BUTONMAGZ—Dibagian kedua dikisahkan hubungan kedua kerajaan (Makassar dan Buton) bertutur tentang Selayar dan seorang Raja Makassar yang dimakamkan di kawasan – Karaeng Tunipassulu, Raja Gowa ke-13. Di sesi ketiga ini, Syahrir Kila dari Balai Pelestarian Nilai Budaya Sulawesi Selatan menulis jurnal ilmiahnya dengan menceritaan adanya hubungan perkawinan antar keluarga bangsawan di kedua kerajaan. Seperti berikut ini;
Hubungan kekerabatan antara Kerajaan Makassar dan Kerajaan Buton, juga dapat ditelusuri berdasarkan sumber lisan dari narasumber yang terpercaya. Data dan keterangan lain yang diperoleh adanya hubungan kekerabatan itu, adalah melalui jalur perkawinan antara keluarga bangsawan lainnya.
Menurut penuturan La Ode Syaifuddin bahwa “masih ada hubungan kekerabatan selain garis langsung dari Tunipasulu, yaitu melalui perkawinan antara putri bangsawan Buton lainnya. Hubungan kekerabatan yang dimaksudkan itu adalah perkawinan antara putri Sultan Buton yang kedua, yaitu La Tumparasi (1545-1552) dengan anak laki-laki dari raja Makassar ke-14 yang bernama Sultan Alauddin (1593-1639). Dari perkawinan itu, ia dikaruniai dua orang anak, yaitu satu laki-laki dan satu perempuan. Anak perempuannya tidak diketahui dengan jelas kepada siapa ia menikah serta berapa anaknya.
Dari keterangan lisan itu, dapat disimpulkan bahwa memang ada kemungkinan bahwa yang bersangkutan pernah menjabat sebagai Panglima Perang Kerajaan Buton” (Wawancara: La Ode Syaifuddin diBaubau, 15-5-2016).
Dijelaskan dalam sumber lain bahwa anak laki-laki yang dimaksud itu adalah bernama Ali. Dikemudian hari ia dikenal dengan sebutan Kapitan Ali. Mungkinkah nama yang dimaksud itu adalah Kapitan Laut Ali yang disebutkan sebagai anak dari La Kabaura di Maluku yang bersaudara dengan Kenepulu La Bula dan Sapati La Singga di Buton, dan Syah Bandar I- Bone, ia juga dikenal sebagai Arumpone Mangkauna di Bone serta bersaudara seibu dengan Hamzah Sultan Ternate.
Dalam 1630, Kapitan Laut Ali dikirim oleh Sultan Ternate ke Ambon untuk menyelesaikan persoalan Ambon yang telah dikuasai oleh Makassar padahal ketika itu masih menjadi wilayah kekuasaan Ternate. Setahun kemudian, Ali meneruskan perjalanannya ke Tombuka, suatu wilayah kekuasaan Kerajaan Makassar yang berada di ujung Timur Sulawesi.
Wilayah tersebut dapat dikuasai Ali, selanjutnya ia meneruskan perjalanannya ke Buton pada 1632 yang ketika itu wilayah yang dimaksud masih wilayah kekuasaan Makassar. Maksud kedatangannya ke Buton adalah untuk menyelesaikan sengketa antara Buton dan Makassar yang terjadi pada 1632 itu (Zahari, 1977:150-151).
Sangat kecil kemungkinan bahwa orang yang disebut di atas adalah orang yang sama yang dijelaskan terakhir. Hal itu kemungkinan hanya kesamaan nama belaka sebab kalau orangnya sama, maka tidak mungkin ia berangkat ke Tombuka untuk merebut wilayah itu dari kekuasaan pemerintah Kerajaan Makassar. Jika hal itu terjadi menunjukkan suatu pembangkangan terhadap leluhurnya dan hukuman sangat berat bagi pelakunya.
Dengan demikian, dugaan bahwa Kapitan Laut Ali adalah nama dari anak yang lahir dari perkawinan antara putri Sultan Buton dan Putri Sultan Alauddin, sulit dibuktikan kebenarannya, meskipun periodenya hampir sama. Kapitan Laut Ali meninggal di Buton sebab keracunan. Beliau dimakamkan di dekat makam Sultan Buton pertama yaitu Sultan Murhum yang terletak di atas Bukit Lelemangaru (Zahari,1977: 151, catatan kaki no.8).
Jika benar perkawinan itu terjadi, maka berdasarkan tahun pemerintahan kedua raja atau sultan yang dimaksud, masanya terpaut jauh yaitu sekitar 39 tahun. Oleh sebab itu dapat disimpulkan bahwa perkawinan itu dilaksanakan setelah Sultan Buton ke-2 La Tumparasi tidak memerintah lagi. Ataukah jika perkawinan itu terjadi pada masa kedua raja kerajaan itu memerintah, maka yang mendekati kebenaran adalah Sultan Buton ke-4 yaitu La Elangi (1578-1615).
Boleh jadi perkawinan yang dimaksud itu terjadi pada masa pemerintahan Sultan La Elangi di Buton dan raja Makassar Sultan Alauddin (1593-1639), bukan terhadap Sultan Buton ke-2, La Tumparasi.
Persoalan muncul kemudian yaitu pada 1626, Sultan Alauddin menyerang Kerajaan Buton. Ketika itu, Kerajaan Buton mengalami krisis suksesi kepemimpinan yang ditinggalkan oleh La Balowo (1617-1619) setelah diturunkan dari tahtanya sebab dianggap tidak mampu menjalankan pemerintahan dengan baik. Antara 1619-1632, sebenarnya terjadinya kekosongan kesultanan atau kata lain Kerajaan Buton tidak memiliki Sultan depenitif. Ketika itu dapat dipastikan bahwa yang memegang tampuk pemerintahan adalah pejabat sementara, yaitu Sapati La Buke.
Realitas itu menunjukkan bahwa penyerangan atas Kerajaan Buton oleh Kerajaan Makassar pada masa kepemimpinan Sultan Alauddin, sebenarnya Kerajaan Buton mengalami kekosongan pemerintahan yang definitif. Memang dalam beberapa sumber tidak dijelaskan dengan rinci ketika itu siapa Sultan yang berkuasa di Buton waktu diserang Makassar. Hanya dijelaskan bahwa untuk pertama kalinya Kerajaan Buton diserang oleh Kerajaan Makassar pada 1626 dan Buton kalah meskipun ketika itu Buton telah menjalin persahabatan kerjasama dengan VOC pada 1613 (Zuhdi dan Muslimin Effendy, 2015:33), tetapi dalam persoalan itu VOC tidak memberikan bantuan apapun kepada Buton.
Kalau mencermati uraian mengenai hubungan kekerabatan yang terjadi pada masa pemerintahan Sultan Alauddin raja Makassar ke-14 dengan Kerajaan Buton, banyak kemungkinan lain yang dapat terjadi. Misalnya; perkawinan itu terjadi antara putri Sultan Buton ke-5 yang bernama La Balowo (1617-1619) dan Sultan Buton ke-6 yang bernama La Buke (1632-1645).
Kedua orang Sultan ini memiliki masa pemerintahan yang bersamaan dengan Sultan Alauddin (1593-1639). Tetapi yang lebih memungkinkan terjadi adalah pada masa pemerintahan Sultan Buton ke-5 yaitu La Balowo, bukan Sultan La Buke. Alasannya, ketika Kesultanan Buton kosong maka yang menjabat sementara sebagai sultan Buton adalah La Buke, dan dia pula yang kemudian naik menduduki tahta Kesultanan Buton sebagai Sultan Buton ke-6.
-------------------------------------------
BACA BERITA SEBELUMNYA:
Hubungan Kerajaan Makassar dengan Kerajaan Buton Abad ke-17 : Bermula dari Kabaena? (Bagian I)
-------------------------------------------------
Kemungkinan juga dapat terjadi sebaliknya, yaitu hubungan kekerabatan yang dibangun lewat jalur perkawinan itu terjadi antara putri Sultan Buton ke-6 yaitu La Buke dengan putra salah satu raja Makassar Sultan Alauddin.
Menurut La Ode Syaifuddin bahwa ”Ketika itu, Kesultanan Buton telah dikuasai oleh Kerajaan Makassar dibawa kuasa Sultan Alauddin dan untuk lebih mendekatkan keduanya dalam bentuk persahabatan, maka dikawinkanlah putri kedua penguasa tersebut. Tujuan lain perkawinan itu agar supaya Kerajaan Buton tidak merasa sebagai wilayah jajahan dari Kerajaan Makassar yang telah kalah perang pada 1626.
Siapapun Sultan Buton yang pernah mengawinkan putrinya dengan putri raja Makassar Sultan Alauddin, tidaklah penting sebab masyarakat Buton yakin bahwa perkawinan itu benar telah terjadi pada masanya” (Wawancara: La Ode Syaifuddin di Baubau, 14 Mei 2016).
Selain kedua hubungan kekerabatan tersebut di atas, tidak tertutup kemungkian masih ada hubungan kekerabatan lain yang ketika penelitian ini dilakukan tidak ditemukan. Hal itu disebabkan keterbatasan waktu yang dimiliki oleh penulis. Dengan demikian perlu penelusuran yang lebih cermat dan detail tentang masalah tersebut. Hubungan kekerabatan seperti yang disebutkan di atas, penjelasannya pun tidak serinci yang diharapkan oleh sebab data dan keterangan yang diperoleh selama di lapangan sangat terbatas.
Keterangan yang diperoleh itupun hanya dalam bentuk keterangan lisan yang dituturkan oleh beberapa orang informan sehingga masih diperlukan data tambahan yang akan lebih memperkuat data yang dimaksud. (Bersambung ke Bagian-4)