BUTONMAGZ--- Kopi kini telah menjajal kehidupan dan budaya orang Indonesia, di mana-mana berdiri warung kopi hingga merasuk ke level high, di mall-mall hingga cafetaria. Kopi selalu menjadi ciri khas yang selalu merayu untuk dinikmati. Ada Kopi Aceh, Kopi Toraja, dan kopi-kopi impor lainnya.
Tetapi di Sulawesi Tenggara, khususnya Buton – terdapat jenis kopi lokal yang mulai dikenal pangsa pasar di daerah ini, namanya Kopi Kaoengke-ongkea. Sesuai namanya, ia berasal dari Desa Kaongkeongkea, Kecamatn. Pasarwajo, Kabupaten Buton. Merupakan sebuah desa dengan topografi pegunungan dengan pepohonan yang lebat dan udara yang dingin.
Desa ini dihuni oleh 191 KK yang terdiri dari 742 Jiwa, memiliki Luas Wilayah -/+ 900 Km2, ketinggian Wilayah mencapai 341 meter dpl dan berada pada titik koordinat Latitude/Lintang: -5.471148 dan Longitude/Bujur: 122.75465
Kopi Kaongke-ongkea mulai menjajal penikmat kopi Nusantara. Ada yang dijual dalam kemasan dan kerap menjadi oleh-oleh bagi tamu-tamu luar daerah. Kopi ini bagi penikmatnya memiliki cita rasa yang berbeda dengan kopi lain pada umumnya, yaitu pada aromanya. Ketika kopi dituangkan dengan air panas, bau harum sudah mulai tercium dari kejauhan dan nikmat ketika dicicipi.
Dalam sejarahnya, Kopi Kaongke-ongkea merupakan keberhasilan produk pertanian pemerintah kabupaten Buton di Kaongkeongkea sejak tahun 1950-an yang diperkenalkan oleh bapak Abdul Karim, seorang Pegawai pertanian yang membawa bibit kopi dan menanamnya di lahan pertanian dengan luas lahan -/+ 3 Hektar yang berlokasi di Kaongkeongkea.
Hingga pada tahun 1960 sampai 1970-an bibit kopi yang banyak terdapat di lahan Pertanian Kaongkeongkea tersebut berangsur angsur ditanami masyarakat di lahan masing-masing dan masyarakat juga mulai mengenal dan mengonsumsi minuman kopi sebagai minuman keseharian.
Pada tahun 1980-an usaha perkebunan kopi masyarakat kaongkeongkea telah membuahkan hasil yang melimpah ruah dimana tidak hanya sebagai konsumsi pribadi masyarakat, namun mereka mulai memperkenalkan dan memperjual belikan hasil perkebunan kopi mereka di Pasar Tua Kaongkeongkea kepada Para pedangang lokal untuk diangkut dan dijual lagi ke Kota Baubau, dan masyarakat Buton secara luaspun mulai mengenal dan meminati kopi asli Kaongkeongkea tersebut.
Menurut beberapa pedagang lokal sekaligus memiliki kebun kopi di Desa Kaongkeongkea, seperti Bapak La Nuhu, bahwa ditahun 1987 dalam 4 hari sekali mampu mengumpulkan 2 ton biji Kopi masyarakat Kaongkeongkea, dan pada masyarakat dengan penghasilan biji kopi tertinggi dalam setahun adalah bapak La Kiri dengan hasil biji Kopi pertahun sebesar 1,8 ton dan berikutnya dan terus meningkat dari tahun ke tahun.
Diperkirakan hasil biji kopi pertahun masyarakat kaongkeongkea ditahun 1987 hingga memasuki tahun 1990-an mencapai -/+ 50 ton/tahun.
Meskipun penghasilan biji kopi/tahun masyarakat kaongkeongkea senantiasa dipengaruhi oleh cuaca dan curah hujan, namun Perkebunan kopi Kaongkeongkea terus berkembang dan telah mampu menopang perekonomian masyarakat setempat. Hingga sekitar tahun 2000-an penghasilan kopi masyarakat kaongkeongkea terus menurun diakibatkan penyakit mati Pucuk dan hingga kini belum menemukan solusi dari penyakit tersebut.
Namun, Kopi Asli Kaongkeongkea tersebut semakin diperkenalkan di tingkat Nasional maupun Internasional, saat ini kopi Kaongkeongkea sedang dalam proses sertifikasi (IG).
Menurut Pangkalan Data Kekayaan Intelektual, Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual, Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia, terdapat beberapa jenis Kopi Terbaik Indonesia yang sedang dalam proses Sertifikasi Identifikasi Geografis :
Tetapi di Sulawesi Tenggara, khususnya Buton – terdapat jenis kopi lokal yang mulai dikenal pangsa pasar di daerah ini, namanya Kopi Kaoengke-ongkea. Sesuai namanya, ia berasal dari Desa Kaongkeongkea, Kecamatn. Pasarwajo, Kabupaten Buton. Merupakan sebuah desa dengan topografi pegunungan dengan pepohonan yang lebat dan udara yang dingin.
Desa ini dihuni oleh 191 KK yang terdiri dari 742 Jiwa, memiliki Luas Wilayah -/+ 900 Km2, ketinggian Wilayah mencapai 341 meter dpl dan berada pada titik koordinat Latitude/Lintang: -5.471148 dan Longitude/Bujur: 122.75465
Kopi Kaongke-ongkea mulai menjajal penikmat kopi Nusantara. Ada yang dijual dalam kemasan dan kerap menjadi oleh-oleh bagi tamu-tamu luar daerah. Kopi ini bagi penikmatnya memiliki cita rasa yang berbeda dengan kopi lain pada umumnya, yaitu pada aromanya. Ketika kopi dituangkan dengan air panas, bau harum sudah mulai tercium dari kejauhan dan nikmat ketika dicicipi.
Dalam sejarahnya, Kopi Kaongke-ongkea merupakan keberhasilan produk pertanian pemerintah kabupaten Buton di Kaongkeongkea sejak tahun 1950-an yang diperkenalkan oleh bapak Abdul Karim, seorang Pegawai pertanian yang membawa bibit kopi dan menanamnya di lahan pertanian dengan luas lahan -/+ 3 Hektar yang berlokasi di Kaongkeongkea.
Hingga pada tahun 1960 sampai 1970-an bibit kopi yang banyak terdapat di lahan Pertanian Kaongkeongkea tersebut berangsur angsur ditanami masyarakat di lahan masing-masing dan masyarakat juga mulai mengenal dan mengonsumsi minuman kopi sebagai minuman keseharian.
Pada tahun 1980-an usaha perkebunan kopi masyarakat kaongkeongkea telah membuahkan hasil yang melimpah ruah dimana tidak hanya sebagai konsumsi pribadi masyarakat, namun mereka mulai memperkenalkan dan memperjual belikan hasil perkebunan kopi mereka di Pasar Tua Kaongkeongkea kepada Para pedangang lokal untuk diangkut dan dijual lagi ke Kota Baubau, dan masyarakat Buton secara luaspun mulai mengenal dan meminati kopi asli Kaongkeongkea tersebut.
Menurut beberapa pedagang lokal sekaligus memiliki kebun kopi di Desa Kaongkeongkea, seperti Bapak La Nuhu, bahwa ditahun 1987 dalam 4 hari sekali mampu mengumpulkan 2 ton biji Kopi masyarakat Kaongkeongkea, dan pada masyarakat dengan penghasilan biji kopi tertinggi dalam setahun adalah bapak La Kiri dengan hasil biji Kopi pertahun sebesar 1,8 ton dan berikutnya dan terus meningkat dari tahun ke tahun.
Diperkirakan hasil biji kopi pertahun masyarakat kaongkeongkea ditahun 1987 hingga memasuki tahun 1990-an mencapai -/+ 50 ton/tahun.
Meskipun penghasilan biji kopi/tahun masyarakat kaongkeongkea senantiasa dipengaruhi oleh cuaca dan curah hujan, namun Perkebunan kopi Kaongkeongkea terus berkembang dan telah mampu menopang perekonomian masyarakat setempat. Hingga sekitar tahun 2000-an penghasilan kopi masyarakat kaongkeongkea terus menurun diakibatkan penyakit mati Pucuk dan hingga kini belum menemukan solusi dari penyakit tersebut.
Namun, Kopi Asli Kaongkeongkea tersebut semakin diperkenalkan di tingkat Nasional maupun Internasional, saat ini kopi Kaongkeongkea sedang dalam proses sertifikasi (IG).
Menurut Pangkalan Data Kekayaan Intelektual, Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual, Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia, terdapat beberapa jenis Kopi Terbaik Indonesia yang sedang dalam proses Sertifikasi Identifikasi Geografis :
- Kopi Arabika Minang Solok, Jorong Data, Kanagarian Aie Dingin, Kecamatan Lembah Gumanti, Kabupaten Solok, Sumatera Barat.
- Kopi Arabika Sipirok, Desa Janji Mauli, Kecamatan Sipirok, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara.
- Kopi Arabika Flores Manggarai, Bangkanekang, Kec. Langke Rembong, Kab. Manggarai, Flores Nusa Tenggara Timur NTT.
- Kopi Arabika Pulo Samosir, Hatoguan, Kecamatan Palipi, Kabupaten Samosir, Sumatera Utara,
- Kopi Robusta Temanggung, Malebo, Kecamatan Kandangan, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah.
- Kopi Robusta Empat Lawang, Sungai Payang, Tebing Tinggi, Kabupaten Empat Lawang, Sumatera Selatan,
- Kopi Robusta Sidikalang, Kabupaten Dairi, Sumatera Utara,
- Kopi Robusta Tabanan Bali,
- Kopi Kaongkeongkea Buton Sulawesi Tenggara
Indikasi Geografis (IG) adalah sebuah sertifikasi dilindungi oleh undang-undang, yang digunakan pada barang dan/atau produk tertentu yang sesuai dengan lokasi geografis tertentu atau asal.
Sertifikat IG dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI), Kementerian Hukum dan HAM.
IG juga dapat diartikan sebagai suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang dan/atau produk yang karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia, atau kombinasi dari kedua faktor tersebut, memberikan reputasi dan kualitas, dan karakteristik tertentu pada barang dan/atau produk yang dihasilkan.
Untuk itu, diperlukan dukungan & pembinaan dari semua pihak yang terkait, khususnya lingkup perkebunan untuk mempercepat diperolehnya sertifikasi IG dari produk perkebunan yang memiliki kualitas dan ciri khas. Dengan harapan, produk-produk perkebunan dapat bersaing di pasar global. (Rajabhasanain)
0 Komentar