Butonmagz, masih dalam proses perbaikan web, bila ada kendala pembacaan informasi mohon permakluman

Menelisik Titik SejarahTransimigrasi Warga Ke Tanah Papua

Musyawarah Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) di Fakfak tahun 1969. Doc. ANRI
BUTONMAGZ---Papua belakangan ini terasa tak nyaman, aksi demosntrasi berujung pembakaran, hingga suara referendum mulai menggema. Padahal Papua telah menjadi wilayah NKRI seutuhnya. Sebaran penduduk pun dengan cara transmigrasi telah berjalan sejak lama, bahkan migrasi warga se Nusantara ke pulau itu boleh di kata hilir mudik setiap harinya. Papua adalah Indonesia.

Lalu bagaimana sejarah transimigrasi ke Tanah Papua khususnya penduduk yang berasal dari Pulau Jawa? Tulisan Indira Ardanareswari dari Laman Tirto.ID patut dibaca.

Niccolò Machiavelli menuliskan dalam bukunya yang termasyur, The Prince, bahwa pemindahan penduduk adalah salah satu cara terbaik untuk mengontrol sebuah wilayah. Cara ini dinilai lebih efektif dan murah ketimbang mengirimkan pasukan untuk menjaga wilayah koloni.

Teori Machiavelli sangat tepat menggambarkan kesulitan orang-orang Belanda menjamah tanah Papua sejak paruh kedua abad ke-19. Pemerintah kolonial tidak memiliki cukup dana untuk melakukan ekspansi ke ujung timur Nusantara, kendati mendapat tekanan agar segera memperluas wilayah jajahan. Guna mengatasi hal tersebut, maka dimulailah program kolonisasi dengan memindahkan penduduk dari Jawa, pusat pemerintahan kolonial, ke Papua.

Berdasarkan catatan H.W. Bachtiar dalam “Sejah Irian Jaya” yang terangkum dalam buku Irian Jaya: Membangun Masyarakat Majemuk (1993, hlm. 56) hasil suntingan Koentjaraningrat, diketahui pada 1903, asisten residen Belanda di Merauke ditugasimempersiapkan daerahnya sebagai tujuan program kolonisasi. Dua tahun kemudian, misionaris Katolik turut serta dalam program ini dengan mengumpulkan sebanyak mungkin bahan keterangan mengenai bahasa dan adat istiadat penduduk lokal.

Papua bukan satu-satunya daerah tujuan program kolonisasi pemerintah Hindia Belanda. Pada bulan November 1905, Asisten Residen Sukabumi H.G. Heyting turut memberangkatkan sebanyak 155 kepala keluarga asal Jawa ke Gedong Tataan, Lampung. Mereka dikenal sebagai orang-orang Jawa pertama yang berpindah atas sponsor pemerintah.

Catatan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi RI dalam Transmigrasi Masa Doeloe, Kini dan Harapan Kedepan (2015) menunjukan bahwa program rintisan pemerintah kolonial kemudian dihidupkan kembali pada 12 Desember 1950. Nama transmigrasi dipilih pemerintah Indonesia karena dinilai lebih nasionalis dan bebas dari kesan penjajahan.

Namun, hakikatnya, pemerintah Indonesia hanya meneruskan warisan kebijakan orang-orang Belanda mengurai kepadatan penduduk di Jawa ke pulau seberang. Adapun daerah-daerah tujuan transmigrasi pertama pemerintah RI kala itu lebih sering membidik wilayah-wilayah dengan potensi pertanian. Namun, Papua Barat bukan salah satunya.

Papua Barat, seperti yang dituturkan Loekman Soetrisno dalam kumpulan tulisan Transmigrasi di Indonesia 1905-1985 (1985, hlm. 118), baru dijadikan tujuan transmigrasi pemerintah pada 1964. Alasannya: pemerintah merasa sudah tidak ada lagi wilayah yang lebih ideal dijadikan tujuan transmigrasi ketimbang Papua Barat.

Transmigrasi di Tengah Konflik Papua

Menjadikan Papua sebagai daerah tujuan transmigrasi pada 1964 menimbulkan beragam tanya. Perlu diketahui sejak 1961, pemerintah RI sedang gencar-gencarnya melakukan perlawanan terhadap Belanda yang ingin membentuk negara Papua Barat terlepas dari Indonesia.

Keinginan untuk menggagalkan kekuasaan Belanda di atas tanah Papua kemudian memaksa Sukarno mengeluarkan Trikora yang isinya dengan tegas menentang pembentukan negara boneka Papua.

Pada 1963, Menteri Luar Negeri Soebandrio mengatakan bahwa orang Jawa tidak akan mengkolonisasi Papua Barat. Lebih jauh ia merinci, Papua tidak akan dijadikan tujuan program transmigrasi yang sudah digalakkn pemerintah Indonesia sejak 1950-an. Demikian ditulis John Saltford dalam The United Nations and the Indonesian Takeover of West Papua, 1962-1969 (2003, hlm. 77).

Meskipun begitu, masih mengutip Saltford, tidak bisa dipungkiri orang-orang Jawa sudah banyak yang mendiami Papua Barat pada saat itu. Selain berkat program kolonisasi 60 tahun silam, kedatangan mereka diakomodasi oleh kelompok-kelompok partikelir Belanda sebelum kemerdekaan. Setidaknya ada sekitar 16.000 orang dari Jawa dan Sulawesi yang sudah berdiam di beberapa kota utama Papua.

Satu tahun kemudian, janji Soebandrio tinggal omong kosong. Saltford mengutip surat pernyataan perwakilan diplomatik Australia yang menyebut gelombang perpindahan penduduk dari Jawa ke Papua Barat. Laporan lain yang dikutip Saltford menyatakan mereka menemui beragam kesulitan, khususnya masalah pengadaan lahan dan rumah.

Hal serupa juga dipaparkan dalam buku Pananganan Program Transmigrasi di Irian Jawa: Suatu Pendekatan Kesejahteraan dan Kemanusiaan (1984, hlm. 4). Menurut isinya, pada 1964, Kodam Cendrawasih menyaksikan kedatangan transmigran dari Jawa ke Jayapura dan Merauke. Jumlahnya sekitar 1.000 jiwa yang terbagi menjadi 267 kepala keluarga.

Mengindonesiakan Papua

Konsensus dalam Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada 1969 secara resmi memasukkan Papua Barat ke dalam Indonesia. Namun, kondisi yang berangsur baik ini disusul permasalahan baru. Gelombang transmigrasi terarah dalam jumlah tinggi melalui Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) justru memicu kecemburuan sosial.

Esther Heidbüchel dalam bukunya The West Papua Conflict in Indonesia: Actors, Issues and Approaches (2007, hlm. 44) menyebut sebagian rakyat setempat menganggap pemerintah pusat berusaha merebut tanah mereka dengan cara mengindonesiakan tanah Papua berserta isinya melalui program transmigrasi.

Pemerintah Orde Baru, lanjut Heidbüchel dianggap secara sepihak menetapkan standar hidup berdasarkan kebudayaan dan cara hidup orang Jawa. Buku-buku sekolah, tata cara menanam padi, bahkan pembangunan rumah semuanya mengikuti apa yang ada di Jawa. Belum lagi, transmigran asal Jawa yang tiba di wilayah rintisan di Papua Barat selalu mendapat posisi yang lebih unggul ketimbang masyarakat lokal.

“Transmigran umumnya bermukim di kota-kota baru yang berbatasan dengan Papua Nugini, sementara mereka yang pindah ke Papua atas kesadaran sendiri lebih banyak berdiam di perkotaan. Mereka adalah tenaga-tenaga yang disukai untuk jabatan di kantor-kantor dan perusahaan,” tulis Heidbüchel.

Kembali mengutip catatan Loekman Soetrisno, sejak 1969, jumlah orang Jawa yang berpartisipasi dalam program transmigrasi jumlahnya selalu naik. Melalui Repelita I sampai II, pemerintah Orde Baru tercatat berhasil menempatkan tidak kurang dari 41.701 transmigran yang terbagi menjadi 9.916 kepala keluarga (hlm. 119).

Dalam Repelita IV yang dimulai pada 1984, jumlah tersebut melompat menjadi 137.800 kepala keluarga. Sebagian besar transmigran datang dari etnis Jawa, Buton, Bugis, dan Makassar. Untuk menghidupi pendatang sebanyak itu, harus membuka lahan seluas 689.000 ha.

Sejak Januari 1985, sejumlah akademisi secara halus mulai mendesak pemerintah untuk mengurangi jumlah transmigran ke wilayah Papua Barat. Tim gabungan dari P3PK Universitas Gadjah Mada dan Lembaga Pendidikan Perkebunan Yogyakarta sempat mengadakan peninjauan lokasi dan seminar yang membahas permasalahan tersebut. Akan tetapi, Menteri Transmigrasi Martono menolak usulan tim gabungan.

“Pemerintah tidak akan mengurangi pengiriman transmigrasi ke Irian Jaya, bahkan akan meningkatkan namun pelaksanaannya akan dilakukan lebih hati-hati untuk menghindarkan konflik sosial antara pendatang dengan penduduk asli,” kata Martono, seperti dikutip Sabam Siagian dalam “Kita dan Papua Nugini: Masa Depan Bersama” dari Buletin Antara (25/2/1985).

Tulisan Sabam Siagian dalam buku kenang-kenangan Ali Moertopo, Sekar Semerbak (1985, hlm. 157), itu juga menyinggung transmigrasi dipercaya dapat mendorong tahap kemajuan penduduk Papua Barat, sesuai dengan tujuan dari program transmigrasi itu sendiri, yakni memeratakan pembangunan, meningkatkan kesejahteraan, dan mengukuhkan persatuan.

Program transmigrasi orang Jawa ke Papua Barat kenyataannya tidak bisa jauh dari nama Soeharto. Satu tahun setelah Presiden RI ke-2 itu lengser, program transmigrasi ini efektif dihentikan. Pemerintah Provinsi Papua menyebut gelombang transmigran terakhir yang ditempatkan di wilayah itu terdiri dari 78.000 kepala keluarga. (Indira)

Posting Komentar

0 Komentar



  • Asal Usul Nama Sulawesi dan Sebutan Celebes
    Lukisan tentang kehidupan masyarakat Sulawesi Selatan pada abad ke-16. (Tropenmuseum, part of the National Museum of World Cultures)BUTONMAGZ--Sulawesi dan Celebes merupakan pulau terbesar kesebelas di dunia. Menurut data Sensus 2020, penduduknya mencapai kurang dari 20 juta jiwa, yang tersebar di...
  • Tragedi Sejarah Lebaran Kedua di Tahun 1830
    Diponegoro (mengenakan surban dan berkuda) bersama pasukannya tengah beristirahat di tepian Sungai Progo.BUTONMAGZ---Hari ini penanggalan islam menunjukkan 2 Syawal 143 Hijriah, dalam tradisi budaya Islam di Indonesia dikenal istilah 'Lebaran kedua',  situasi dimana semua orang saling...
  • Kilas sejarah singkat, Sultan Buton ke-4 : Sultan Dayyanu Ikhsanuddin
    Apollonius Schotte (ilustrasi-Wikipedia)BUTONMAGZ—Tulisan ini merupakan bagian dari jurnal Rismawidiawati – Peneliti pada Kantor Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Makassar, dengan judul  Sultan La Elangi (1578-1615) (The Archaeological Tomb of the Pioneers “Martabat Tujuh” in the Sultanate...
  • Peranan Politik Sultan Mardan Ali di Kesultanan Buton (Bagian 3)
    Pulau Sagori (kini wilayah Bombana) yang banyak menyimpan cerita zaman Kesultanan ButonBUTONMAGZ---Tulisan ini disadur dari Jurnal Ilmiah berjudul ‘Peranan Sultan Mardan Ali di Kesultanan Buton: 1647-1657M, yang ditulis Asniati, Syahrun, La Ode Marhini dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Halu...
  • Mengenal Pribadi Sultan Mardan Ali. Sultan Buton yang dihukum Mati (Bagian 2)
    Pulau Makasar di Kota BaubauBUTONMAGZ---Tulisan ini disadur dari Jurnal Ilmiah berjudul ‘Peranan Sultan Mardan Ali di Kesultanan Buton: 1647-1657M, yang ditulis Asniati, Syahrun, La Ode Marhini dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Halu Oleo Kendari.Di bagian pertama menjelaskan tentang profil awal...
  • Mengenal sosok Sultan Mardan Ali. Sultan Buton yang dihukum Mati (Bagian I)
    Makam Sultan Mardan Ali 'Oputa Yi Gogoli'  (foto rabani Unair Zone)BUTONMAGZ--- cerita tentang kepemimpinan raja dan sultan di Buton masa lalu menjadi catatan tersendiri dalam sejarah masyarakat Buton kendati literasi tentang itu masih jarang ditemukan. Salah satu kisah yang menarik adalah...
  • Sejarah Kedaulatan Buton dalam Catatan Prof. Susanto Zuhdi
    foto bertahun 1938 dari nijkmusem.dd----8 April 1906, Residen Belanda untuk Sulawesi, Johan Brugman (1851–1916), memperoleh tanda tangan atas kontrak baru dengan Sultan Aidil Rakhim (bernama asli Muhamad Asyikin, bertakhta 1906–1911) dari keluarga Tapi-tapi setelah satu minggu berada di...
  • Perdana Menteri Negara Indonesia Timur Kelahiran Buton, Siapa Dia?
    Nadjamuddin Daeng MalewaBUTONMAGZ---Tak banyak yang mengenal nama tokoh ini di negeri Buton, namun di Makassar hingga politik ibu kota masa pergerakan kemerdekaan, nama ini dikenal sebagai sosok politis dengan banyak karakter. Namanya Nadjamuddin Daeng Malewa, lahir di Buton pada tahun 1907. Ia...

  • Inovasi di Desa Kulati - Wakatobi, Sulap Sampah Jadi Solar
    BUTONAMGZ---Kabupaten Wakatobi yang terkenal dengan keindahan surga bawah lautnya, ternyata memiliki sebuah desa yang berbeda dengan daerah lainnya di Indonesia, dimana dihuni oleh masyarakat yang sangat sadar akan pentingnya menjaga lingkungan hidup.Daerah ini bernama Desa Kulati yang mayoritas...
  • Repihan Tradisi dan Sejarah di Kepulauan Pandai Besi - Wakatobi
    BUTONMAGZ---Kepulauan Pandai Besi adalah julukan untuk empat pulau besar dan sejumlah pulau kecil lain di ujung tenggara Pulau Buton, Sulawesi Tenggara. Penamaan itu diberikan pada masa Hindia Belanda karena kepandaian masyarakatnya dalam pembuatan senjata tradisional berbentuk keris dan peralatan...
  • Tari Lariangi - Kaledupa; Tarian Penyambutan dengan Nuansa Magis
    Penari Lariangi. (Dokumen Foto La Yusrie)BUTONMAGZ---Kepulauan Buton tak hanya kaya dengan kesejarahan dan maritim, budaya seninya pun memukau. Salah satunya Tari Lariangi yang berasal dari Kaledupa Kabupaten Wakatobi – Sulawesi Tenggara saat ini.Melihat langsung tarian ini, magisnya sungguh terasa...
  • KaTa Kreatif 2022: Potensi 21 Kabupaten/Kota Kreatif Terpilih. Wakatobi terpilih!
    Wakatobi WaveBUTONMAGZ--Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Kepala Badan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Uno, secara resmi membuka kick off KaTa Kreatif 2022 pada Januari lalu. Di dalam program ini terdapat 21 Kabupaten/Kota Kreatif Terpilih dari total 64 Kabupaten/Kota yang ikut serta.KaTa Kreatif...
  • Tiga Lintasan Baru ASDP di Wakatobi Segera Dibuka
    BUTONMAGZ---Sebanyak tiga lintasan baru Angkutan, Sungai, Danau, dan Penyeberangan (ASDP) Cabang Baubau di Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara, segera dibuka menyusul telah disiapkannya satu unit kapal untuk dioperasikan di daerah itu. Manager Usaha PT ASDP Cabang Baubau, Supriadi, di Baubau,...
  • La Ola, Tokoh Nasionalis dari Wakatobi (Buton) - Pembawa Berita Proklamasi Kemerdekaan Dari Jawa.
    BUTONMAGZ—Dari sederet nama besar dari Sulawesi Tenggara yang terlibat dalam proses penyebaran informasi Proklamasi Kemerdekaan RI pada tanggal 17 Agustus 1945. Ada satu nama yang (seolah) tenggelam dalam sejarah.  Di adalah La Ola. Nama La Ola terekam dalam buku berjudul “Sejarah Berita...
  • Jatuh Bangun dan Tantangan bagi Nelayan Pembudidaya Rumput Laut di Wakatobi
    ilustrasi : petani rumput laut BUTONMAGZ---Gugusan Kepulauan Wakatobi di Sulawesi Tenggara terdiri dari 97 persen lautan dan hanya 3 persen daratan. Dari 142 pulau-pulau kecil, hanya 7 pulau yang berpenghuni manusia. Saat ini pariwisata bahari menjadi andalan pendapatan perkapita masyarakat di...
  • Kaombo, Menjaga Alam dengan Kearifan Lokal
    BUTONMAGZ--Terdapat sebuah kearifan lokal di masyarakat Kepulauan Buton pada umumnya. Di Pulau Binongko - Wakatobi misalnya, oleh masyarakat setempat kearifan ini digunakan untuk menjaga kelestarian alam. Mereka menyebutnya tradisi kaombo, yakni sebuah larangan mengeksploitasi sumber daya alam di...