
BUTONMAGZ—Buton adalah negeri dengan wilayah kepulauan, bahkan sejarah mencatatnya sebagai negeri maritim di Timur Nusantara. Warganya pun banyak berprofesi sebagai pelayar. Perahu-perahu layar mereka merupakan alat pengangkut perdagangan antara pulau yang cukup potensial di Indonesia bagian Timur.
Data yang diperoleh Butonmagz dari buku ‘Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Sulawesi Tenggara’ yang diterbitkan Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya - Depdikbud di tahun 1978/1979, menuliskan bahwa sebelum tahun 1938 di Baoe-baoe (Baubau-Buton) muncul perhimpunan penduduk dari mereka berprofesi sebagai pedagang/pelayar. Namanya Roekoen Pelayaran Indonesia atau ROEPELIN.
Kendati pengurusnya adalah pedagang dan pelayar asal Buton, namun ROEPELIN tidak berkedudukan di Baubau, melainkan di Kota Surabaya. Organisasi profesi ini dibawah pimpinan Najamuddin Daeng Malewa, yang saat itu menjabat sebagai Kepala Duane. Najamuddin Daeng Malewa adalah politisi kelahiran Baubau tahun 1907 yang kemudian dikenal sebagai Perdana Menteri Negara Indonesia Timur (NIT) di tahun 1946-1947.
ROEPELIN didirikan Najamuddin sebagai upaya menyaingi Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM) yang memonopoli perdagangan laut di Indonesia.
Najamuddin Daeng Malewa adalah anak dari Abd. Rahim, Kapita (Bugis) di Bau-Bau. Haji Abd. Rahim bersaudara dengan Haji Abdul Karim, Imam masjid Bau-Bau yaitu bapak dari Komisaris Besar Polisi M. Jasin (Bapak Bromob Indonesia). Jejak-jejak keluarga ini masih bisa ditemui di Baubau, karena dulu mereka berdiam di kawasan BRI Baubau saat ini.
Memang, di Baubau sejak lama bermukim pendatang-pendatang dari Bugis Makassar dan mempunyai kedudukan tersendiri dalam kegiatan ekonomi dan agama. Mereka mempunyai kepemimpinan sendiri yang terpusat pada seorang Kapita.
Tentang ROEPELIN, dalam catatan sejarah buku Depdikbud tersebut dianggap menyaingi kapal-kapal Belanda dalam lalu lintas perdagangan di Indonesia bagian Timur dalam hubungan wilayah ini dengan Surabaya dan malah dengan Singapura.
Pada 1938 perahu-perahu layar RUPELIN ditahan dan dilarang berlayar dengan dalih menyelundupkan teh ke Singapura. Banyak perahu layar kepunyaan rakyat Buton ditahan di pelabuhan Baubau dan nakhoda-nakhodanya ditangkap.
![]() |
Najamuddin Daeng Malewa (paling kanan) bersama beberapa tokoh Buton di Konfrensi Malino 15-25 Juli 1946
|
Rupelin adalah Sayap Partai Parindra, Buka Cabang di Baubau
Organisasi profesi ROEPELIN adalah organisasi sayap Parindra (Partai Indonesia Raya), partai yang merupakan gabungan dari beberapa organisasi dan paling dominan dalah Persatuan Bangsa Indonesia (PBI) yang didirikan dr. Soetomo di Kota Surabaya tahun 1930. Najamuddin Daeng Malewa sendiri adalah anggota Perserikatan Celebes yang kemudian terpilih sebagai ketua Perserikatan Celebes di tahun 1920 se pulangnya ke Makassar, belakangan kemudian menyatakan bergabung dengan Parindra
Parindra didirikan dengan tujuan meraih Indonesia yang mulia dan sempurna. Parindra awalnya merupakan penggabungan beberapa organisasi non politik dari masyarakat pelajar. Di antaranya adalah Serikat Ambon, Serikat Celebes, beberapa serikat pemuda lain dari wilayah di Indonesia. Tetapi yang paling berpengaruh adalah adanya campuran sejarah berdirinya Budi Utomo yang akhirnya mengalami peleburan ke dalam organisasi ini.
Parindra menggerakkan organisasinya dengan cara mendirikan kelompok-kelompok berdasar kepentingan yang tetap akan dipantau oleh pemerintah Belanda. Para petani yang tergabung dalam Parindra dimasukkan ke dalam Rukun Tani. Sementara Rukun Pelayaran Indonesia (Rupelin) didirikan sebagai wadah bagi para pekerja di dunia perkapalan.
Parindra berdiri atas izin pemerintah Belanda yang ketika itu dipegang oleh Jenderal Van Starkenborg sebagai pemimpin pengganti De Jonge yang mengakhiri jabatannya di tahun 1936. Memang sejak awal pendiriannya, Parindra menjadi organisasi kooperatif yang terbuka dengan kerjasama eksternal. Parindra tidak menutup diri dengan tawaran-tawan pemerintah Belanda untuk bergerak seiringan. Itu sebab partai ini membesar.
Di awal pergerakannya saja, Parindra langsung mendapat dukungan besar dari rakyat. Dukungan ini dibuktikan dengan jumlah anggota awal Parindra yang menyentuh angka 2.425 orang yang tersebar pada 52 cabang Parindra seluruh Indonesia. Ketika tahun 1936, kekuatan Parindra bertambah 1000 orang anggota dengan persebaran cabang yang bertambah menjadi 57 unit seluruh Indonesia. Belakangan partai ini dianggap membahayakan Belanda.
Salah satu cabang terbesar Parindra dan satu-satunya di Sulawesi Tenggara, adalah di Baubau. Maklum, kota tua ini merupakan tempat kedudukan Asisten Residen Afdeling Buton dan Laiwui yang juga merupakan ibu kota Kesultanan Buton.
Besarnya Parindra di Baubau saat itu karena mampu menampung aspirasi dari kesadaran politik baik dari kalangan penduduk asli Buton maupun golongan yang berasal dari kalangan pendatang. Pimpinan-pimpinannya kebanyakan berasal dari pegawai pemerintah · Belanda maupun swapraja antaranya:
1 ). Laode Trom (Toromu) Klerk Swapraja
2). Lampou (Polisi)
3). Abd. Samad (Swasta)
4). La Ode Muh. Rusli (guru)
5). La Ode Abd. Majid (guru)
6). La Ode Bosa.
Gerakan politik dari Parindra tidak ada yang menonjol, kecuali membawa misi modernisasi kepada rakyat dan sosial kontrol tidak langsung pada pemerintah. Sedikit banyaknya pada saat itu di Bau-Bau telah timbul suatu kesadaran berorganisasi.
La Ode Manarfa dan La Ode Nafsahu berusaha mendirikan organisasi kepanduan NIP (Nederlandsch Indische Padvinderij) tetapi tidak mernperoleh simpati banyak dari kalangan pemuda. Keduanya adalah anak Sultan Buton pada waktu itu (Sultan Buton terakhir La Ode Muh. Falihi). Dari kalangan guru-guru dengan koordinator Abd. Latif didirikan organisasi VOB (Volks Onderwijzer Bond) dan OSV (OnderwijzerSport Vereniging).(zah)