LIGA dangdut (Lida) kedua mulai digelar jumat besok, 11 Januari 2019. Media-media mainstream fokus ‘menjual’ Wa Ode Mardiana. Tetapi itu cukup beralasan, sebab Mardiana memang memiliki suara merdu, lebih-lebih ia berasal dari keluarga dengan latar belakang yang teramat sederhana; anak yatim – dibesarkan dari seorang ibu yang kesehariannya menjual sayur di Pasar Wameo, dan cerita lain yang membuat banyak orang bersimpati padanya.
Di balik kebesaran nama Mardiana, ternyata masih ada talenta lain yang juga akan berlaga di kontes dangdut terbesar Tanah Air. Namanya Rendy Sabara, pemuda Lombe - Buton Tengah, yang di audisi juga sebagai wakil Baubau, yang kemudian bersama Mardiana menjadi duta Sulawesi Tenggara di ajang ini.
Arti kata, dua wakil Sultra di Lida II ternyata remaja-remaja terbaik asal Buton. Karenanya warga Kepulauan Buton juga harus bisa mendukung Randy Sabara, seperti halnya mendukung Mardiana.
Memang belum ada informasi lengkap diperoleh Butonmagz tentang sosok Randy Sabara, kendati media ini sudah berusaha menghubungi via media sosial milik Randy. Namun yang pasti, ia bersama Wa Ode Mardiana, telah menjadi cermin talenta seni anak-anak Buton di kancah nasional.
Randy dan Mardiana seolah menjadi simbol fenomena puncak gunung es dari potensi besar anak-anak Buton yang berbakat dan bertalenta di pentas seni, seperti halnya seniornya – Fildan Rahayu, yang kini telah menjadi pedangdut kawakan dengan banyak prestasi, baik di level nasional hingga Asia. Belum lagi pesohor Arie Keriting, Raim Laode dan banyak lainnya – sungguh sebuah gambaran, jika Buton tak hanya kaya dengan budaya sejarah, tetapi di dunia pentas seni yang berkaliber.
Dewan Kesenian Buton?
Dari cerita ini, rasa-rasanya menjadi penting melahirkan wadah, untuk menghimpun bakat-bakat generasi muda Buton di bidang kesenian. Sebab di balik nama besar Fildan, Ari Keriting, Raim Laode, Wa Ode Mardiana an Randy Sabara – tentu masih banyak anak-anak muda potensi dan berbakat yang mampu berkompetisi di level nasional.
Wadah itu rasanya tak berlebihan muda jika pemerintah daerah menggagas lahirnya Dewan Kesenian Buton – atau entah apa namanya, yang sekiranya menjadi ruang besar untuk menghimpun bakat-bakat itu. sebab seni juga menjadi salah satu alan pintas mempopulerkan nama daerah.
Sebagai literatur, di beberapa daerah di Tanah Air, pembentukan dewan kesenian daerah didahului dengan pembentukan Forum Kebudayaan Daerah, umumnya secara teknis difasilitasi dinas pendidikan dan kebudayaan. Tetapi ada juga yang langsung membentuk dewan kesenian dimaksud. Dewan kesenian adalah bagian pemenuhan kewajiban pemerintah daerah dalam memberikan standar pelayanan minimal untuk masyarakat.
Sengkarut Dewan KesenianTEMPO pada medio Mei 2016 penah merilis sengkarut tentang kehadiran dewan kesenian ini. setidaknya menceritakan hubungan dewan kesenian dengan birokrasi masih diwarnai dengan berbagai ketegangan di sejumlah daerah.
Sebagian birokrat menganggap dewan kesenian merupakan subordinasi pemerintah. Padahal sesungguhnya dewan kesenian adalah mitra dari pemerintah. “Kerap kali keberadaan dewan kesenian di berbagai kota adalah keliru tafsir,” kata perupa Puguh Waruju dalam pemeritaan TEMPO tersebut.
Menurut Puguh, di berbagai daerah banyak sekali pihak yang kurang paham bahwa dewan kesenian memiliki posisi yang jelas dalam legalitas, mekanisme operasional, hingga perumusan program kerja dan penganggarannya. Ia mengkritik persepsi birokrasi bidang kebudayaan yang menempatkan dewan kesenian sebagai bawahan mereka.
“Dewan kesenian itu wadah berpikir merumuskan kajian yang dapat menjadi inspirasi dan masukan pada kebijakan pemerintah. Bukan mendapatkan jatah pementasan dan melaksanakan program Dinas Kebudayaan,” ujar Sekretaris Jenderal Dewan Kesenian Depok ini.
Dewan kesenian, menurut Puguh, tugas utamanya adalah menyediakan diri untuk memantau setiap denyut nadi kehidupan seni-budaya, memberikan amatan, analisis, dan simpulan, masukan, pembinaan, dan mengajak para seniman untuk memikirkan berbagai hal dalam konteks kesenian dan kebudayaan. (ref)