Kabar mengejutkan datang dari Lamongan. Winger Persela Lamongan asal Muna Sulawesi Tenggara, Saddil Ramdani harus berurusan dengan pihak kepolisian akibat dugaan penganiayaan terhadap wanita teman dekatnya. Alhasil, Saddil tak bisa memenuhi panggilan pelatih timnas Indonesia Bima Sakti yang membutuhkannya untuk persiapan berlaga di Piala AFF 2018 pada tengah pekan depan.
Saddil sudah mengaku salah membuat temannya itu terluka fisik. Ia dengan jantan menyatakan siap bertanggung jawab. Hampir tak mungkin bagi Saddil untuk bergabung dengan timnas senior karena masalah hukumnya tersebut. Bima Sakti memutuskan mencoret Saddil dan memanggil Andik Vermansah sebagai pengganti. Tulisan bernas yang direpro dari RepublikaNews, menarik untuk dibaca.
----------------
Pelecehan atau penganiayaan, baik fisik maupun verbal, oleh atlet kepada pasangan atau teman wanitanya merupakan sisi kelam dunia olahraga yang sudah lama berlangsung dan terus menjadi bahan kajian. Sejumlah peneliti di Amerika Serikat menemukan fakta keterkaitan agresivitas atlet di lapangan saat berlatih dan bertanding dengan perilaku mereka di kehidupan sosial. Namun, mereka belum menemukan formula yang benar-benar jitu untuk mencegah ini.
Para peneliti di negeri Paman Sam sana hanya menyarankan para pelatih untuk menjadikan ruang ganti mereka sebagai tempat untuk mengedukasi dan menyadarkan para atlet bahwa sifat agresif itu hanya berlaku saat berlatih atau bertanding. Di luar itu, para atlet harus menjunjung tinggi nilai-nilai kebajikan dalam kehidupan sosial dan menghindari penyelesaian masalah dengan kekerasan, verbal atau fisik.
Para pengelola liga besar di AS (NBA-basket, NFL-sepak bola Amerika, NHL-hoki, dan MLB-bisbol) juga masih kewalahan untuk menghilangkan atau sekadar menekan angka penganiayaan oleh para atlet mereka. Kita mengetahui ada atlet sepak bola Amerika yang menyeret kekasihnya yang pingsan, pebasket yang mengasari istri mereka hingga bercerai, dan sederet kasus lain yang terus muncul dari tahun ke tahun.
Pengelola liga-liga ini pelan-pelan mengeluarkan code of conduct (pedoman perilaku) bagi atlet agar menghindari penganiayaan atau pelecehan. Namun aturan ini belum seragam dan masih menyisakan ruang lebar bagi para atlet hiperagresif ini untuk tidak jera dan mengulangi perbuatannya.
NBA yang paling detail dalam merumuskan aturan di lapangan, mulai cara berpakaian hingga hukuman atas pelanggar, saja mengaku masih kesulitan untuk membuat aturan terbaik untuk merespons masalah agresivitas atlet di luar lapangan. Sebab, ada sisi personal yang tidak bisa dijangkau pengelola liga terlalu jauh.
Kembali ke Saddil, saya jadi teringat dengan perbincangan dengan pelatih timnas U-16 Fakhri Husaini beberapa waktu lalu. Ia menegaskan tekadnya untuk menghasilkan pemain yang tidak hanya jago di lapangan bola, tapi juga pribadi yang baik di luar lapangan. Menurut dia, itulah keberhasilan sesungguhnya seorang pelatih yang berkutat dengan para atlet muda yang hendak menuju usia dewasa.
Fakhri yang puluhan tahun menjadi pesepak bola profesional paham betul dengan sisi kelam olahraga yang digelutinya di Tanah Air. Banyak pemain tersandung oleh kasus terkait wanita. Sebagian kecil terkena jerat narkoba. Fakhri ingin para pesepak bola Indonesia di masa depan bisa menjadi role model di dalam dan luar lapangan dengan kepribadian mereka yang baik.
Sosok istimewa
Saddil sosok istimewa. Ia berlatar belakang anak tak berpunya. Saddil bahkan harus berjualan jambu untuk bisa membeli sepatu bola. Bakat sepak bola mengubah nasibnya. Saddil pindah ke Kendari untuk menjadi pesepak bola profesional dan kemudian hijrah ke Malang bergabung dengan akademi milik pelatih Aji Santoso, ASIFA pada 2016.
Sejak 2016, Saddil sudah mulai membela Persela. Ia juga dipanggil membela timnas U-18 dan U-22. Ini terus berlangsung hingga pengujung 2018 ini.
Waktunya banyak dihabiskan mengikuti pemusatan latihan timnas U-23 menghadapi Asian Games dan timnas U-19 menyambut Piala AFC U-19. Sepanjang meliput sepak bola nasional, saya tak bisa mengingat ada pemain yang punya jadwal lebih padat dibandingkan Saddil bersama timnas. Tak heran ada yang bercanda mengatakan Saddil sebenarnya pemain timnas yang dipinjamkan ke Persela.
Saddil dekat dengan Aji Santoso. Tapi dalam perkembangannya ia juga pernah bekerja sama dengan Eduard Tjong, Indra Sjafri, Luis Milla, Bima Sakti, serta manajer tim yang berbeda-beda. Ia harus beradaptasi dengan tiga tim dengan atmosfer yang tak sama, yakni Persela, timnas U-19 dan timnas U-23.
Dengan kondisi ini, banyak pihak yang memberikan warna pada perjalanan hidup Saddil. Banyak hal positif, tapi pasti ada sisi negatif yang mungkin diserapnya entah sadar atau tidak.
Status sebagai raising star, punya banyak penggemar, sekaligus tuntutan menjalani serangkaian jadwal padat, menjadi tantangan yang harus dijawab Saddil. Bukan perkara mudah untuk sosok yang baru akan berulang tahun ke-20 pada awal tahun depan.
Aji Santoso pun mengakui Saddil butuh bimbingan dari banyak pihak untuk menjadi lebih baik. Kasus dugaan penganiayaan yang dihadapi Saddil diharapkan menjadi pengingat baginya untuk menjadi pribadi yang lebih baik.
Saddil sudah berbuat salah, namun publik tak punya hak mencaci-makinya. Bagi saya, ini mungkin cara lain agar Saddil bisa beristirahat dari rutinitas padat yang menguras fisik dan emosi. Ini saatnya Saddil punya cukup waktu untuk mengevaluasi diri.
Semoga setelah ini Saddil akan kembali ke lapangan lebih baik lagi, mengharumkan nama bangsa di pentas internasional dan tak mengulangi kesalahan sama. Timnas U-23 yang akan berlaga di SEA Games 2019 pasti menunggu Saddil. Semoga Saddil akan menjadi pantuan anak-anak muda pecinta sepak bola, tak hanya di dalam, melainkan juga di luar lapangan. Semangat, Saddil!
Saddil sudah mengaku salah membuat temannya itu terluka fisik. Ia dengan jantan menyatakan siap bertanggung jawab. Hampir tak mungkin bagi Saddil untuk bergabung dengan timnas senior karena masalah hukumnya tersebut. Bima Sakti memutuskan mencoret Saddil dan memanggil Andik Vermansah sebagai pengganti. Tulisan bernas yang direpro dari RepublikaNews, menarik untuk dibaca.
----------------
Pelecehan atau penganiayaan, baik fisik maupun verbal, oleh atlet kepada pasangan atau teman wanitanya merupakan sisi kelam dunia olahraga yang sudah lama berlangsung dan terus menjadi bahan kajian. Sejumlah peneliti di Amerika Serikat menemukan fakta keterkaitan agresivitas atlet di lapangan saat berlatih dan bertanding dengan perilaku mereka di kehidupan sosial. Namun, mereka belum menemukan formula yang benar-benar jitu untuk mencegah ini.
Para peneliti di negeri Paman Sam sana hanya menyarankan para pelatih untuk menjadikan ruang ganti mereka sebagai tempat untuk mengedukasi dan menyadarkan para atlet bahwa sifat agresif itu hanya berlaku saat berlatih atau bertanding. Di luar itu, para atlet harus menjunjung tinggi nilai-nilai kebajikan dalam kehidupan sosial dan menghindari penyelesaian masalah dengan kekerasan, verbal atau fisik.
Para pengelola liga besar di AS (NBA-basket, NFL-sepak bola Amerika, NHL-hoki, dan MLB-bisbol) juga masih kewalahan untuk menghilangkan atau sekadar menekan angka penganiayaan oleh para atlet mereka. Kita mengetahui ada atlet sepak bola Amerika yang menyeret kekasihnya yang pingsan, pebasket yang mengasari istri mereka hingga bercerai, dan sederet kasus lain yang terus muncul dari tahun ke tahun.
Pengelola liga-liga ini pelan-pelan mengeluarkan code of conduct (pedoman perilaku) bagi atlet agar menghindari penganiayaan atau pelecehan. Namun aturan ini belum seragam dan masih menyisakan ruang lebar bagi para atlet hiperagresif ini untuk tidak jera dan mengulangi perbuatannya.
NBA yang paling detail dalam merumuskan aturan di lapangan, mulai cara berpakaian hingga hukuman atas pelanggar, saja mengaku masih kesulitan untuk membuat aturan terbaik untuk merespons masalah agresivitas atlet di luar lapangan. Sebab, ada sisi personal yang tidak bisa dijangkau pengelola liga terlalu jauh.
Kembali ke Saddil, saya jadi teringat dengan perbincangan dengan pelatih timnas U-16 Fakhri Husaini beberapa waktu lalu. Ia menegaskan tekadnya untuk menghasilkan pemain yang tidak hanya jago di lapangan bola, tapi juga pribadi yang baik di luar lapangan. Menurut dia, itulah keberhasilan sesungguhnya seorang pelatih yang berkutat dengan para atlet muda yang hendak menuju usia dewasa.
Fakhri yang puluhan tahun menjadi pesepak bola profesional paham betul dengan sisi kelam olahraga yang digelutinya di Tanah Air. Banyak pemain tersandung oleh kasus terkait wanita. Sebagian kecil terkena jerat narkoba. Fakhri ingin para pesepak bola Indonesia di masa depan bisa menjadi role model di dalam dan luar lapangan dengan kepribadian mereka yang baik.
Sosok istimewa
Saddil sosok istimewa. Ia berlatar belakang anak tak berpunya. Saddil bahkan harus berjualan jambu untuk bisa membeli sepatu bola. Bakat sepak bola mengubah nasibnya. Saddil pindah ke Kendari untuk menjadi pesepak bola profesional dan kemudian hijrah ke Malang bergabung dengan akademi milik pelatih Aji Santoso, ASIFA pada 2016.
Sejak 2016, Saddil sudah mulai membela Persela. Ia juga dipanggil membela timnas U-18 dan U-22. Ini terus berlangsung hingga pengujung 2018 ini.
Waktunya banyak dihabiskan mengikuti pemusatan latihan timnas U-23 menghadapi Asian Games dan timnas U-19 menyambut Piala AFC U-19. Sepanjang meliput sepak bola nasional, saya tak bisa mengingat ada pemain yang punya jadwal lebih padat dibandingkan Saddil bersama timnas. Tak heran ada yang bercanda mengatakan Saddil sebenarnya pemain timnas yang dipinjamkan ke Persela.
Saddil dekat dengan Aji Santoso. Tapi dalam perkembangannya ia juga pernah bekerja sama dengan Eduard Tjong, Indra Sjafri, Luis Milla, Bima Sakti, serta manajer tim yang berbeda-beda. Ia harus beradaptasi dengan tiga tim dengan atmosfer yang tak sama, yakni Persela, timnas U-19 dan timnas U-23.
Dengan kondisi ini, banyak pihak yang memberikan warna pada perjalanan hidup Saddil. Banyak hal positif, tapi pasti ada sisi negatif yang mungkin diserapnya entah sadar atau tidak.
Status sebagai raising star, punya banyak penggemar, sekaligus tuntutan menjalani serangkaian jadwal padat, menjadi tantangan yang harus dijawab Saddil. Bukan perkara mudah untuk sosok yang baru akan berulang tahun ke-20 pada awal tahun depan.
Aji Santoso pun mengakui Saddil butuh bimbingan dari banyak pihak untuk menjadi lebih baik. Kasus dugaan penganiayaan yang dihadapi Saddil diharapkan menjadi pengingat baginya untuk menjadi pribadi yang lebih baik.
Saddil sudah berbuat salah, namun publik tak punya hak mencaci-makinya. Bagi saya, ini mungkin cara lain agar Saddil bisa beristirahat dari rutinitas padat yang menguras fisik dan emosi. Ini saatnya Saddil punya cukup waktu untuk mengevaluasi diri.
Semoga setelah ini Saddil akan kembali ke lapangan lebih baik lagi, mengharumkan nama bangsa di pentas internasional dan tak mengulangi kesalahan sama. Timnas U-23 yang akan berlaga di SEA Games 2019 pasti menunggu Saddil. Semoga Saddil akan menjadi pantuan anak-anak muda pecinta sepak bola, tak hanya di dalam, melainkan juga di luar lapangan. Semangat, Saddil!
0 Komentar