dibatalkannya karena dinilai tidak memberi manfaat bagi negerinya.

Tampilnya Himayatuddin sebagai sultan yang berani memutus mata rantai kontrak-kontrak yang membelenggu Buton mengakibatkan hubungan Buton-VOC di masa pemerintahannya berada pada titik terendah. Sikap Himayatuddin yang tidak mau tunduk pada VOC menjadi determinan factor meletusnya perang Buton.

Ligtvoet (1878) menulis, dimasa pemerintahan Sultan Himayatuddin telah terjadi sesuatu yang menempatkan Buton benar-benar berada pada kondisi sulit karena perselisihannya dengan VOC. Sikap tegas sang sultan berakibat pada ketegangan hubungan diplomatik Buton-VOC.

Suatu peristiwa yang kemudian menjadi sebab langsung meletusnya perang Buton–VOC adalah penyerangan kapal VOC (Rust en Werk) di pelabuhan Baubau oleh pelarian bekas juru bahasa Belanda di Bone bernama Franz Fransz.

Tatkala Rust en Werk berlabuh, sultan memerintahkan petugas pelabuhan menarik pajak atas kapal tersebut; sesuatu yang tidak lazim dalam perhubungan Buton–VOC sebelumnya. Kondisi ini menyebabkan pertikaian petugas pelabuhan dengan awak Rust en Werk. Kapal yang seharusnya sudah akan melanjutkan pelayaran ke Maluku itu tertahan beberapa hari di pelabuhan Baubau karena tidak diizinkan berlayar sebelum membayar pajak pelabuhan.

Franz Fransz cs yang juga tengah berlabuh di pelabuhan Baubau memanfaatkan kemelut ini dengan menyerang awak Rust en Werk, merampok muatan kapal, lalu lari ke Kobaena. Atas tragedi yang menimpa kapal tersebut, petinggi VOC di Makasar menimpakkan kesalahan terhadap Buton. Sultan Himayatuddin dituduh bertanggungjawab karena membiarkan penyerangan atau setidaknya tidak memberi perlindungan terhadap kapal VOC itu sebagaimana ketentuan kontrak 1613.

Lebih dari itu, VOC malah mencurigai Himayatuddin berada dibalik skenario penyerangan tersebut. Sebagai ganti kerugian atas kapal Rust en Werk, Buton kemudian diganjar hukuman harus menyerahkan 1000 budak (tenaga kerja) pada VOC dalam kurun 1 tahun. Ultimatum VOC ditentang sultan yang berakibat pada ketegangan hubungan kedua belah pihak. VOC berkali-kali mengingatkan bila ultimatum tidak segera diindahkan, Buton akan diserang.

Bersamaan dengan kemelut ini, Buton juga tengah disibukkan dengan upaya menghalau pendudukan Gowa dan Ternate atas sebagian wilayahnya. Kemelut ini menyebabkan terpecahnya kekuatan internal kesultanan antara kalangan moderat yang menghendaki menjalankan ultimatum VOC secara bertahap dan penganut garis keras (pengikut Himayatuddin) yang menentang VOC.

Memburuknya situasi politik ini menyebabkan dewan kesultanan meminta Himayatuddin meletakkan jabatan guna menyelamatkan negara dari perpecahan internal sekaligus meredam rencana penyerangan VOC atas Buton. Pada 1752, Himayatuddin meletakkan jabatan yang diganti Sultan Hamim Sakiyuddin (Sultan Buton ke-21).

Penggantian Himayatuddin dari jabatan sultan rupanya tidak menyurutkan amarah VOC apalagi kewajiban menyerahkan 1000 budak tidak kunjung dipenuhi Buton. Pada 1755, VOC akhirnya mengirim ekspedisi militer (ekspedisi perang) ke Buton dibawah pimpinan Kapt. J.C. Rijsweber. Sesuai catatan Rijsweber, dalam ekpedisi ini, VOC mengeluarkan anggaran perang 108,19½ rijksdaalders, mengerahkan 4 sersan, 4 kopral, 4 penabuh tambur dan peniup trompet serta 140 serdadu.

Dalam Koleksi Arsip Makasar Inventaris No. 73 Thn. 1755-1756 (Zuhdi, 2011) tercatat bahwa VOC lah yang menyebut eskpedisi militernya ke Buton pada 1755 itu sebagai oorlog (ekspedisi perang). Realitas ini berbeda dengan ekspedisi-ekspedisi militer VOC/Belanda di daerah lain yang umumnya disebut oproerier (ekspedisi menghadapi perusuh) atau opstander (ekspedisi menghadapi pembrontak).

Catatan VOC ini menarik dalam membandingkan dinamika konflik dan perlawanan daerah-daerah terhadap VOC/Belanda. Dari catatan ini dipahami, Buton masuk kategori daerah yang sungguh-sunguh diperangi, bukan memerangi sekelompok perusuh/pemberontak pada sebuah daerah melainkan memerangi daerah bersangkutan secara total.

Dalam ekspedisi perangnya di Buton 1755, VOC menghadapi perlawanan semesta rakyat Buton. Ligtvoet (1887) menulis, sejumlah 5000 lebih tentara rakyat dimobilisasi dalam komando Himayatuddin (pembantu utama Sultan Hamim). Meletuslah Perang Buton, yang diawali penyerbuan pasukan VOC atas Keraton Wolio pada dinihari 24 Pebruari 1755.

Dalam serangan mendadak ini, anak dan cucu Himayatuddin (Wa Ode Wa Kato dan Wa Ode Kamali – catatan La Ode Muanafi) yang masih belia tidak sempat diselamatkan dan menjadi sandra yang dibawah pergi Belanda. Dalam tradisi lokal, kedua anak ini dikenang dengan ungkapan mia yi lingkaakana Walanda (orang yang dibawah pergi Belanda).

Setelah berlangsung pertempuran sengit dengan persenjataan yang tidak seimbang, sebagian tentara rakyat diarahkan mundur ke hutan. Pertahanan utama tentara kesultanan adalah istana Sultan Hamim dan kediaman Himayatuddin. Guna menghindari jatuhnya korban lebih banyak, Himayatuddin dan pasukannya kemudian meninggalkan keraton setelah mengawal Sultan Hamim dan pembesar lainnya mengungsi ke Benteng Sora Wolio.

Ia mundur ke hutan hingga Gunung Siontapina (wil. Lasalimu). Ditempat inilah, Himayatuddin mengorganisir kembali pasukannya dengan mengobarkan perang jihat terhadap Belanda. Gunung Siontapina akhirnya ditetapkan menjadi basis perjuangan dan disinilah dimulai periode gerilya Himayatuddin melawan VOC/Belanda.

Pada 1759 Sultan Hamim wafat dan diganti Sultan Rafiuddin Malik Sirullah (sultan ke-22). Normalisasi hubungan diplomasi Buton–VOC di era sultan yang hanya memerintah ±1 tahun ini gagal, sementara bayang-bayang ancaman penetrasi Gowa dan Ternate tidak pula berkesudahan. Negara diperhadapkan lagi dengan ancaman besar yang sewaktu-waktu dapat meletus.

Atas berbagai pertimbangan, pada 1760 dewan kesultanan akhirnya memanggil Himayatuddin yang tengah memimpin gerilya dibelantara Gunung Siontapina untuk dilantik kembali menjadi sultan. Pelantikannya sebagai sultan ke-23 ini didasari pertimbangan karena ia dipandang memiliki karakter kuat, tegas, dan sangat anti Belanda sehingga dinilai mampu memimpin negara dalam kondisi yang penuh ancaman itu.

Diperiode kedua masa pemerintahannya, Himayatuddin tetap menunjukkan konsistensi tidak mau tunduk pada Belanda. Tuntutan ganti kerugian VOC, baik terhadap kapal Rust en Werk maupun biaya perangnya di Buton tidak diindahkan. Berkali-kali surat maupun perutusan VOC dikirim ke Buton membujuk Himayatuddin memulihkan hubungan diplomatik, sang sultan malah menjawab dengan mengobarkan api peperangan. Hubungan Buton-VOC dimasa pemerintahannya yang kedua lagi-lagi dipenuhi konflik dan peperangan.

Setelah stabilitas negara berhasil dipulihkan dalam masa ±3 tahun kepemimpinannya diperiode kedua, pada 1730 Himayatuddin diganti Sultan Muh. Qaimuddin (sultan ke-24/Oputa Galampa Bhatu). Ia kemudian memilih kembali menetap di Gunung Siontapina dan terus menggelorakan semangat jihat fisabilillah melawan Belanda.

Pesisir timur dan selatan pantai Buton dikuasai pasukan gerilyanya yang kerap melakukan serangan mendadak terhadap kapal-kapal VOC. Dari puncak Gunung Siontapina, komando jihat sang panglima besar itu dikumandangkan ke seantero negeri. Belanda dibuat tidak berdaya atas konsistensi perlawanannya yang tidak pernah surut hingga akhir hayatnya. Berkali-kali ekspedisi penangkapan atas dirinya dilakukan Belanda, selama itu pula gagal.

Dalam usia ±86 tahun (1776), Himayatuddin wafat di puncak Gunung Siontapina dalam masa gerilyanya melawan Belanda. Sepanjang sejarah perjuangannya (±26 tahun) terhitung sejak dilantik menjadi sultan ke-20 (1750) hingga wafatnya (1776), ia tidak pernah tunduk dan menyerah pada Belanda meskipun harus hidup menderita dalam gerilya.

Ia rela meninggalkan kedudukannya demi kebebasan bangsanya meskipun anak dan cucunya harus menjadi sandra Belanda. Jenazah sang panglima agung itu dikebumikan didekat makam sang ayah (Sultan Liyauddin) di Lawele tetapi atas permintaan dewan kesultanan, kerangka jenazahnya kemudian dipindahkan ke kompleks Lelemangura di Keraton Wolio.

Atas konsistensi perlawanannya terhadap Belanda yang menjadikan belantara Gunung Siontapina sebagai basis perjuangan, ia digelari rakyat dengan sebutan Oputa yi Koo (sultan di hutan). Melalui sebutan Oputa yi Koo atas dirinya, Himayatuddin sesungguhnya telah menjadi pahlawan bagi rakyat Buton. Permaisuri yang ditinggalkannya pun (karena Himayatuddin lebih dulu wafat) disebut rakyat sebagai Bhaluna Oputa yi Koo (janda sultan di hutan).

Sang pejuang besar yang legendaris itu telah lama tiada, tetapi realitas perjuangannya melawan Belanda telah menjadi referensi berharga yang mementahkan stigmatisasi sejarah bahwa Buton adalah sekutu abadi Belanda. Stigma sejarah seperti inilah yang menyebabkan Buton selama ini terabaikan dalam khasanah pustaka sejarah nasionalisme Indonesia. Karena keterabaian itu pula beberapa peristiwa heroik yang justru berdimensi nasionalisme (kepahlawanan) di negeri ini juga tidak terungkap.

Karya-karya kesejarahan Buton dalam hubungannya dengan Belanda belum sampai mengungkap realitas perlawanan terhadap Belanda apalagi berupa realitas perang, atau dengan kata lain mengabaikan fakta konflik dan bahkan perang melawan Belanda. Adalah Sultan Himayatuddin (Sultan Buton ke-20 dan 23) yang terus menerus (±26 tahun) mengobarkan perlawanan atas usaha-usaha cengkeraman Belanda terhadap negeri ini.

Dalam perjalanan sejarah Bangsa Indonesia, Sultan Himayatuddin adalah satu diantara deretan tokoh yang telah mengempiriskan peran besar dalam membela harkat dan martabat bangsa dari cengkeraman Belanda.

Dalam kacamata ke-Indonesia-an kini, esensi perjuangan Himayatuddin tentu tidak berbeda dengan esensi perjuangan deretan Pahlawan Nasional lainnya; Diponegoro, Imam Bonjol, Teuku Umar, Sisingamangaraja, Hasanuddin, Patimura, dll. Jika demikian, tidak patutkah Sang Gerilyawan Gunung Siontapina itu dikukuhkan menjadi pahalawan nasional?

“Kajian historis, akademis dan beberapa kajian filosofis lainnya sangat memenuhi sayarat negara memberikan penghargaan kepada Sultan Himayatuddin Muhhamad Saidi sebagai Pahlawan Nasional bangsa Indonesia,” papar Dr. La Ode Abdul Munafi.

Sayangnya, dokumentasi tentang seorang Sultan Himayatuddin amatlah sulit ditemukan di era kekinian. pun jika ada hanyalah sketsa penggambaran tentang dirinya. Selamat Hari Pahlawan.** (ref)


  • Asal Usul Nama Sulawesi dan Sebutan Celebes
    Lukisan tentang kehidupan masyarakat Sulawesi Selatan pada abad ke-16. (Tropenmuseum, part of the National Museum of World Cultures)BUTONMAGZ--Sulawesi dan Celebes merupakan pulau terbesar kesebelas di dunia. Menurut data Sensus 2020, penduduknya mencapai kurang dari 20 juta jiwa, yang tersebar di...
  • Tragedi Sejarah Lebaran Kedua di Tahun 1830
    Diponegoro (mengenakan surban dan berkuda) bersama pasukannya tengah beristirahat di tepian Sungai Progo.BUTONMAGZ---Hari ini penanggalan islam menunjukkan 2 Syawal 143 Hijriah, dalam tradisi budaya Islam di Indonesia dikenal istilah 'Lebaran kedua',  situasi dimana semua orang saling...
  • Kilas sejarah singkat, Sultan Buton ke-4 : Sultan Dayyanu Ikhsanuddin
    Apollonius Schotte (ilustrasi-Wikipedia)BUTONMAGZ—Tulisan ini merupakan bagian dari jurnal Rismawidiawati – Peneliti pada Kantor Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Makassar, dengan judul  Sultan La Elangi (1578-1615) (The Archaeological Tomb of the Pioneers “Martabat Tujuh” in the Sultanate...
  • Peranan Politik Sultan Mardan Ali di Kesultanan Buton (Bagian 3)
    Pulau Sagori (kini wilayah Bombana) yang banyak menyimpan cerita zaman Kesultanan ButonBUTONMAGZ---Tulisan ini disadur dari Jurnal Ilmiah berjudul ‘Peranan Sultan Mardan Ali di Kesultanan Buton: 1647-1657M, yang ditulis Asniati, Syahrun, La Ode Marhini dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Halu...
  • Mengenal Pribadi Sultan Mardan Ali. Sultan Buton yang dihukum Mati (Bagian 2)
    Pulau Makasar di Kota BaubauBUTONMAGZ---Tulisan ini disadur dari Jurnal Ilmiah berjudul ‘Peranan Sultan Mardan Ali di Kesultanan Buton: 1647-1657M, yang ditulis Asniati, Syahrun, La Ode Marhini dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Halu Oleo Kendari.Di bagian pertama menjelaskan tentang profil awal...
  • Mengenal sosok Sultan Mardan Ali. Sultan Buton yang dihukum Mati (Bagian I)
    Makam Sultan Mardan Ali 'Oputa Yi Gogoli'  (foto rabani Unair Zone)BUTONMAGZ--- cerita tentang kepemimpinan raja dan sultan di Buton masa lalu menjadi catatan tersendiri dalam sejarah masyarakat Buton kendati literasi tentang itu masih jarang ditemukan. Salah satu kisah yang menarik adalah...
  • Sejarah Kedaulatan Buton dalam Catatan Prof. Susanto Zuhdi
    foto bertahun 1938 dari nijkmusem.dd----8 April 1906, Residen Belanda untuk Sulawesi, Johan Brugman (1851–1916), memperoleh tanda tangan atas kontrak baru dengan Sultan Aidil Rakhim (bernama asli Muhamad Asyikin, bertakhta 1906–1911) dari keluarga Tapi-tapi setelah satu minggu berada di...
  • Perdana Menteri Negara Indonesia Timur Kelahiran Buton, Siapa Dia?
    Nadjamuddin Daeng MalewaBUTONMAGZ---Tak banyak yang mengenal nama tokoh ini di negeri Buton, namun di Makassar hingga politik ibu kota masa pergerakan kemerdekaan, nama ini dikenal sebagai sosok politis dengan banyak karakter. Namanya Nadjamuddin Daeng Malewa, lahir di Buton pada tahun 1907. Ia...

  • Inovasi di Desa Kulati - Wakatobi, Sulap Sampah Jadi Solar
    BUTONAMGZ---Kabupaten Wakatobi yang terkenal dengan keindahan surga bawah lautnya, ternyata memiliki sebuah desa yang berbeda dengan daerah lainnya di Indonesia, dimana dihuni oleh masyarakat yang sangat sadar akan pentingnya menjaga lingkungan hidup.Daerah ini bernama Desa Kulati yang mayoritas...
  • Repihan Tradisi dan Sejarah di Kepulauan Pandai Besi - Wakatobi
    BUTONMAGZ---Kepulauan Pandai Besi adalah julukan untuk empat pulau besar dan sejumlah pulau kecil lain di ujung tenggara Pulau Buton, Sulawesi Tenggara. Penamaan itu diberikan pada masa Hindia Belanda karena kepandaian masyarakatnya dalam pembuatan senjata tradisional berbentuk keris dan peralatan...
  • Tari Lariangi - Kaledupa; Tarian Penyambutan dengan Nuansa Magis
    Penari Lariangi. (Dokumen Foto La Yusrie)BUTONMAGZ---Kepulauan Buton tak hanya kaya dengan kesejarahan dan maritim, budaya seninya pun memukau. Salah satunya Tari Lariangi yang berasal dari Kaledupa Kabupaten Wakatobi – Sulawesi Tenggara saat ini.Melihat langsung tarian ini, magisnya sungguh terasa...
  • KaTa Kreatif 2022: Potensi 21 Kabupaten/Kota Kreatif Terpilih. Wakatobi terpilih!
    Wakatobi WaveBUTONMAGZ--Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Kepala Badan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Uno, secara resmi membuka kick off KaTa Kreatif 2022 pada Januari lalu. Di dalam program ini terdapat 21 Kabupaten/Kota Kreatif Terpilih dari total 64 Kabupaten/Kota yang ikut serta.KaTa Kreatif...
  • Tiga Lintasan Baru ASDP di Wakatobi Segera Dibuka
    BUTONMAGZ---Sebanyak tiga lintasan baru Angkutan, Sungai, Danau, dan Penyeberangan (ASDP) Cabang Baubau di Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara, segera dibuka menyusul telah disiapkannya satu unit kapal untuk dioperasikan di daerah itu. Manager Usaha PT ASDP Cabang Baubau, Supriadi, di Baubau,...
  • La Ola, Tokoh Nasionalis dari Wakatobi (Buton) - Pembawa Berita Proklamasi Kemerdekaan Dari Jawa.
    BUTONMAGZ—Dari sederet nama besar dari Sulawesi Tenggara yang terlibat dalam proses penyebaran informasi Proklamasi Kemerdekaan RI pada tanggal 17 Agustus 1945. Ada satu nama yang (seolah) tenggelam dalam sejarah.  Di adalah La Ola. Nama La Ola terekam dalam buku berjudul “Sejarah Berita...
  • Jatuh Bangun dan Tantangan bagi Nelayan Pembudidaya Rumput Laut di Wakatobi
    ilustrasi : petani rumput laut BUTONMAGZ---Gugusan Kepulauan Wakatobi di Sulawesi Tenggara terdiri dari 97 persen lautan dan hanya 3 persen daratan. Dari 142 pulau-pulau kecil, hanya 7 pulau yang berpenghuni manusia. Saat ini pariwisata bahari menjadi andalan pendapatan perkapita masyarakat di...
  • Kaombo, Menjaga Alam dengan Kearifan Lokal
    BUTONMAGZ--Terdapat sebuah kearifan lokal di masyarakat Kepulauan Buton pada umumnya. Di Pulau Binongko - Wakatobi misalnya, oleh masyarakat setempat kearifan ini digunakan untuk menjaga kelestarian alam. Mereka menyebutnya tradisi kaombo, yakni sebuah larangan mengeksploitasi sumber daya alam di...