![]() |
Monumen Dr. Fukeyo Sujita di Palabusa |
TAK BANYAK yang tahu jika budidaya mutiara yang ada di Kelurahan Palabusa, Kecamatan Lea-lea Kota Baubau di Pulau Buton (Sulawesi Tenggara) merupakan usaha budidaya mutiara yang pertama dan tertua di Indonesia. Hal itu terungkap dalam berbagai literaratur berkait budidaya Mutiara di dunia.
Telusur Butonmagz di pelbagai sumber resmi menyebutkan budidaya mutiara di dunia dimulai di tahun 1916 oleh seorang berkebangsaan Jepang bernama bernama Kokichi Mikimoto (1858-1954), dikenal pula sebagai penemu metode budidaya mutiara pertama di dunia. Namanya diabadikan menjadi tempat wisata terkenal di bernama Mikimoto Pearl Island di Jepang.
Upaya Kokichi Mikimoto menginspirasi generasi berikutnya. Adalah di tahun 1918 oleh Dr. Sukeyo Fujita memperoleh ijin untuk melakukan penelitian dan percobaan budidaya mutiara dari Pemerintah Hindia Belanda di Pulau Buton, Sulawesi Tenggara, atau lebih tepatnya kini di Palabusa-Kota Baubau
Awalnya Dr. Sukeyo Fujita tidak berhasil namun memasuki tahun 1928 ia bekerja sama dengan Mitsubishi Corporation. Setelah bekerja sama dengan Mitsubishi Corporation akhirnya Dr. Sukeyo Fujita berhasil. Ia mampu memanen 8.000 sampai 10.000 butir mutiara pertahun antara tahu 1928 sampai 1932. Mutiara yang mereka panen berukuran 8 mm sampai 10 mm. Penemuan mutiara yang ditemukan oleh Dr. Sukeyo Fujita inlah yang membuat mutiara di Indonesia di kenal dengan sebutan Indonesia South Sea Pearl.
Telusur Butonmagz di pelbagai sumber resmi menyebutkan budidaya mutiara di dunia dimulai di tahun 1916 oleh seorang berkebangsaan Jepang bernama bernama Kokichi Mikimoto (1858-1954), dikenal pula sebagai penemu metode budidaya mutiara pertama di dunia. Namanya diabadikan menjadi tempat wisata terkenal di bernama Mikimoto Pearl Island di Jepang.
Upaya Kokichi Mikimoto menginspirasi generasi berikutnya. Adalah di tahun 1918 oleh Dr. Sukeyo Fujita memperoleh ijin untuk melakukan penelitian dan percobaan budidaya mutiara dari Pemerintah Hindia Belanda di Pulau Buton, Sulawesi Tenggara, atau lebih tepatnya kini di Palabusa-Kota Baubau
Awalnya Dr. Sukeyo Fujita tidak berhasil namun memasuki tahun 1928 ia bekerja sama dengan Mitsubishi Corporation. Setelah bekerja sama dengan Mitsubishi Corporation akhirnya Dr. Sukeyo Fujita berhasil. Ia mampu memanen 8.000 sampai 10.000 butir mutiara pertahun antara tahu 1928 sampai 1932. Mutiara yang mereka panen berukuran 8 mm sampai 10 mm. Penemuan mutiara yang ditemukan oleh Dr. Sukeyo Fujita inlah yang membuat mutiara di Indonesia di kenal dengan sebutan Indonesia South Sea Pearl.
![]() |
Dr. Fukeyo Sujita |
Ini merupakan keberhasilan karena pada saat itu perusahaan budidaya mutiara terkenal di jepang bernama Akoya hanya sekitar 5 mm. Fujita melakukan usahanya hingga tahun 1941 yang kemudian di tutup oleh pemerintahan militer Jepang karena PD II.
Entah kapan Dr. Sukeyo Fujita mengalihkan usahanya ke orang lain, namun kini Budidaya Mutiara di Palabusa masih tetap bertahan dan di kelola oleh PT. Selat Buton. Namun pengelola di sana masih merawat sebuah monumen ‘Dr. Sukeyo Fujita, yang lokasinya hanya beberapa meter dari perkantoran PT. Selat Buton.
Hanya, ketika Anda hendak ke kawasan ini tentu berbeda dengan memasuki kawasan lain pada umumnya. Kawasan perkantoran dan pembudidayaan luasnya kira 4 hekto are dan dikelilingi pagar tembok keliling dengan penjagaan sekurity. Baru bisa leluasa ke sana, jika ada kegiatan-kegiatan pemerintahan daerah, yang umumnya menyempatkan mengunjungi kawasan ini.
Bangunan-bangunan di sana terbangun dalam konstruksi semi permanen yang menghadap indahnya panorama laut Selat Buton yang di apit oleh Pulau Buton dan Pulau Muna. Di dalam bangunan itu juga terdapat foto-foto budi daya mutiara, yang bisa bercerita tentang sejarah kehadiran Mutiara di Buton atau Baubau khususnya.
Entah kapan Dr. Sukeyo Fujita mengalihkan usahanya ke orang lain, namun kini Budidaya Mutiara di Palabusa masih tetap bertahan dan di kelola oleh PT. Selat Buton. Namun pengelola di sana masih merawat sebuah monumen ‘Dr. Sukeyo Fujita, yang lokasinya hanya beberapa meter dari perkantoran PT. Selat Buton.
Hanya, ketika Anda hendak ke kawasan ini tentu berbeda dengan memasuki kawasan lain pada umumnya. Kawasan perkantoran dan pembudidayaan luasnya kira 4 hekto are dan dikelilingi pagar tembok keliling dengan penjagaan sekurity. Baru bisa leluasa ke sana, jika ada kegiatan-kegiatan pemerintahan daerah, yang umumnya menyempatkan mengunjungi kawasan ini.
Bangunan-bangunan di sana terbangun dalam konstruksi semi permanen yang menghadap indahnya panorama laut Selat Buton yang di apit oleh Pulau Buton dan Pulau Muna. Di dalam bangunan itu juga terdapat foto-foto budi daya mutiara, yang bisa bercerita tentang sejarah kehadiran Mutiara di Buton atau Baubau khususnya.
Baca juga :Palabusa, dan history Jepang
Bangunan ini berkesan ‘villa’ dengan gaya warisan Belanda, sama dengan bangunan Belanda lainnya di pusat Kota Bau-Bau, seperti Rujab Walikota Bau-Bau dan Rujab Bupati Buton. Luasnya tidak seberapa, kira-kira satu villa seukuran 12 x 15 meter. Khusus bangunan yang pertama kali dijumpai saat memasuki kawasan ini, oleh pemiliknya digunakan sebagai Kantor Perusahaan. Terasnya dibuat menghadap langsung ke laut, sekaligus memonitor langsung kinerja karyawan.
Bagian interiornya dipermak menjadi 3 bagian utama, satu ruang pimpinan, satu ruang staf, dan satu khusus untuk dapur, semuanya masih bergaya Belanda, yang dipercantik dengan sepuhan khas kayu. "Dindingnya saja yang ada perubahan, karena sudah dipasangkan keramik, tetapi rangka utamanya masih asli," ujar penghuni di sana.
Di depan kantor ini, juga terdapat sebuah Villa. Inilah Villa utama, yang kerap dipakai tamu luar negeri ketika berkunjung kesini. Seperti tamu asal Korea, saat Simposium Internasional Pernaskahan Nusantara pada Bulan Agustus 2005 silam. Kira-kira berjarak 20 meter, yang dihubungan dengan jalan setapak dari cetakan beton se ukuran 50×50 cm, yang dikelilingi aneka jenis bunga yang memanjakan mata.
Bangunan ini juga bergaya ‘Holland', namun modelnya sengaja dibuat menggantung ala rumah panggung, dengan 2 ruang utama sebagai pemanisnya. Satu ruang berfungsi sebagai ruang tamu dengan dinding khas uratan kayu. Disinilah terpajang foto-foto tua itu, dan beberapa pajangan Penghargaan Bintang dari Negara kepada pemiliknya.
Satu bagian lainnya terdapat disisi bagian belakang yang digunakan sebagai ruang istirahat, yang dilengkapi dengan dua buah dipan. Benar-benar seperti cottage berbintang. Kedua ruang utama ini dikelilingi teras dengan lantai kayu pula. Sangat khas. Satu sisi lain adalah toilet. Sangat menyenangkan.
Kendati kawasan ini terjaga ketat, namun hingga saat ini tak ada masalah dengan warga Palabusa pada umumnya yang mayoritas nelayan, sebab di sekitar area budi daya mutiara tampak banyak usaha rumput laut oleh nelayan setempat.Anda tertarik? Silakan berkunjung ke Palabusa. Selamat menikmati! (ref) **
Baca juga : Palabusa, Kampung Mutiara di ajang P2WKSS
0 Komentar