NAMA lengkapnya Haji Doktorandus La Ode Saidi, begitu cara kita membaca sematan gelar figur ini yang tentu sedikit berbeda dengan kebanyakan orang. Umumnya gelar akademik mendahului gelar sosial seseorang, tetapi ini ini cara keluarga menghormati kebesaran sosok La Ode Saidi yang wafat pada 28 Oktober 2011 sebelum sempat menunaikan ibadah haji secara langsung. Istri dan putra-putri almarhum kemudian bersepakat meng-haji-kannya, sebuah tata cara peribadatan yang memang diperkenankan dalam fiqih Islam, istilahnya Badal Hajj.
Tulisan ini disarikan dari buku “Kota Baubau 1981-2018, cerita dan
kepmimpinan” yang ditulis Dr.Hamzah, S.H., M.I.Kom dan H. Idrus Taufiq
Saidi, S.Kom.M.Si, terbitan Mei 2018. Begini ceritanya.
-------------------------
Banyak ingatan orang tentang sosok La Ode Saidi semasa hidupnya; tegas, disiplin, irit bicara, dan selalu komitmen pada setiap apa yang diungkapkan, tetapi ramah dalam diskusi-diskusi lepasnya. Boleh jadi karakter kepribadiaannya terbentuk dari lingkungan keluarga plus perjalanan hidupnya, dari seorang guru, birokrat hingga menjadi politisi yang malang melintang dari daerah hingga ke pusat kekuasaan. Senayan.
Putera dari Sri Sultan La Ode Hamidi – Sultan Buton ke 37 yang lebih dikenal di masyarakat dengan sematan Oputa Yi Malige ini terlahir di Bau-Bau pada 19 Agustus 1933 di masa pemerintahan Hindia Belanda, yang kesemua pendidikan dasarnya dari SR (tamat tahun 1946), SMP (tamat 1950), dan Sekolah Guru Atas (tamat 1953) diselesaikan di Bau-Bau. Modal pendidikan yang kemudiannya menjadikannya sebagai seorang guru di SMP Negeri Bau-Bau dari tahun 1953-1956.
Di sela profesi yang menjadi awal karirnya itu, La Ode Saidi mengasah insting dan kemampuan politiknya melalui partai besutan Presiden Soekarno, Partai Nasionalis Indonesia (PNI) yang dilakoni dari tahun 1956 hingga 1970 dan mendapuknya dalam jabatan Ketua III di wilayah Buton.
Berhenti menjadi seorang guru, ia kemudian menyelesaikan pendidikan diplomanya di Akademi Perniagaan Indonesia di Surabaya dan tamat 1962, modal yang menjadikannya sebagai seorang direktur di PT. Sulawesi Tenggara yang dijalaninya selama dua tahun (1962-1964), kemudian ia menjadi Kepala di Perusahaan Negara (PN) Satya Niaga Cabang Kendari dari tahun 1964-1967.
Dua tahun kemudian ia terpilih menjadi wakil rakyat sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) Dati II Buton utusan Partai Nasional Indonesia periode tahun 1969-1971. Dalam waktu yang hampir bersamaan, tepatnya kurun waktu tahun 1970-1974 ia menjadi anggota Badan Pemerintah Harian (BPH) Kabupaten Dati II Buton, dan selanutnya dipercayakan menjadi Kepala Dinas pendapatan daerah Tingkat II Buton tahun 1974-1977.
Hidup La Ode Saidi hilir mudik Kendari-Bau-Bau di masa itu, sebab ia tercatat sebagai pengurus ICMI Sulawesi Tenggara di Kendari sekaligus menjadi pendiri Yayasan Pembina Penidikan Mutiara di tahun 1970. Sembari bekerja di pemerintahan, La Ode Saidi terus berburu gelar sarjana di Fakultas Ketataniagaan dan Ketatalaksanaan Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta yang diselesaikannya di tahun 1982.
Suami dari Wa Ode Faida Saidi dan ayah 4 orang putra putrinya, masing-masing; Antonio Saidi, Bestianny Saidi, Idrus Taufiq Saidi, dan Rasidah Saidi; memang banyak berkutat di dunia birokrasi dan politik, jabatan rangkap yang banyak dipegang orang-orang berpengaruh di zaman Orde Baru.
Memang, kejayaan Orde Baru di bawah kendali Presiden Soeharto kala itu benar-benar menyeruak ke suluruh Nusantara, tak terkecuali di Buton. Pulau yang sangat jauh dari jantung kekuasaan tetapi getaran Jakarta begitu terasa, sampai-sampai pengaruh Orde Lama besutan Presiden Soekarno lambat laun menghilang dengan kebijakan perampingan partai-partai politik di Pemilu 1972.
Dampaknya, seorang La Ode Saidi yang dikenal sebagai sosok yang kuat dalam komitmen dan prinsip, serta dibesarkan dalam lingkungan kerabat Kesultanan Buton dan dikenal sebagai loyalis Marhaen, sepertinya tak kuasa menahan ‘gempuran’ ideologi Orde Baru yang di masa itu menggunakan militer sebagai kaki tangan politiknya.
La Ode Saidi pun hijrah ke Golongan Karya, alat politik Soeharto sebagai pilihan ideal untuk tetap berada di jantung kekuasaan. Jika tidak kekuatan sosial sekalipun tak mampu bertahan. Pun kalau bertahan, harus siap-siap dianggap sebagai ‘kotoran sejarah’ yang siap dibumihanguskan. Cerita ini juga pernah menjadi pilu sejarah di negeri Buton di mana seorang Bupati Kasim di periode awal peralihan Orde Lama ke Orde Baru yang memenjarakan dan meninggal dunia di sana, disinyalir karena cengkraman ideologi Orde Baru yang gampang mencap berhaluan lain bagi kompetitor-kompetitor politiknya di masa itu.
Berada dihaluan Golongan Karya, La Ode Saidi sejak tahun 1983 hingga 1993 menjadi anggota, dalam karir politik ini ia menduduki posisi ketua Organisasi, Kaderisasi dan Keanggotaan (OKK) di Pemuda Pancasila, sekaligus salah satu Ketua DPD Golkar DATI II Buton. Karena itu karir birokrasinya tetap moncer, ia menjadi Kepala Dinas Pndidikan dan Kebudayaan Buton tahun 1983-1986, selanjutnya menjadi Kepala Dinas Pendapatan Daerah kabupaten dati II Buton tahun 1986-1987, sekaligus menduduki jabatan sebagai Anggota DPRD Sulawesi Tenggara periode 1987-1992 utusan Golongan Karya, hasil Pemilu tahun 1986.
Dalam posisinya masih menjabat anggota dewan di level provinsi dan memiliki pengaruh ideologi yang kuat dalam jejaringnya di wilayah Buton dan sekitarnya, La Ode Saidi kemudian ditunjuk negara menjadi Pelaksana Tugas (Plt) Wali Kota Administratif Bau-Bau yang dijabatnya kurun waktu 3 tahun (1988-1991) menggantikan Nurdin Manggu, dan dilantik langsung Bupati Buton kala itu, Kolonel Hakim Lubis. Buton memang dalam sejarahnya banyak dipimpin kalangan militer.
Dari sejumlah literatur mampu menjelaskan jika ditunjukknya La Ode Saidi sebagai Plt. Wali Kotif dalam masa yang cukup lama sementara ia masih menduduki posisi sebagai anggota DPRD Sulawesi Tenggara, dapat dibaca sebagai sebuah strategi Golongan Karya mempertahankan dominasinya di Buton, khususnya dalam wilayah Kota Bau-Bau saat itu menjelang Pemilu 1992. Ini juga bertautan dengan perubahan paradigma Golongan Karya di sekitar Soeharto, dimana kekuatan militer yang dimotori Jenderal LB. Moerdani lambat laun melemah digantikan pengaruh kalangan sipil yang dimotori BJ. Habibie. Karenanya di daerah-daerah pun ‘sipil’ berpengaruh’ diterjunkan langsung untuk mengamankan politik daerah, sekaligus memenangkan Golkar dengan pendekatan politik orang sipil.
Banyak ingatan orang tentang sosok La Ode Saidi semasa hidupnya; tegas, disiplin, irit bicara, dan selalu komitmen pada setiap apa yang diungkapkan, tetapi ramah dalam diskusi-diskusi lepasnya. Boleh jadi karakter kepribadiaannya terbentuk dari lingkungan keluarga plus perjalanan hidupnya, dari seorang guru, birokrat hingga menjadi politisi yang malang melintang dari daerah hingga ke pusat kekuasaan. Senayan.
Putera dari Sri Sultan La Ode Hamidi – Sultan Buton ke 37 yang lebih dikenal di masyarakat dengan sematan Oputa Yi Malige ini terlahir di Bau-Bau pada 19 Agustus 1933 di masa pemerintahan Hindia Belanda, yang kesemua pendidikan dasarnya dari SR (tamat tahun 1946), SMP (tamat 1950), dan Sekolah Guru Atas (tamat 1953) diselesaikan di Bau-Bau. Modal pendidikan yang kemudiannya menjadikannya sebagai seorang guru di SMP Negeri Bau-Bau dari tahun 1953-1956.
Di sela profesi yang menjadi awal karirnya itu, La Ode Saidi mengasah insting dan kemampuan politiknya melalui partai besutan Presiden Soekarno, Partai Nasionalis Indonesia (PNI) yang dilakoni dari tahun 1956 hingga 1970 dan mendapuknya dalam jabatan Ketua III di wilayah Buton.
Berhenti menjadi seorang guru, ia kemudian menyelesaikan pendidikan diplomanya di Akademi Perniagaan Indonesia di Surabaya dan tamat 1962, modal yang menjadikannya sebagai seorang direktur di PT. Sulawesi Tenggara yang dijalaninya selama dua tahun (1962-1964), kemudian ia menjadi Kepala di Perusahaan Negara (PN) Satya Niaga Cabang Kendari dari tahun 1964-1967.
Dua tahun kemudian ia terpilih menjadi wakil rakyat sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) Dati II Buton utusan Partai Nasional Indonesia periode tahun 1969-1971. Dalam waktu yang hampir bersamaan, tepatnya kurun waktu tahun 1970-1974 ia menjadi anggota Badan Pemerintah Harian (BPH) Kabupaten Dati II Buton, dan selanutnya dipercayakan menjadi Kepala Dinas pendapatan daerah Tingkat II Buton tahun 1974-1977.
Hidup La Ode Saidi hilir mudik Kendari-Bau-Bau di masa itu, sebab ia tercatat sebagai pengurus ICMI Sulawesi Tenggara di Kendari sekaligus menjadi pendiri Yayasan Pembina Penidikan Mutiara di tahun 1970. Sembari bekerja di pemerintahan, La Ode Saidi terus berburu gelar sarjana di Fakultas Ketataniagaan dan Ketatalaksanaan Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta yang diselesaikannya di tahun 1982.
Memang, kejayaan Orde Baru di bawah kendali Presiden Soeharto kala itu benar-benar menyeruak ke suluruh Nusantara, tak terkecuali di Buton. Pulau yang sangat jauh dari jantung kekuasaan tetapi getaran Jakarta begitu terasa, sampai-sampai pengaruh Orde Lama besutan Presiden Soekarno lambat laun menghilang dengan kebijakan perampingan partai-partai politik di Pemilu 1972.
Dampaknya, seorang La Ode Saidi yang dikenal sebagai sosok yang kuat dalam komitmen dan prinsip, serta dibesarkan dalam lingkungan kerabat Kesultanan Buton dan dikenal sebagai loyalis Marhaen, sepertinya tak kuasa menahan ‘gempuran’ ideologi Orde Baru yang di masa itu menggunakan militer sebagai kaki tangan politiknya.
La Ode Saidi pun hijrah ke Golongan Karya, alat politik Soeharto sebagai pilihan ideal untuk tetap berada di jantung kekuasaan. Jika tidak kekuatan sosial sekalipun tak mampu bertahan. Pun kalau bertahan, harus siap-siap dianggap sebagai ‘kotoran sejarah’ yang siap dibumihanguskan. Cerita ini juga pernah menjadi pilu sejarah di negeri Buton di mana seorang Bupati Kasim di periode awal peralihan Orde Lama ke Orde Baru yang memenjarakan dan meninggal dunia di sana, disinyalir karena cengkraman ideologi Orde Baru yang gampang mencap berhaluan lain bagi kompetitor-kompetitor politiknya di masa itu.
Berada dihaluan Golongan Karya, La Ode Saidi sejak tahun 1983 hingga 1993 menjadi anggota, dalam karir politik ini ia menduduki posisi ketua Organisasi, Kaderisasi dan Keanggotaan (OKK) di Pemuda Pancasila, sekaligus salah satu Ketua DPD Golkar DATI II Buton. Karena itu karir birokrasinya tetap moncer, ia menjadi Kepala Dinas Pndidikan dan Kebudayaan Buton tahun 1983-1986, selanjutnya menjadi Kepala Dinas Pendapatan Daerah kabupaten dati II Buton tahun 1986-1987, sekaligus menduduki jabatan sebagai Anggota DPRD Sulawesi Tenggara periode 1987-1992 utusan Golongan Karya, hasil Pemilu tahun 1986.
Dalam posisinya masih menjabat anggota dewan di level provinsi dan memiliki pengaruh ideologi yang kuat dalam jejaringnya di wilayah Buton dan sekitarnya, La Ode Saidi kemudian ditunjuk negara menjadi Pelaksana Tugas (Plt) Wali Kota Administratif Bau-Bau yang dijabatnya kurun waktu 3 tahun (1988-1991) menggantikan Nurdin Manggu, dan dilantik langsung Bupati Buton kala itu, Kolonel Hakim Lubis. Buton memang dalam sejarahnya banyak dipimpin kalangan militer.
Dari sejumlah literatur mampu menjelaskan jika ditunjukknya La Ode Saidi sebagai Plt. Wali Kotif dalam masa yang cukup lama sementara ia masih menduduki posisi sebagai anggota DPRD Sulawesi Tenggara, dapat dibaca sebagai sebuah strategi Golongan Karya mempertahankan dominasinya di Buton, khususnya dalam wilayah Kota Bau-Bau saat itu menjelang Pemilu 1992. Ini juga bertautan dengan perubahan paradigma Golongan Karya di sekitar Soeharto, dimana kekuatan militer yang dimotori Jenderal LB. Moerdani lambat laun melemah digantikan pengaruh kalangan sipil yang dimotori BJ. Habibie. Karenanya di daerah-daerah pun ‘sipil’ berpengaruh’ diterjunkan langsung untuk mengamankan politik daerah, sekaligus memenangkan Golkar dengan pendekatan politik orang sipil.
Hubungan ini terlihat sekali dari skenario ‘pemulangan’ La Ode Saidi ke Buton menjadi Wali Kotif, yakni menjadi penyeimbang kekuatan politik militer dan sipil di Buton, sebab usai Pemilu 1992, ia kemudian terpilih sebagai Ketua DPRD Kabupaten Buton Periode tahun 1992-1997, di mana Bupati Buton saat itu kembali dijabat kalangan militer. Bedanya, bupati militer ini adalah salah satu putera terbaik Buton, Kolonel CZI H Saidoe yang berkuasa di periode 1991-1996. Ini penanda bahwa pemerintah pusat sudah melihat Buton dalam kondisi yang sudah ‘clear’ dari sebutan stigma negatif yang pernah mendera daerah ini. Karenanya, kekuasaan Bupati Saidoe semakin langgeng untuk periode berikutnya, tahun 1996-2001.
Demikian halnya dengan La Ode Saidi, usai menjalankan tugasnya sebagai wakil rakyat di daerahnya sendiri selama 5 (lima) tahun dalam usia 64 tahun, tak menghilangkan kepercayaan negara khususnya kacamata Golongan Karya untuk memberinya tugas kenegaraan kepadanya. Terbukti, ia ditunjuk menjadi anggota DPR/MPR-RI Pengganti Antar Waktu dari Sulawesi Tenggara di periode 1997-1998.
Sembari menjalankan tugas dewannya, La Ode Saidi juga banyak melibatkan diri di kegiatan sosial kemasyarakatan, sejak 1991 hingga pensiun ia menjadi penasehat di Yayasan Perguruan Islam Nurul Huda Kabupaten Buton. Di tahun 1996 ia juga dilibatkan sebagai anggota Dewan Pembina PPKIB Kabupaten Dati II Buton. Dewan Pembina Pemuda Pancasila Kotif Bau-Bau tahun 1995. Sementara karir politiknya ia akhiri menjadi salah satu dewan penasehat Golongan Karya Dati II Buton hingga tahun 1998.
Meruntut perjalanan hidup seorang La Ode Saidi, banyak hal tersingkap di dalamnya, bahwa ia sosok politisi yang cukup punya pengalaman hidup di level daerah, provinsi hingga nasional. Tetapi ia tetap berhikmah untuk negeri dan masyarakat disekitarnya. Ia benar-benar pensiun dari dunia politiknya seusai mengemban tugas negara di Jakarta, menikmati masa pensiun kurang lebih 13 (tiga belas) tahun sebelum ia wafat di usianya yang sepuh – 78 tahun, tepatnya di hari Jumat, 28 Oktober 2011, dimana bangsa ini memperingati Hari Sumpah Pemuda yang ke 83.** (ref)
Sembari menjalankan tugas dewannya, La Ode Saidi juga banyak melibatkan diri di kegiatan sosial kemasyarakatan, sejak 1991 hingga pensiun ia menjadi penasehat di Yayasan Perguruan Islam Nurul Huda Kabupaten Buton. Di tahun 1996 ia juga dilibatkan sebagai anggota Dewan Pembina PPKIB Kabupaten Dati II Buton. Dewan Pembina Pemuda Pancasila Kotif Bau-Bau tahun 1995. Sementara karir politiknya ia akhiri menjadi salah satu dewan penasehat Golongan Karya Dati II Buton hingga tahun 1998.
Meruntut perjalanan hidup seorang La Ode Saidi, banyak hal tersingkap di dalamnya, bahwa ia sosok politisi yang cukup punya pengalaman hidup di level daerah, provinsi hingga nasional. Tetapi ia tetap berhikmah untuk negeri dan masyarakat disekitarnya. Ia benar-benar pensiun dari dunia politiknya seusai mengemban tugas negara di Jakarta, menikmati masa pensiun kurang lebih 13 (tiga belas) tahun sebelum ia wafat di usianya yang sepuh – 78 tahun, tepatnya di hari Jumat, 28 Oktober 2011, dimana bangsa ini memperingati Hari Sumpah Pemuda yang ke 83.** (ref)