Butonmagz, masih dalam proses perbaikan web, bila ada kendala pembacaan informasi mohon permakluman

Jalan Dagang Orang Bugis dan Terjadinya Singapura



Disadur dari situs Indonesia.go.id menyebutkan monopoli Belanda di Riau kepulauan adalah salah satu yang membuat Raffles memutuskan untuk membangun pangkalan di Tumasik. Raffles tentu tidak mau kehilangan perdagangan yang saling menguntungkan dengan orang-orang Bugis yang berjalan sekian lama.

Christian Pelras (meninggal 2014) menghabiskan lebih dari separuh umurnya untuk meneliti orang Bugis. Lahir pada 1934, Pelras sedikit lebih tua dari Denys Lombard yang terkenal dengan bukunya Nusajawa. Mereka adalah murid dari George Coedes, peneliti sejarah Asia Tenggara senior yang “menemukan kembali” Sriwijaya. Mereka berdua bersama Pierre Labrousse, (penulis Kamus Prancis-Indonesia) adalah tiga serangkai pendiri Majalah Archipel. 

Dalam bukunya The Bugis (1996), Pelras menulis seluk-beluk sejarah orang Bugis dengan gaya khas sekolah Annales. Ciri khas sekolah atau aliran ini adalah menyertakan berbagai disiplin ilmu seperti telaah antropologi, arkeologi, arsitektur, sosiologi, filologi, hingga sastra untuk menceritakan kembali sejarah bangsa-bangsa.

Orang Bugis, yang berasal dari asal kata To Bugi, atau To Ugi, adalah salah satu suku bangsa yang mendiami suatu wilayah tengah arah barat daya kepulauan terbesar di Asia Tenggara yang saat ini dikenal dengan nama Sulawesi. Pelras, mungkin terinspirasi dari Lombard, ingin mengungkap sejarah Bugis dari zaman purba, masa klasik, jaman peradaban, hingga awal zaman modern. Salah satu yang menarik dari karya Pelras adalah tentang ‘keunggulan’ dagang orang Bugis.

Permintaan Tertinggi

Pelras menyimpulkan bahwa pada dasarnya ketangguhan orang Bugis dalam berdagang adalah sifatnya yang eklektik. Mereka berdagang apa saja. Selalu mengikuti perubahan dengan memenuhi berbagai macam persediaan barang dagangan yang tinggi permintaannya. Maka tak heran di akhir abad 18, isi kargo kapal bugis paling banyak diisi  dengan timah Bangka, tripang Australia, dan tentu saja budak. Pada zaman itu perbudakan adalah kelaziman. 

Tentu saja banyak barang-barang lain yang diperjualbelikan orang Bugis. Raffles mencatat bahwa kain katun yang diambil dari wilayah sekitar (Malaka), diekspor kembali oleh mereka sebagai pakaian. Demikian juga dengan sarang burung, kulit kura-kura, agar-agar, opium hingga emas. Nilainya, dalam perkiraan Raffles bisa mencapai lima puluh hingga enam puluh ribu dolar.

Tentang perdagangan budak, Anthony Reid mencatat bahwa komoditas ini memang sudah diperdagangnya setidaknya sejak abad 16. Heather Sutherland (1983) bahkan mencatat bahwa budak-budak itu dibeli dari raja-raja lokal dari Sunda Kecil (Nusan Tenggara), Buton, Mindanao, Sulu, dan Sabah untuk dipekerjakan sebagai budak di perkebunan lada Melayu dan Sumatra. Kebutuhan akan budak begitu tinggi sebagai anak buah kapal, pembantu rumah tangga, pelayan kantor sampai prajurit-prajurit rendahan.

Uniknya, orang Bugis sendiri, termasuk di antara budak-budak yang dicatat oleh Raffles populasinya paling tinggi di Batavia. Jumlahnya mencapai 26 persen lebih banyak dibandingkan orang Bali yang ada di urutan berikutnya. Konflik dan peperangan di antara kerajaan-kerajaan di Sulawesi adalah salah satu yang memicu perbudakan.

Akhir abad 19, saat Belanda sudah melarang perdagangan budak konon penyelundupan budak yang dilakukan oleh orang-orang Bugis dan Makassar masih marak menuju Arabia, Brunai, dan Singapura. Penyelundup-penyelundup Inggris adalah para pemain yang menikmati tingginya pendapatan bisnis “trafficking” yang sangat menguntungkan. 

Pada 1880 bahkan tercatat budak-budak yang didatangkan adalah orang-orang etnis Toraja taklukan yang dibeli dari tengkulak Luwu dan Sidenreng yang mendapat pasokan dari penguasa Toraja. Sejarah mencatat praktek tak terpuji ini selesai saat Belanda menaklukkan Bugis dan Toraja pada 1906.

Jaringan Dagang Pendukung

Jaringan dagang yang dibangun orang-orang Bugis di antero kepulauan nusantara selalu disambungkan dengan jalur-jalur perdagangan internasional ‘tua’ yang ada di berbagai pelabuhan utama. Salah satu wilayah yang paling strategi adalah jaringan dagang yang dibangun di wilayah Riau kepulauan pada awal abad 18. Di tengah berbagai kekuatan perdagangan internasional yang bertarung di sana, orang-orang Bugis mampu membangun bisnisnya dengan leluasa dan dengan mudah bersaing dengan Belanda yang saat itu menguasai Malaka.

Salah satu yang membuat keunggulan orang Bugis adalah kemampuan mereka menyediakan barang dagangan dengan harga bersaing tetapi perputarannya cepat. Beda dengan Belanda yang mementingkan tingginya harga tetapi perputarannya lama.

Bandar-bandar di kepulauan Riau dibuka bagi semua pemain. Termasuk di antaranya pesaing dari Makassar, Jawa, Cina, Inggris, hingga Siam. Di Riau kepualauan itulah pertemuan antara jaringan Samudera Hindia bertemu dengan jaringan Laut Jawa dan Laut Cina Selatan. Saat Belanda memutuskan untuk menduduki Riau pada 1784, salah satu alasannya adalah mematahkan dominasi orang Bugis.

Sebenarnya seperti apa kekuatan jaringan dagang orang Bugis pada awal abad 19? Crawfurd, rekanan Raffles, pada 1820 mencatat jumlah para pedagang bugis asal Wajo yang mencapai ratusan di seluruh bandar-bandar perdagangan. Tercatat di Makassar ada 100 kapal, Mandar 100, Kaili (Palu) 100, Wajo 100, Pare-pare 10, Flores 50, Sumbawa 40, Bali dan Lombok 50, Bonerate (flores) 50, dan Jawa 50.

Totalnya hampir mencapai 700 kapal. Daya jelajahnya bahkan diakui oleh Jarred Diamond mencapai kawasan di pulau-pulau terluar sebelah utara Australia yang saat ini dikenal sebagai kepulauan Sahul. Mereka juga dikenal sebagai pemburu burung-burung langka yagn hanya ada di pulau besar Papua.

Terdesak ke Tumasik

Saat Inggris menyela kekuasaan Belanda  di akhir abad 18 hingga awal abad 19, sebenarnya konsesi keleluasaan berdagang di Riau kepulauan telah diberikan kepada orang Bugis yang sudah lama berhubungan mesra. Tetapi ternyata, Belanda kembali berkuasa pada 1819. Manuver Belanda membuat pedagang-pedagang Bugis terpaksa pindah ke pulau yang nyaris terbengkalai.

Pulau itu bernama Tumasik. Pasalnya Belanda menerapkan tarif yang sangat tinggi untuk barang-barang yang masuk dari luar, terutama barang-barang Inggris yang menguntungkan. Raffles adalah orang yang paling menyesalkan kembali berkuasanya Belanda di Sumatra dan Jawa. Monopoli Belanda di Riau kepulauan adalah salah satu yang membuat Raffles memutuskan untuk membangun pangkalan di Tumasik. Raffles tentu tidak mau kehilangan perdagangan yang saling menguntungkan dengan orang-orang Bugis yang berjalan sekian lama.

Padahal sebelumnya, Raffles berencana untuk membangun pangkalan di Karimun Jawa. Usut punya usut ternyata Sultan Johor yang waktu itu menjual Tumasik pada Raffles ternyata masih punya garis Bugis dalam dirinya. (Y-1)

Posting Komentar

0 Komentar



  • Asal Usul Nama Sulawesi dan Sebutan Celebes
    Lukisan tentang kehidupan masyarakat Sulawesi Selatan pada abad ke-16. (Tropenmuseum, part of the National Museum of World Cultures)BUTONMAGZ--Sulawesi dan Celebes merupakan pulau terbesar kesebelas di dunia. Menurut data Sensus 2020, penduduknya mencapai kurang dari 20 juta jiwa, yang tersebar di...
  • Tragedi Sejarah Lebaran Kedua di Tahun 1830
    Diponegoro (mengenakan surban dan berkuda) bersama pasukannya tengah beristirahat di tepian Sungai Progo.BUTONMAGZ---Hari ini penanggalan islam menunjukkan 2 Syawal 143 Hijriah, dalam tradisi budaya Islam di Indonesia dikenal istilah 'Lebaran kedua',  situasi dimana semua orang saling...
  • Kilas sejarah singkat, Sultan Buton ke-4 : Sultan Dayyanu Ikhsanuddin
    Apollonius Schotte (ilustrasi-Wikipedia)BUTONMAGZ—Tulisan ini merupakan bagian dari jurnal Rismawidiawati – Peneliti pada Kantor Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Makassar, dengan judul  Sultan La Elangi (1578-1615) (The Archaeological Tomb of the Pioneers “Martabat Tujuh” in the Sultanate...
  • Peranan Politik Sultan Mardan Ali di Kesultanan Buton (Bagian 3)
    Pulau Sagori (kini wilayah Bombana) yang banyak menyimpan cerita zaman Kesultanan ButonBUTONMAGZ---Tulisan ini disadur dari Jurnal Ilmiah berjudul ‘Peranan Sultan Mardan Ali di Kesultanan Buton: 1647-1657M, yang ditulis Asniati, Syahrun, La Ode Marhini dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Halu...
  • Mengenal Pribadi Sultan Mardan Ali. Sultan Buton yang dihukum Mati (Bagian 2)
    Pulau Makasar di Kota BaubauBUTONMAGZ---Tulisan ini disadur dari Jurnal Ilmiah berjudul ‘Peranan Sultan Mardan Ali di Kesultanan Buton: 1647-1657M, yang ditulis Asniati, Syahrun, La Ode Marhini dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Halu Oleo Kendari.Di bagian pertama menjelaskan tentang profil awal...
  • Mengenal sosok Sultan Mardan Ali. Sultan Buton yang dihukum Mati (Bagian I)
    Makam Sultan Mardan Ali 'Oputa Yi Gogoli'  (foto rabani Unair Zone)BUTONMAGZ--- cerita tentang kepemimpinan raja dan sultan di Buton masa lalu menjadi catatan tersendiri dalam sejarah masyarakat Buton kendati literasi tentang itu masih jarang ditemukan. Salah satu kisah yang menarik adalah...
  • Sejarah Kedaulatan Buton dalam Catatan Prof. Susanto Zuhdi
    foto bertahun 1938 dari nijkmusem.dd----8 April 1906, Residen Belanda untuk Sulawesi, Johan Brugman (1851–1916), memperoleh tanda tangan atas kontrak baru dengan Sultan Aidil Rakhim (bernama asli Muhamad Asyikin, bertakhta 1906–1911) dari keluarga Tapi-tapi setelah satu minggu berada di...
  • Perdana Menteri Negara Indonesia Timur Kelahiran Buton, Siapa Dia?
    Nadjamuddin Daeng MalewaBUTONMAGZ---Tak banyak yang mengenal nama tokoh ini di negeri Buton, namun di Makassar hingga politik ibu kota masa pergerakan kemerdekaan, nama ini dikenal sebagai sosok politis dengan banyak karakter. Namanya Nadjamuddin Daeng Malewa, lahir di Buton pada tahun 1907. Ia...

  • Inovasi di Desa Kulati - Wakatobi, Sulap Sampah Jadi Solar
    BUTONAMGZ---Kabupaten Wakatobi yang terkenal dengan keindahan surga bawah lautnya, ternyata memiliki sebuah desa yang berbeda dengan daerah lainnya di Indonesia, dimana dihuni oleh masyarakat yang sangat sadar akan pentingnya menjaga lingkungan hidup.Daerah ini bernama Desa Kulati yang mayoritas...
  • Repihan Tradisi dan Sejarah di Kepulauan Pandai Besi - Wakatobi
    BUTONMAGZ---Kepulauan Pandai Besi adalah julukan untuk empat pulau besar dan sejumlah pulau kecil lain di ujung tenggara Pulau Buton, Sulawesi Tenggara. Penamaan itu diberikan pada masa Hindia Belanda karena kepandaian masyarakatnya dalam pembuatan senjata tradisional berbentuk keris dan peralatan...
  • Tari Lariangi - Kaledupa; Tarian Penyambutan dengan Nuansa Magis
    Penari Lariangi. (Dokumen Foto La Yusrie)BUTONMAGZ---Kepulauan Buton tak hanya kaya dengan kesejarahan dan maritim, budaya seninya pun memukau. Salah satunya Tari Lariangi yang berasal dari Kaledupa Kabupaten Wakatobi – Sulawesi Tenggara saat ini.Melihat langsung tarian ini, magisnya sungguh terasa...
  • KaTa Kreatif 2022: Potensi 21 Kabupaten/Kota Kreatif Terpilih. Wakatobi terpilih!
    Wakatobi WaveBUTONMAGZ--Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Kepala Badan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Uno, secara resmi membuka kick off KaTa Kreatif 2022 pada Januari lalu. Di dalam program ini terdapat 21 Kabupaten/Kota Kreatif Terpilih dari total 64 Kabupaten/Kota yang ikut serta.KaTa Kreatif...
  • Tiga Lintasan Baru ASDP di Wakatobi Segera Dibuka
    BUTONMAGZ---Sebanyak tiga lintasan baru Angkutan, Sungai, Danau, dan Penyeberangan (ASDP) Cabang Baubau di Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara, segera dibuka menyusul telah disiapkannya satu unit kapal untuk dioperasikan di daerah itu. Manager Usaha PT ASDP Cabang Baubau, Supriadi, di Baubau,...
  • La Ola, Tokoh Nasionalis dari Wakatobi (Buton) - Pembawa Berita Proklamasi Kemerdekaan Dari Jawa.
    BUTONMAGZ—Dari sederet nama besar dari Sulawesi Tenggara yang terlibat dalam proses penyebaran informasi Proklamasi Kemerdekaan RI pada tanggal 17 Agustus 1945. Ada satu nama yang (seolah) tenggelam dalam sejarah.  Di adalah La Ola. Nama La Ola terekam dalam buku berjudul “Sejarah Berita...
  • Jatuh Bangun dan Tantangan bagi Nelayan Pembudidaya Rumput Laut di Wakatobi
    ilustrasi : petani rumput laut BUTONMAGZ---Gugusan Kepulauan Wakatobi di Sulawesi Tenggara terdiri dari 97 persen lautan dan hanya 3 persen daratan. Dari 142 pulau-pulau kecil, hanya 7 pulau yang berpenghuni manusia. Saat ini pariwisata bahari menjadi andalan pendapatan perkapita masyarakat di...
  • Kaombo, Menjaga Alam dengan Kearifan Lokal
    BUTONMAGZ--Terdapat sebuah kearifan lokal di masyarakat Kepulauan Buton pada umumnya. Di Pulau Binongko - Wakatobi misalnya, oleh masyarakat setempat kearifan ini digunakan untuk menjaga kelestarian alam. Mereka menyebutnya tradisi kaombo, yakni sebuah larangan mengeksploitasi sumber daya alam di...