Gempa yang mengguncang Palu dan sekitarnya yang diikuti dengan tsunami di hari Jumat Magrib kemarin, 28 September 2018 tentu mengagetkan dan membuat pilu Nusantara, sebelumnya di Poso pada 31 Juli 2018. Di publikasi pihak teknis, jika penyebabnya karena retakan sesar gempa aktif yang dikenal dengan nama sesar Palu-Koro.
Meski Kota Palu dikelilingi oleh bentangan alam yang memikat, namun di bagian tengah lembah itu tersembunyi sebuah jejak memanjang, dari Kota Palu ke arah selatan, dikenal dengan nama Sesar (patahan) Palu-Koro, salah satu sesar gempa teraktif di dunia.
Beragam kajian geologi dan analisis kegempaan menyebutkan, panjang keseluruhan jalur sesar Palu Koro sekira 500 km. Sesar ini memotong Kota Palu hampir tegak lurus mengarah dari utara ke selatan. Jalur Sesar Palu Koro di daratan mempunyai panjang kurang lebih 250 km, membelah tengah Kota Palu, mengikuti alur Sungai Palu, sampai ke selatan melewati Kecamatan Kulawi, Desa Gimpu dan Desa Gintu di Kabupaten Sigi, hingga berakhir di Teluk Bone.
Menyimak status kegempaannya yang sangat aktif, bisa dibilang Sesar Palu Koro membawa eksotisme bentang alam namun bersembunyi pula kekhawatiran besar. Beragam catatan sejarah sekian dekade silam merekam bagaimana dampak gempa besar dengan skala di atas >7 skala richter pernah menjadi cerita duka. Cerita yang dikisahkan ulang turun temurun dari generasi ke generasi. Cerita tentang gempa yang menggoyang semua rumah, membuat ambruk rumah-rumah.
Bahkan cerita tentang gempa besar yang lantas memicu gelombang pasang besar, biasa dikenal dengan tsunami. Warga lokal di sepanjang Sesar Palu Koro mengenalnya dengan nama: Air Laut Berdiri.
Jejak gempa besar dari sesar Palu Koro
Bagi peneliti geologi, Pulau Sulawesi adalah keunikan bentang alam yang tersembunyi. Percaya atau tidak, fakta ilmiah menyatakan proses geologi yang begitu rumit dan kompleks selama puluhan juta tahun telah membentuk Pulau Sulawesi menyerupai huruf K. Sekian puluh juta tahun silam, Sulawesi hanyalah berupa empat pulau mengapung. Kemudian pulau itu bergerak menjadi satu.
Empat pulau mengapung itu bergerak dalam pergerakan sentimeter per tahun. Pergerakannya dibawa oleh tiga lempeng besar yakni Lempeng Eurasia, Lempeng Indo-Australia dan Lempeng Pasifik. Juga dipengaruhi oleh pergerakan lempeng Filipina yang lebih kecil dari arah Timur Laut.
Rumit dan kompleksnya proses tektonik pembentukan Pulau Sulawesi ini pula yang akhirnya menyebabkan terbentuknya sesar yang merobek dan melintang-lintang di Pulau Sulawesi. Ilmu geologi masa kini mengenal setidaknya ada 9 sesar terbesar yang membuat Sulawesi dikepung oleh gempa. Sesar tersebut meliputi Sesar Palu Koro, Sesar Poso, Sesar Matano, Sesar Lawanopo, Sesar Walanae, Sesar Gorontalo, Sesar Batui, Sesar Tolo, dan Sesar Makassar.
Seorang ahli Geolog dari LIPI, Danny Hilman pernah mengatakan, Sesar Palu Koro dan Sesar Matano menyimpan energi guncangan gempa yang besar. “Rambatan gempa yang diakibatkan pergerakan Sesar Palu Koro dan Sesar Matano sudah berada di level tertinggi. Setara dengan akselerasi gravitasi 0,6 G. Kalau sudah 0,6 G levelnya sudah sangat parah,” kata Danny.
Membuka lagi catatan sejarah gempa-gempa besar yang terjadi di Pulau Sulawesi, banyak gempa besar tercatat diakibatkan oleh pergerakan Sesar Palu Koro. Misalnya tahun 1828 silam, sesar Palu Koro pernah mengguncangkan Sulawesi Tengah dan sekitarnya dengan kekuatan 7,9 SR, kala itu korban meninggal tidak pernah tercatat, namun cerita masyarakat turun temurun menyebut jumlah korban yang tidak sedikit.
Setelah seismograf ditemukan dan ilmu tentang gempa bumi mulai berkembang, catatan gempa di sekitar sesar Palu Koro terekam lebih detail. Tepat 90 tahun silam, atau tepatnya tanggal 1 Bulan Desember tahun 1927, di tengah laut sebelah barat Kota Palu dan Donggala, gempa besar mengguncang. Hikayat masyarakat lokal Palu mengenang kala itu air laut sampai naik setinggi kurang lebih 15 meter. “Saat itu, masyarakat lokal turun temurun berkata, air laut berdiri,” ungkap Abdullah, seorang peneliti gempa bumi dari Jurusan Fisika, Fakultas MIPA Universitas Tadulako.
Ada pula catatan gempa besar di tahun 1938 dengan episentrum di daratan sekitar Kecamatan Kulawi. Gempa Palu Koro tahun 1938 terekam seismograf pada skala guncangan 7,9 skala richter. Lalu berselang 30 tahun berikutnya, di tanggal 15 Agustus tahun 1968 sesar Palu Koro kembali menimbulkan gempa besar setara dengan 7,4 skala richter. Episentrumnya berada di wilayah Pantai Barat Kabupaten Donggala. Gempa tahun 1968 kembali memunculkan tsunami besar setinggi 10 meter.
Historis gempa paling dekat yang terekam berupa guncangan Sesar Palu Koro di tahun 1996 (7,9 skala richter), juga di tahun 2012 kemarin dengan skala 6,1 skala richter dengan episentrum di dekat Danau Lindu, Kabupaten Sigi.
**
SELAMA ribuan tahun, berbagai peradaban silih berganti mendiaminya. Kerawanan yang tinggi terhadap gempa membuat kita mesti menengok kembali wilayah ini sembari menggali kearifan-kearifan dalam hal penanggulangan bencana dari masa lalu dan memetik hal-hal baik yang relevan untuk kemaslahatan masa kini. Dan di atas semua itu: menjaga keselamatan manusia beserta warisan peradaban di sekitarnya.
Provinsi Sulawesi Tengah terdiri dari 12 suku bangsa yaitu Kaili, Pamona, Saluan, Banggai, Pipikoro, Napu-Bada, Mori, Bungku, Tomimi, Toli-Toli, Buoi, dan Balantak. Setiap suku bangsa tersebut menyebar dan mendiami wilayah geografis yang berbeda seperti pesisir pantai, lembah dan dataran tinggi.
Dari 12 suku bangsa tersebut 5 diantaranya terlintasi sesar aktif Palu Koro, yaitu suku bangsa Kaili, Pamona, Pipikoro, Napu-Bada, dan Toli-Toli. Keanekaragaman wilayah sebaran pemukiman mencirikan arsitektur rumah tradisional yang berbeda-beda menjadi identitas budaya dan jejak peradaban pada masa lalu. Miniatur bangunan rumah tradisional di pesisir pantai, lembah dan dataran tinggi berbeda-beda dan dapat dilihat di museum daerah.
Semua rumah tradisional merupakan rekonstruksi bangunan tahan gempa dan adaptasi dengan lingkungan alam yang ditempatinya. Saat ini jarang ditemukan masyarakat yang masih mempertahankan rumah tradisional sebagian sudah berganti dengan konstruksi rumah gaya modern. Namun suku bangsa Kulawi masih mempertahankan tradisi budaya dan arsitektur tradisional yang disebut rumah adat Lobo.
Ikhsam, wakil kepala museum daerah Provinsi Sulawesi Selatan, menyampaikan bahwa persepsi gempa diyakini oleh masyarakat tradisional ada dua, yaitu gempa kecil ditandai sebagai tanda leluhur akan datang dan tanda memperkuat tulang bumi, sedangkan gempa dengan kekuatan besar ditandai sebagai bentuk cobaan atau ujian dan sarana intropeksi diri, yang kemudian disusul dengan menyelenggarakan ritual atau upacara adat Linu.
Upacara adat Linu atau gempa bumi dilaksanakan sesudah terjadi gempa bumi, karena adanya kepercayaan bahwa penguasa tanah menjadi marah akibat perlakukan manusia yang tidak baik. Ritual yang dilakukan oleh suku Kulawi pada masa lampau merupakan pemujaan terhadap Karampua Ntana (penguasa tanah) dan Karampua Langi (penguasa langit), dengan tujuan memohon perlindungan dari malapetaka dan sebagai ucapan syukur atas perlindungan yang diberikan oleh dewa-dewa. Ritual tradisi ini masih dipelihara hingga saat ini terakhir gempa 2012, seluruh warga yang merasakan gempa khususnya Kulawi menggelar upacara adat Linu.
Persepsi lain yang berkembang selain gempa sebuah peristiwa alam yang mendatangkan bencana, bagi warga di sekitar Danau Lindu disyukuri sebagai berkah. Gempa dengan kekuatan M 6,2 SR pada 18 Agustus 2012, menggoncang kuat dan dekat pusat gempa, mendatangkan berkah karena akses jalan menjadi tersambung yang sebelumnya tidak dapat terakses karena masuk dalam kawasan Taman Nasional.
Menurut Nurdin, salah seorang tokoh adat di situ, setelah jalan dibangun perkembangan desa menjadi pesat, akses kendaraan beroda empat dapat melintas dan akses jaringan telekomunikasi. Pendapat lain dari saksi hidup, seorang warga di Donggala, Ibu Erna (usia 65 tahun) menceritakan pengalaman gempa besar yang pernah dialami semasa hidupnya, terjadi pada malam hari hampir seluruh warga di pantai lari menuju bukit dan bermalam hingga esok pagi. Waktu kejadian tidak dingatnya dengan persis tapi teringat tahun 1996 saat anaknya lahir dan data sejarah kejadian gempa mencatat tahun yang sama yaitu 1996 terjadi di pantai Barat dengan kekuatan M. 7,6 SR.
Selain peristiwa gempa lokal yang dialami, peristiwa tsunami 2004 di Aceh juga membawa perubahan wawasan tentang kebencanaan bagi seluruh warga pesisir pantai di Indonesia, khususnya bagi Sulawesi Tengah. Karena Berselang 20 hari dari kejadian tsunami Aceh terjadi gempa yang cukup besar dengan kekuatan M 6,4 SR sebagian warga pesisir mengira gempa akan disusul tsunami seperti yang mereka saksikan tsunami Aceh melalui berita televisi.
Persepsi dan pengetahuan masyarakat berdasarkan cerita rakyat atau mitologi, serta pengalaman kejadian bencana yang pernah dialami langsung atau diceritakan kembali secara turun temurun, perlu ditelusuri lebih mendalam. Jejak pengetahuan lokal tentang gempa selama survei awal ditemukan jejak pengetahuannya, namun untuk tsunami masih perlu pendalaman khususnya di wilayah pesisir barat Sulawesi Tengah.
Sesar aktif Palu Koro tidak banyak dikenal keberadaannya oleh masyarakat setempat saat ini, namun rekaman jejaknya masih tersimpan dalam ingatan kolektif masyarakat pendahulu dan bukti peradaban yang sebagian sudah ditinggalkan. Ekspedisi Palu-Koro yang akan dilaksanakan pada Agustus-September 2017 bertujuan membangunkan kembali ingatan, sejarah peradaban, dan kesiapsiagaan akan ancaman sesar Palu-Koro yang menurut para ilmuwan sudah jatuh tempo siklus pengulangannya.
Meski Kota Palu dikelilingi oleh bentangan alam yang memikat, namun di bagian tengah lembah itu tersembunyi sebuah jejak memanjang, dari Kota Palu ke arah selatan, dikenal dengan nama Sesar (patahan) Palu-Koro, salah satu sesar gempa teraktif di dunia.
Beragam kajian geologi dan analisis kegempaan menyebutkan, panjang keseluruhan jalur sesar Palu Koro sekira 500 km. Sesar ini memotong Kota Palu hampir tegak lurus mengarah dari utara ke selatan. Jalur Sesar Palu Koro di daratan mempunyai panjang kurang lebih 250 km, membelah tengah Kota Palu, mengikuti alur Sungai Palu, sampai ke selatan melewati Kecamatan Kulawi, Desa Gimpu dan Desa Gintu di Kabupaten Sigi, hingga berakhir di Teluk Bone.
Menyimak status kegempaannya yang sangat aktif, bisa dibilang Sesar Palu Koro membawa eksotisme bentang alam namun bersembunyi pula kekhawatiran besar. Beragam catatan sejarah sekian dekade silam merekam bagaimana dampak gempa besar dengan skala di atas >7 skala richter pernah menjadi cerita duka. Cerita yang dikisahkan ulang turun temurun dari generasi ke generasi. Cerita tentang gempa yang menggoyang semua rumah, membuat ambruk rumah-rumah.
Bahkan cerita tentang gempa besar yang lantas memicu gelombang pasang besar, biasa dikenal dengan tsunami. Warga lokal di sepanjang Sesar Palu Koro mengenalnya dengan nama: Air Laut Berdiri.
Jejak gempa besar dari sesar Palu Koro
Bagi peneliti geologi, Pulau Sulawesi adalah keunikan bentang alam yang tersembunyi. Percaya atau tidak, fakta ilmiah menyatakan proses geologi yang begitu rumit dan kompleks selama puluhan juta tahun telah membentuk Pulau Sulawesi menyerupai huruf K. Sekian puluh juta tahun silam, Sulawesi hanyalah berupa empat pulau mengapung. Kemudian pulau itu bergerak menjadi satu.
Empat pulau mengapung itu bergerak dalam pergerakan sentimeter per tahun. Pergerakannya dibawa oleh tiga lempeng besar yakni Lempeng Eurasia, Lempeng Indo-Australia dan Lempeng Pasifik. Juga dipengaruhi oleh pergerakan lempeng Filipina yang lebih kecil dari arah Timur Laut.
Rumit dan kompleksnya proses tektonik pembentukan Pulau Sulawesi ini pula yang akhirnya menyebabkan terbentuknya sesar yang merobek dan melintang-lintang di Pulau Sulawesi. Ilmu geologi masa kini mengenal setidaknya ada 9 sesar terbesar yang membuat Sulawesi dikepung oleh gempa. Sesar tersebut meliputi Sesar Palu Koro, Sesar Poso, Sesar Matano, Sesar Lawanopo, Sesar Walanae, Sesar Gorontalo, Sesar Batui, Sesar Tolo, dan Sesar Makassar.
Seorang ahli Geolog dari LIPI, Danny Hilman pernah mengatakan, Sesar Palu Koro dan Sesar Matano menyimpan energi guncangan gempa yang besar. “Rambatan gempa yang diakibatkan pergerakan Sesar Palu Koro dan Sesar Matano sudah berada di level tertinggi. Setara dengan akselerasi gravitasi 0,6 G. Kalau sudah 0,6 G levelnya sudah sangat parah,” kata Danny.
Membuka lagi catatan sejarah gempa-gempa besar yang terjadi di Pulau Sulawesi, banyak gempa besar tercatat diakibatkan oleh pergerakan Sesar Palu Koro. Misalnya tahun 1828 silam, sesar Palu Koro pernah mengguncangkan Sulawesi Tengah dan sekitarnya dengan kekuatan 7,9 SR, kala itu korban meninggal tidak pernah tercatat, namun cerita masyarakat turun temurun menyebut jumlah korban yang tidak sedikit.
Setelah seismograf ditemukan dan ilmu tentang gempa bumi mulai berkembang, catatan gempa di sekitar sesar Palu Koro terekam lebih detail. Tepat 90 tahun silam, atau tepatnya tanggal 1 Bulan Desember tahun 1927, di tengah laut sebelah barat Kota Palu dan Donggala, gempa besar mengguncang. Hikayat masyarakat lokal Palu mengenang kala itu air laut sampai naik setinggi kurang lebih 15 meter. “Saat itu, masyarakat lokal turun temurun berkata, air laut berdiri,” ungkap Abdullah, seorang peneliti gempa bumi dari Jurusan Fisika, Fakultas MIPA Universitas Tadulako.
Ada pula catatan gempa besar di tahun 1938 dengan episentrum di daratan sekitar Kecamatan Kulawi. Gempa Palu Koro tahun 1938 terekam seismograf pada skala guncangan 7,9 skala richter. Lalu berselang 30 tahun berikutnya, di tanggal 15 Agustus tahun 1968 sesar Palu Koro kembali menimbulkan gempa besar setara dengan 7,4 skala richter. Episentrumnya berada di wilayah Pantai Barat Kabupaten Donggala. Gempa tahun 1968 kembali memunculkan tsunami besar setinggi 10 meter.
Historis gempa paling dekat yang terekam berupa guncangan Sesar Palu Koro di tahun 1996 (7,9 skala richter), juga di tahun 2012 kemarin dengan skala 6,1 skala richter dengan episentrum di dekat Danau Lindu, Kabupaten Sigi.
**
SELAMA ribuan tahun, berbagai peradaban silih berganti mendiaminya. Kerawanan yang tinggi terhadap gempa membuat kita mesti menengok kembali wilayah ini sembari menggali kearifan-kearifan dalam hal penanggulangan bencana dari masa lalu dan memetik hal-hal baik yang relevan untuk kemaslahatan masa kini. Dan di atas semua itu: menjaga keselamatan manusia beserta warisan peradaban di sekitarnya.
Provinsi Sulawesi Tengah terdiri dari 12 suku bangsa yaitu Kaili, Pamona, Saluan, Banggai, Pipikoro, Napu-Bada, Mori, Bungku, Tomimi, Toli-Toli, Buoi, dan Balantak. Setiap suku bangsa tersebut menyebar dan mendiami wilayah geografis yang berbeda seperti pesisir pantai, lembah dan dataran tinggi.
Dari 12 suku bangsa tersebut 5 diantaranya terlintasi sesar aktif Palu Koro, yaitu suku bangsa Kaili, Pamona, Pipikoro, Napu-Bada, dan Toli-Toli. Keanekaragaman wilayah sebaran pemukiman mencirikan arsitektur rumah tradisional yang berbeda-beda menjadi identitas budaya dan jejak peradaban pada masa lalu. Miniatur bangunan rumah tradisional di pesisir pantai, lembah dan dataran tinggi berbeda-beda dan dapat dilihat di museum daerah.
Semua rumah tradisional merupakan rekonstruksi bangunan tahan gempa dan adaptasi dengan lingkungan alam yang ditempatinya. Saat ini jarang ditemukan masyarakat yang masih mempertahankan rumah tradisional sebagian sudah berganti dengan konstruksi rumah gaya modern. Namun suku bangsa Kulawi masih mempertahankan tradisi budaya dan arsitektur tradisional yang disebut rumah adat Lobo.
Ikhsam, wakil kepala museum daerah Provinsi Sulawesi Selatan, menyampaikan bahwa persepsi gempa diyakini oleh masyarakat tradisional ada dua, yaitu gempa kecil ditandai sebagai tanda leluhur akan datang dan tanda memperkuat tulang bumi, sedangkan gempa dengan kekuatan besar ditandai sebagai bentuk cobaan atau ujian dan sarana intropeksi diri, yang kemudian disusul dengan menyelenggarakan ritual atau upacara adat Linu.
Upacara adat Linu atau gempa bumi dilaksanakan sesudah terjadi gempa bumi, karena adanya kepercayaan bahwa penguasa tanah menjadi marah akibat perlakukan manusia yang tidak baik. Ritual yang dilakukan oleh suku Kulawi pada masa lampau merupakan pemujaan terhadap Karampua Ntana (penguasa tanah) dan Karampua Langi (penguasa langit), dengan tujuan memohon perlindungan dari malapetaka dan sebagai ucapan syukur atas perlindungan yang diberikan oleh dewa-dewa. Ritual tradisi ini masih dipelihara hingga saat ini terakhir gempa 2012, seluruh warga yang merasakan gempa khususnya Kulawi menggelar upacara adat Linu.
Persepsi lain yang berkembang selain gempa sebuah peristiwa alam yang mendatangkan bencana, bagi warga di sekitar Danau Lindu disyukuri sebagai berkah. Gempa dengan kekuatan M 6,2 SR pada 18 Agustus 2012, menggoncang kuat dan dekat pusat gempa, mendatangkan berkah karena akses jalan menjadi tersambung yang sebelumnya tidak dapat terakses karena masuk dalam kawasan Taman Nasional.
Menurut Nurdin, salah seorang tokoh adat di situ, setelah jalan dibangun perkembangan desa menjadi pesat, akses kendaraan beroda empat dapat melintas dan akses jaringan telekomunikasi. Pendapat lain dari saksi hidup, seorang warga di Donggala, Ibu Erna (usia 65 tahun) menceritakan pengalaman gempa besar yang pernah dialami semasa hidupnya, terjadi pada malam hari hampir seluruh warga di pantai lari menuju bukit dan bermalam hingga esok pagi. Waktu kejadian tidak dingatnya dengan persis tapi teringat tahun 1996 saat anaknya lahir dan data sejarah kejadian gempa mencatat tahun yang sama yaitu 1996 terjadi di pantai Barat dengan kekuatan M. 7,6 SR.
Selain peristiwa gempa lokal yang dialami, peristiwa tsunami 2004 di Aceh juga membawa perubahan wawasan tentang kebencanaan bagi seluruh warga pesisir pantai di Indonesia, khususnya bagi Sulawesi Tengah. Karena Berselang 20 hari dari kejadian tsunami Aceh terjadi gempa yang cukup besar dengan kekuatan M 6,4 SR sebagian warga pesisir mengira gempa akan disusul tsunami seperti yang mereka saksikan tsunami Aceh melalui berita televisi.
Persepsi dan pengetahuan masyarakat berdasarkan cerita rakyat atau mitologi, serta pengalaman kejadian bencana yang pernah dialami langsung atau diceritakan kembali secara turun temurun, perlu ditelusuri lebih mendalam. Jejak pengetahuan lokal tentang gempa selama survei awal ditemukan jejak pengetahuannya, namun untuk tsunami masih perlu pendalaman khususnya di wilayah pesisir barat Sulawesi Tengah.
Sesar aktif Palu Koro tidak banyak dikenal keberadaannya oleh masyarakat setempat saat ini, namun rekaman jejaknya masih tersimpan dalam ingatan kolektif masyarakat pendahulu dan bukti peradaban yang sebagian sudah ditinggalkan. Ekspedisi Palu-Koro yang akan dilaksanakan pada Agustus-September 2017 bertujuan membangunkan kembali ingatan, sejarah peradaban, dan kesiapsiagaan akan ancaman sesar Palu-Koro yang menurut para ilmuwan sudah jatuh tempo siklus pengulangannya.
**
Warisan dari Lembah Bada
Lembah bada merupakan salah satu lembah dari 3 lembah yang ada di Sulawesi Tengah yang memiliki jejak peninggalan situs megalitik, sebaran lainnya berada di lembah Napu dan lembah Besoa. Lembah Bada berada di dataran tinggi yang dikelilingi oleh perbukitan dan persawahan yang dekat dengan pemukiman penduduk disekitarnya. Secara administrasi Lembah Bada masuk dalam wilayah Kecamatan Lore Selatan dan Lore Barat. Mata pencaharian masyarakat di Lembah Bada pada umumnya petani, pegawai negeri, dan wiraswasta. Sepanjang perjalanan menuju situs dari desa Pada terlihat hamparan kawasan persawahan dan perkebunan kakao atau coklat.
Sebaran situs-situs megalitik terpusat di kawasan Lembah Lore, yang menyebar ke wilayah Lembah Bada, Lembah Napu dan Lembah Besoa. Iksam seorang Arkeolog yang telah lama melakukan penelitian arkeologi dan sebagai wakil museum daerah Provinsi Sulawesi Tengah, menjelaskan bahwa usia situs-situs megalitik variasi antara 2000 – 4000 tahun yang lalu. Lembah Besoa memiliki ketinggian 1200 mdpl dan usia situs berkisar 3000-4000 tahun yang lalu. Sementara Lembah Bada dan Lembah Napu memiliki ketinggian sekitar 1000-1200 mdpl, memiliki usia berkisar 2000 tahun yang lalu. Selama perjalanan menelusuri situs-situs megalitik tim didampingi oleh Syarif (staf pemandu dari dinas pariwisata dan kebudayaan).
Berikut jenis-jenis bentuk situs megalitik dari Lembah Bada, antara lain:
Warisan dari Lembah Bada
Lembah bada merupakan salah satu lembah dari 3 lembah yang ada di Sulawesi Tengah yang memiliki jejak peninggalan situs megalitik, sebaran lainnya berada di lembah Napu dan lembah Besoa. Lembah Bada berada di dataran tinggi yang dikelilingi oleh perbukitan dan persawahan yang dekat dengan pemukiman penduduk disekitarnya. Secara administrasi Lembah Bada masuk dalam wilayah Kecamatan Lore Selatan dan Lore Barat. Mata pencaharian masyarakat di Lembah Bada pada umumnya petani, pegawai negeri, dan wiraswasta. Sepanjang perjalanan menuju situs dari desa Pada terlihat hamparan kawasan persawahan dan perkebunan kakao atau coklat.
Sebaran situs-situs megalitik terpusat di kawasan Lembah Lore, yang menyebar ke wilayah Lembah Bada, Lembah Napu dan Lembah Besoa. Iksam seorang Arkeolog yang telah lama melakukan penelitian arkeologi dan sebagai wakil museum daerah Provinsi Sulawesi Tengah, menjelaskan bahwa usia situs-situs megalitik variasi antara 2000 – 4000 tahun yang lalu. Lembah Besoa memiliki ketinggian 1200 mdpl dan usia situs berkisar 3000-4000 tahun yang lalu. Sementara Lembah Bada dan Lembah Napu memiliki ketinggian sekitar 1000-1200 mdpl, memiliki usia berkisar 2000 tahun yang lalu. Selama perjalanan menelusuri situs-situs megalitik tim didampingi oleh Syarif (staf pemandu dari dinas pariwisata dan kebudayaan).
Berikut jenis-jenis bentuk situs megalitik dari Lembah Bada, antara lain:
- Arca Menhir merupakan patung atau arca yang biasanya dibuat menyerupai bentuk manusia, walaupun penggambarannya berbeda-beda. Ada yang secara utuh dari kaki hingga kepala, badan hingga kepala, dan yang hanya bagian kepalanya saja. Bagian wajah tergambarkan bagian mata, hidung, mulut dan Gender sebagian arca menhir dapat diketahui jelas jenis alat kelaminnya. Umumnya arca menhir dibuat untuk kepentingan pemujaan terhadap arwah leluhur, dan sebagai perwujudan dari arwah nenek moyang yang telah meninggal. Penggambaran bagian tubuh dimaksudkan untuk menghindari pengaruh jahat.
- Kalamba merupakan peninggalan megalitik yang khas berbentuk silinder. Pada umumnya kalamba terdiri dari dua bagian yaitu bagian wadah dan Wadah merupakan bongkahan batu besar yang sengaja dibentuk bulat lonjong dengan lubang dibagian tengahnya. Pada bagian tutup kalamba berbentuk bulat melingkar dan terdapat tonjolan di bagian tengah. Sebagian Kalamba di Lembah Bada tidak ada penutup, dan sebagian pecah.
- Batu dakon merupakan sebuah batu yang biasanya berbentuk tidak beraturan meskipun terkadang berbentuk bulat, lonjong atau bentuk lainnya dimana terdapat lubang pada bagian permukaannya. Jumlah lubang bervariasi mulai dari satu hingga berjumlah banyak dan pada umumnya berbentuk bulat tetapi juga ditemukan dalam bentuk lain seperti persegi, lonjong atau Fungsi batu ini berkaitan dengan upacara kematian, sebagai contoh di Sulawesi Selatan yang digunakan sebagai permainan ketika menunggu jika ada yang meninggal.
- 4. Lumpang batu atau lesung batu adalah salah satu peninggalan megalitik yang pada bagian permukaanya cenderung datar dan terdapat satu lubang atau lebih. Ukuran lubang baik diameter maupun kedalaman biasanya lebih besar dibandingkan dengan ukuran lubang pada batu dakon. Fungsi praktis dari lumping ini adalah untuk menumbuk biji-bijian selain juga berfungsi sebagai benda religious yang digunakan sebagai sarana.
- Menurut ahli geologi, batu-batu tersebut memiliki jenis batu yang sama yaitu granit. Granit adalah salah satu batuan beku yang kuat atau keras, untuk memahat atau mengukir batu tersebut harus dengan jenis batuan yang sama kuat atau lebih kuat dari granit. Sebagian besar posisi-posisi batuan tersebut tidak pada posisi yang stabil atau berdiri tegak. Ada bagian yang miring, terpecah-belah dan tertelungkup atau tertidur serta ada juga yang terpencar jauh berada di daerah yang lebih rendah dekat dengan sungai kecil. Kemudian menjadi sebuah pertanyaan besar apakah pernah ada kejadian yang luar biasa pada masa lalu, sebuah kejadian yang mampu mengguncang kuat sehingga batu-batu tersebut bergeser.
(Dari berbagai sumber)