![]() |
Baoe Baoe, Boeton, 1920 (troppen) |
BUTONMAGZ—Tak bisa disangkal Kota Baubau. memang kota tua Sulawesi Tenggara yang menyimpan banyak catatan sejarah. Di masa pemerintahan Hindia Belanda, kota ini telah menjadi perkotaan modern dengan dinamika politik yang dinamis.
Sebuah catatan perjalanan Baubau terekam dalam Jurnal berjudul ‘The Politics and Economin Two Towns: Baubau and Kendari in 1950s-1960s’, yang ditulis La Ode Rabani, Bambang Purwanto, Sri Margana, dari Departemen Sejarah -Universitas Gadjah Mada – revisi tahun 2020. Berikut petikan sejarahnya.
Periode akhir dari Negara Indonesia Timur (NIT) dan Republik Indonesia Serikat (RIS) ditandai dengan integrasi wilayahnya ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Integrasi itu membawa beberapa perubahan, di antaranya pada penamaan daerah. Nama Afdeeling diganti dengan daerah, sehingga Afdeeling menjadi Pemerintah Daerah, seperti Sulawesi Selatan yang dikepalai oleh gubernur.
Perubahan lain yang terjadi adalah tugas controleur di bekas onderafdeeling digantikan oleh Pamong Praja yang saat itu disebut dengan Kepala Pemerintahan Negeri (KPN). Onderafdeeling selanjutnya disebut dengan daerah kawedanan.
Untuk Afdeeling Boeton en Laiwoei menjadi Pemerintah Daerah Buton dan Laiwui. Situasi itu terus berlanjut hingga masa-masa kemudian. Faktor politik sangat dominan memengaruhi perkembangan dan perluasan Kota Baubau.
Kota itu mengalami perkembangan berarti ketika masih dibawah kekuasaan pemerintah Hindia Belanda. Pada tahun 1922, kota Baubau mengalami perluasan dan perbaikan secara ekologis. Saluran air diperbaiki dan diperlancar dengan pembuatan gorong-gorong yang terhubung langsung dengan laut.
Perbaikan ini dilakukan sebagai upaya pemberantasan penyakit Malaria yang selalu mengancam kesehatan warga Kota Baubau. Perbaikan ekologi kota Baubau di lakukan pemerintah bersama warga kota di bawah komando van Hasselt, seorang warga Sumatra Utara (Staten-Generaal 1923, Hofdstuck J:16).
Van Hasselt melakukan perbaikan ekologi dan lanskapkota dengan tujuan utama perbaikan tata kota dan lingkungan guna menurunkan penderita penyakit malaria di Kota Baubau pada tahun 1922 dengan merujuk pada pola yang sama seperti yang dilakukan di Kota Sibolga di Pantai Barat Sumatra yang dikomandoi Vogel di tahun 1916.
Proyek perbaikan lingkungan kota ini melibatkan penduduk Baubau dan sekitarnya yang didorong oleh lahirnya kesadaran masyarakat untuk memberantas malaria di Baubau dan sekitarnya. Dampak dari perbaikan ini sangat signifikan menurunkan penderta malaria, dibanding periode yang sama dengan tahun sebelumnya. Selain itu, tata kota menjadi teratur, jaringan jalan lebih baik, lingkungan kota tidak lagi menjadi sarang nyamuk malaria, dan lingkungan lebih bersih (Staten-Generaal 1924)
Kota Baubau mengalami kemunduran perkembangan dan pergeseran ketika kota itu diwarnai oleh perubahan politik dan dikontrol kekuasaan yang kuat oleh pemerintah Indonesia. Lemahnya kontrol dan melemahnya kekuasaan sultan pada pascakemerdekaan serta banyaknya konflik yang mewarnai dinamika internal kota telah menghambat laju perkembangan fisik kota.
Hanya saja di sisi lain, kota menjadi lebih hidup dan suasana kota makin terasa dengan munculnya gairah demokrasi dalam kota. Tokoh-tokoh lokal mulai muncul untuk mencoba merespons perubahan situasi di dalam kota yang diwarnai oleh arus kebebasan termasuk mempertanyakan kelangsungan dan pergantian kekuasaan untuk mengontrol masyarakatnya pada tingkat lokal. (zah)