Butonmagz, masih dalam proses perbaikan web, bila ada kendala pembacaan informasi mohon permakluman

Bone, Arung Palakka, dan Riwayat Persekutuan 236 tahun



Bone adalah sebuah nama besar. Sejak abad 14M, nama Bone sudah digaungkan dengan berbagai macam panji kebesaran. Adalah Matasilompoé [Manurungngé ri Matajang] (1392-1424) yang tercatat dalam tarikh sebagai yang mula-mula menegakkan kerajaan di pesisir timur semenanjung Sulawesi Selatan ini. Kerajaan yang berada di bibir teluk Bone ini mulai melenggang dalam panggung sejarah Indonesia sejak abad 17 hingga di abad modern kini.

Bone, menyeruak dalam kronik penulisan sejarah nasional Indonesia sejatinya bermula pada posisi yang kurang simpatik. Ketika pertamakali menyebut nama Bone, maka ingatan sejarah kita akan memunculkan sosok Arung Palakka, Raja Bone ke-16 yang bernama lengkap Arung Palakka La Tenritatta To Ureng To-ri SompaE Petta MalampeE Gemme’na Daeng Serang To’ Appatunru Paduka Sultan Sa’adduddin Matinroe ri Bontoala (1672-1696).

Arung Palakka adalah sosok penting yang menjadi penyebab jatuhnya kerajaan Gowa Tallo tahun 1669. Juga tak bisa disangkal bahwa dia dan balatentara To Angke-nya turut andil di bawah arahan VOC menumpas pemberontakan Minangkabau 1666 dan Trunojoyo Madura 1679.

Arung Palakka, sosok kontroversial ini berada di kutub berseberangan dengan Sultan Hasanuddin, Sultan Gowa yang se zaman dengannya dan kemudian ditahbiskan sebagai Pahlawan Nasional. Karena pilihan politiknya saat itu, dengan tetap menghormati latar belakang sosio-historisnya, Arung Palakka kelak kemudian lebih sering dimasukkan dalam deretan sosok antagonis dalam laku sejarah, berada dalam barisan yang sama dengan Sultan Haji (Banten), Amangkurat II (Mataram), hingga Sultan Hamid II (Pontianak). Namun terlepas dari segala kontroversinya, sosok Arung Palakka nyatanya hingga kini menjadi simbol kehormatan dan perlawanan rakyat Bone terhadap kekuasaan asing (Gowa-Tallo).

Tulisan ini tak hendak ikut-ikutan memberi cap “pengkhianat” bagi bangsa Indonesia kepada sosok yang dikenal tak punya rasa takut ini “La Tenri Tatta”, sesuatu yang sejatinya tak layak disematkan mengingat nama Indonesia sendiri belum lahir saat Arung Palakka hidup. Meski Hasanuddin, seteru nya dilabeli gelar Pahlawan Nasional oleh pemerintah Indonesia, tak serta merta kemudian menempatkan Arung Palakka di kutub berbeda. Buku Sejarah mesti bijak dan netral menempatkan sosok ini, kalau tak hendak menyesatkan generasi masa depan dengan labelisasi yang menyesatkan.

Bagi Bone, Arung Palakka adalah pahlawan. Bagi Gowa Tallo (bukan Indonesia), memang Arung Palakka adalah sosok penentang yang telah mempermalukan Gowa Tallo hingga beratus tahun kemudian. Bagi kita, Arung Palakka layak dijadikan salah satu bahan “pembacaan” bijak mengenai sejarah bangsa bugis mempertahankan kehormatannya.

Arung Palakka sendiri sejatinya sejak berumur 11tahun sudah diasuh dalam lingkungan istana Gowa-Tallo. Adalah Karaeng Pattingalloang, tumabbicara butta (mahapatih) yang turun langsung mengasuh pangeran Bone ini. Bersama puluhan bangsawan Bone, kala itu Arung Palakka berada dalam pengawasan Gowa Tallo sebagai duta/tawanan kerajaan Bone yang baru saja takluk.

Arumpone saat itu, La Maddaremmeng (memerintah 1625-1640) dihukum oleh Gowa-Tallo atas desakan bangsawan Bone termasuk ibundanya sendiri Datu Pattiro We Tenrisoloreng, juga karena kerajaan Wajo dan Soppeng merasa terganggu dengan kebijakan politis-ekspansif La Maddaremmeng di wilayah Bone, Wajo dan Soppeng.

La Maddaremmeng sendiri dipercaya mendesakkan keyakinannya untuk menghapuskan perbudakan, dan penerapan syariat Islam yang ketat dengan pelarangan sabung ayam, judi dan minum tuak; sebuah kebijakan yang saat itu tidak popular dan mengancam kedudukan para bangsawan. Dalam sebuah serangan kolosal, psaukan Gowa-Tallo yang dipimpin langsung Patih Karaeng Pattingalloang berhasil membekuk Bone dan menawan La Maddaremmeng bersama beberapa pengikutnya, termasuk bocah Arung Palakka dan keluarganya.

Karaeng Pattingalloang, bapak asuh Arung Palakka
Tentang Karaeng Pattingalloang, bapak asuh Arung Palakka ini terkenal sebagai sosok cerdas penyuka sains yang menjadi sentra kebijakan Gowa-Tallo yang cemerlang. Di masa mahapatih yang menguasai setidaknya tujuh bahasa asing ini, Gowa-Tallo tumbuh menjadi negara maritim yang kuat dan sangat disegani di kawasan Indonesia bagian timur. Tak kurang dari Sulu, Sumbawa, Timor, Bima, Aru, Banda, Borneo merasakan pengaruhnya.

Semenjak kejatuhan Melaka tahun 1511 oleh Protugis, para saudagar beralih ke pelabuhan Makassar yang kebetulan memang berada di lintas strategis pelayaran dari dan ke Maluku, kepulauan penghasil rempah yang pesonanya tercium ke seantero dunia hingga bangsa Eropa membangkitkan visi imperialismenya.

Bangsa-bangsa asing banyak berdatangan ke Makassar untuk berniaga, termasuk pedagang Melayu, Inggris, Spanyol, Arab dan Belanda. Pada suatu ketika, pedagang Belanda berbuat keonaran di pelabuhan Makassar dan karenanya mereka diusir dan tak diperkenankan lagi berdagang di Makassar setelah kejadian itu.

Sejak itu, dendam mulai dipelihara oleh pedagang Belanda dan menjadi musabab awal diincarnya Gowa-Tallo untuk dikuasai VOC kemudian. Di masa itu, Arung Palakka tumbuh menjadi pangeran cerdas yang mengikuti seksama kebijakan-kebijakan Karaeng Pattingalloang, yang kebetulan juga sangat menghargai kecerdasan Karaeng Serang, nama remaja Arung Palakka.

Tahun 1654, Karaeng Pattingalloang mangkat dan digantikan putranya yang rupanya kurang mewarisi kebijaksanaan ayahnya, Karaeng Karunrung.

Karaeng muda ini terkenal sangat temperamental dan lebih menyukai aktifitas militer yang ekspansif. Untuk memperkuat kerajaan Gowa-Tallo, dia memerintahkan pembangunan kanal raksasa di sekitar benteng-benteng yang dimiliki kerajaan. Para tawanan kerajaan dikerahkan dalam pembangunan ini, tidak terkecuali bangsawan-bangsawan Bone termasuk Arung Palakka.

Dengan kerja paksa yang melelahkan dan merendahkan martabat mereka, Arung Palakka kemudian berpikir untuk mengumpulkan bangsawan-bangsawan Bone yang jadi pengikutnya untuk melarikan diri dari Makassar. Bersama 4000 pengikutnya, ia menghindari kejaran pasukan Gowa Tallo menuju Buton, kemudian pada akhirnya berlabuh di Batavia tahun 1664 yang disambut oleh sahabatnya Corneelis J Speelman yang saat itu baru saja dipecat dari posisi Gubernur Jendral VOC di Coromandel, Srilanka.

Janszoon, Arung Palakka dan Kapitan Jonker membentuk ‘triumvirate’
Batavia tahun 1665 menjadi tempat pertemuan tiga pemuda yang masing-masing memiliki ambisi individual menegakkan kehormatannya. Laksamana Cornelis Janszoon Speelman (36tahun) adalah petinggi VOC Coromandel yang dipecat karena perdagangan gelap, Arung Palakka (30tahun) adalah pangeran Bone yang kabur dari kerajaan Gowa-Tallo, Kapitan Jonker (40an tahun) adalah raja muda muslim Tahalele asal Maluku yang terusir dari kampungnya.

Ketiganya kemudian diam-diam membentuk sebuah triumvirate yang bergerak di bawah panji perusahaan dagang Hindia Timur milik Belanda VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie).

Di tangan triumvirate ini, kekuatan militer menjadi wajah yang lazim digunakan VOC dalam mengamankan kepentingannya. Riwayat kekerasan di balik politik dagang monopolistic konon bermuasal dari persekutuan ini.

Berbagai ekspedisi militer dikerahkan di berbagai wilayah kekuasaan VOC, sebutlah misalnya ketika Arung Palakka dan pasukannya dikerahkan dalam ekspedisi Verspreet yang berhasil menumpas perlawanan rakyat Minangkabau dan seluruh pantai barat Sumatera. Ekspedisi militer ini juga berhasil memutus hubungan Minangkabau dengan Aceh, sekaligus berhasil menguasai sumber tambang emas Salido yang terkenal.

Oleh Arung Palakka bersama Speelman, kekuasaan VOC diperluas hingga Ulakan di Pariaman yang kemudian mengangkat Arung Palakka diangkat sebagai Raja Ulakan. Kisah seputar riuh penguasaan tambang emas Salido ini kemudian diangkat menjadi latar novel fiksi-sejarah bertajuk Rahasia Meede – Misteri Harta Karun VOC (Penerbit Hikmah, 2007) yang ditulis oleh ES Ito.

Ekpedisi militer lainnya yang melibatkan triumvirate ini juga berlangsung di beberapa daerah, terutama yang terkenal adalah penaklukan Gowa-Tallo dalam Perang Makassar (1667-1669) dan penumpasan pemberontakan Trunojoyo di Jawa Timur (1679). Tercatat juga mereka turun dalam medan perang di Palembang dan Jambi (1681), serta Perang Banten saat memadamkan perlawanan Sultan Abu’lFatah   (1682-1683).

Pencapaian paling penting Arung Palakka bersama dua kompatriotnya ini tak lain adalah takluknya Gowa-Tallo dalam Perang Makassar (1667-1669) dan Bone kembali berdaulat setelah sekian lama menjadi kerajaan bawahan.

Tak hanya itu saja, keberhasilan ini menguatkan dominasi dan hegemoni kekuatan Bone, dan Arung Palakka secara individual atas seluruh semenanjung Sulawesi bagian selatan, dari Selayar di selatan, hingga Mandar dan Toraja serta Luwu di utara. Sebaliknya, kekalahan Gowa-Tallo meninggalkan luka sejarah yang mengoyak hubungan kedua bangsa ini hingga beratus-ratus tahun kemudian.

Persekutuan tiga serangkai Speelman-Arung Palakka-Jonker ini nyatanya juga meninggalkan jejak di buku-buku sejarah, syair-syair Makassar, sinrilik dan cerita-cerita lokal Bugis Makassar. Bahkan riwayat persekutuan ini terabadikan pada sebuah nama tempat di utara Jakarta. Konon, pasukan Arung Palakka menamakan dirinya sebagai To Angke’ (Bahasa Bugis: Orang Yang Memiliki Kehormatan), sebagai bentuk simbolis gerakan pemberontakan mereka untuk mengembalikan kehormatan Bone dari kuasa kuasa Gowa-Tallo.

Muara Angke Jakarta – warisan sejarah pasukan Bone
Hingga kini, tanah perdikan yang dihibahkan kepada Pasukan Bone di mulut teluk Jakarta itu dinamakan Muara Angke, tempat menetapnya orang-orang Bugis Bone yang menamakan dirinya orang Angke’. Hingga kini, kawasan itu banyak didiami oleh orang-orang Bugis perantauan. Kapitan Jonker sendiri mendapat tanah luas di Marunda, yang kelak tanah itu di kenal sebagai daerah Pejonkeran.

Persekutuan 236 tahun
Telatennya Arung Palakka merawat hubungan saling menguntungkan antara dirinya dan Speelman kala itu menjejakkan sebuah kesepahaman untuk saling menjaga kedaulatan bahkan hingga keduanya terubujur mati di dalam tanah.

Kedudukan VOC terkuatkan dengan dukungan balatentara dari Bone, dan sebagai imbalannya VOC mendukung penuh kedaulatan Bone atas wilayah dan pengaruhnya dari gangguan kerajaan-kerajaan lainnya. Bahkan Arung Palakka kemudian memperlebar dominasi geo-politis individualnya tidak hanya seluas wilayah Bone yang dia warisi, tapi juga berhasrat mempersatukan Sulawesi Selatan dalam rengkuhan singgasananya, termasuk Toraja dan Luwu di utara, yang sejak dulu jauh dari hiruk pikuk kekuasaan politik di selatan.

Sejatinya, dominasi Bone di Sulawesi Selatan pada abad 17 dan 18M menimbulkan sederet luka pada kerajaan-kerajaan sekitarnya. Meski terikat dalam perjanjian kuno Tellumpoccoe antara tiga kerajaan Bone, Soppeng dan Wajo, namun tak ayal hegemoni Bone yang berlimpah semenjak Perang Makassar menyebabkan kedudukan kerajaan lainnya jatuh ke posisi paria, terutama Wajo dan Mandar.

Saat Perang Makassar sendiri, Wajo dam Mandar cenderung memihak ke Gowa-Tallo. Banyak kronik kerajaan-kerajaan itu menyebutkan banyak bangsawan dan rakyat Wajo, juga Mandar dan Toraja diperdagangkan sebagai budak oleh Bone. Saat itu, perdagangan budak memang sempat menjadi komoditas yang sangat menguntungkan. Belum lagi soal beban pajak yang berat dikenakan kepada Wajo yang dianggap kalah perang. Hal yang sama berlaku untuk rakyat Mandar dan Toraja yang juga mengalami kekerasan serupa.

Dalam banyak cerita rakyat disebutkan bahwa orang Bone berhak menampar wajah orang Wajo kalau menolak menyeberangkan mereka ke seberang Danau Tempe. Juga bagaimana pemeo yang tertanam di kepala orang Toraja melalui cerita-cerita rakyat bahwa Bone adalah pembawa petaka bagi negerinya. Konflik elite itu sesungguhnya kemudian sangat membekas di kalangan rakyat bawah yang paling merasakan dampak langsung pergumulan politis kerajaan-kerajaan itu.

Akhir hidup tokoh-tokoh persekutuan ini berakhir tragis, kecuali Arung Palakka. Speelman wafat di Batavia pada 11 Januari 1684, meninggalkan banyak kasus korupsi dan penyelewengan kekuasaan setelah dipecat dari posisi Gubernur Jendral VOC. Akhir hidup Kapitan Jonker mengenaskan. Setelah pelindung utamanya, Speelman wafat, ia sendiri kemudian dikejar-kejar pasukan VOC. Rumahnya di Marunda dikepung tahun 1689, dan Jonker yang bernama asli Joncker Jouwa de Manipa terbunuh dalam peristiwa itu.

Mangkatnya Arung Palakka
Arung Palakka mangkat pada usia 61 tahun di Bontoala, tahun 1696. Ia dimakamkan di wilayah kekuasaan Gowa-Tallo yang diperanginya 30 tahun sebelumnya. Ia meninggal karena penyakit hidung yang menghinggapinya sejak berenang menyeberangi selat Madura di tahun 1679. Tak ada anak kandung yang didapatnya dari tiga pernikahan dengan bangsawan Bugis. Penggantinya, La Patau yang memerintah dari tahun 1696-1714 adalah keponakannya yang diangkat sebagai putra mahkota.

Buah dari hubungan mesra antara Arung Palakka dan Speelman berdampak hingga hingga dua abad setelah keduanya meninggal. Kerajaan Bone menjadi satu-satunya wilayah di Sulawesi Selatan, pun mungkin di seantero kepulauan Indonesia, yang masih bebas merdeka tanpa perlu membayar pajak dan upeti sebagai tanda takluk kepada pemerintah penjajah Belanda selama masa 236 tahun (1669 – 1905).

Inilah hak khusus Bone yang mungkin tak dimiliki oleh kerajaan lainnya, dan diperbaharui setiap kali pergantian Gubernur Jendral hingga berakhir pada pecahnya Perang Bone tahun 1905. Perang yang berlangsung selama lima bulan di masa pemerintahan Arumpone LaPawawoi Karaeng Sigeri Matinroe ri Jakarta ini kemudian menamatkan riwayat persekutuan sejati Bone-Belanda sepanjang nyaris 30 windu ini.

Arung Palakka, sosok kontroversial yang berada di antara dua sisi sejarah ini memang semacam perekat tiga generasi. Dengan persekutuan yang dirintis melalui Speelman, ia bisa menjaga kedaulatan Bone hingga awal abad ke-20. Yang lebih hebat lagi adalah bahwa Arung Palakka yang sejatinya tak pernah terbersit kronik persentuhannya dengan agama Islam, kelak ditahbiskan sebagai salah satu Wali Pitue tanah Bugis.

Mungkin meminjam “mitos” yang mirip dengan Wali Songo, dimasukkannya Arung Palakka sebagai salah satu tokoh wali sufi kemudian mengekalkan ketokohannya, sekaligus mencoba membersihkan tangannya yang penuh lumuran darah kekerasan bahkan saudara seperjuangannya Arung Bakke yang tewas dipenggalnya di Mandar. Di luar segala kontroversinya, Arung Palakka wajar dikagumi sebagai salah satu tokoh yang berpengaruh luas dan teramat panjang di lintas masa peradaban Bugis dan Indonesia. ** (sumber : web legenda dan sejarah Nusantara)

Posting Komentar

0 Komentar



  • Asal Usul Nama Sulawesi dan Sebutan Celebes
    Lukisan tentang kehidupan masyarakat Sulawesi Selatan pada abad ke-16. (Tropenmuseum, part of the National Museum of World Cultures)BUTONMAGZ--Sulawesi dan Celebes merupakan pulau terbesar kesebelas di dunia. Menurut data Sensus 2020, penduduknya mencapai kurang dari 20 juta jiwa, yang tersebar di...
  • Tragedi Sejarah Lebaran Kedua di Tahun 1830
    Diponegoro (mengenakan surban dan berkuda) bersama pasukannya tengah beristirahat di tepian Sungai Progo.BUTONMAGZ---Hari ini penanggalan islam menunjukkan 2 Syawal 143 Hijriah, dalam tradisi budaya Islam di Indonesia dikenal istilah 'Lebaran kedua',  situasi dimana semua orang saling...
  • Kilas sejarah singkat, Sultan Buton ke-4 : Sultan Dayyanu Ikhsanuddin
    Apollonius Schotte (ilustrasi-Wikipedia)BUTONMAGZ—Tulisan ini merupakan bagian dari jurnal Rismawidiawati – Peneliti pada Kantor Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Makassar, dengan judul  Sultan La Elangi (1578-1615) (The Archaeological Tomb of the Pioneers “Martabat Tujuh” in the Sultanate...
  • Peranan Politik Sultan Mardan Ali di Kesultanan Buton (Bagian 3)
    Pulau Sagori (kini wilayah Bombana) yang banyak menyimpan cerita zaman Kesultanan ButonBUTONMAGZ---Tulisan ini disadur dari Jurnal Ilmiah berjudul ‘Peranan Sultan Mardan Ali di Kesultanan Buton: 1647-1657M, yang ditulis Asniati, Syahrun, La Ode Marhini dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Halu...
  • Mengenal Pribadi Sultan Mardan Ali. Sultan Buton yang dihukum Mati (Bagian 2)
    Pulau Makasar di Kota BaubauBUTONMAGZ---Tulisan ini disadur dari Jurnal Ilmiah berjudul ‘Peranan Sultan Mardan Ali di Kesultanan Buton: 1647-1657M, yang ditulis Asniati, Syahrun, La Ode Marhini dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Halu Oleo Kendari.Di bagian pertama menjelaskan tentang profil awal...
  • Mengenal sosok Sultan Mardan Ali. Sultan Buton yang dihukum Mati (Bagian I)
    Makam Sultan Mardan Ali 'Oputa Yi Gogoli'  (foto rabani Unair Zone)BUTONMAGZ--- cerita tentang kepemimpinan raja dan sultan di Buton masa lalu menjadi catatan tersendiri dalam sejarah masyarakat Buton kendati literasi tentang itu masih jarang ditemukan. Salah satu kisah yang menarik adalah...
  • Sejarah Kedaulatan Buton dalam Catatan Prof. Susanto Zuhdi
    foto bertahun 1938 dari nijkmusem.dd----8 April 1906, Residen Belanda untuk Sulawesi, Johan Brugman (1851–1916), memperoleh tanda tangan atas kontrak baru dengan Sultan Aidil Rakhim (bernama asli Muhamad Asyikin, bertakhta 1906–1911) dari keluarga Tapi-tapi setelah satu minggu berada di...
  • Perdana Menteri Negara Indonesia Timur Kelahiran Buton, Siapa Dia?
    Nadjamuddin Daeng MalewaBUTONMAGZ---Tak banyak yang mengenal nama tokoh ini di negeri Buton, namun di Makassar hingga politik ibu kota masa pergerakan kemerdekaan, nama ini dikenal sebagai sosok politis dengan banyak karakter. Namanya Nadjamuddin Daeng Malewa, lahir di Buton pada tahun 1907. Ia...

  • Inovasi di Desa Kulati - Wakatobi, Sulap Sampah Jadi Solar
    BUTONAMGZ---Kabupaten Wakatobi yang terkenal dengan keindahan surga bawah lautnya, ternyata memiliki sebuah desa yang berbeda dengan daerah lainnya di Indonesia, dimana dihuni oleh masyarakat yang sangat sadar akan pentingnya menjaga lingkungan hidup.Daerah ini bernama Desa Kulati yang mayoritas...
  • Repihan Tradisi dan Sejarah di Kepulauan Pandai Besi - Wakatobi
    BUTONMAGZ---Kepulauan Pandai Besi adalah julukan untuk empat pulau besar dan sejumlah pulau kecil lain di ujung tenggara Pulau Buton, Sulawesi Tenggara. Penamaan itu diberikan pada masa Hindia Belanda karena kepandaian masyarakatnya dalam pembuatan senjata tradisional berbentuk keris dan peralatan...
  • Tari Lariangi - Kaledupa; Tarian Penyambutan dengan Nuansa Magis
    Penari Lariangi. (Dokumen Foto La Yusrie)BUTONMAGZ---Kepulauan Buton tak hanya kaya dengan kesejarahan dan maritim, budaya seninya pun memukau. Salah satunya Tari Lariangi yang berasal dari Kaledupa Kabupaten Wakatobi – Sulawesi Tenggara saat ini.Melihat langsung tarian ini, magisnya sungguh terasa...
  • KaTa Kreatif 2022: Potensi 21 Kabupaten/Kota Kreatif Terpilih. Wakatobi terpilih!
    Wakatobi WaveBUTONMAGZ--Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Kepala Badan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Uno, secara resmi membuka kick off KaTa Kreatif 2022 pada Januari lalu. Di dalam program ini terdapat 21 Kabupaten/Kota Kreatif Terpilih dari total 64 Kabupaten/Kota yang ikut serta.KaTa Kreatif...
  • Tiga Lintasan Baru ASDP di Wakatobi Segera Dibuka
    BUTONMAGZ---Sebanyak tiga lintasan baru Angkutan, Sungai, Danau, dan Penyeberangan (ASDP) Cabang Baubau di Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara, segera dibuka menyusul telah disiapkannya satu unit kapal untuk dioperasikan di daerah itu. Manager Usaha PT ASDP Cabang Baubau, Supriadi, di Baubau,...
  • La Ola, Tokoh Nasionalis dari Wakatobi (Buton) - Pembawa Berita Proklamasi Kemerdekaan Dari Jawa.
    BUTONMAGZ—Dari sederet nama besar dari Sulawesi Tenggara yang terlibat dalam proses penyebaran informasi Proklamasi Kemerdekaan RI pada tanggal 17 Agustus 1945. Ada satu nama yang (seolah) tenggelam dalam sejarah.  Di adalah La Ola. Nama La Ola terekam dalam buku berjudul “Sejarah Berita...
  • Jatuh Bangun dan Tantangan bagi Nelayan Pembudidaya Rumput Laut di Wakatobi
    ilustrasi : petani rumput laut BUTONMAGZ---Gugusan Kepulauan Wakatobi di Sulawesi Tenggara terdiri dari 97 persen lautan dan hanya 3 persen daratan. Dari 142 pulau-pulau kecil, hanya 7 pulau yang berpenghuni manusia. Saat ini pariwisata bahari menjadi andalan pendapatan perkapita masyarakat di...
  • Kaombo, Menjaga Alam dengan Kearifan Lokal
    BUTONMAGZ--Terdapat sebuah kearifan lokal di masyarakat Kepulauan Buton pada umumnya. Di Pulau Binongko - Wakatobi misalnya, oleh masyarakat setempat kearifan ini digunakan untuk menjaga kelestarian alam. Mereka menyebutnya tradisi kaombo, yakni sebuah larangan mengeksploitasi sumber daya alam di...