
BUTONMAGZ---Jumat malam, 11 September 2020 di beranda tengah Rumah Jabatan Wali Kota Baubau, tiba-tiba mata AS. Tamrin menjadi sembab sejurus setelah menyaksikan petikan berita televisi proses wisuda sarjana seorang anak Bung Karno, presiden pertama Republik Indonesia. Entah siapa yang dimaksud Pak Tamrin, tetapi emosionalnya begitu terasa malam itu.
“Ia telah menua karena usia, namun baru saja di wisuda. Begitulah rezim. Anak-anak Bung Karno, hampir tidak ada yang sarjana di era Orde Baru,” paparnya singkat kepada Butonmagz usai menonton acara tv itu.
Pak Tamrin tak menampik Orde Baru sebagai orde sukses dalam pembangunan fisik bangsa Indonesia, namun ia mengeritik hubungan penguasa orde baru dengan penguasa orde lama itu. Baginya Bung Karno dan keturunannya harus tetap mendapat penghormatan besar sebagai peletak dasar berdirinya republik ini.
Pak Tamrin memang seorang marhaenisme, pria yang di bulan November 2020 nanti berusia 68 tahun mengaku sebagai pencinta Bung Karno dan ajaran-ajaran ideologinya. Mungkin itu pula menjadi alasan, mengapa tampilan Wali Kota Baubau di setiap aktivitas kedinasan maupun acara non formal, ia selalu mengenakan peci hitam dengan pin merah putih. Tampilan yang mengingatkan dirinya pada sosok Soetardjo Soerogoeritno – mantan wakil ketua DPR-RI era tahun 1999-2009 dari PDI-Perjuangan, partai besutan Megawati Soekarnoputri.
Tentang Soekarno dan ajaran-ajarannya, pengetahuan Pak Tamrin tidak diragukan, ia menguasai jengkal demi jengkal perjalanan politik ‘sang fajar’ itu. “Sejak SD/SR hingga sekarang saya cukup banyak membaca buku-buku Bung Karno, beliau itu pemimpin terhebat, bukan hanya Indonesia, tetapi Asia dan dunia internasional mengakuinya,” ujarnya.
Benarkah ia seorang marhaen? Tak terucap alasan-alasan verbal Pak Tamrin. Namun ia mengingat betul ajaran itu; merakyat dan menentang penindasan manusia atas manusia, atau bangsa atas bangsa. “Esesnsinya, marhaen itu ideologi perjuangan yang terbentuk dari Sosio-Nasionalisme, Sosio-Demokrasi dan Ketuhanan, dari Bung Karno,” kata Pak Tamrin singkat.
Pak Tamrin mengongkritkan pikiran marhaenisnya hanya dalam kehidupan keseharian. Kendati ia eks pejabat tinggi di Badan Pertanahan Nasional, lalu kemudian menjadi Wali Kota Baubau – Sulawesi Tenggara dua periode sejak tahun 2013 – namun diri dan keluarganya tak pernah hedonis.
“Anak-anak saya harus menyatu seperti masyarakat pada umumnya. Kita semua harus pandai-pandai bersyukur, menjalankan pekerjaan dengan tulus dan ikhlas, menebar persaudaraan dan kesamaan derajat, sebab kita semua sama, kendati peran masing-masing berbeda,” pungkas Pak Tamrin.
Keabadian pertemanan, Bahasa Jepang, dan Harmonika
Persaudaraan dan kesamaan derajat inilah yang membenamkan pikiran banyak orang Buton melabeli Pak Tamrin sebagai sosok Marhaenisme, ajaran Bung Karno yang dipetik dari seorang petani jelata bernama Marhaen yang ditemukannya di tahun 1926-1927.
Dalam versi yang berbeda, nama petani yang dijumpai Bung Karno di daerah Bandung, Jawa Barat itu adalah Aen. Dalam dialog antara Bung Karno dengan petani tersebut, selanjutnya disebut dengan panggilan Mang Aen. Petani tersebut mempunyai berbagai faktor produksi sendiri termasuk lahan pertanian, cangkul dan lain-lain yang ia olah sendiri, tetapi hasilnya hanya cukup untuk kebutuhan hidup keluarganya yang sederhana.
Kondisi ini kemudian memicu berbagai pertanyaan dalam benak Bung Karno, yang akhirnya melahirkan berbagai dialektika pemikiran sebagai landasan gerak selanjutnya. Kehidupan, kepribadian yang lugu, bersahaja namun tetap memiliki semangat berjuang memenuhi kebutuhan hidupnya inilah, maka nama petani tersebut oleh Bung Karno diabadikan dalam setiap rakyat Indonesia yang hidupnya tertindas oleh sistem kehidupan yang berlaku. Sebagai penyesuaian bahasa saja, nama Mang Aen menjadi Marhaen.
Istilah ini untuk pertama kalinya digunakan oleh Soekarno di dalam pleidoinya tahun 1930, Indonesia Menggugat untuk mengganti istilah proletar.
Kembali ke sosok Pak Tamrin, Wali Kota yang belakangan ini lebih memilih berkantor di Rujabnya era Covid-19 ini, dikenal pula sebagai sosok yang pandai menjalin pertemanan tanpa perbedaan kasta.
“Kita perlu belajar dari Pak Wali, bagaimana ia memelihara pertemanannya, bahkan teman-teman SD-nya pun masih diingat dan selalu dikenangnya, dari situ kita bisa paham bagaimaina kesederhanaan dan empati beliau tentang kemanusiaan,” imbuh Dr. Roni Muhtar, Sekda Baubau saat ini kepada Butonmagz pada sebuah kesempatan.
Satu hal yang terbilang unik dari sosok Pak Tamrin. Di usianya yang tak lagi belia dengan segala kesibukannya, ia boleh disebut satu-satunya kepala daerah di Sulawesi Tenggara, bahkan di Indonesia yang terbilang fasih berbahasa Jepang.
“Tidak juga fasih, tetapi saya bisa mengucapkan dan mengerti maknanya bila ada yang berbahasa Jepang, mungkin dulu sering dengar radio-radio berbahasa Jepang, jadi bisa menggunakannya. Ogenki Desu Ka? Hai okage sama de genki desu? Apa kabarmu,” kata Pak Tamrin menyapa dalam bahasa bangsa Matahari Terbit itu.
Satu hal lagi, selera seni Pak Tamrin cukup baik. Ia tak hanya pandai melantun lagu-lagu riang ataupun melankolis. Ia pandai memainkan harmonika – alat musik tiup yang kini jarang lagi ditemukan. Harmonika bak benda pusaka yang selalu disimpannya, Terkadang ia mengantongi dalam kantong jaket bila ada acara-acara non formil, sesekali meniupnya dan mengelaborasi dengan para seniman musik lainnya. Berdendang ria, asyik. (zah)
0 Komentar