Sejumlah relawan asal Sulawesi Tenggara yang dihubungi menyebutkan aktivitas Kota Palu masih lumpuh pada lima hari pascagempa. Seluruh aktivitas perkantoran baik pemerintah maupun swasta masih tutup di Kota Palu.
Tak hanya itu, pertokoan di wilayah Palu juga belum ada satu pun yang buka. Bangunan perkantoran maupun pertokoan tampak rusak akibat gempa.
Jika masih kokoh, bangunan digunakan untuk posko bantuan korban maupun pengungsi. Hampir di setiap jalan, lapangan, dan depan rumah tampak tenda-tenda darurat yang didirikan secara swadaya oleh warga. Alhasil, ekonomi pun belum bergerak.
Hal lain yang menyebabkan lumpuhnya kota Palu juga karena tidak adanya pasokan listrik ke Palu. Hingga Rabu malam, Kota Palu masih gelap. Lampu hanya menyala pada gedung atau rumah yang menggunakan generasi set (genset).
Selain itu, air bersih juga menjadi satu kendala para pengungsi karena matinya pasokan listrik. Bahan bakar minyak juga menjadi salah satu kendala masyarakat Kota Palu saat ini.
Antrean di stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) di wilayah Kota Palu yang sudah buka juga langsung dijejali oleh masyarakat pengguna BBM. Masyarakat ada yang mengantre menggunakan kendaraan maupun menggunakan drijen hingga mengular dan menimbulkan kemacetan di sekitar SPBU.
Aktivitas di Bandara Mutiara Sis Aljufri juga belum berhenti. Deru mesin pesawat terbang membawa bantuan logistik nmaupun relawan masih terus berdatangan.
Tampak pula sejumlah petugas gabungan Basarnas, TNI, Polri, relawan. Mereka membantu mengevakuasi korban selamat untuk dirujuk ke rumah sakit di luar Palu.
Trauma yang mendorong eksodus
Tiga fenomena alam yang terjadi bersamaan itu meninggalkan luka dalam psikis warga Kota Palu. Warga terdampak gempa trauma. Karena itu, gempa-gempa susulan yang terus terjadi membuat trauma tersebut semakin dalam.
Wiyatie Wulandhari (22 tahun) mengatakan gempa-gempa susulan tersebut kerap mengingatkannya pada gempa utama (main shock) yang membuatnya harus merangkak mencari tempat aman. Ketakutan semakin terasa karena gempa susulan sering terjadi pada saat malam hari.
Wiyatie pun memilih meninggalkan Palu. Ia tidak sendirian karena ribuan lainnya sudah memilh meninggalkan kota sejak dua hari pascagempa. “Meskipun gempanya kecil, kami semua trauma. Setiap ketemu orang di jalan mereka bilang mau pergi untuk menghilangkan trauma,” kata Wiyatie.
Gempa-gempa itu membuat sebagian warga Palu pun memilih meninggalkan wilayah tersebut. Wiyatie yang memilih keluar dari Palu dan menuju Kota Makassar untuk tinggal di rumah mertua.
Wiyatie mengatakan rumahnya di Palu untuk sementara tidak ditinggali demi mendapatkan rasa aman sembari menghilangkan trauma. Wiyatie beserta keluarga akan kembali ke Palu jika listrik sudah pulih dan persediaan BBM tak lagi langka.
Mardani, warga Kabupaten Sigi, juga hendak meninggalkan Palu menuju Makassar bersama keluarganya, Rabu kemarin. Mardani yang membawa serta istri, dua anak dan ibunya menuju Makassar menggunakan pesawat hercules TNI melalui Bandara Mutiara Sis Aljufri, Palu, Sulteng.
"Saya mau ke Makassar mbak, mau cuci darah (dialisis) disini alat cuci darahnya di rumah sakitnya semua rusak," ujar Mardani lemah, yang diamini oleh istrinya.
Istrinya, Muthia mengatakan, beberapa tetangganya di Sigi juga pergi lantaran rumah mereka tidak lagi bisa ditempati. Apalagi, akses makanan dan air yang sulit menyebabkan warga kesulitan.
Tak hanya itu, pertokoan di wilayah Palu juga belum ada satu pun yang buka. Bangunan perkantoran maupun pertokoan tampak rusak akibat gempa.
Jika masih kokoh, bangunan digunakan untuk posko bantuan korban maupun pengungsi. Hampir di setiap jalan, lapangan, dan depan rumah tampak tenda-tenda darurat yang didirikan secara swadaya oleh warga. Alhasil, ekonomi pun belum bergerak.
Hal lain yang menyebabkan lumpuhnya kota Palu juga karena tidak adanya pasokan listrik ke Palu. Hingga Rabu malam, Kota Palu masih gelap. Lampu hanya menyala pada gedung atau rumah yang menggunakan generasi set (genset).
Selain itu, air bersih juga menjadi satu kendala para pengungsi karena matinya pasokan listrik. Bahan bakar minyak juga menjadi salah satu kendala masyarakat Kota Palu saat ini.
Antrean di stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) di wilayah Kota Palu yang sudah buka juga langsung dijejali oleh masyarakat pengguna BBM. Masyarakat ada yang mengantre menggunakan kendaraan maupun menggunakan drijen hingga mengular dan menimbulkan kemacetan di sekitar SPBU.
Aktivitas di Bandara Mutiara Sis Aljufri juga belum berhenti. Deru mesin pesawat terbang membawa bantuan logistik nmaupun relawan masih terus berdatangan.
Tampak pula sejumlah petugas gabungan Basarnas, TNI, Polri, relawan. Mereka membantu mengevakuasi korban selamat untuk dirujuk ke rumah sakit di luar Palu.
Trauma yang mendorong eksodus
Tiga fenomena alam yang terjadi bersamaan itu meninggalkan luka dalam psikis warga Kota Palu. Warga terdampak gempa trauma. Karena itu, gempa-gempa susulan yang terus terjadi membuat trauma tersebut semakin dalam.
Wiyatie Wulandhari (22 tahun) mengatakan gempa-gempa susulan tersebut kerap mengingatkannya pada gempa utama (main shock) yang membuatnya harus merangkak mencari tempat aman. Ketakutan semakin terasa karena gempa susulan sering terjadi pada saat malam hari.
Wiyatie pun memilih meninggalkan Palu. Ia tidak sendirian karena ribuan lainnya sudah memilh meninggalkan kota sejak dua hari pascagempa. “Meskipun gempanya kecil, kami semua trauma. Setiap ketemu orang di jalan mereka bilang mau pergi untuk menghilangkan trauma,” kata Wiyatie.
Gempa-gempa itu membuat sebagian warga Palu pun memilih meninggalkan wilayah tersebut. Wiyatie yang memilih keluar dari Palu dan menuju Kota Makassar untuk tinggal di rumah mertua.
Wiyatie mengatakan rumahnya di Palu untuk sementara tidak ditinggali demi mendapatkan rasa aman sembari menghilangkan trauma. Wiyatie beserta keluarga akan kembali ke Palu jika listrik sudah pulih dan persediaan BBM tak lagi langka.
Mardani, warga Kabupaten Sigi, juga hendak meninggalkan Palu menuju Makassar bersama keluarganya, Rabu kemarin. Mardani yang membawa serta istri, dua anak dan ibunya menuju Makassar menggunakan pesawat hercules TNI melalui Bandara Mutiara Sis Aljufri, Palu, Sulteng.
"Saya mau ke Makassar mbak, mau cuci darah (dialisis) disini alat cuci darahnya di rumah sakitnya semua rusak," ujar Mardani lemah, yang diamini oleh istrinya.
Istrinya, Muthia mengatakan, beberapa tetangganya di Sigi juga pergi lantaran rumah mereka tidak lagi bisa ditempati. Apalagi, akses makanan dan air yang sulit menyebabkan warga kesulitan.