
La Paene pertama kali mengenal tinju saat duduk di kelas enam sekolah dasar (SD).
“Saya memilih tinju sebagai pilihan hidup setelah melihat Bang Elly (Ellyas Pical) begitu dielu-elukan warga saat pulang ke Ambon. Saya bertekad untuk menjadi seperti dia,” kata La Paene saat dijumpai Harian BOLA di kediamannya di kawasan Tebet, Jaksel, Rabu (26/8).
Di kampung tempat La Paene tinggal tak ada sasana. Dia pun berlatih sendiri. Fisik dan tenaganya dilatih dengan berlari, angkat beban, dan memukul samsak. Untuk teknik, dia melihat gerakan bertinju Elly dari surat kabar.
“Saya latihan di kebun, lalu diusir dan pindah ke permakaman dekat pantai. Nah, di pantai itu ada gua yang ditinggali orang gila. Saya berlatih bareng dia sampai dianggap sudah jadi orang gila juga,” ujar La Paene sambil tertawa.
Demi menggapai mimpinya, La Paene memutuskan berhenti sekolah untuk merantau ke Ambon dan bergabung dengan Sasana Bara Sakti.
“Di Ambon saya tinggal di pasar dan tidur di jembatan. Saya merasakan pahit dan kerasnya kehidupan di sana,” kata La Paene.
Dasar berbakat, baru tiga bulan berlatih La Paene langsung jadi juara di kejuaraan daerah se-Maluku. Setelah jadi juara untuk kedua kali, dia ditarik Pertina Maluku.
Setelah itu, karier La Paene terus menanjak. Emas Kejurnas Senior di Manado pada 1994 mengantarkan anak kelima dari enam bersaudara itu masuk pelatnas untuk SEA Games (SEAG) 1995 di Chiang Mai, Thailand.
La Paene langsung kalah di babak pertama SEAG 1995. Namun, kegagalan itu tak membuatnya putus asa. Setahun berselang, La Paene langsung menunjukkan tajinya. Dia menjadi juara kualifikasi Olimpiade 1996 di Filipina dan lolos ke Olimpiade.
La Paene mengukir tinta emas di Atlanta. Dia melaju hingga perempat final dan menjadi petinju Indonesia ketiga yang melakukannya setelah Ferry Moniaga (Muenchen 1972) dan Albert Papilaya (Barcelona 1992).
“Itulah momen terbaik dalam karier saya. Saat kembali ke kampung halaman, saya seperti selebritas. Banyak orang rela datang dari jauh hanya untuk bersalaman dengan saya,” ujar La Paene.
Setelah pencapaian itu, nama La Paene semakin menjulang dan menjadi bintang tinju Indonesia. Dia mempersembahkan dua emas SEAG secara beruntun pada 1997 dan 1999 buat Merah-Putih.
La Paene lolos ke Olimpiade Sydney 2000 setelah menjuarai turnamen kualifikasi di Bangkok, Thailand. Namun, dia belum mampu menyumbang medali karena rontok di babak kedua.
Bangun SKO Tinju
Sadar usia tak lagi muda dan butuh tambahan penghasilan buat menghidupi keluarga, La Paene meninggalkan tinju amatir dan beralih ke profesional pada 2001.
Namun, karier La Paene di tinju pro hanya bertahan empat tahun sebelum gantung sarung tinju pada 2005. Sama seperti mantan atlet lain, La Paene juga kesulitan mendapatkan pekerjaan selepas pensiun.
Beruntung, kedekatan dengan Gubernur DKI, Sutiyoso, membuatnya mendapatkan pekerjaan di Pemda DKI.
Setelah tak lagi aktif sebagai atlet, La Paene tetap berkecimpung di tinju. Dia sempat diberikan kepercayaan mengurus sasana tinju untuk anak-anak jalanan di Monas dan Rawamangun meski hanya bertahan selama empat bulan.
“Anak Jakarta susah jadi petinju. Mentalnya tak sama dengan anak daerah karena sejak kecil mereka sudah kenal uang,” kata La Paene.
La Paene juga aktif di Persatuan Tinju Amatir Indonesia (Pertina) sebagai anggota Bidang Pembinaan dan Prestasi (Binpres).
Dia pun menyoroti prestasi tinju nasional yang kering prestasi.
“Potensi kita sangat besar. Namun, untuk memaksimalkan potensi itu butuh dana. Di sinilah dibutuhkan peran pemerintah,” ujarnya.
“Program juga harus tepat sasaran. Membentuk juara itu seperti anak tangga. Kompetisi harus berjalan. Lalu, atlet diikutkan ke turnamen internasional secara bertahap, mulai dari level Asia Tenggara baru perlahan-lahan naik hingga dunia,” tutur La Paene.
La Paene terpanggil untuk mengembalikan kejayaan tinju nasional. Salah satunya lewat jalur politik.
“Saya ingin membuat perubahan. Sulit melakukannya kalau tak memiliki kewenangan. Saya ingin mengabdi untuk bangsa lewat jalur itu,” kata La Paene.
Selain bekerja di Pemda DKI, La Paene juga menjadi pelatih tim Maluku Utara untuk PON 2016. Selain itu, dia berniat membangun Sekolah Khusus Olah Raga (SKO) tinju di Ragunan.
“Saya sudah berbicara dengan Kemenpora, semoga bisa terealisasi. Kalau terlaksana, saya yakin hanya dalam 4-5 tahun kita sudah punya banyak bibit-bibit unggul yang siap mengharumkan nama bangsa di level internasional,” kata La Paene.
DATA DIRI
Nama: La Paene Masara
Lahir: Buton (Baubau), 10 November 1973
Istri: Nuraini (40)
Anak: 1. Natasya (17); 2. Gelvin (14); 3. Angelia (3); 4. Grezia (1)
PRESTASI TINJU AMATIR KELAS LAYANG
1995
Perak Piala Presiden
Emas Agung Cup Malaysia
Emas ASEAN Cup Singapura
Babak pertama SEA Games Thailand
1996
Perak PON
Emas kualifikasi Olimpiade di Filipina
Perempat final Olimpiade Atlanta
1997
Emas YMCA di India
Perak Sarung Tinju Emas
Emas Piala Presiden
Emas SEA Games Indonesia
1999
Emas SEA Games Brunei Darussalam
2000
Emas kualifi kasi Olimpiade di Bangkok
Perak Kejuaraan Cordoba Cardine di Las Tumos, Kuba
Babak kedua Olimpiade Sydney
TINJU PRO KELAS LAYANG
Menang: 9 kali (3 KO) Kalah: 2 (1 KO) Seri: 3
-----------
Petinju yang Pernah Berlatih di Kuburan dan Diejek 'Dangdut'
Saat tampil di babak final Turnamen Agung Cup 1995 di Malaysia, pendukung tuan rumah mengejek La Paene Masara dengan sebutan 'dangdut'. Berbicara soal petinju Tanah Air, Halal Lovers tentu mengenal Ellyas Pical dan Chris John. Ya, dua petinju yang pernah mengharumkan Indonesia di ajang internasional.
Selain dua petinju tersebut, Indonesia juga punya La Paene Masara. Pria kelahiran 10 November 1973 itu mewakili Indonesia di kelas terbang ringan pada Olimpiade 1996 di Atlanta, Amerika Serikat. Empat tahun berselang, ia juga tampil di Olimpade Sydney, Australia.
Dalam debutnya, La Paene harus puas finis di perempat final. Ia tumbang di tangan petinju Spanyol Rafael Lozano yang kemudian meraih medali perunggu.
Meski prestasinya tidak secemerlang Chris John, La Paene memiliki pengalaman menarik yang bisa diceritakan kepada generasi penerus bangsa. Pria kelahiran Buton, Sulawesi Tenggara itu pernah dianggap orang gila karena berlatih di kuburan. Kemudian pernah tidur di kolong jembatan demi mengejar cita-cita.
Seperti dikutip laman resmi Kemenpora pada Selasa, 10 Juli 2018, Le Paene juga memiliki pengalaman berharga saat tampil di Turnamen Agung Cup 1995. Kala itu ia melawan petinju tuan rumah Malaysia di laga final.
"Intimidasi penonton gila-gilaan. Saya baru naik ring, penonton malah teriak-teriak 'dangdut....dangdut'," kata Le Paene mengenang.
Entah apa alasan penonton Malaysia mengejek La Paene dengan kata itu. Yang pasti, mulut mereka seolah terkunci saat petinju kebanggaan Negeri Jiran tumbang di ronde kedua.
"Tiba-tiba semua turun menuju ruang ganti. Saya pikir saya mau dikeroyok. Ternyata mereka mau salaman dan mengakui saya hebat," kata La Paene lagi.**
Selain dua petinju tersebut, Indonesia juga punya La Paene Masara. Pria kelahiran 10 November 1973 itu mewakili Indonesia di kelas terbang ringan pada Olimpiade 1996 di Atlanta, Amerika Serikat. Empat tahun berselang, ia juga tampil di Olimpade Sydney, Australia.
Dalam debutnya, La Paene harus puas finis di perempat final. Ia tumbang di tangan petinju Spanyol Rafael Lozano yang kemudian meraih medali perunggu.
Meski prestasinya tidak secemerlang Chris John, La Paene memiliki pengalaman menarik yang bisa diceritakan kepada generasi penerus bangsa. Pria kelahiran Buton, Sulawesi Tenggara itu pernah dianggap orang gila karena berlatih di kuburan. Kemudian pernah tidur di kolong jembatan demi mengejar cita-cita.
Seperti dikutip laman resmi Kemenpora pada Selasa, 10 Juli 2018, Le Paene juga memiliki pengalaman berharga saat tampil di Turnamen Agung Cup 1995. Kala itu ia melawan petinju tuan rumah Malaysia di laga final.
"Intimidasi penonton gila-gilaan. Saya baru naik ring, penonton malah teriak-teriak 'dangdut....dangdut'," kata Le Paene mengenang.
Entah apa alasan penonton Malaysia mengejek La Paene dengan kata itu. Yang pasti, mulut mereka seolah terkunci saat petinju kebanggaan Negeri Jiran tumbang di ronde kedua.
"Tiba-tiba semua turun menuju ruang ganti. Saya pikir saya mau dikeroyok. Ternyata mereka mau salaman dan mengakui saya hebat," kata La Paene lagi.**
0 Komentar