Etnis Buton sejak dulu dikenal sebagai sebagai pelaut ulung, separuh hidupnya ada di samudera. Buih, gelombang, dan bahkan badai menjadi selimut kehidupan. Laut benar-benar menjadi sahabat karena mereka tahu cara memuliakan laut dan buminya. Karenanya harmoni hidupnya selalu menjadi hangat dan selalu menyungging senyum kebahagiaan.
Zul Ahmad, Pulau Makasar - Kota Baubau.
PULAU Makasar, demikianlah nama satu pulau berpenduduk padat yang letaknya pas berhadapan dengan perkotaan Baubau. Terletak di bentangan teluk, namun kini bisa ditempuh dengan jalur darat melalui Lowu-lowu dengan jembatan penyeberangan sepanjang kurang lebih 2 Km dan lebar sekitar 3 meter. Orang-orang disana menyebut jembatan panjang ini dengan nama ‘jembatan Biru’, mungkin karena sisi-sisinya di dominasi warna biru sehinga namanya seperti itu.
Pulau Makasar adalah pulau yang memiliki histori panjang, berhubungan erat dengan kesejarahan masa lalu semasa invasi Kerajaan Gowa ke Buton di abad ke-16 tatkala pasukan kerajaan Gowa hendak memburu Arung Palakka- Raja Bone kesohor itu. Namun upaya itu menjadi gagal, sebaliknya beberapa pasukan Kerajaan Gowa tertawan dan ditempatkan di pulau yang oleh masyarakat Buton menyebutnya sebagai ‘Liwuto’. Begitu kilas informasinya.
Namun begitu, warga Pulau Makassar (Puma) bukan etnis Makassar sebagaimana namanya (tertulis Makasar – tanpa dobel SS), tetapi bagian dari sub etnis Buton.
Memang penamaan kampung di negeri Buton khususnya di Kota Baubau ini terdapat beberapa kampung bersangkut paut dengan kampung-kampung di Sulawesi Selatan. Seperti Bone-bone, dan Lowu-lowu. Khusus Lowu-lowu yang menjadi tetangga Puma, dalam tulisan Abdul Rahman Hamid dalam bukunya ‘Jejak Arung Palakka di Negeri Buton’ (2008) menulis nama lowu-lowu berasal dari kata ‘luwu-luwu’, sebuah entitas Bugis Tua yang dikenal dengan kerajaan besarnya – Luwu.
Memang Buton dan Bugis sejak dulu memiliki kekerabatan yang begitu kuat. Ada idiom Bugis yang menggambarkan kedekatan itu dengan kalimat ‘Bone Rilau Buton Riaja’. Kalimat ini bukan sekadar pemanis belaka di masa kekinian, tetapi merupakan pola hubungan diplomatik di abad ke 17. Seperti dalam petikan tulisan Rahman Hamid (2008:50) berikut ini;
Pulau Makasar tak hanya identik dengan kesejarahan ketegangan segitiga antara Gowa-Bone-Buton di masa lalu termasuk keterlibatan Belanda di Buton, tetapi di pulau ini juga bersemayam nama tokoh besar yang pernah bertahta di pucuk Kesultanan Buton - Sultan La Tjila Mardan Ali bergelar ‘Oputa Yi Gogoli’ (1647-1654)- seorang sultan yang dikenal memiliki kecerdasan dan keberanian dan menjadi Sultan ke-8 di Buton. Namun akhirnya dikuburkan di pulau itu karena pelanggaran yang dibuatnya. Konon itulah yang membuatnya digelari Oputa Yi Gogoli.
Pulau Makasar adalah pulau yang memiliki histori panjang, berhubungan erat dengan kesejarahan masa lalu semasa invasi Kerajaan Gowa ke Buton di abad ke-16 tatkala pasukan kerajaan Gowa hendak memburu Arung Palakka- Raja Bone kesohor itu. Namun upaya itu menjadi gagal, sebaliknya beberapa pasukan Kerajaan Gowa tertawan dan ditempatkan di pulau yang oleh masyarakat Buton menyebutnya sebagai ‘Liwuto’. Begitu kilas informasinya.
Namun begitu, warga Pulau Makassar (Puma) bukan etnis Makassar sebagaimana namanya (tertulis Makasar – tanpa dobel SS), tetapi bagian dari sub etnis Buton.
Memang penamaan kampung di negeri Buton khususnya di Kota Baubau ini terdapat beberapa kampung bersangkut paut dengan kampung-kampung di Sulawesi Selatan. Seperti Bone-bone, dan Lowu-lowu. Khusus Lowu-lowu yang menjadi tetangga Puma, dalam tulisan Abdul Rahman Hamid dalam bukunya ‘Jejak Arung Palakka di Negeri Buton’ (2008) menulis nama lowu-lowu berasal dari kata ‘luwu-luwu’, sebuah entitas Bugis Tua yang dikenal dengan kerajaan besarnya – Luwu.
Memang Buton dan Bugis sejak dulu memiliki kekerabatan yang begitu kuat. Ada idiom Bugis yang menggambarkan kedekatan itu dengan kalimat ‘Bone Rilau Buton Riaja’. Kalimat ini bukan sekadar pemanis belaka di masa kekinian, tetapi merupakan pola hubungan diplomatik di abad ke 17. Seperti dalam petikan tulisan Rahman Hamid (2008:50) berikut ini;
Kehadiran Arung Palakka di negeri Buton disambut baik penguasa, La Awu Sultan Malik Sirullah. Bahkan keduanya sepakat menyatakan sumpah janji setia dalam menghadapi segala ancaman. Hal itu termaktub dalam kalimat Bone Rilau Buton Riaja (Bone adalah Buton Barat dan, Buton adalah Bone Timur). Maksudnya, apa pun yang mengancam Bone adalah juga menyangkut keselamatan Buton, demikian pula sebaliknya. Ancaman terhadap keselamatan Buton adalah bagian integral dan masa depan Bone. Maksudnya, kesatuan langkah adalah kata kunci dan hubungan diplomatik di antara mereka.
Pulau Makasar tak hanya identik dengan kesejarahan ketegangan segitiga antara Gowa-Bone-Buton di masa lalu termasuk keterlibatan Belanda di Buton, tetapi di pulau ini juga bersemayam nama tokoh besar yang pernah bertahta di pucuk Kesultanan Buton - Sultan La Tjila Mardan Ali bergelar ‘Oputa Yi Gogoli’ (1647-1654)- seorang sultan yang dikenal memiliki kecerdasan dan keberanian dan menjadi Sultan ke-8 di Buton. Namun akhirnya dikuburkan di pulau itu karena pelanggaran yang dibuatnya. Konon itulah yang membuatnya digelari Oputa Yi Gogoli.
**
ITU cerita masa lalu. Kini warga Pulau Makasar yang secara administratif masuk dalam wilayah Kecamatan Kokalukuna Kota Baubau, menjadi salah satu kawasan terpadat, apalagi jalan-jalan umum di sana telah teraspal sejak masa kepemimpinan Wali Kota Dr.. H. AS. Tamrin, MH di perode pertama, 2013-2018.
Beberapa warga pun mewacanakan agar Puma sejatinya dimekarkan menjadi satu kecamatan baru di Kota Baubau mengingat pertumbuhan populasi penduduknya yang tinggi, dan arus masuk orang dan barang juga meningkat dalam tiga tahun terakhir. Mungkin dampak besar jembatan biru itu.
Warga Puma tak lagi terisolasi dari persoalan sektor transportasi, bahkan nuansa modernitas telah menyeruak di sana. Fasilitas telekomunikasi kata Kadis Komunikasi dan Informatika Kota Baubau, H. Idrus Taufiq Saidi – warga Puma telah mengikuti cepatnya laju teknologi informasi, sektor pendidikan pun berkembang begitu pesat.
“Apalagi di sana ada sekolah kejuruan khusus perikanan dan kelautam yang tak hanya dinikmati generasi Puma, tetapi datang dari berbagai daerah di Timur Indonesia. Sehingga dinamikanya juga meningkat. Beberapa diantara mereka juga menjadi elite di Kota Baubau, dan beberapa menjadi pesohor di beberapa kota-kota besar di jazirah Pulau Sulawesi. Ada yang menjadi jurnalis, pejabat, hingga enterpreneur. Bdberapa dari mereka juga adalah perantau-perantau sukses di Nusantara,” tandas Idrus Tufiq Minggu siang kemarin (14/10).
Namun begitu, warga Pulau Makasar tetap saja di kenal sebagai masyarakat Bahari sebagaimana etnis Buton lainnya yang dikenal sebagai penakluk samudera, yang membuat mereka tetap menghargai bumi dan lautan tempatnya menggantung hidup. Setiap tahun mereka menggelar ritual budaya yang disebut ‘Tuturangina Andala’ kurang lebih berarti ‘memberi makan kepada laut’ – makna filosofisnya, rasa syukur kepada Allah SWT, atas anugerah laut sebagai simbol utama kehidupan mereka yang harus tetap lestari dan terjaga keberadaannya.
Tahun ini volume ritual Tuturangiana Andala bertambah, disebutnya sebagai ‘Poagona Lipu Tuturangiana Andala’ atau lebih kurang berarti ‘keselamatan kampung dan lautannya’. Ritual budaya ini digelar Minggu siang kemarin hingga sore hari, sebagai rangkaian Hari Jadi Kota baubau ke 477 tahun dan Hari Ulang Tahun Kota Baubau ke-17 sebagai daerah otonom, pada 17 Oktober 2018.
Nuansa dan ornamen budaya begitu terasa di acara yang dikemas dalam giat festival. Setidaknya prosesi doa dan pelepasan peganan ke laut begitu terasa sakral berbalut keheningan orang-orang yang hadir memberi do’a.
Banyak sekali orang yang datang ingin menyaksikan langsung acara itu. Apalagi sejumlah seni Buton mewarnai permulaan acara, seperti Tari Mangaru khas Buton sebagai tarian penyambutan bagi para tokoh daerah ini, seperti kehadiran Wakil Wali Kota Baubau yang baru saja dilantik, La Ode Ahmad Monianse - yang selama ini dikenal sebagai politisi matang dari PDIP. Juga tampak senator DPD-RI asal daerah pemilihan Sulawesi Tenggara, Ir. Wa Ode Hamsinah Bolu, M.Sc.
Saat memberi sambutan, La Ode Ahmad Monianse memberi support terhadap masa depan ritual budaya yang sesungguhnya memberi dampak besar bagi pengembangan Kota Baubau sebagai daerah maritim terpadu 2019 dan juga potensi wisata berskala nasional. “Ritual ini merupakan bentuk kepedulian warga Puma terhadap kelestarian budaya yang ada di Kota Baubau, berdampak pada pengembangan Baubau sebagai daerah Maritim terpadu 2019 dan potensi wisata berskala nasional” ujar Monianse dalam petikan sambutannya.
Acar berakhir dengan penuh kegembiraan, tetamu dan warga berbaur menjadi satu menikmati aneka hidangan khas Buton dan seafood khas Pulau Makasar. Begitu nikmatnya.**