
BUTONMAGZ---Pada masa sebelum ada pendidikan formal dan agama, keluarga dan masyarakat memegang peranan penting dalam membina dan mendidik generasi penerus dengan mengajarkan falsafah kehidupan para leluhur To Moronene, seperti:
• Konianto’u (perilaku yang baik sebagaimana adat)
• Mekalolaro (saling mengasihi/menyayangi)
• Mengkote (hati yang lurus)
• Merete (adil dan merata)
• Samaturu (kerjasama/gotong royong)
----------------------------------
Oleh : H. Kasra J. Munara
----------------------------------
Falasafah leluhur ini menjadi pedoman utama dalam sosial kemasyarakatan agar selalu tercipta suasana yang kondusif baik antar perorangan maupun antar kelompok. Namun kondisi masyarakat saat itu masih banyak yang buta huruf dan minat untuk menempuh pendidikan formal juga rendah karena yang pada masa itu sekolah formal hanya ada di Kolaka, Buton, Kendari dan Makassar.
Pada tahun 1922, Sekolah Rakyat atau “volkschool” didirikan di Taubonto dengan guru pertamanya adalah Mokole Munara dibantu oleh seorang guru bernama Sudu. Kemudian pendidikan rohaniah juga dilakukan dengan dibangunnya masjid dan gereja di Taubonto.
Walaupun di satu sisi ada upaya untuk membuka wawasan dan pola pikir masyarakat melalui pendidikan, namun di sisi lain upaya untuk melestarikan budaya dan kesenian Moronene juga tetap dilakukan melalui pelaksanaan upacara adat. Apalagi di tengah hadirnya ajaran agama Islam dan Kristen yang mengharuskan adanya penyesuaian ritual budaya terhadap syariat atau aturan agama seperti misalnya dalam hal menguburkan orang mati.
Dulu, sebelum agama Islam dan Kristen dianut oleh masyarakat Moronene, jasad seorang turunan bangsawan ditempatkan dalam peti mati khusus dan diletakkan di atas tanah. Lalu ada dua orang pengawal: seorang wanita memegang sebilah pisau berdiri di bagian kepala dan seorang pria memegang sebilah parang (taa) berdiri di bagian kaki dengan sikap awas.
Kedua pengawal ini harus dari status yang sama tetapi berumur lebih muda. Kalau yang dikuburkan adalah seorang pangeran atau raja maka kedua pengawal akan dikubur bersama dalam keadaan hidup yang disebut “pompuriti bolo” atau “pompuriti kuburo”.
Roh kedua pengawal dipercaya akan mengawal roh sang pangeran/raja memasuki alam roh. Bila yang meninggal orang berada (kaya) maka dia harus memasuki alam roh sebagai orang berada sehingga beberapa harta benda biasanya ikut dikuburkan bersama. Bagi kalangan rakyat biasa yang tidak mampu, pohon rumbia yang dilubangi akan dipakai sebagai pengganti peti mati.
Posisi jenazah diletakkan membujur arah timur-barat dengan posisi wajah menghadap ke laut atau ke gunung (atau bisa juga ke arah selatan - mirip dengan kebiasaan suku-suku tua yang ada di Poso). Tujuannya agar roh jahat yang mungkin pernah memasuki tubuh orang yang meninggal bisa keluar tanpa mengganggu orang di sekitar. Lalu proses penguburan dilanjutkan dengan menutupi peti mati dengan gundukan tanah hingga setinggi sekitar 1-1,5 meter hingga berbentuk bujur sangkar. Kemudian semua sisi diperkuat dengan susunan batu, dilapisi papan dan dipasangkan atap. Lalu dihiasi dengan lukisan seperti “bosu-bosu” atau “renda-renda” atau “sosoronga”.
Semakin tinggi status yang meninggal semakin besar ukuran makamnya dan semakin banyak hiasan lukisannya. Kini seni lukisan ini telah diadopsi menjadi corak kain tenun Bombana. Foto terlampir adalah makam Mokole Munara atau Sangia Tandole (Raja Moronene Rumbia ke-4, wafat awal tahun 1950).
Makam berbentuk kotak melambangkan sebuah perahu yang diyakini oleh para leuhur sebagai media bagi roh untuk mengarungi bahtera alam roh. Sebagaimana leluhur Tomoronene dahulu kala berkelana mengarungi samudra. Bagi rakyat biasa, jasad yang ada dalam peti atau pohon rumbia hanya diberikan gundukan tanah secukupnya. Setelah acara pemakaman selesai dilanjuntukan dengan acara pesta. Lokasi makam untuk bangsawan terletak di sekitar istana dan untuk rakyat biasanya di ladang milik keluarganya.
Sangia I Ntera, sebagai Raja dan pemangku adat melakukan penyesuaian warisan budaya tradisional Moronene dengan ajaran agama yang ada. Bilamana yang meninggal beragama Islam maka proses pemakaman disesuaikan dengan syariat Islam dan begitupula untuk yang beragama Kristen mengikuti tata cara pemakaman agama Kristen.
Sebagai contoh nyata adalah ketika salah seorang putri Sangia I Ntera wafat tahun 1932. Imam Poea (Sangga Lulu) ditugaskan untuk mengurusi jenazah sang putri sesuai syariat agama Islam (mulai dari memandikan jenazah hingga ke pemakaman). Namun tradisi budaya yang tak bertentangan dengan Islam tetap dipelihara seperti ketika jenazah yang hendak dibawa keluar rumah menuju pemakaman tidak melalui pintu tetapi dengan melepaskan salah satu sisi dinding rumah. Lubang makam disiapkan sesuai aturan Islam, jenazah diletakkan ke dalam liang lahad sambil bagian atas lubang makam dibentangkan kain sambil diayun-ayunkan untuk mencegah roh lain ikut masuk ke dalam makam.
Makam lalu diberikan gundukan tanah seperti penjelasan di atas (yaitu berbentuk kotak setinggi satu meter dan diberi atap serta hiasan lukisan). Tidak ada lagi “pompuriti bolo”, sebagai gantinya, satu atau dua ekor kerbau/sapi (1 ekor untuk wanita, 2 ekor untuk laki-laki) akan dikurbankan untuk kemudian dagingnya dibagikan ke masyarakat. Acara pesta diganti dengan membaca Al-Qur’an dan memanjatkan doa kepada almarhum/almarhumah pada malam pertama, ke-3, ke-7, ke-40, ke-100 dan ke-120. Ada kepercayaan bahwa arwah yang meninggal masih berada di sekitar rumah hingga hari ke-7 dan akan perlahan-lahan menghilang menuju tempat peristirahatan di alam barzah.
Begitu pula untuk proses pemakaman bagi yang beragama Kristen. Sangia I Ntera memberikan kuasa kepada pihak gereja. Pada tahun 1933, istri Petrus Saleh Lode, guru Kristen di Rompu-rompu wafat. Proses pemakaman mengikuti tata cara Kristiani. Namun, ketika PS Lode ingin melakukan pesta malam harinya, Pendeta G.C. Storm menyita 100 botol tuak yang hendak dikonsumsi saat pesta. Kemudian acara pesta untuk yang meninggal secara perlahan diganti dengan kebaktian tahunan saat perayaan Hari Paskah dengan melakukan pembersihan area pemakaman.
Kemudian, ritual dan lokasi pemakaman mulai diatur sesuai peraturan pemerintah kolonial Belanda yang tidak membolehkan ada jenazah yang tidak dikubur dalam waktu 48 jam semenjak meninggal dan lokasi pemakaman untuk umum harus di lokasi yang sudah disiapkan.
Sebagai wilayah yang mulai terbuka dengan dunia luar, pengaruh kebudayaan dan peradaban luar mulai masuk ke dalam kehidupan masyarakat. Muncul gerakan yang dipelopori oleh Mokole Munara dan Mokole Bawea Powatu mengajak masyarakat terutama pemuda untuk memakai identitas budaya Moronene berupa ikat kepala “tali”.
Walaupun Sangia I Ntera sangat memperhatikan suku atau rakytanya namun bukan berarti beliau menganut faham racist. Buktinya, ketika pada tahun 1904 La Bolong Daeng Makketti (pewaris sebuah tahta kerajaan di Sinjai) meminta agar dia bersama kelompoknya dapat menggunakan wilayah Lampopala sebagai pemukiman dan beberapa tempat lainnya untuk tempat mencari nafkah yang mana kemudian melahirkan sebuah perjanjian persaudaraan “tanduale”. Lalu datang generasi berikutnya yang dipimpin oleh Baso Mangkasa dan Karaeng Mappincara.
Ketika terjadi penjarahaan oleh gerombolan badik tahun 1950 dan serangan terror oleh gerombolan DI/TII tahun 1957, maka keturunan La Bolong Daeng Makketti, Baso Mangkasa dan Karaeng Mappicara lah yang membantu melindungi dan menyelamatakan keluarga kerajaan dari ancaman pembunuhan. Hubungan kekerabatan dan kekeluargaan masih terperlihara dengan baik hingga saat ini. Saya akan membuat tulisan tersendiri tentang sejarah Tanduale. (bersambung ke bagian 4)
-------------------------------------
*) Tulisan ini dihimpun dari berbagai sumber. Salah satunya adalah buku “Nieuwe hoofden, nieuwe goden”, Dr. Christian de Jong, 2017 dan buku “Sejarah Peradaban Moronene”, Rekson dkk, 2015.
------------------------------------
BACA BERITA SEBELUMNYA :
Sangia I Ntera – Raja Moronene yang Visioner, Sultan Buton memberinya gelar Pauno Rumbia (Payungnya Rumbia). (Bagian Pertama)
Sangia I Ntera – Raja Moronene yang Visioner [Bagian Kedua]