Lambo adalah perahu tradisonal di Buton dan Selayar |
BUTONMAGZ---Hal yang menonjol dari Kebudayaan masyarakat Buton adalah Perahu Lambo dan tradisi pelayarannya. Berdasarkan catatan antropolog menuliskan bahwa pada tahun 1987 sebanyak 1.281 kapal perdagangan lokal (perahu lambo) ada di Kabupaten Buton, 467 ada di Pulau Tukang Besi, dan jumlah ini berlanjut dalam pola yang panjang. Pada tahun 1919 menurut perkiraan seorang militer Belanda, bahwa ada sekitar 300 perahu di Pulau Buton, 200 perahu terdapat di Pulau Tukang Besi, dan setengahnya terdapat di Pulau Binongko (Soulthon, 1995).
Dalam jurnal berujdul “Dinamika Pelayaran dan Perubahan Perahu Lambo Dalam Kebudayaan Maritim Orang Buton” yang ditulis Dr. Tasrifin Tahara, antopolog Unhas dan Rismawidyawati dari Balai Pelestarian Nilai Budaya Sulawesi Selatan, menyebutkan penamaan Lambo secara ilmiah telah digunakan Adrian Horridge (1981)
Menurut Tasrifin dan Rismawidyawati mengemukakan dalam beberapa catatan sejarah, jenis perahu yang sering digunakan orang Buton sebagai sarana transportasi dalam aktifitas kemaritiman adalah perahu lambo. Aktifitas kemaritiman yang umum dilakukan adalah melakukan perdagangan dengan membawa hasil-hasil laut seperti lola (trochus niloticus), teripang, sirip ikan hiu, dan lain-lain.
Pada musim barat, mereka melakukan pelayaran perdagangan dengan tujuan untuk wilayah barat yaitu Surabaya, Gresik, Tanjung Pinang, bahkan sampai di wilayah Malaysia dan Singapura. Pada saat pelayaran dari arah barat, pelayar tersebut membawa barang seperi kain, piring, guci dan lain-lain. Selain itu untuk kebutuhan rumah tangganya, barang- barang tersebut juga adalah barang untuk dijual di Kota Baubau. Pelayaran ke wilayah timur melingkupi Ambon, Halmahera, Pulau Banda, Ternate, dan Papua (Tahara, 2014).
Selama ini studi tentang Buton hanya dilihat dunia maritim dan ideologi kekuasaan. Dalam dunia maritim, artikel tentang Buton fokus pada bentuk perahu sebagai ideologi politik (labu wana labu rope) (Zuhdi, 2010). Kemudian kemahiran dalam pelayaran serta bentuk perahu dan ritual dalam pembuatan perahu (Soulthon, 1995 Sofyan, 2003). Artikel ini bertujuan mendeskripsikan dinamika pelayaran, perubahan bentuk perahu lambo hingga saat ini sebagai produk kebudayaan orang Buton yang masih mempertahankan tradisi kemaritiman.
Lambo sebagai ciri khas perahu yang digunakan oleh orang Buton dalam pelayaran di nusantara. Pada pelayaran tradisional, layar memegang peran sangat penting dalam pelayaran. Tenaga penggerak perahu sepenuhnya bergantung pada kekuatan angin. Cepat dan lambat masa pelayaran ditentukan oleh kondisi angin ketika berlayar.
Demikian pula daerah tujuan sangat dipengaruhi oleh arah angin yang berhembus pada musim tertentu. Teknik mengenai pembuatan perahu akan merujuk pada aspek ini, sebagai faktor dominan yang mempengaruhi teknik pelayaran, dari tradisional ke modern dan dari musiman ke tanpa musim.
Bangka Kabangu
Perahu yang digunakan masyarakat Buton untuk berlayar dan berdagang disebut bangka/bhangka atau wangka. Ada juga yang menyebutnya dengan kata boti (serapan dari kata boat). Adrian Horridge (1981) sendiri menggunakan istilah lambo.
Jenis perahu ini ditandai bentuk layarnya, berdiri atau kabangu. Dalam model ini, ada dua tiang layar utama (kokombu) yang dipasang pada bagian tengah-depan dan tengah-belakang perahu. Posisinya berada di depan dan belakang atap perahu yang bentuknya persegitiga seperti piramida. Lebar layar pertama bagian tengah-depan sampai pada tiang layar kedua bagian belakang. Lebar layar belakang sampai ujung (wana) perahu.
Penanda utama layar jenis ini adalah kayu/bambu yang dipasang melintang pada bagian 2/3 tiang layar utama, yang disebut gapu. Beban pengendalian layar, demikian pula saat dinaikkan dan diturunkan, sangat sulit dan berisiko. Butuh beberapa orang untuk melakukan tugas ini. Karena itu jumlah awaknya antara 5-10 orang. Pada saat angin sangat kencang, layar diturunkan salah satunya, bahkan jika tidak dapat dikendalikan, semua layar diturunkan.
Selain dua layar utama, terdapat pula satu layar bantu di bagian depan (rope) perahu yang disebut jip/jipu. Fungsi layar ini sebagai pengendali gerak haluan perahu. Panjang/lebar layar melebihi bagian depan perahu.
Untuk menyokong layar, di bagian bawah ujung layar terdapat sebuah kayu, yang disebut gustali. Pada saat angin kencang, layar ini biasanya tetap dipertahankan, meski tanpa dua layar utama. Layar jipu biasanya terakhir diturunkan ketika kondisi angin sangat kuat dan perahu sulit dikendalikan. Pada konsisi ini, perahu dibiarkan terapung ke mana pun. Usaha pengemudi memainkan kemudi agar menjaga haluan perahu sangat dipengaruhi kondisi gelombang dan arus laut.
Kemudi (uli) berada di bawah bagian belakang (wana) perahu. Pada bagian atas kemudi, tepatnya di atas dek, terdapat tempat duduk bagi pengemudi. Pada bagian depan, dekat tiang layar utama terdapat dapur (tempat memasak). Posisi ini cukup sulit dan berisiko bagi koki saat memasak. Baru pada tahun 1990-an, posisi dapur dipindahkan ke belakang. Tonase bangka kabangu berkisar 10 sampai 40 ton.
Para pelayar mengakui bahwa berlayar dengan kabangu lebih sulit dibandingkan layar nade. Kesulitan ini, tidak hanya karena kondisi layar yang sulit dikendalikan, tetapi bahan-bahan layar dan tali-temali yang digunakan sangat sederhana. Layar (pongawa) dianyam dari kulit kayu. Sementara tali-temali layar terbuat dari rotan. Khusus tali jangkar dianyam dari sejenis tumbuhan akar panjang. Menjelang berlayar, para awak perahu ke hutan mencari bahan ini. Dalam prakteknya, dibutuhkan kerja sama untuk menggunakan tali ini. Jika sebagian tidak memegang tali dengan kuat, maka yang lain menjadi korban akibat gesekan tali yang keras, sehingga telapak tangan terkelupas/luka.
Oleh sebab itu, kesatuan kata dan perbuatan antara awak perahu adalah kunci kerjasama. Kondisi bahan layar dan tali-temali mengharuskan awak perahu selalu menyediakan bahan-bahan tersebut di perahu, karena daya tahannya tidak terlalu lama. Itulah sebabnya perahu kerap menyinggahi pulau-pulau yang dilewati ketika berlayar untuk mencari kebutuhan tersebut, juga mengambil air bersih.
Bangka Nade
Model layar utama merupakan aspek pembeda antara bangka kabangu dengan bangka nade. Pada model ini, tiang utama layar (kokombu) hanya satu di bagian agak depan. Bila pada layar kabangu bagian gapu lebih besar dan terlihat jelas, maka pada layar ini bentuk gapu sedikit merapat ke tiang utama, sehingga dari kejauhan tidak tampak. Keberadaan gapu hanya dapat dilihat dari jarak yang lebih dekat.
Bentuk layar nade lebih besar. Kayu/bambu layar utama bagian bawah tanpak lebih panjang, dibandingkan dengan layar kabangu, yakni melebihi panjang bagian belakang (wana) perahu. Bentuk atap perahu sama seperti jenis pertama, yakni berupa persegitiga. Dengan model layar seperti ini, awak perahu sedikit lebih mudah mengendalikan perahu. Namun demikian, jika kondisi angin sangat kencang, layar utama diturunkan dan menggunakan layar depan (jipu). Pada kondisi terakhir, layar jipu diturunkan, seperti juga pada bangka kabangu. (ref)
Dalam jurnal berujdul “Dinamika Pelayaran dan Perubahan Perahu Lambo Dalam Kebudayaan Maritim Orang Buton” yang ditulis Dr. Tasrifin Tahara, antopolog Unhas dan Rismawidyawati dari Balai Pelestarian Nilai Budaya Sulawesi Selatan, menyebutkan penamaan Lambo secara ilmiah telah digunakan Adrian Horridge (1981)
Menurut Tasrifin dan Rismawidyawati mengemukakan dalam beberapa catatan sejarah, jenis perahu yang sering digunakan orang Buton sebagai sarana transportasi dalam aktifitas kemaritiman adalah perahu lambo. Aktifitas kemaritiman yang umum dilakukan adalah melakukan perdagangan dengan membawa hasil-hasil laut seperti lola (trochus niloticus), teripang, sirip ikan hiu, dan lain-lain.
Pada musim barat, mereka melakukan pelayaran perdagangan dengan tujuan untuk wilayah barat yaitu Surabaya, Gresik, Tanjung Pinang, bahkan sampai di wilayah Malaysia dan Singapura. Pada saat pelayaran dari arah barat, pelayar tersebut membawa barang seperi kain, piring, guci dan lain-lain. Selain itu untuk kebutuhan rumah tangganya, barang- barang tersebut juga adalah barang untuk dijual di Kota Baubau. Pelayaran ke wilayah timur melingkupi Ambon, Halmahera, Pulau Banda, Ternate, dan Papua (Tahara, 2014).
Selama ini studi tentang Buton hanya dilihat dunia maritim dan ideologi kekuasaan. Dalam dunia maritim, artikel tentang Buton fokus pada bentuk perahu sebagai ideologi politik (labu wana labu rope) (Zuhdi, 2010). Kemudian kemahiran dalam pelayaran serta bentuk perahu dan ritual dalam pembuatan perahu (Soulthon, 1995 Sofyan, 2003). Artikel ini bertujuan mendeskripsikan dinamika pelayaran, perubahan bentuk perahu lambo hingga saat ini sebagai produk kebudayaan orang Buton yang masih mempertahankan tradisi kemaritiman.
Lambo sebagai ciri khas perahu yang digunakan oleh orang Buton dalam pelayaran di nusantara. Pada pelayaran tradisional, layar memegang peran sangat penting dalam pelayaran. Tenaga penggerak perahu sepenuhnya bergantung pada kekuatan angin. Cepat dan lambat masa pelayaran ditentukan oleh kondisi angin ketika berlayar.
Demikian pula daerah tujuan sangat dipengaruhi oleh arah angin yang berhembus pada musim tertentu. Teknik mengenai pembuatan perahu akan merujuk pada aspek ini, sebagai faktor dominan yang mempengaruhi teknik pelayaran, dari tradisional ke modern dan dari musiman ke tanpa musim.
Bangka Kabangu
Perahu yang digunakan masyarakat Buton untuk berlayar dan berdagang disebut bangka/bhangka atau wangka. Ada juga yang menyebutnya dengan kata boti (serapan dari kata boat). Adrian Horridge (1981) sendiri menggunakan istilah lambo.
Jenis perahu ini ditandai bentuk layarnya, berdiri atau kabangu. Dalam model ini, ada dua tiang layar utama (kokombu) yang dipasang pada bagian tengah-depan dan tengah-belakang perahu. Posisinya berada di depan dan belakang atap perahu yang bentuknya persegitiga seperti piramida. Lebar layar pertama bagian tengah-depan sampai pada tiang layar kedua bagian belakang. Lebar layar belakang sampai ujung (wana) perahu.
Penanda utama layar jenis ini adalah kayu/bambu yang dipasang melintang pada bagian 2/3 tiang layar utama, yang disebut gapu. Beban pengendalian layar, demikian pula saat dinaikkan dan diturunkan, sangat sulit dan berisiko. Butuh beberapa orang untuk melakukan tugas ini. Karena itu jumlah awaknya antara 5-10 orang. Pada saat angin sangat kencang, layar diturunkan salah satunya, bahkan jika tidak dapat dikendalikan, semua layar diturunkan.
Selain dua layar utama, terdapat pula satu layar bantu di bagian depan (rope) perahu yang disebut jip/jipu. Fungsi layar ini sebagai pengendali gerak haluan perahu. Panjang/lebar layar melebihi bagian depan perahu.
Untuk menyokong layar, di bagian bawah ujung layar terdapat sebuah kayu, yang disebut gustali. Pada saat angin kencang, layar ini biasanya tetap dipertahankan, meski tanpa dua layar utama. Layar jipu biasanya terakhir diturunkan ketika kondisi angin sangat kuat dan perahu sulit dikendalikan. Pada konsisi ini, perahu dibiarkan terapung ke mana pun. Usaha pengemudi memainkan kemudi agar menjaga haluan perahu sangat dipengaruhi kondisi gelombang dan arus laut.
Kemudi (uli) berada di bawah bagian belakang (wana) perahu. Pada bagian atas kemudi, tepatnya di atas dek, terdapat tempat duduk bagi pengemudi. Pada bagian depan, dekat tiang layar utama terdapat dapur (tempat memasak). Posisi ini cukup sulit dan berisiko bagi koki saat memasak. Baru pada tahun 1990-an, posisi dapur dipindahkan ke belakang. Tonase bangka kabangu berkisar 10 sampai 40 ton.
Para pelayar mengakui bahwa berlayar dengan kabangu lebih sulit dibandingkan layar nade. Kesulitan ini, tidak hanya karena kondisi layar yang sulit dikendalikan, tetapi bahan-bahan layar dan tali-temali yang digunakan sangat sederhana. Layar (pongawa) dianyam dari kulit kayu. Sementara tali-temali layar terbuat dari rotan. Khusus tali jangkar dianyam dari sejenis tumbuhan akar panjang. Menjelang berlayar, para awak perahu ke hutan mencari bahan ini. Dalam prakteknya, dibutuhkan kerja sama untuk menggunakan tali ini. Jika sebagian tidak memegang tali dengan kuat, maka yang lain menjadi korban akibat gesekan tali yang keras, sehingga telapak tangan terkelupas/luka.
Oleh sebab itu, kesatuan kata dan perbuatan antara awak perahu adalah kunci kerjasama. Kondisi bahan layar dan tali-temali mengharuskan awak perahu selalu menyediakan bahan-bahan tersebut di perahu, karena daya tahannya tidak terlalu lama. Itulah sebabnya perahu kerap menyinggahi pulau-pulau yang dilewati ketika berlayar untuk mencari kebutuhan tersebut, juga mengambil air bersih.
Bangka Nade
Model layar utama merupakan aspek pembeda antara bangka kabangu dengan bangka nade. Pada model ini, tiang utama layar (kokombu) hanya satu di bagian agak depan. Bila pada layar kabangu bagian gapu lebih besar dan terlihat jelas, maka pada layar ini bentuk gapu sedikit merapat ke tiang utama, sehingga dari kejauhan tidak tampak. Keberadaan gapu hanya dapat dilihat dari jarak yang lebih dekat.
Bentuk layar nade lebih besar. Kayu/bambu layar utama bagian bawah tanpak lebih panjang, dibandingkan dengan layar kabangu, yakni melebihi panjang bagian belakang (wana) perahu. Bentuk atap perahu sama seperti jenis pertama, yakni berupa persegitiga. Dengan model layar seperti ini, awak perahu sedikit lebih mudah mengendalikan perahu. Namun demikian, jika kondisi angin sangat kencang, layar utama diturunkan dan menggunakan layar depan (jipu). Pada kondisi terakhir, layar jipu diturunkan, seperti juga pada bangka kabangu. (ref)
0 Komentar