ORANG Buton tak semuanya penjelajah samudera, sebagian dari mereka hidup sebagai masyarakat agraris, utamanya mereka yang mendiami kawasan perbukitan dan sekitar kawasan hutan di pulau yang kesohor dengan tambangnya Aspalnya itu. Salah satu sub etnis Agraris itu adalah Laporo. Entah dari mana asal usulnya, tetapi mereka begitu menjaga harmoni alam dengan Pencpta-Nya.
Sebagai masyarakat agraris, warga Laporo mengenal ritual mengawali musim tanam dan musim panen. Mereka menyebutnya sebagai ‘Mata’a – sebagai perwujudan rasa syukur atas rezeki yang diperoleh sekaligus permohonan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar dijauhkan dari bala bencana. Ini tergambar dari ritual Mataa yang digelar masyarakat Gonda Baru di Kecamatan Sorawolio Kota Baubau – Sulawesi Tenggara, Rabu malam ini, 16 Oktober 2018.
Hamzah Palalloi, ButonMagz – Baubau.
Masyarakat etnik Laporo di Kota Baubau umumnya mendiami beberapa kelurahan di Kecamatan Sorawolio; seperti Bugi, Gonda Baru dan Karya Baru. Laporo dikenal sebagai bagian dari etnis Cia-cia dalam lapis kultur Bangsa Buton. Saya menyebut Buton sebagai bangsa, sebab di dalam masyarakat Buton ditemukan banyak suku-suku yang tak sekadar berbeda budaya, tetapi juga bahasa. Karenanya pernak-pernik budaya begitu kaya di negeri itu.
Dalam beberapa literatur di Kota Baubau menyebutkan jika hadirnya warga etnik Laporo di Kota Baubau ada yang berasal dari migrasi sebagaian penduduk dari Pasarwajo di Kabupaten Buton, dan beberapa diantaranya merupakan program reselement penduduk dari kawasan Lipumangau di perbukitan-perbukitan Selatan Pulau Buton di tahun 1969. Itu sebab nama wilayah di sana banyak menggunakan kata ‘baru’ untuk wilayahnya seperti Gonda baru dan Karya Baru.
Ada pula ceita bertutur yang menyebut jika etnik Laporo adalah pengikut setia seorang ksatria di Tanah Buton bernama La Karambau yang dikenal pula sebagai Sultan Himayatuddin Muhammad Saidi – seorang penguasa kesultanan Buton di tahun 1700-an. Ksatria ini bergelar “Baluna Oputa Yikoo” yang kemudian diabadikan sebagai nama Taman Makam Pahlawan di Kota Baubau.
Apakah La Karambau seorang pahlawan? Orang di Buton pasti mengiyakan. Sebab dari sekian Sultan yang pernah bertahta, dialah satu-satunya yang melakukan perlawanan keras bagi bangsa Belanda. Karena tak mau tunduk dengan penjajahan, ia meninggalkan istananya dan memilih berdiam dalam hutan. Dalam sejarah perlawanan La Karambau terkenal dengan peristiwa Pengrusakan Kapal Rust en Werk yang harus dibayar dengan 100 orang budak untuk dipekerjakan tidak dipenuhi pihak kesultanan.La Karambau benar-benar tidak setuju dan hijrah ke hutan. Itu sebab, dalam bahasa lokal Buton disebut sebagai “Oputa Yikoo” – pembesar negeri yang berdiam di hutan.
Pemerintah Kota Baubau sendiri beberapa tahun lalu pernah mengusulkan nama La Karambau atau Sultan Himayatuddin Muhammad Saidi sebagai Pahlawan Nasional dari Buton, namun entah kenapa beluam ada realisasi dari pemerintah pusat. Alasannya macam-macam, padahal segala naskah akademik telah dipersiapkan oleh sejumlah sejarahwan lokal.
Etnik Laporo juga terbilang adaptif dengan kehidupannya. Jika satu tempat tak lagi menjanjikan bagi kehidupannya, maka merantau kerap menjadi pilihan. Maka jangan heran masyarakat Buton yang ada diperantauan seperti di Kalimantan dan di Papua didominasi subenik dari Laporo. Ada yang menulisnya dengan sebutan Cia-cia-Laporo.
Pada kehidupan agrarisnya Laporo begitu menyatu, sebab mereka sangat meyakini bahwa alam adalah pangkal kehidupan. Itu sebab kehidupan bercocok tanam masih menjadi tumpuan utama. Tak sekadar menikmati, mereka juga pandai memberikan penghormatan dan penghargaan pada alam dan Penciptanya, Tuhan Yang Maha Esa. Penghormatan itulah yang disebut Ritual Mata’a.
Prosesi Mata’a tidak berajalan praktis tetapi menggunakan waktu yang cukup lama menjalankan ritual budaya itu. Mata’a di mulai di pagi hari dengan prosesi yang disebunya sebagai ‘Wulesiano Apa” yakni prosesi menyiapkan Baruga (balai pertemuan) yang digunakan sebagai tempat acara.
Sementara sebagaian warga menyiapkan Baruga ini, beberapa tetua adat berkeliling kampung sembari membawa gendang dan gong, untuk mensyarati (mendoakan) wawoni’I (ketupat besar) yang digantung di pojok rumah-rumah penduduk kampung.
Malam harinya kemudian mereka berbondong-bondong berkumpul di Baruga dan melakukan doa dan ritual permohonan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Biasanya hadir pula pembesar-pembesar negeri. Di zaman sekarang tentu kepala daerah, seperti Rabu Malam ini (16/10) di acara Mataa di Klurahan Gonda hadir langsung Wali Kota Baubau, Dr H. AS. Tamrin, MH, anggota DPD-RI, Ir Wa Ode Hamsinah Bolu, M.Sc dan beberapa pejabat di daerah ini.
Sebagai masyarakat agraris, warga Laporo mengenal ritual mengawali musim tanam dan musim panen. Mereka menyebutnya sebagai ‘Mata’a – sebagai perwujudan rasa syukur atas rezeki yang diperoleh sekaligus permohonan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar dijauhkan dari bala bencana. Ini tergambar dari ritual Mataa yang digelar masyarakat Gonda Baru di Kecamatan Sorawolio Kota Baubau – Sulawesi Tenggara, Rabu malam ini, 16 Oktober 2018.
Hamzah Palalloi, ButonMagz – Baubau.
Masyarakat etnik Laporo di Kota Baubau umumnya mendiami beberapa kelurahan di Kecamatan Sorawolio; seperti Bugi, Gonda Baru dan Karya Baru. Laporo dikenal sebagai bagian dari etnis Cia-cia dalam lapis kultur Bangsa Buton. Saya menyebut Buton sebagai bangsa, sebab di dalam masyarakat Buton ditemukan banyak suku-suku yang tak sekadar berbeda budaya, tetapi juga bahasa. Karenanya pernak-pernik budaya begitu kaya di negeri itu.
Dalam beberapa literatur di Kota Baubau menyebutkan jika hadirnya warga etnik Laporo di Kota Baubau ada yang berasal dari migrasi sebagaian penduduk dari Pasarwajo di Kabupaten Buton, dan beberapa diantaranya merupakan program reselement penduduk dari kawasan Lipumangau di perbukitan-perbukitan Selatan Pulau Buton di tahun 1969. Itu sebab nama wilayah di sana banyak menggunakan kata ‘baru’ untuk wilayahnya seperti Gonda baru dan Karya Baru.
Ada pula ceita bertutur yang menyebut jika etnik Laporo adalah pengikut setia seorang ksatria di Tanah Buton bernama La Karambau yang dikenal pula sebagai Sultan Himayatuddin Muhammad Saidi – seorang penguasa kesultanan Buton di tahun 1700-an. Ksatria ini bergelar “Baluna Oputa Yikoo” yang kemudian diabadikan sebagai nama Taman Makam Pahlawan di Kota Baubau.
Apakah La Karambau seorang pahlawan? Orang di Buton pasti mengiyakan. Sebab dari sekian Sultan yang pernah bertahta, dialah satu-satunya yang melakukan perlawanan keras bagi bangsa Belanda. Karena tak mau tunduk dengan penjajahan, ia meninggalkan istananya dan memilih berdiam dalam hutan. Dalam sejarah perlawanan La Karambau terkenal dengan peristiwa Pengrusakan Kapal Rust en Werk yang harus dibayar dengan 100 orang budak untuk dipekerjakan tidak dipenuhi pihak kesultanan.La Karambau benar-benar tidak setuju dan hijrah ke hutan. Itu sebab, dalam bahasa lokal Buton disebut sebagai “Oputa Yikoo” – pembesar negeri yang berdiam di hutan.
Pemerintah Kota Baubau sendiri beberapa tahun lalu pernah mengusulkan nama La Karambau atau Sultan Himayatuddin Muhammad Saidi sebagai Pahlawan Nasional dari Buton, namun entah kenapa beluam ada realisasi dari pemerintah pusat. Alasannya macam-macam, padahal segala naskah akademik telah dipersiapkan oleh sejumlah sejarahwan lokal.
Memang belum ada pembuktian teoritik yang membenarkan jika etnik Laporo adalah pengikut setia La Karambau, tetapi empiriknya menunjukkan banyak kedekatan. Salah satu premisnya adalah etnik Laporo banyak berdomisili di pedalaman dan sekitar kawasan-kawasn hutan di pulau Buton, sementara La Karambau memilih hutan untuk mengasingkan dirinya. Tentu ia tak sendiri dalam perjuangannya. Pasti ada rakyat yang mengikutinya, apalagi yang berdiam di hutan itu adalah seorang junjungan dan Sultan dari sebuah negeri besar. Tetapi ini bukan sebuah pembenaran mutlak. Cara berpikir ini dalam istilah ilmiahnya disebut ‘common sense’.
Etnik Laporo juga terbilang adaptif dengan kehidupannya. Jika satu tempat tak lagi menjanjikan bagi kehidupannya, maka merantau kerap menjadi pilihan. Maka jangan heran masyarakat Buton yang ada diperantauan seperti di Kalimantan dan di Papua didominasi subenik dari Laporo. Ada yang menulisnya dengan sebutan Cia-cia-Laporo.
Pada kehidupan agrarisnya Laporo begitu menyatu, sebab mereka sangat meyakini bahwa alam adalah pangkal kehidupan. Itu sebab kehidupan bercocok tanam masih menjadi tumpuan utama. Tak sekadar menikmati, mereka juga pandai memberikan penghormatan dan penghargaan pada alam dan Penciptanya, Tuhan Yang Maha Esa. Penghormatan itulah yang disebut Ritual Mata’a.
Prosesi Mata’a tidak berajalan praktis tetapi menggunakan waktu yang cukup lama menjalankan ritual budaya itu. Mata’a di mulai di pagi hari dengan prosesi yang disebunya sebagai ‘Wulesiano Apa” yakni prosesi menyiapkan Baruga (balai pertemuan) yang digunakan sebagai tempat acara.
Sementara sebagaian warga menyiapkan Baruga ini, beberapa tetua adat berkeliling kampung sembari membawa gendang dan gong, untuk mensyarati (mendoakan) wawoni’I (ketupat besar) yang digantung di pojok rumah-rumah penduduk kampung.
Malam harinya kemudian mereka berbondong-bondong berkumpul di Baruga dan melakukan doa dan ritual permohonan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Biasanya hadir pula pembesar-pembesar negeri. Di zaman sekarang tentu kepala daerah, seperti Rabu Malam ini (16/10) di acara Mataa di Klurahan Gonda hadir langsung Wali Kota Baubau, Dr H. AS. Tamrin, MH, anggota DPD-RI, Ir Wa Ode Hamsinah Bolu, M.Sc dan beberapa pejabat di daerah ini.
Acara sungguh meriah, sebab ratusan orang berjibun di Baruga ini apalagi mereka juga akan menikmati hasil tanamannya selama ini dengan berbagai panganan kuliner khas Buton, yang diawali dengan doa syukur dan permohonan kepada Allah SWT, agar mereka dijauhkan dari bala bencana. Etnik Laporo juga dikenal sebagai muslim yang taat.
Prosesi Mata’a bukan ritual biasa. Tetamu yang hadir diwajibkan berpakaian sopan, menggunakan peci Islam atau Kampurui (peci khas Buton), pengunjug yang masuk di area Baruga pun tidak boleh merokok ketika prosesi Mataa berlangsung. Intinya ada aturan main yang mengingat dan harus dihormati semua pihak yang datang.
Jika tidak, panitia Mata’a bakal ditegur dan mendapat hukuman secara adat oleh para tetua dan Parabela (pemimpin adat), jika tak mampu memberikan alasan-alasan rasional. “memang diwajibkan bebusana muslim, atau khas Buton, sebagai pengharagaan besar atas budaya Mata’a ini,” ujar seorang panitia.
Parabela sendiri akan melakukan pemantauan, melihat semua sudut Baruga, apakah tetamu sudah siap menjalani prosesi Mata’a atau tidak. Terkadang terdengar seruan-seruan dalam bahasa Laporo yang biasanya berisi sindiran-sindiran, jika ada hal yang kurang tertib dalam acara. “Namun semua disampaikan dalam bahasa daerah Laporo dengan halus, jadi tidak semua tetamu mengerti maknanya. Karena itu, kami biasanya menyampaikan secara santun juga demi hikmadnya Mata;a ini,” ujar panitia itu.
Di acara Mata’a di Gonda ini sebagaimana penyampaian Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika Kota Baubau, H. Idrus Taufiq Saidi, Wali Kota Dr. H. AS. Tamrin, MH menyampaikan banyak pesan kepada warganya, baik berkaitan dengan pemeliharaan adat budaya sebagai asset daerah, pentingnya memelihara semangat kegotong royongan dan ikatan silaturrahmi yang kuat.
Begitu indahnya nilai-nilai budaya masyarakat Buton ini. Sungguh sebuah khazanah kebangsaan yang mewariskan nilai-nilai kemuliaan bagi Bangsa Indonesia pada umumnya.**