JAUH sebelum Indonesia merdeka sebagai sebuah negara berdaulat, Kota Baubau yang dulu menjadi pusat peradaban kerajaan/kesultanan Buton, sejak lama memainkan perannya sebagai kawasan yang dilalui jalur perdagangan internasional. Seperti halnya Malaka, Batavia dan Makassar, khususnya pada jalur perdagangan menuju Maluku sebagai pusat rempah-rempah yang diburu beberapa negara-negara Eropa.
Demikian hanya, ketika kerajaan/kesultanan Buton menjadi bagian integral dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, posisi Kota Baubau semakin strategis sebagai jalur pelayaran dari Barat ke Timur Indonesia dan sebaliknya.
Pada masa VOC dan Hindia Belanda, Kesultanan Buton terus menjadi wilayah yang diperebutkan Belanda dan kerajaan-kerajaan yang ada di sekitar seperti Ternate, Gowa dan Bone. Persaingan itu terus berlangsung pada awal abad ke-201. Zuhdi (1999) memasukkan kesultanan Buton dalam kategori wilayah kepulauan (perairan).
Schoorl juga melukiskan bagaimana sebuah bandar di kesultanan Buton pada zamannya kerap dikunjungi karena menjadi kawasan perdagangan dan perniagaan. “Perdagangan di Buton tampak dalam Generale Missiven tertanggal 9 Pebruari 1693. Kapal yang mempunyai surat pas VOC dan berlayar dari Batavia atau pantai timur Jawa ke Makassar tidak lagi diberikan surat pas di benteng Rotterdam, untuk izin bagi mereka berlayar ke pelabuhan-pelabuhan yang lebih timur letaknya, salah satunya diantaranya Buton (V:574)”
Kota Baubau yang merupakan pengembangan dari Kota Wolio sebagai kota awal di Pulau Buton merupakan pusat kota (centre of network) yang terletak di sekitar pantai, dimana pusat pemerintahan dan administrasi Pemerintah Hindia Belanda dijalankan.
Pergeseran pusat kota dari kota yang terletak di bukit ke Kota Baubau berjarak sekitar 2 KM, yakni kearah pantai yang berdekatan dengan pasar dan pelabuhan utama. Masyarakat Baubau menyebut pelabuhan itu dengan nama ‘Jembatan Batu’ karena jembatan ini dibangun hanya dengan konstruksi batu. Seperti diketahui bahwa kota pertama di Pulau Buton adalah yang ada di dalam Benteng Keraton atau dikenal oleh orang luar sebagai Kota Buton karena institusi pemerintahan pertama dijalankan di dalam benteng Keraton Wolio.
Baubau berkembang seiring tuntutan pasar yang menghendaki adanya mobilitas tinggi. Perluasan inftastruktur kota pada tahun 1900-an sampai akhir pemerintahan Hindia Belanda ke daerah-daerah yang memiliki sumber-sumber ekonomi yang bernilai ekonomis tinggi di pasar internasional, seperti aspal di Pasarwajo dan Banabungi, sedangkan di Muna eksploitasi hutan jati dilakukan pemerintah Hindia Belanda untuk kepentingan ekonominya.
A. Ligtvoet, sekretaris Pemerintah Hindia Belanda yang ditempatkan di Pulau Buton menulis tentang sejarah dengan menamakan wilayah ini dengan ‘het zuidoostelijk schiereiland vab celebes’. Pada tahun 1903, Frits Sarasin menulis reise von der Mingkoka Bain ach Kendari Sudost Celebes.
Selanjutya, seorang misionaris Belanda Albert C. Kruyt menyebut Sulawesi Tenggara dalam tulisannya yang berjudul “Een en Ander over de Tolaki van Mekongga (zuidoost Celebes)” tahun 1922. Beberapa catatan tersebut menjelaskan bahwa wilayah Kesultanan Butonterletak di sebelah tenggara pulau Sulawesi. Baubau tergabung dengan daerah lainnya yang masih dalam jazirah yang sama yakni, Kendari dan Muna.
Sejak saat itu Baubau sudah dikenal sebagai suatu unit geografis secara histories. Artinya bahwa wilayah yang disebutkan pada waktu itu hampir seluruhnya dikuasai oleh Kesultanan Buton, kecuali Kolaka yang tergabung dalam Afdeling Luwu.
Kerajaan/Kesultanan Buton menguasai Sulawesi Tenggara hingga awal Abad ke-20. Kerajaan Buton meruapakan salah satu kerajaan paling dominan yang mewarnai perkembangan ekonomi, social, dan budaya sejak abad ke-14 hingga awal abad ke-20. Insitusi Kesultanan Buton yang bertahan hingga awal abad ke-20 telah menjamin keberlangsungan dan perubahan yang terjadi. Hanya saja kondisi pusat kota dan pemerintahan di dalam benteng tidak berkembang seperti yang terjadi di luar benteng, yakni Kota Baubau yang berkembang jauh lebih dinamis.
Secara geografis Kesultanan Buton berbentuk kepulauan. Bentuk daratannya landai dimana semakin berkembang menjauhi laut daratan semakin tinggi. Pola pemukiman penduduk berada pada daerah pesisir. Artinya ketergantungan ataupun keakraban orang Buton terhadap laut juga sangat tinggi. Bentukan atau kondisi alam ini yang turut juga menentukan tradisi kemaritiman orang Buton.
Demikian hanya, ketika kerajaan/kesultanan Buton menjadi bagian integral dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, posisi Kota Baubau semakin strategis sebagai jalur pelayaran dari Barat ke Timur Indonesia dan sebaliknya.
Pada masa VOC dan Hindia Belanda, Kesultanan Buton terus menjadi wilayah yang diperebutkan Belanda dan kerajaan-kerajaan yang ada di sekitar seperti Ternate, Gowa dan Bone. Persaingan itu terus berlangsung pada awal abad ke-201. Zuhdi (1999) memasukkan kesultanan Buton dalam kategori wilayah kepulauan (perairan).
Schoorl juga melukiskan bagaimana sebuah bandar di kesultanan Buton pada zamannya kerap dikunjungi karena menjadi kawasan perdagangan dan perniagaan. “Perdagangan di Buton tampak dalam Generale Missiven tertanggal 9 Pebruari 1693. Kapal yang mempunyai surat pas VOC dan berlayar dari Batavia atau pantai timur Jawa ke Makassar tidak lagi diberikan surat pas di benteng Rotterdam, untuk izin bagi mereka berlayar ke pelabuhan-pelabuhan yang lebih timur letaknya, salah satunya diantaranya Buton (V:574)”
Kota Baubau yang merupakan pengembangan dari Kota Wolio sebagai kota awal di Pulau Buton merupakan pusat kota (centre of network) yang terletak di sekitar pantai, dimana pusat pemerintahan dan administrasi Pemerintah Hindia Belanda dijalankan.
Pergeseran pusat kota dari kota yang terletak di bukit ke Kota Baubau berjarak sekitar 2 KM, yakni kearah pantai yang berdekatan dengan pasar dan pelabuhan utama. Masyarakat Baubau menyebut pelabuhan itu dengan nama ‘Jembatan Batu’ karena jembatan ini dibangun hanya dengan konstruksi batu. Seperti diketahui bahwa kota pertama di Pulau Buton adalah yang ada di dalam Benteng Keraton atau dikenal oleh orang luar sebagai Kota Buton karena institusi pemerintahan pertama dijalankan di dalam benteng Keraton Wolio.
Baubau berkembang seiring tuntutan pasar yang menghendaki adanya mobilitas tinggi. Perluasan inftastruktur kota pada tahun 1900-an sampai akhir pemerintahan Hindia Belanda ke daerah-daerah yang memiliki sumber-sumber ekonomi yang bernilai ekonomis tinggi di pasar internasional, seperti aspal di Pasarwajo dan Banabungi, sedangkan di Muna eksploitasi hutan jati dilakukan pemerintah Hindia Belanda untuk kepentingan ekonominya.
A. Ligtvoet, sekretaris Pemerintah Hindia Belanda yang ditempatkan di Pulau Buton menulis tentang sejarah dengan menamakan wilayah ini dengan ‘het zuidoostelijk schiereiland vab celebes’. Pada tahun 1903, Frits Sarasin menulis reise von der Mingkoka Bain ach Kendari Sudost Celebes.
Selanjutya, seorang misionaris Belanda Albert C. Kruyt menyebut Sulawesi Tenggara dalam tulisannya yang berjudul “Een en Ander over de Tolaki van Mekongga (zuidoost Celebes)” tahun 1922. Beberapa catatan tersebut menjelaskan bahwa wilayah Kesultanan Butonterletak di sebelah tenggara pulau Sulawesi. Baubau tergabung dengan daerah lainnya yang masih dalam jazirah yang sama yakni, Kendari dan Muna.
Sejak saat itu Baubau sudah dikenal sebagai suatu unit geografis secara histories. Artinya bahwa wilayah yang disebutkan pada waktu itu hampir seluruhnya dikuasai oleh Kesultanan Buton, kecuali Kolaka yang tergabung dalam Afdeling Luwu.
Kerajaan/Kesultanan Buton menguasai Sulawesi Tenggara hingga awal Abad ke-20. Kerajaan Buton meruapakan salah satu kerajaan paling dominan yang mewarnai perkembangan ekonomi, social, dan budaya sejak abad ke-14 hingga awal abad ke-20. Insitusi Kesultanan Buton yang bertahan hingga awal abad ke-20 telah menjamin keberlangsungan dan perubahan yang terjadi. Hanya saja kondisi pusat kota dan pemerintahan di dalam benteng tidak berkembang seperti yang terjadi di luar benteng, yakni Kota Baubau yang berkembang jauh lebih dinamis.
Secara geografis Kesultanan Buton berbentuk kepulauan. Bentuk daratannya landai dimana semakin berkembang menjauhi laut daratan semakin tinggi. Pola pemukiman penduduk berada pada daerah pesisir. Artinya ketergantungan ataupun keakraban orang Buton terhadap laut juga sangat tinggi. Bentukan atau kondisi alam ini yang turut juga menentukan tradisi kemaritiman orang Buton.
Letak geografis Kesultanan Buton dan karakter maritim orang Buton ini yang memberikan peranan penting dalam membangun hubungan dengan wilayah lain khususnya yang menyangkut hubungan politik dan jalur perdagangan nusantara. Keinginan orang Buton untuk selalu mengarungi samudera memungkinkan Bangsa Buton bersentuhan dengan kebudayaan bagsa lain disekitarnya seperti; Makassar dan Ternate. Tak hanya itu, tradisi maritime menumbuhkan sikap terbuka, inklusif dan kooperatif namun tetap menjaga kedaulatan sebagai sebuah Negara (kerajaan) terhadap ronrongan bangsa lain. Hal ini sangat nampak bagaimana bangsa Buton mengelola hubungan politiknya dengan Belanda.
Posisi wilayah kesultanan Buton sebagai kota sangat dekat dengan pusat birokrasi kolonial di Timur Indonesia. Yakni Ambon dan Makassar. Maluku di kenal sebagai tempat perekrutan prajurit yang ditempatkan di berbagai daerah di Indonesia oleh pemerintah Hindia Belanda. Secara ekonomi, Ambon (Maluku) dikenal juga sebagai pusat produksi rempah-rempah yang laku di pasar internasional sehingga banyak dikunjungi oleh para pedagang.
Pada abad ke-19, Makassar tampil sebagai kota pelabuhan dan kota dagang yang ramai. Kota ini oleh Belanda dijadikan sebagai pusat birokrasi. Kondisi ini sangat menguntungkan posisi Baubau karena berada di jalur menuju Maluku, jika dari Barat Indonesia atau sebaliknya.
Posisi ini juga menguntungkan dalam hal; Baubau lebih mudah dijangkau dari kedua kota itu untuk melakukan perdagangan antar pulau. Begitu pula dengan para pedagang lain yang tertarik menyinggahi Baubau untuk membeli beberapa hasil hutan berupa kayu jati, rotan, dammar, serta hasil laut berupa lola, sirip ikan hiu, teripang, mutiara, dan sebagainya. Biasanya para pedagang itu menyinggahi Baubau dalam perjalanan menuju Maluku atau Makassar. Komiditi yang dibawa selajutnya diangkut ke Jawa dan Maluku untuk dijual dengan harga tinggi. Hal itu berlangsung hingga paruh kedua awal abad ke-20. (ref)