BUTONMAGZ---Pertama kali mewawancara H. Ali Mazi, S.H., Gubernur Sulawesi Tenggara saat ini seolah membenam pikiran, bila tubuhnya yang gemuk bakal paralel dengan gaya bicaranya. Paling tidak menebak-nebak Ali Mazi bila ia memiliki nada berkomunikasi yang keras, tinggi khas ‘orang pulau’. Tetapi asumsi itu hilang seketika, Pak Ali Mazi ternyata punya gaya komunikasi yang lembut dan datar, lebih kejawa-jawaan. Itu kesan pertama saya dalam diskusi dengannya di Rujab Gubernur beberapa hari yang lalu, 12 April 2019.
“Pemimpin itu harus punya tatakrama saat berbicara dengan warganya, dalam situasi apapun,” kata Pak Ali dengan nada datar.
“Pemimpin itu harus punya tatakrama saat berbicara dengan warganya, dalam situasi apapun,” kata Pak Ali dengan nada datar.
Ada hal yang menfilosofi hidup dan kepemimpinannya, filosofi Jawa. “Ojo dumeh, ojo kagetan lan ojo gumunan” katanya. Saya tak mengerti makna filosof iitu, saya pun tak hendak bertanya. Pak Ali Mazi hanya melirik Pak La Ode Mustari, Kepala Badan Kepegawaian Daerah Sultra, yang mengantar saya ke Rujab malam itu.
Memang tak penting mengetahui makna filosofi itu, sebab saya selalu percaya bahawa filosofi itu selalu bermakna kearifan dan kebijakan. Hanya menerka-nerka, bila Pak Ali Mazi memperolehnya ketika dalam pergumulan kehidupannya di Pulau Jawa, mungkin pada saat ia kuliah di Jogyakarta, atau mungkin pula ketika aktif menjadi seorang praktisi hukum di ibu kota. Tak hendak bertanya jauh tentang itu.
Sebagai seorang pejabat negara, berdiskusi dengan Pak Ali Mazi tentu harus punya tata krama, setidaknya tak banyak menguras waktu. Apalagi cukup banyak tetamu yang hendak berurusan dengannya, secara kedinasan atau pribadi. Karenanya sejumlah pertanyaan telah hadir di benak, harus terseleksi sendiri dalam pikiran.
“Izin pak, boleh bertanya lebih privat?. “Boleh, silakan,” kata Pak Ali Mazi. Saya pun memulainya dengan ‘perasaan’ Pak Ali Mazi pada kepemimpinan pertamanya di tahun 2003-2008 yang kemudian ‘terputus’ selama 10 tahun, dan kemudian terpilih kembali di periode 2018-2023.
“Biasa-biasa saja. Tuhan telah menggariskan kehidupan saya seperti itu. menang kalah dalam kontestasi politik itu biasa. Saya menjalaninya sebagai takdir. Tak perlu berlebihan. Begitupun menghadapi dinamika dalam kepemimpinan, pun biasa-biasa saja,”
“Tatkala beberapa waktu lalu ada unjuk rasa, saya pun harus menerima perwakilan warga. Toh itu warga saya. Pemimpin itu tak boleh membentak. Saya mengikuti kalimat itu. bagaimana menyelesaikan dan memberi solusi, setiap pemimpin pasti punya jalan keluar,” kata Pak Ali Mazi.
Apakah bapak memiliki ‘ilmu’ khusus tentang itu? tanya saya. “Tuhan itu selalu memberi petunjuk kepada setiap pemimpin, kendati dalam terjepit sekalipun. Itu yang disebut dengan kemampuan membuat keputusan, karakteristik kepemimpinan ada di situ,” jawabnya.
Banyak pertanyaan lebih privat yang saya sampaikan kepada beliau, dan di balik jawaban-jawaban Pak Ali Mazi seolah kembali memasuki lorong waktu ke masa-masa pergulatan teori di bangku perkuliahan. Bedanya Pak Ai Mazi dalam kapasitasnya sebagai orang nomor 1 di Sulawesi Tenggara, tentu menjadi medan pergulatan praktik dari ilmu kepemimpinan yang dipelajarinya selama ini.
Pak Ali Mazi ternyata pribadi yang hangat dalam berdisikusi, membungkam asumsi yang melekat di benak selama ini. Wajahnya pun tampak segar dengan tubuh yang bugar dengan candaan-candaan renyah yang selalu diungkapnya. Sesekali beliau bercerita panjang tentang ‘mimpi besarnya’ memajukan Sulawesi Tenggara di masa kepemimpinannya saat ini. Di kesempatan lain saya akan mengulas tentang ‘target’ membangunnya di Sultra.
Ksempatan ini, saya lebih tertarik mengulas sisi humanisme suami dar Ibu Agista Ariyani ini, kendati tak banyak yang bisa saya tuliskan di sini. Saya hanya mengambil kesimpulan sederhana malam itu. “Ow ternyata Pak Ali Mazi segar bugar, sakit? Ternyata tidak.” Begitu kesimpulanku.
Pak Ali Mazi seolah paham maksud saya. Beliau langsung menimpali. “terkadang kita tak mampu memilih diksi dalam menyampaikan sesuatu, itu sebab maknanya terkadang melenceng jauh. Yang pasti kita semua lebih baik berpikir positif, agar Sulawesi Tenggara ini bisa lebih berdaya saing, dan masyarakat Insha Allah akan lebih sejahtera,” katanya.
Malam itu, jam dinding menunjukkan pukul 23.30 wita. Malam telah larut. Pak La Ode Mustari mengingatkan beliau untuk beristirahat, sebab agenda Pemilu 2019 akan banyak menguras energi. Pak Ali Mazi hanya tersenyum. “Kapan-kapan kita diskusi lagi,” kata Pak Ali menutup pembicaraannya. (ref)
0 Komentar