Butonmagz, masih dalam proses perbaikan web, bila ada kendala pembacaan informasi mohon permakluman

Hubungan Kerajaan Makassar dengan Kerajaan Buton Abad ke-17 : Dari Sawerigading, Selayar, hingga Karaeng Tunipassulu (Bagian 2)


BUTONMAGZ—Dibagian pertama dikisahkan hubungan kedua kerajaan (mungkin) dimulai dari Kabaena, sebuah pulau di barat Pulau Buton. Pada sesi ini, Syahrir Kila dari Balai Pelestarian Nilai Budaya Sulawesi Selatan menulis jurnal ilmiahnya dengan memasuki pertautan Sawerigading, hubungan dengan Selayar dan kisah seorang Raja Makassar yang kini bermakam di Buton, Karaeng Tunipassulu.

Hanya melalui ceritra itulah sebenarnya, baru kita dapat mengetahui tentang adanya hubungan kekerabatan antara Kerajaan Makassar dan  Kerajaan  Buton yang diperkirakan terjadi pada awal abad ke-17 Masehi. Kemungkinan itu disimpulkan sebab pada saat yang sama Kerajaan Makassar melakukan perluasan wilayah pengaruh kekuasaannya di Sulawesi Selatan, termasuk Sulawesi Tenggara. Hanya saja, tradisi lisan itu tidak menjelaskan dengan rinci siapa anak-anak dari Sawerigading yang pernah memerintah pada tujuh kerajaan yang disebutkan di atas.

 Baca Tulisan Sebelumnya : 

Hubungan Kerajaan Makassar dengan Kerajaan Buton Abad ke-17 : Bermula dari Kabaena? (Bagian I)

Selain itu, kalau seandainya kita menarik garis lurus ke depan, maka tradisi lisan tersebut akan terputus di tengah jalan. Kenapa demikian? Sebab periode antara  munculnya Sawerigading dengan periode kejayaan Kerajaan Makassar terpaut jauh,  yaitu  abad 14 untuk Sawerigading dan awal abad ke-17 untuk Kerajaan Makassar.

Meskipun demikian, kita perlu mengapresiasi ceritra lokal tersebut  sebab setidaknya dapat memberikan suatu gambaran abu-abu tentang adanya hubungan awal antara kedua kerajaan yang menjadi objek kajian ini. Tetapi kita perlu serba hati-hati untuk  menarik kesimpulan tentang adanya hubungan  awal melalui tradisi lisan yang menyangkut  Sawerigading.

Ada kemungkinan bahwa tradisi  lisan itu  muncul ketika Kerajaan Makassar mengadakan perluasan wilayah, dan wilayah   Sulawesi Tenggara khawatir jika kerajaannya menjadi sasaran empuk Kerajaan Makassar  mengingat kerajaan tersebut  kecil dibandingkan dengan besarnya pengaruh Kerajaan Makassar.

Selain hubungan kekerabatan yang  dimaksud tersebut di atas, juga perlu mendapat  perhatian tentang adanya hubungan dengan kerajaan lain selain Kerajaan Makassar.

Hubungan itu adalah dengan kerajaan yang ada di daerah Selayar. Kerajaan Buton mempunyai hubungan dengan kerajaan yang ada di Selayar pada abad ke-16. Hubungan itu terjadi ketika secara politik kerajaan yang ada di Selayar berada di bawah pengaruh kekuasaan Kerajaan Buton pada masa pemerintahan Sultan Kaimuddin  yang lebih dikenal dengan nama Murhum, Sultan Buton pertama (1491-1537). Pada 1527,

Sultan Murhum mengawini putri raja Jampea, di Kalaotoa yang melahirkan seorang anak laki-laki yang diberi nama La Tumparasi yang kemudian menggantikan ayahnya menjadi Sultan Buton II (1545-1552). Selain itu, Sultan Murhum juga mengawini seorang putri Datu Selayar pada 1529, melahirkan seorang putra yang diberi nama La Sangaji yang kemudian menduduki tahta  Kerajaan  Buton yang ketiga 1566-1570 (Makmun, 2011:102-103).

Hubungan KekerabatanHubungan kekerabatan antara Kerajaan Buton dengan Kerajaan Makassar, dapat ditelusuri melalui mithos Sawerigading yang menyatakan bahwa salah seorang anak Sawerigading yang pertama menjadi raja di Kerajaan Makassar, sedangkan anak yang ketujuh menjadi raja di Kerajaan Wolio (Buton).

Ini juga sulit membuktikannya sebab tidak menyebutkan nama raja yang dimaksud, juga periode pemerintahannya. Salah satu data dan keterangan yang memungkinkan terjadinya  hubungan kekerabatan antara keduanya adalah melalui jalur darah dari raja Makassar ke-13 yang bernama I Tepukaraeng Daeng Parabbung (1590-1593) (Mattulada, 2011:41), atau lebih populer dengan sebutan Tunipasulu yang artinya raja yang dikeluarkan.

I Tepukaraeng Daeng Parabbung adalah anak dari raja Makassar ke-12 yang bernama Tunijallo. Baginda baru berusia 15 tahun ketika dinobatkan menjadi raja Makassar, dan hanya dua tahun ia menduduki tahta Kerajaan Makassar, lalu ia dipecat.  Setelah ia dipecat dari kedudukannya, Baginda pergi ke Kerajaan Luwu untuk menetap.

Di tempat inilah  baginda menerima ajaran agama Islam sebagai agamanya. Entah apa yang menyebabkan beliau memilih Kerajaan  Luwu sebagai tempat menetapnya setelah dipecat dari kedudukannya. Yang pasti ketika itu, bahwa Kerajaan Luwu  merupakan kerabat dan sahabat dari Kerajaan Makassar.

Hubungan kekerabatan antara keduanya telah terjalin jauh hari sebelum I Tepukaraeng Daeng Parabbung pergi menetap di sana   (Poelinggomang,dkk.2004:60).  

Persoalan yang menyangkut sebab musabab pemecatannya sebagai raja Makassar adalah prilaku politiknya yang kurang memasyarakat atau berbuat sewenang-wenang dalam menjalankan roda pemerintahan. Banyak perbuatan Baginda yang sewenang-wenang, seperti membunuh orang tanpa melalui proses peradilan, mengganti pejabat-pejabat kerajaan sesuka hatinya walau hal itu bertentangan dengan adat dan kebiasaan yang berlaku.

Perbuatan Baginda itu berdampak terhadap banyaknya orang-orang yang lari atau pergi meninggalkan Makassar, dan menyingkir ke negeri lain. Begitu juga terhadap pedagang Melayu dan Jawa banyak yang pergi meninggalkan Makassar.

Selain itu, Baginda juga menyerang orang-orang  Bone dan Mare’ serta menaklukkan Daeng Marewa di Lakuku, dikalahkannya juga Bulu’loE (Mattulada, 2011:42).

Karya-karya beliau semasa memerintah di Kerajaan Makassar hanya disebutkan bahwa Bagindalah orang pertama yang diangkat sebagai raja Maros oleh orang-orang Maros, raja Makassar yang sekaligus raja Tallo. Baginda juga adalah orang Makassar yang pertama mengenal bedil atau pistol kecil. Baginda juga yang pertama mengenal baju besi, pedang dan keris panjang.

Sementara untuk karya dalam bidang pengembangan  bandar niaga Makassar tidak ada yang dilakukan. Bahkan sebaliknya, hanya membuat orang ketakutan setiap hari, terutama para pedagang yang datang dari negeri lain. Oleh sebab itu, Kerajaan Makassar mengalami kemerosotan, terutama dalam bidang perniagaan (Mattulada, 2011:41-42).

Akibat perbuatan-perbuatannya itulah sehingga beliau kemudian diturunkan dari tahtanya sebagai raja Makassar. Setelah pemecatannya, ia kemudian  dikenal dengan gelar Tunipasulu  artinya raja yang dikeluarkan atau diturunkan dari tahtanya. Setelah dipecat, ia pergi menetap di Luwu dan entah berapa tahun lamanya berada di daerah itu, ia lalu pergi ke Kerajaan Buton untuk menetap.

Tidak diketahui dengan pasti mengapa beliau memilih Kerajaan Buton sebagai tempat menetap setelah pergi meninggalkan Kerajaan Luwu. Dalam berbagai sumber lokal, tidak ditemukan adanya data atau keterangan yang menjelaskan mengapa beliau memilih Kerajaan Buton sebagai tempat menetapnya yang terakhir.

 

Dipilihnya  Kerajaan  Buton untuk mengasingkan diri sebab Kerajaan Buton ketika itu sedang dalam perkembangannya. Apalagi Kerajaan  Buton membutuhkan orang yang mampu bekerja untuk memajukan kerajaannya.  Meskipun  Tunipasulu dikeluarkan atau diturunkan dari tahtanya, namun beliau masih mempunyai pengaruh yang cukup besar, baik di kalangan rakyat Makassar maupun dari kalangan negeri-negeri sahabatnya ketika berkuasa.

Setidaknya, Tunipasulu dapat dijadikan sebagai tameng manakala Kerajaan Makassar hendak menyerang  Kerajaan  Buton yang ketika itu sedang giat-giatnya melakukan perluasan wilayah pengaruh kekuasaan.

Kehadiran Raja Makassar Tunipasulu di Kerajaan  Buton bersama keluarganya, bukan sekedar diberi tumpangan hidup, tetapi beliau bahkan diberi jabatan dalam kerajaan sebagai salah seorang Panglima Perang Kerajaan Buton.

Kalau diperhatikan tahun dimana beliau diturunkan dari tahtanya (1593), maka ada  kemungkinan beliau mulai berada di Kerajaan Buton pada masa pemerintahan Sultan Buton ke-4, yaitu La Elangi (1578-1615). Dan meninggal dunia pada 1617 atau pada masa pemerintahan sultan berikutnya yaitu Sultan La Balowo. (1617-1619). Dan kuburan Tunipasulu yang  terdapat di samping kanan pintu utama Benteng Kraton  Wolio  masih terpelihara dengan baik.

Ini menandakan bahwa ketika itu, Tunipasulu mendapat tempat tersendiri di dalam struktur  Kerajaan Buton. Dari sumber lisan juga diperoleh keterangan bahwa Tunipasulu pernah menikah dengan salah seorang putri bangsawan keraton setelah istrinya yang dibawa dari Makassar  meninggal dunia. Bahkan, beliau mempunyai  seorang anak laki-laki yang dikemudian hari juga diberi jabatan sebagai Panglima Perang.

Untuk menelusuri tentang keluarganya yang  masih hidup di bekas Kerajaan Buton, tidaklah sulit sebab di dalam benteng keraton sendiri masih ada yang mengaku sebagai kerabat beliau. Namun jika ditanyakan bagaimana bentuk hubungan kekeluargaan itu, mereka cuma menjawab bahwa masih kerabat dekat.  Kalau disuruh untuk merunutnya, mereka menyatakan tidak mampu.

Di sinilah faktor kesulitannya untuk menemukan benang merahnya, meskipun diyakini kebenarannya, namun sangat sulit untuk membuktikannya. Oleh sebab itu, data dan keterangan lisan itu dipergunakan begitu saja sebab data dan keterangan bandingan tidak ditemukan. Begitu juga ketika kita ingin mencari pada sumber-sumber yang ada di Sulawesi Selatan. (Bersambung ke Bagian 3)

Posting Komentar

0 Komentar


Memuat...