![]() |
Gumpalan awan menyembur saat terjadi letusan Gunung Anak Krakatau di Selat Sunda, Banten, Senin (10/12/2018). | Weli Ayu Rejeki /Antara Foto |
Indonesia kembali dirundung berita duka. Masih melekat bencana yang terjadi di Donggala dan Palu beberapa waktu lalu. Kini, bencana tsunami kembali menghampiri Tanah Air, tepatnya di Selat Sunda.
Dilansir Beritagar.id Pada Sabtu (22/12/2018), sekitar pukul 21.27 WIB, gelombang air laut yang diperkirakan mencapai satu meter menerjang pesisir barat Provinsi Banten dan pesisir selatan Provinsi Lampung.
Meski sempat disangkal, akhirnya Badan Meteorologi dan Geofisika (BMKG), mengonfirmasi bencana yang terjadi adalah fenomena tsunami, bukan gelombang besar akibat bulan purnama dan fenomena alam lainnya. Pernyataan disampaikan ketuanya, Dwikorita Karnawati pada Minggu (22/12) malam.
Tidak seperti ciri umum yang awam ketahui, tsunami di Selat Sunda tidak memberikan tanda aktivitas seismik. Erupsi Gunung Anak Krakatau diduga menjadi penyebabnya. Membuat longsor permukaan dasar laut sehingga menciptakan gelombang tsunami.
Gunung Anak Krakatau dan “ibunya” yaitu Gunung Krakatau bukanlah sosok baru dalam urusan bencana. Sesuai namanya, Gunung Anak Krakatau merupakan anak dari Gunung Krakatau yang pernah meletus dahsyat. Gunung ini terletak di antara sebelah barat Pulau Jawa dan selatan Pulau Sumatra.
Kejadian letusan Agustus 1883 merupakan momen bersejarah karena kedahsyatannya. Menurut Volkanolog Institut Teknologi Bandung, Mirzam Abdurrachman, letusan Gunung Krakatau pada Agustus 1883 dimulai pada tanggal 26 Agustus dan mencapai puncaknya serta berhenti 20 jam kemudian pada 27 Agustus.
Daya ledaknya sebanding dengan 10.000 kali kekuatan bom atom yang meluluhlantakkan kota Hiroshima di Jepang. Menghasilkan kaldera (cekungan) berukuran 4x8 kilometer yang menyebabkan tsunami dengan ketinggian lebih 15 meter dan aliran wedus gembel sejauh 40 kilometer dari titik letusan.
Dilansir dari Kompas.com (12/12/2011), tinggi tsunami di pesisir barat Jawa seperti di Merak mencapai lebih dari 25 meter, di Teluk Betung gelombang mencapai 15 meter, bahkan di sejumlah tempat mencapai 35 meter.
Korban jiwa diperkirakan mencapai lebih dari 36.400 orang, sebagian meninggal karena cedera termal akibat ledakan dan lainnya menjadi korban tsunami. Letusan turut memengaruhi iklim dan menyebabkan turunnya suhu di seluruh dunia.
Ledakan melemparkan sekitar 45 kilometer kubik puing ke atmosfer, langit yang gelap hingga radius 442 kilometer dari gunung berapi. Di sekitarnya, Matahari terhalang selama tiga hari. Debu vulkanik jatuh hingga sejauh 6.076 kilometer. Hamburan debu tampak di langit Norwegia sampai kota New York.
Barograf (pencatat tekanan udara) di seluruh dunia mendokumentasikan gelombang kejut di atmosfer mengelilingi Bumi setidaknya tujuh kali. Dalam 13 hari, lapisan sulfur dioksida dan gas-gas lain mulai menghalangi jumlah sinar matahari yang dapat mencapai Bumi. Suhu rata-rata global menjadi 1,2 derajat lebih dingin dalam lima tahun.
Begitu hebatnya ledakan itu, 60 persen tubuh Krakatau hancur dan membentuk lubang kaldera berdiameter sekitar 7 kilometer, dan memecah pulau jadi tiga; Rakata, Sertung, dan Panjang. Tsunami yang dihasilkan mengubah lanskap pesisir barat Jawa, seperti Anyer dan Carita. Sebanyak 165 desa pesisir diketahui hancur.
Jejak tsunami bisa dilihat dari sebaran bongkahan terumbu karang di pesisir Banten dengan diameter 0,5 meter sampai 5 meter. Terumbu karang itu terangkat dari dasar laut dan terbawa oleh arus ombak tsunami. Salah satu batu karang terbesar yang ditemukan memiliki berat 600 ton yang hingga kini terdapat di halaman hotel di dekat mercusuar Anyer.
Penyebab tsunami saat letusan Krakatau 1883 sempat simpang siur. Untuk menemukan apa yang terjadi sebenarnya, para ahli geologi, oseanografi, dan paleotsunami menyusun sejumlah skenario penyebab tsunami. Contohnya ledakan di bawah laut, runtuhnya kubah dalam skala besar di bagian utara Krakatau, dan luncuran piroklastik (awan panas).
Namun, lewat berbagai penelitian dan simulasi tsunami di laboratorium, semakin diyakini bahwa luncuran awan panas yang membangkitkan tsunami.
"Letusan saja tidak cukup untuk membangkitkan tsunami dahsyat seperti yang terjadi saat letusan Krakatau tahun 1883. Teori lain, yakni jatuhnya kubah gunung dapat menimbulkan tsunami, tetapi syaratnya keruntuhan yang membentuk kaldera itu harus mendadak atau tiba-tiba," ujar geolog yang meneliti paleotsunami, Gegar Prasetya.
"Dari simulasi diketahui, tsunami disebabkan oleh luncuran awan panas," tegasnya.
Ia mengungkapkan bahwa sebuah letusan besar atau dahsyat tidak dapat memproduksi ombak seperti yang terjadi pada letusan Krakatau tahun 1883.
Percobaan serupa pernah dilakukan peneliti lain di Jerman dan menunjukkan hasil yang sama. Kesimpulan itu juga didukung survei dan pengujian terhadap sampel inti yang diambil dari dasar laut di kawasan Krakatau oleh geolog Haraldur Sigurdsson dari The University of Rhode Island, Amerika Serikat.
Gegar meyakini, setelah letusan Krakatau, luncuran awan panas yang seperti buldoser dan kecepatannya dapat mencapai ratusan kilometer per jam itu membangkitkan tsunami tinggi.
Tsunami itulah yang menelan pesisir dan menewaskan penduduk di sekitar.
Letusan Krakatau ini sebenarnya masih kalah dibandingkan dengan letusan Gunung Toba, Gunung Tambora di Indonesia, Gunung Tanpo di Selandia Baru, dan Gunung Katmal di Alaska.
Tambora adalah satu-satunya letusan dalam sejarah modern yang mencapai skor VEI 7. Suhu global rata-rata 5 derajat lebih dingin karena letusan yang terjadi pada 10 April 1815 ini.
Namun, gunung-gunung tersebut meletus pada masa ketika populasi manusia masih sangat sedikit. Sedangkan ketika Gunung Krakatau meletus, populasi manusia sudah cukup padat, sains dan teknologi telah berkembang, telegraf sudah ditemukan, dan kabel bawah laut sudah dipasang.
Setelah 44 tahun tidur Krakatau kembali menunjukkan aktivitas. Dalam hitungan pekan, tepi kerucut baru muncul di atas permukaan laut. Dalam setahun, tonjolan itu tumbuh menjadi sebuah pulau kecil. Dinamakan Anak Krakatau, ia terus meletus secara berkala, meskipun ringan dan tingkat ancaman rendah ke pulau-pulau sekitarnya. (**)
Dilansir Beritagar.id Pada Sabtu (22/12/2018), sekitar pukul 21.27 WIB, gelombang air laut yang diperkirakan mencapai satu meter menerjang pesisir barat Provinsi Banten dan pesisir selatan Provinsi Lampung.
Meski sempat disangkal, akhirnya Badan Meteorologi dan Geofisika (BMKG), mengonfirmasi bencana yang terjadi adalah fenomena tsunami, bukan gelombang besar akibat bulan purnama dan fenomena alam lainnya. Pernyataan disampaikan ketuanya, Dwikorita Karnawati pada Minggu (22/12) malam.
Tidak seperti ciri umum yang awam ketahui, tsunami di Selat Sunda tidak memberikan tanda aktivitas seismik. Erupsi Gunung Anak Krakatau diduga menjadi penyebabnya. Membuat longsor permukaan dasar laut sehingga menciptakan gelombang tsunami.
Gunung Anak Krakatau dan “ibunya” yaitu Gunung Krakatau bukanlah sosok baru dalam urusan bencana. Sesuai namanya, Gunung Anak Krakatau merupakan anak dari Gunung Krakatau yang pernah meletus dahsyat. Gunung ini terletak di antara sebelah barat Pulau Jawa dan selatan Pulau Sumatra.
Kejadian letusan Agustus 1883 merupakan momen bersejarah karena kedahsyatannya. Menurut Volkanolog Institut Teknologi Bandung, Mirzam Abdurrachman, letusan Gunung Krakatau pada Agustus 1883 dimulai pada tanggal 26 Agustus dan mencapai puncaknya serta berhenti 20 jam kemudian pada 27 Agustus.
Daya ledaknya sebanding dengan 10.000 kali kekuatan bom atom yang meluluhlantakkan kota Hiroshima di Jepang. Menghasilkan kaldera (cekungan) berukuran 4x8 kilometer yang menyebabkan tsunami dengan ketinggian lebih 15 meter dan aliran wedus gembel sejauh 40 kilometer dari titik letusan.
Dilansir dari Kompas.com (12/12/2011), tinggi tsunami di pesisir barat Jawa seperti di Merak mencapai lebih dari 25 meter, di Teluk Betung gelombang mencapai 15 meter, bahkan di sejumlah tempat mencapai 35 meter.
Korban jiwa diperkirakan mencapai lebih dari 36.400 orang, sebagian meninggal karena cedera termal akibat ledakan dan lainnya menjadi korban tsunami. Letusan turut memengaruhi iklim dan menyebabkan turunnya suhu di seluruh dunia.
Ledakan melemparkan sekitar 45 kilometer kubik puing ke atmosfer, langit yang gelap hingga radius 442 kilometer dari gunung berapi. Di sekitarnya, Matahari terhalang selama tiga hari. Debu vulkanik jatuh hingga sejauh 6.076 kilometer. Hamburan debu tampak di langit Norwegia sampai kota New York.
Barograf (pencatat tekanan udara) di seluruh dunia mendokumentasikan gelombang kejut di atmosfer mengelilingi Bumi setidaknya tujuh kali. Dalam 13 hari, lapisan sulfur dioksida dan gas-gas lain mulai menghalangi jumlah sinar matahari yang dapat mencapai Bumi. Suhu rata-rata global menjadi 1,2 derajat lebih dingin dalam lima tahun.
Begitu hebatnya ledakan itu, 60 persen tubuh Krakatau hancur dan membentuk lubang kaldera berdiameter sekitar 7 kilometer, dan memecah pulau jadi tiga; Rakata, Sertung, dan Panjang. Tsunami yang dihasilkan mengubah lanskap pesisir barat Jawa, seperti Anyer dan Carita. Sebanyak 165 desa pesisir diketahui hancur.
Jejak tsunami bisa dilihat dari sebaran bongkahan terumbu karang di pesisir Banten dengan diameter 0,5 meter sampai 5 meter. Terumbu karang itu terangkat dari dasar laut dan terbawa oleh arus ombak tsunami. Salah satu batu karang terbesar yang ditemukan memiliki berat 600 ton yang hingga kini terdapat di halaman hotel di dekat mercusuar Anyer.
Penyebab tsunami saat letusan Krakatau 1883 sempat simpang siur. Untuk menemukan apa yang terjadi sebenarnya, para ahli geologi, oseanografi, dan paleotsunami menyusun sejumlah skenario penyebab tsunami. Contohnya ledakan di bawah laut, runtuhnya kubah dalam skala besar di bagian utara Krakatau, dan luncuran piroklastik (awan panas).
Namun, lewat berbagai penelitian dan simulasi tsunami di laboratorium, semakin diyakini bahwa luncuran awan panas yang membangkitkan tsunami.
"Letusan saja tidak cukup untuk membangkitkan tsunami dahsyat seperti yang terjadi saat letusan Krakatau tahun 1883. Teori lain, yakni jatuhnya kubah gunung dapat menimbulkan tsunami, tetapi syaratnya keruntuhan yang membentuk kaldera itu harus mendadak atau tiba-tiba," ujar geolog yang meneliti paleotsunami, Gegar Prasetya.
"Dari simulasi diketahui, tsunami disebabkan oleh luncuran awan panas," tegasnya.
Ia mengungkapkan bahwa sebuah letusan besar atau dahsyat tidak dapat memproduksi ombak seperti yang terjadi pada letusan Krakatau tahun 1883.
Percobaan serupa pernah dilakukan peneliti lain di Jerman dan menunjukkan hasil yang sama. Kesimpulan itu juga didukung survei dan pengujian terhadap sampel inti yang diambil dari dasar laut di kawasan Krakatau oleh geolog Haraldur Sigurdsson dari The University of Rhode Island, Amerika Serikat.
Gegar meyakini, setelah letusan Krakatau, luncuran awan panas yang seperti buldoser dan kecepatannya dapat mencapai ratusan kilometer per jam itu membangkitkan tsunami tinggi.
Tsunami itulah yang menelan pesisir dan menewaskan penduduk di sekitar.
Letusan Krakatau ini sebenarnya masih kalah dibandingkan dengan letusan Gunung Toba, Gunung Tambora di Indonesia, Gunung Tanpo di Selandia Baru, dan Gunung Katmal di Alaska.
Tambora adalah satu-satunya letusan dalam sejarah modern yang mencapai skor VEI 7. Suhu global rata-rata 5 derajat lebih dingin karena letusan yang terjadi pada 10 April 1815 ini.
Namun, gunung-gunung tersebut meletus pada masa ketika populasi manusia masih sangat sedikit. Sedangkan ketika Gunung Krakatau meletus, populasi manusia sudah cukup padat, sains dan teknologi telah berkembang, telegraf sudah ditemukan, dan kabel bawah laut sudah dipasang.
Setelah 44 tahun tidur Krakatau kembali menunjukkan aktivitas. Dalam hitungan pekan, tepi kerucut baru muncul di atas permukaan laut. Dalam setahun, tonjolan itu tumbuh menjadi sebuah pulau kecil. Dinamakan Anak Krakatau, ia terus meletus secara berkala, meskipun ringan dan tingkat ancaman rendah ke pulau-pulau sekitarnya. (**)