![]() |
Istana Kerajaan Belanda |
ADA hal menarik dari tulisan Dr. Suryadi pada jurnalnya yang berjudul “Surat-surat Sultan Buton, Dayyan Asraruddin dan Kaimuddin I, Koleksi Universiteitbibliotheek Leiden, Belanda” – adalah asal muasal penggunaan gelar ‘kaimuddin’ pada nama-nama sultan di Buton masa lalu, sebenarnya terinspirasi dari nama kaisar (raja) Belanda yang kesohor di zaman itu, yakni Raja Willem. Begini petikannya;
“…Gelar lengkap Sultan Kaimuddin I dalam stempelnya adalah: al-Sultan Kaimuddin ibn Abdullah. All?humma M?lik al-mulk tu ?t? al-mulk da??im bi daw?m al-bah?r f? kull [al-]dahr mad?d (Gallop 2002: part 2, vol. III, 500; lihat Ilustrasi 2). Pada masa pemerintahan Baginda Kerajaan Buton mengalami kemajuan.
Zahari (1977: III, 28-68) yang banyak mengutip Ligvoet (1878), bahan-bahan lisan & tertulis dari La Adi Ma Faoka, dan memori Kapten De Jong (1916) mengatakan bahwa nama Sultan Kaimuddin I dipakai karena terinspirasi oleh gelar Raja Belanda Willem I yang pada tahun 1835 memberikan penghargaan kepada Muhammad Idrus.
Itu pula sebabnya Sultan Buton berikutnya sultan ke-30 dan 31 yang merupakan anak-anak Muhammad Idrus diberi gelar Sultan Kaimuddin II dan Sultan Kaimuddin III, mengikut sistem penamaan Raja Belanda berikutnya: Kaisar Willem II dan Willem III. Ini menunjukkan bahwa di masa pemerintahan Sultan Kaimuddin I hubungan Buton Kompeni sangat erat (Ibid.:34). Cod. Or. 2233 (55) setidaknya merefleksikan hubungan erat itu…”
**
DARI petikan ini teramat jelas bahwa yang pertama kali mendapat sematan ‘kaimuddin’ pada sultan-sultan Buton adalah, Yang Mulia (YM) Sultan Muhammad Idrus Ibn Abdullah – atau lebih dikenal dengan nama Sultan Muhammad Idrus Kaimuddin – Oputa Yi Kuba, seorang sultan yang dikenal sebagai seorang sastrawan, sekaligus sufi.
Sultan Muhammad Idrus Kaimuddin (I) memerintah tahun 1824 -1851 Masehi juga sebagai sultan ke-29 di pemerintahan Kesultanan Buton, se zaman dengan Kaisar Willem I yang berkuasa di Kerajaan Belanda pada tahun 1815 – 1840 Masehi.
Maka dua sultan sesudahnya yang merupakan anak-anak Sultan Muhammad Idrus Kaimuddin secara berurutan menggunakan gelar ‘Kaimuddin II’ dan ‘Kaimuddin III’ yakni sultan Buton ke-30; YM. Sultan Muhammad Isa Kaimuddin II (1851-1861 M) dan sultan Buton ke-31; YM. Sultan Muh. Salihi (1871-1886 M)
Kendati demikian, Butonmagz tidak memperoleh informasi resmi, apakah setelah ‘Kaimuddin III’ terus berkelanjutan pada Sultan Muh. Umar (1886-1906 M); Sultan Muh. Asikin (1906-1911 M); Sultan Muh. Husain (1914 M); Sultan Muh. Ali (1918-1921 M); Sultan Muh. Saifu (1922-1924 M); Sultan Muh. Hamidi (1928-1937 M) dan Sultan Muh. Falihi (1937-1960 M).
Jadi secara ontologi penggunaan sematan Kaimuddin dengan jelas mulai berlaku pada kepemimpinan Sultan Muhammad Idrus, sekaligus membantah pendapat sebagian orang yang menyebut sematan K(Q)aimuddin bermula dari Sultan Murhum sebagai sultan pertama di Buton yang memerintah pada tahun 1491-1537 Masehi.
Siapa Raja (King) Willem I?
“…bahwa nama Sultan Kaimuddin I dipakai karena terinspirasi oleh gelar Raja Belanda Willem I yang pada tahun 1835 memberikan penghargaan kepada Muhammad Idrus…”
Itu pula sebabnya Sultan Buton berikutnya sultan ke-30 dan 31 yang merupakan anak-anak Muhammad Idrus diberi gelar Sultan Kaimuddin II dan Sultan Kaimuddin III, mengikut sistem penamaan Raja Belanda berikutnya: Kaisar Willem II dan Willem III. Ini menunjukkan bahwa di masa pemerintahan Sultan Kaimuddin I hubungan Buton Kompeni sangat erat (Ibid.:34). Cod. Or. 2233 (55) setidaknya merefleksikan hubungan erat itu…” (suryadi)
Pertanyaannya siapa sebenarnya King Willem I itu? dari wikipedia menuliskan Willem I (ada yang menulisnya William I) dari adalah kaisar Belanda dari Dinasti Oranye-Nassau. Itu sebabnya iya bernama lengkap King Willem Van orange - yang lahir pada 25 Agustus 1772 dan wafat pada 12 Desember 1843.
King Willem (1815–1840) terbilang sebagai raja pertama Belanda pascarevolusi Prancis, sekaligus mencatat sebagai sebuah negara merdeka dari Prancis kendati di tahun 1795 Belanda menjadi satelit negara Perancis Raya. Dan akhirnya, pada tahun 1810 Kaisar Napoleon dari Perancis menjadikan negara Belanda sebagai jajahan Prancis (bertepatan dengan masa Gubernur Jendral Daendels di Hindia Belanda).
Pendudukan Prancis berakhir tahun 1814, Kerajaan Belanda berdiri kembali dengan wilayah meliputi Netherlands (Belanda) sekarang, Belgia dan Luxemburg. Raja yang pertama adalah William I – Pangeran Orange dari Nassau – putra Willem V, Wali negeri Belanda yang terakhir. Raja itu akhirnya menjadi hertog besar Luxemburg yang membentuk satu UNI dengan Belanda berdasarkan undang-undang Sali yang berlaku hingga tahun 1890.
Dalam undang-undang dasar Kerajaan tahun 1814 ditentukan bahwa Raja-lah yang memerintah dan bahwa para menteri bertanggungjawab kepada raja. Amandemen undang-undang tahun 1848 – Raja dinyatakan tidak dapat diganggu gugat, para menteri untuk selanjutnya bertanggung-jawab kepada perwakilan rakyat yang dipilih melalui pemilu. Undang-undang dasar baru itu merupakan dasar bagi bentuk pemerintahan kerajaan konstitusional dengan sistem parlementer.
Dari website https://www.entoen.nu/id - kekuasaan William I tidak hanya Belanda tetapi uga sebagian wilaya timur Benelux (saat ini bernama Belgia) yang disatukan dengan Republik Belanda sebagai benteng pertahanan apabila ada serangan kembali dari Prancis yang saat itu sudah kalah perang.
William yang bersemangat (nama kecilnya adalah "raja-pedagang") mencoba untuk memulihkan perekonomian yang pernah berjaya dengan cara merangsang kekuatan ekonomi di tiga wilayah negaranya (utara, selatan dan Hindia Belanda-Indonesia). Bagian selatan, tempat terjadinya Revolusi Industri, harus berkonsentrasi untuk memproduksi barang-barang konsumsi.
Para pedagang di wilayah utara kemudian harus mendistribusikan barang-barang ini ke seluruh dunia. Dan akhirnya, para penduduk di wilayah koloni akan mensuplai barang-barang tropis yang berharga. Raja memerintahkan penggalian kanal-kanal dan pembuatan jalan-jalan antara utara dan selatan untuk memudahkan transportasi.
Beliau sendiri berperan sebagai investor. Pada tahun 1824, William mendirikan Perusahaan Perdagangan Belanda untuk melakukan transaksi perdagangan dengan Hindia Belanda. "Sistem Tanam Paksa" diperkenalkan di Hindia Belanda, yaitu kewajiban bagi penduduk lokal untuk bekerja di lahan perkebunan selama masa tertentu setiap tahunnya dan hasilnya diserahkan kepada penguasa kolonial. Hasilnya dijual oleh Perusahaan Perdagangan Belanda.
Terlepas dari usahanya memajukan ekonomi, Raja William tidak populer di mata rakyat Belgia. Kaum liberal Belgia menilainya sebagai seorang penguasa yang menginginkan kekuasaan penuh dan tidak bersikap toleran terhadap makin meningkatnya partisipasi kaum elit yang terpelajar.
Para pemeluk Katolik di Belgia keberatan dengan campur tangan Raja yang beragama Protestan dalam pendidikan para pendeta yang baru. Pada tahun 1830, penduduk Brussels memberontak. Mereka diilhami oleh "Amour sacré de la patrie" yang dinyanyikan di panggung teater mereka.
William I mengirim pasukan untuk melawan mereka tetapi menemui kegagalan. Belgia memperoleh kemerdekaan. Namun demikian, William I tetap mengirimkan pasukan selama sembilan tahun –yang memakan biaya sangat tinggi- suatu tindakan yang sangat merusak reputasinya di Belanda. Pada tahun 1839 beliau akhirnya mengakui kemerdekaan Belgia. Pada tahun berikutnya William I yang kecewa melepaskan kekuasaannya. (ref)
Baca sebelumnya : Sultan Dayyan Asraruddin dan Sultan Kaimuddin I - Si Pengirim Surat ke Belanda (Bagian2)