![]() |
lukisan foto : Syekh Yusuf Al-Makassari |
BUTONMAGZ--Konferensi Asia Afrika merupakan salah satu onferensi penting bagi negara-negara tertindas saat itu. Konferensi yang diadakan di Bandung pada tanggal 14-26 Agustus 1955 dan menghasilkan kesepakatan Dasasila Bandung/Bandung Spirit telah menginspirasi Bangsa-bangsa Asia Afrika untuk merdeka, lepas dari penjajahan. Namun, Tiga abad sebelum itu telah ada seorang pejuang asal Indonesia yang berjuang untuk melepaskan bangsa di Asia maupun di Afrika untuk merdeka. Ia adalah Syekh Yusuf al-Taj Khalwati al-Makassari yang dikenal dengan nama ‘Syekh Yusuf Makasar’.
Butonmagz, memperoleh data ini dari Majalah Arsip Nasional RI (ANRI) edisi Desember 2014 seri nilai-nilai kepahlawanan. Berikut jalan kisahnya.
SEKILAS SYEKH YUSUF
Beliau lahir dari pasangan Abdullah dan Aminah putri Gallarang Moncong Loe. Saat lahir ia diberi nama Muhammad Yusuf oleh Sultan Alaudin Raja Gowa, yang juga kerabat ibunya. Sejak muda ia sudah haus ilmu, awalnya beliau berguru pada Daeng ri Tasammang hingga khatam al-Qur’an. Kemudian dilanjutkan dengan Sayyid Ba’Alwy bin Abdullah al-Allamah Thahir di Bontoala yang saat itu menjadi pusat pendidikan islam tahun 1634.
Setelah itu, beliau kemudian belajar pada ulama Aceh yang datang ke Makassar, yaitu Syekh Jalaluddin al-Aidit. Walaupun hidup di lingkungan istana, namun semangat ntuk menuntut ilmu sangatlah tinggi. Beliau kemudian menuntut ilmu ke Timur Tengah. Namun, sebelum ke Mekkah, beliau sempat singgah di Banten .
Disini dia berkenalan dan bersahabat dengan Pangeran Surya anak dari Sultan Mufahir Mahmud Abdul Kadir (1598-1650). Dari Banten, ia kemudian berangkat ke Aceh dan berguru pada Syekh Nuruddin Ar-Raniri dan mendapatkan ijazah tarekat Qadiriyah. Lalu melanjutkan perjalanannya ke Timur Tengah untuk berguru dengan ulama disana.
Tercatat beberapa ulama pernah menjadi gurunya, yaitu daerah yang beliau datangi, antara lain Sayed Syekh Abi Abdullah Muhammad Abdul Baqi bin Syekh al-Kabir Mazjaji al-Yamani Zaidi al-Naqsyabandy di Yaman, untuk tarekat Naqsayabandiyah, Syekh Maulana Sayed Ali al-Baalawiyah di kota Zubaid untuk tarekat Baalawiyah, Syekh Ibrahim Hasan bin Syihabuddin al-Kurdi al-Kaurani di Madinah untuk tarekat Syattariyah, dan Syekh Abu al-Barakat Ayyub bin Ahmad bin Ayyub al-Khalwati al-Qurasyi di Damaskus disini beliau diberi gelar Tajul Khalwati Hadiyatullah.
Selain tarekat-tarekat tersebut di atas, beliau juga mempelajari tarekat Dasuqiyah, Syaziliyah, Hasytiah, Rifaiyah, al-Idrusiyah, Ahmadiyah, Suhrawardiyah, Maulawiyah, Kubrawiyah, Madariyah, Makhduniyah.
![]() |
Patung Syekh Yusuf Di Afrika Selatan |
PERJUANGAN SYEKH YUSUF
Setelah pencaian ilmunya dianggap selesai, maka beliau memutuskan untuk kembali ke Makassar, pada usia 38 tahun. Namun beliau tidak menyangka, ternyata kerajaan Gowa sudah hancur pasca kalah dari Belanda. Bahkan usaha menasehati pihak kesultanan pun tak berhasil. Syekh Yusuf akhirnya hijrah ke Banten yang memang sejak dari Mekkah Sultan Banten telah memintanya untuk datang kesana.
Di Banten
Di Banten ia diangkat sebagai mufti Kesultanan Banten oleh sahabatnya Pangeran Surya yang saat ini telah menjadi Sultan Banten dengan nama Sultan Abdul Fattah yang dikenal dengan nama Sultan Ageng Tirtayasa.
Ia kemudian dinikahkan dengan Putri Sultan Ageng Tirtayasa yang bernama Siti Syarifah. Hal tersebut memudahkan Syekh Yusuf dalam berdakwah. Murid beliau banyak tersebar sampai pelosok-pelosok luar Banten. Beliau juga menjadi pengayom bagi masyarakat Makassar yang lari karena kecewa terhadap perjanjian Bongaya.
Pada awal tahun 1682 saat Sultan Haji datang, Banten pun bergejolak. Hal ini terjadi karena Sultan Haji adalah putra mahkota yang dipengaruhi Belanda. Belanda melakukan aksi devide et impera karena selama ini, serangan milter Belanda selalu digagalkan oleh Pangeran Purbaya.
Sultan Haji selalu mendapat bantuan Belanda dari Batavia. Hingga akhirnya pada Desember 1682 Keraton Tirtayasa tidak dapat terselamatkan dan ditinggalkan. Pasukan Tirtayasa menggunakan taktik perang gerilya. Namun, pada 14 Maret 1683 Sultan Ageng Tirtayasa menyerahkan diri ke keraton Surosowan dan ditangkap Belanda kemudian dibawa ke Batavia dan wafat disana.
Perang Gerilya pun dilanjutkan Syekh Yusuf, Pangeran Purbaya dan Pangeran Kidul yang memimpin 5000 pasukan termasuk 1000 laskar Makassar, Bugis dan Melayu. Syekh Yusuf bergerak ke arah timur sampai Padalarang lalu berbelok ke arah pesisir selatan, sampai daerah desa Karang, di sana beliau bertemu dan dibantu oleh Syekh Abdul Muhyi (Hadjee Karang) Pamijahan dan laskarnya.
Setelah melakukan perang gerilya selama dua tahun lamanya akhirnya Syekh Yusuf ditangkap dengan kondisi seluruh pengikut-pengikutnya dipulangkan ke kampung halamannya masing-masing kecuali 49 orang yang harus turut serta, yaitu 2 orang istri, 2 abdi istri, 12 santri dan putra-putri, sahabat dan para abdi dalem.
Di Sri Lanka
Belanda kemudian membawa rombongan Syekh Yusuf ke Batavia. Namun, melihat besarnya kharisma Syekh Yusuf maka ada kekhawatiran dari pihak Belanda, dan ditambahkan kerajaan Bone di bawah impinan Aru Palaka (Raja Bone ke-15 yang ada hubungan kekerabatan) sedang melakukan perlawanan. Maka Belanda memutuskan untuk mengasingkan Syekh Yusuf beserta rombongan pada tanggal 12 September 1684 ke wilayah Sri Lanka.
Dalam waktu singkat nama beliau dikenal di sana. Selama disana beliau gunakan untuk beramal, mengajar dan menulis risalah, banyak murid-muridnya yang berasal dari Hindustan (India) dan Srilanka sendiri. Dan membawa namanya termasyhur di India.
Raja Hindustan Aurangzeb Alamgir (1659-1707) pernah menyurati wakil pemerintah Belanda di Srilanka, supaya kehormatan pribadi Tuan Syekh itu dipelihara, karena jika tuan itu diganggu akan menggelisahkan umat Islam Hindustan.
Strategi perjuangannya pun berubah dari perang fisik menjadi semangat keagamaan dan semangat perjuangan. Jemaah haji dari Indonesia sekembalinya dari Mekah biasanya singgah di Ceylon (Sri Lanka) untuk menunggu musim barat selama satu sampai tiga bulan.
Dalam kesempatan inilah jemaah haji belajar kepada Syekh Yusuf. Selain itu juga disisipkan pesan-pesan Politik, agar tetap mengadakan perlawanan terhadap Belanda dan juga pesan-pesan agama supaya tetap bepegang teguh pada jalan Allah.
Di Afrika Selatan
Surat-surat kepada raja Banten dan Makassar ternyata tercium oleh pemerintah Belanda di Batavia. Risalah tersebut dianggap pemicu pemberontakan rakyat di Banten dan raja Gowa ke-19. Surat atau risalah yang menggunakan nama samaran tersebut, di Makassar dikenal dengan nama “Kittakna Tuan LoEta (kitab tuan LoE ku) atau Pasanna Tuanta (pesan tuanku)”, sedangkan di Banten disebut Ngelmu Aji Karang atau Tuan She.
Akhirnya diputuskan Syekh Yusuf dan 49 rombongannya untuk dipindahkan dari Ceylon ke Kaap (Afrika Selatan). Pemindahan tersebut dilaksanakan pada tanggal 7 Juli 1693 dengan menaiki kapal “Voetboeg”.
Syekh Yusuf dan rombongan sampai di pantai Afrika pada tanggal 2 April 1694, selama delapan bulan 23 hari perjalanan. Namun demikian, semangat perjuangannya tidak pernah padam oleh ruang dan waktu beliau tetap mengobarkan semangat warga Afrika Selatan untuk merdeka dan membentuk komunitas muslim disana yang memang menjadi daerah buangan politik. Tempat itu sekarang dikenal dengan Macassar Faure.
Syekh Yusuf meninggal pada tanggal 23 Mei 1699 pada usia 73 tahun setelah 5 tahun di Afrika Selatan dimakamkan di daerah Faure dan pada tanggal 5 April 1705 kerangka dan keluarga Syekh Yusuf dipulangkan dan tiba di Makassar.
Ia dimakamkan di Lakiung pada hari Selasa tanggal 6 April 1705 / 12 Zulhidjah 1116 H. Negosiasi pemulangan jenazah Syekh Yusuf yang dilakukan oleh Raja Gowa, Sultan Abdul Jalil, berhasil enam tahun kemudian, tepatnya tahun 1705.
Hal itu pun terdapat syarat yang harus dipenuhi: yang bisa kembali ke Nusantara adalah anak-anaknya yang berusia lima tahun ke bawah. Dalam perjalanan pulang itulah, jenazah Syekh Yusuf sempat disinggahkan di beberapa tempat, seperti Sri Lanka, Banten, Sumenep (Madura), terakhir di Makassar.
Oleh sebab itu, banyak orang yang mengatakan bahwa makam Syekh Yusuf ada dimana mana. Makam Syekh Yusuf, saat ini lebih dikenal dengan nama Ko’bang, berada di Jalan Syekh Yusuf, perbatasan Gowa dan Makassar.
GELAR PAHLAWAN
Setelah tiga abad Syekh Yusuf tiada, akhirnya beliau mendapat dua gelar pahlawan nasional dari dua Negara yaitu Indonesia pada 9 November 1996 dan dari pemerintah Afrika Selatan pada 23 September 2005.
Daerah tempat tinggal Syekh Yusuf di Cape Town diberi nama sebagai kawasan ‘Macassar’ untuk menghormati tempat asalnya. Bahkan, Nelson Mandela, mantan presiden Afrika Selatan, menyebutnya sebagai ‘Salah Seorang Putra Afrika Terbaik’.
Bagi warga Cape Town, Syekh Yusuf dikenal sebagai sosok yang membangun komunitas Muslim di negara itu. Dia tidak hanya diakui sebagai ulama, namun juga pejuang bagi rakyat Afrika Selatan karena menentang penindasan dan perbedaan warna kulit (apartheid). Hingga akhir hayatnya, menurut Nabilah Lubis dalam buku Syekh Yusuf al-Taj Khalwati al-Makassari menemukan sedikitnya 25 kitab karangannya yang di tulis pada era Banten dan Ceylon.
Ia juga dikenal sebagai pendiri ajaran tarekat khalwatiyah. Kemudian, Di tengah arus globalisasi yang melanda bangsa ini, semangat-semangat kearifan, keteladanan kepahlawanan dan karakter Syekh Yusuf yang haus ilmu, pantang menyerah dan berjuang hingga titik darahenghabisan sangat diperlukan terutama bagi generasi muda mendatang. Semoga kita yang ditinggalkan dapat mewarisi karakter beliau sebagai pejuang tanpa pamrih. (agg)