ADA hal menarik di peringatan hari jadi Kota Baubau setiap tahunnya, yakni para pemimpin Kota Baubau, terdiri dari wali kota, wakil walikota, ketua DPRD, Dandim 1413 Buton, Kapolres Baubau, beserta segenap jajaran dan instansi vertikal di kota ini, yakni mengikuti prosesi ‘Santiago’ ke Makam Sultan Murhum. Seperti yang digelar Rabu siang tadi, 17 Oktober 2018.
Dijelaskan Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika Kota Baubau, H. Idrus Taufiq Saidi, S.Kom.M.Si selaku juru bicara Pemkot Baubau bahwa pada hakikatnya prosesi Santiago secara sederhana diartikan sebagai mengunjungi makam Sultan Murhum, sebagai raja ke-VI dan Sultan pertama dalam sejarah peradaban Kesultanan Buton, sebagai negara Islam di masanya.
“Namun begitu terdapat tata cara yang berbeda dengan kegiatan ‘nyekar’ pada umumnya di pelbagai daerah di Indonesia. Santiago punya turan main sendiri yakni, para pemimpin daerah terutama Wali Kota Baubau bersama segenap elemen pemimpn daerah, star dari “Kamali Kara’ salah satu kawasan kediaman Sultan di masa lalu, disimbolkan sebagai kediaman utama pemimpin,” tandas Idrus.
Dijelaskan Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika Kota Baubau, H. Idrus Taufiq Saidi, S.Kom.M.Si selaku juru bicara Pemkot Baubau bahwa pada hakikatnya prosesi Santiago secara sederhana diartikan sebagai mengunjungi makam Sultan Murhum, sebagai raja ke-VI dan Sultan pertama dalam sejarah peradaban Kesultanan Buton, sebagai negara Islam di masanya.
“Namun begitu terdapat tata cara yang berbeda dengan kegiatan ‘nyekar’ pada umumnya di pelbagai daerah di Indonesia. Santiago punya turan main sendiri yakni, para pemimpin daerah terutama Wali Kota Baubau bersama segenap elemen pemimpn daerah, star dari “Kamali Kara’ salah satu kawasan kediaman Sultan di masa lalu, disimbolkan sebagai kediaman utama pemimpin,” tandas Idrus.

Dalam perjalanan itu dari Kamali Kara, para pemimpin daerah dikawal oleh penari-penari khas Kesultanan Buton, umumnya menggunakan Tari Mangaru, sembari berjalan pelan dan teratur menuju Baruga Keraton Buton. Penari Mangaru juga dengan busana khususnya sama halnya dari para petinggi daerah juga harus menggunakan pakaian kebesaran khas Buton. Para penari sesekali meneriakkan kata ‘Tompalaijo’ yang bemakna ‘penyemangat’.
Dari Baruga Keraton Buton, selanjutnya menuju Makam Sultan Murhum yang jaraknya tidak terlalu jauh dari Baruga, namun posisinya berada di ketinggian. Secara perlahan dan khusyu pula. Pengawal dari pasukan penari Mangaru ini baru berhenti menjalankan aktivitasnya ketika para pemimpin daerah itu, sudah memasuki areal makam Murhum yang luasnya sekitar 6x2,5 meter. Cukup luas, sehingga para pemimpin daerah tersebut bisa bersama-sama memberi doa sekaligus menyiram makam sebagaimana pada umumnya.
Usai prosesi nyekar, umumnya juga mengunjungi ‘batu yi gandangi’ atau orang Buton umumnya menyebut sebagai ‘Batu Wolio’. Tak ada prosesi lebih di sana. Umumnya pengunjung hanya memngang sebagai pemuliaan terhadap situs yang disebut-sebut sebagai batu tempat mengambil air sebelum prosesi pelantikan raja dan sultan di masa lalu.
“Dalam cerita bertuturnya, di sebut batu Yigandangi, karena batu ini menjadi tempat menabuh atau membunyikan gendang menjelang pelantikan raja atau Sultan di masa lalu. Kalau sekarang, ada pameo di neger Wolio, bila tak dianggap belum mengunjungi Buton jika tak ke tempat batu Wolio ini,” imbuh Idrus Taufiq, yang dikenal sebagai kerabat dekat dari Sultan Butin 37 dan 38.
Seorang penyimpan naskah-naskah Buton, Al Mujazi Mulku Zahari menuturkan bila Batu Wolio merupakan batu peninggalan Kesultanan Buton yang dipercaya masyarakat sebagai tempat pertama kali diketemukan Putri Wakaka oleh Tentara Kubilai Khan. Batu tersebut juga dijadikan tempat pertama kali putri Wakaka diangkat menjadi Raja Pertama di Pulau Buton. “Batu ini juga biasa disebut juga batu Yi Gandangi karena di batu Wolio ini dibunyikan gendang menjelang pelatikan raja atau sultan,” tandasnya.
Dijelaskan sehari sebelum sultan dilantik, empat orang Bonto Siolimbona mengambil air di tempat yang dianggap suci lalu memasukkannya ke dalam ruas bambu sebanyak tujuh ruas. Air suci tersebut kemudian ditempatkan di atas batu Wolio.
Berkait istilah ‘Santiago’ tidak banyak pendapat yang menjelaskannya secara detai, dari mana asal usul kata ini. Namun prosesi ini umumnya berjalan sekitar dua jam lamnay dari awal hingga akhir.**(Ref)
Dari Baruga Keraton Buton, selanjutnya menuju Makam Sultan Murhum yang jaraknya tidak terlalu jauh dari Baruga, namun posisinya berada di ketinggian. Secara perlahan dan khusyu pula. Pengawal dari pasukan penari Mangaru ini baru berhenti menjalankan aktivitasnya ketika para pemimpin daerah itu, sudah memasuki areal makam Murhum yang luasnya sekitar 6x2,5 meter. Cukup luas, sehingga para pemimpin daerah tersebut bisa bersama-sama memberi doa sekaligus menyiram makam sebagaimana pada umumnya.
Usai prosesi nyekar, umumnya juga mengunjungi ‘batu yi gandangi’ atau orang Buton umumnya menyebut sebagai ‘Batu Wolio’. Tak ada prosesi lebih di sana. Umumnya pengunjung hanya memngang sebagai pemuliaan terhadap situs yang disebut-sebut sebagai batu tempat mengambil air sebelum prosesi pelantikan raja dan sultan di masa lalu.
“Dalam cerita bertuturnya, di sebut batu Yigandangi, karena batu ini menjadi tempat menabuh atau membunyikan gendang menjelang pelantikan raja atau Sultan di masa lalu. Kalau sekarang, ada pameo di neger Wolio, bila tak dianggap belum mengunjungi Buton jika tak ke tempat batu Wolio ini,” imbuh Idrus Taufiq, yang dikenal sebagai kerabat dekat dari Sultan Butin 37 dan 38.
Seorang penyimpan naskah-naskah Buton, Al Mujazi Mulku Zahari menuturkan bila Batu Wolio merupakan batu peninggalan Kesultanan Buton yang dipercaya masyarakat sebagai tempat pertama kali diketemukan Putri Wakaka oleh Tentara Kubilai Khan. Batu tersebut juga dijadikan tempat pertama kali putri Wakaka diangkat menjadi Raja Pertama di Pulau Buton. “Batu ini juga biasa disebut juga batu Yi Gandangi karena di batu Wolio ini dibunyikan gendang menjelang pelatikan raja atau sultan,” tandasnya.
Dijelaskan sehari sebelum sultan dilantik, empat orang Bonto Siolimbona mengambil air di tempat yang dianggap suci lalu memasukkannya ke dalam ruas bambu sebanyak tujuh ruas. Air suci tersebut kemudian ditempatkan di atas batu Wolio.
Berkait istilah ‘Santiago’ tidak banyak pendapat yang menjelaskannya secara detai, dari mana asal usul kata ini. Namun prosesi ini umumnya berjalan sekitar dua jam lamnay dari awal hingga akhir.**(Ref)
0 Komentar