BUTONMAGZ--Ansyaad Mbai, orang Buton ini sangat pesohor sebagai orang yang paling anti di belantara terorisme nasional bahkan internasional. Nama lengapnya Inspektur Jenderal (Purn.) Drs. Ansyaad Mbai.
Terlahir di Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara, 2 Juni 1948adalah Mantan Kepala Desk Koordinasi Pemberantasan Terorisme Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan di Indonesia. Ia juga adalah Mantan Wakil Kepala Pelaksana Harian Badan Narkotika Nasional.
Ansyaad Mbai, seorang polisi yang mengenal betul dunia kejahatan berskala trans-nasional seperti terorisme, narkotika, dan pencucian uang (money laundring). Oleh sebab itu, ia kerap dimintai pendapatnya seputar seluk-beluk terorisme di Indonesia.
Pada 7 September 2010 silam , Irjen Pol (Purn) Ansyaad Mbai dilantik oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Marsekal TNI (Purn) Djoko Suyanto menjadi Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Dengan kehadiran organisasi BNPT, maka organisasi DKPT (Desk Koordinasi Pemberantasan Teroris) yang sebelumnya bernaung di bawah Kemenko Polhukam, telah menjadi lembaga tersendiri yang langsung bertanggung jawab kepada Presiden. Keberadaan BNPT sebagai badan baru merupakan implementasi dari Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2010 tentang Badan Nasional Penanggulangan Terorisme.
Jabatan Ansyaad Mbai sebagai Kepala BNPT sangat berhubungan dengan jabatannya sebelumnya, yakni Kepala DKPT sejak 2002. Selama delapan tahun menjabat sebagai Kepala DKPT, lulusan terbaik Akabri bidang Kepolisian pada tahun 1973 ini bertugas melakukan koordinasi antarinstansi penegak hukum, yakni kepolisian, kejaksaan, hakim, juga lintas departemen, seperti TNI dan BIN.
Sedikitnya ada dua keberhasilan Polri yang merupakan buah tangan dingin Ansyaad Mbai beserta anak buahnya. Keberhasilan yang telah mengangkat nama baik institusi Polri, pimpinannya Jenderal Sutanto saat itu, hingga Kepala Negara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Pertama, saat tim Detasemen 88/Antiteror Mabes Polri berhasil menembak mati ‘sang demolition man’ Dr Azahari bin Husin di sebuah rumah di Jalan Flamboyan Raya, Kota Batu, Malang, Jawa Timur, Rabu sore (9/11/2005).
Peristiwa kedua, hanya berselang dua hari kemudian, sebuah tim lengkap terdiri dari unsur Mabes Polri, BNN, Bea Cukai, dan Polda Banten yang kala itu juga di bawah koordinasi Ansyaad sebagai Wakil Kepala Pelaksana Harian (Wakalakhar) Badan Narkotika Nasional (BNN), berhasil menggerebek sebuah pabrik esktasi dan sabu-sabu terbesar ketiga di dunia di Jalan Raya Cikande KM 18, Serang, Banten.
Sebelum dipercaya menjabat sebagai Kepala BNPT dan Wakil Kepala BNN, mantan Kapolda Sumatera Utara ini sudah malang melintang bertugas di bidang intelijen. Tahun 1996-1999, ia menempati posisi sebagai Kepala Direktorat Reserse Polda Jawa Tengah, kemudian pada tahun 1999-2000 sebagai Direktur Reserse Umum Mabes Polri, dan 2001 menjadi Asisten Intel Kapolri. Sejak 2002, ia pun dipercaya menjabat Kepala Desk Koordinasi Pemberantasan Terorisme (DKPT) Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan. Dan pada masa yang sama, juga dipercaya jadi Wakil Kepala Pelaksana Harian Badan Narkotika Nasional.
Saat penanganan masalah terorisme masih tergolong masih baru di Indonesia dan UU Pemberantasan Tindakan Terorisme pun baru muncul tahun 2001, Ansyaad menjadi banyak berbicara kepada pers karena menjadi satu-satunya penanggungjawab koordinasi penanganan masalah terorisme. Pria kelahiran Buton 2 Juni 1948 ini kerap dimintai pendapatnya seputar seluk-beluk terorisme di Indonesia.
Menurut Ansyaad, sebagaimana disampaikannya pada acara Halaqah Penanggulangan Terorisme (Peran Ulama Dalam Mewujudkan Pemahaman Keagamaan Yang Benar) Sabtu, 06 Nopember 2010, terorisme adalah kejahatan luar biasa (extraordinary crime), karena itu maka diperlukan upaya luar biasa dalam menanganinya. Karena tujuan terorisme aktual itu, dari hasil investigasi dapat diketahui dengan jelas, yaitu pembentukan khilafah Islamiyah/daulah Islamiyah (JI) dan penerapan syariat Islam.
Sementara sasaran strategi terorisme menurut Ansyaad adalah menunjukkan kelemahan pemerintah, memancing konflik meluas horisontal dan vertikal, memancing reaksi represif aparat pemerintah dan mendiskreditkan pemerintah, menarik simpati publik, dan menggunakan media massa untuk menyebarluaskan propaganda dan ideologi teroris.
Puncak dari gerakan terorisme itu sendiri adalah gerakan deradikalisasi. Oleh karena itu, menurutnya, peran ulama sangat dibutuhkan untuk deradikalisasi pemahaman keagamaan. Cara-cara kekerasan tidak bisa dilakukan lagi karena justru akan memperkuat perlawanan. Untuk itu, Ansyad menawarkan penanggulangan ancaman terorisme dengan memberdayakan tokoh-tokoh moderat agama untuk menyebarluaskan ajaran moderatnya yang dimotori oleh NU dan Muhammadiyah.
Advertisement
Di Indonesia, penanggulangan terorisme menurut Ansyaad sudah ada kemajuan. Kepolisian memang sudah sukses membongkar sejumlah kasus tetapi belum mampu mencegah aksi terror. Hal tersebut menurutnya antara lain disebabkan oleh undang-undang yang berlaku sekarang tidak memungkinkan polisi menangkap tersangka teroris sebelum melakukan aksi.
Puncak dari gerakan terorisme itu sendiri adalah gerakan deradikalisasi. Oleh karena itu, menurutnya, peran ulama sangat dibutuhkan untuk deradikalisasi pemahaman keagamaan. Cara-cara kekerasan tidak bisa dilakukan lagi karena justru akan memperkuat perlawanan. Untuk itu, Ansyad menawarkan penanggulangan ancaman terorisme dengan memberdayakan tokoh-tokoh moderat agama untuk menyebarluaskan ajaran moderatnya yang dimotori oleh NU dan Muhammadiyah.
Berkaitan dengan itu, ia mengatakan amandemen atau revisi UU Anti Terorisme sudah sangat mendesak dilakukan agar aparat keamanan bisa melakukan pencegahan aksi terorisme seperti, kegiatan-kegiatan yang menganjurkan orang melakukan aksi kekerasan, untuk memerangi negara lain, membakar tempat ibadah. Kegiatan itu menurut Ansyaad merupakan awal dari aksi terorisme yang mestinya dikategorikan juga sebagai aksi kejahatan.
Ansyaad mencontohkan, semua aksi terorisme yang terjadi selama ini terjadi melalui latihan militer yang dilakukan sebelumnya. Jadi menurutnya, latihan militer untuk kasus terorisme adalah termasuk kejahatan perang. Begitu pula dengan segala kegiatan perekrutan (baiat) yang dilakukan pimpinan teroris untuk mencari calon pengantin, itu juga termasuk kejahatan perang dan harus mendapat hukuman berat.
“Makanya kita jangan terlalu mengikuti teori. Kalau mengikuti teori, bisa-bisa nanti teroris bukan orang bersalah. Tidak ada teroris yang dihukum nantinya. Lebih baik kita lihat yang praktis saja,” ujarnya.
Ansyaad lebih lanjut berpendapat, Indonesia seharusnya bisa berkaca dari kebijakan antiterorisme Inggris, yang mengelompokkan latihan militer terorisme sebagai tindak kejahatan perang. Inggris merombak peraturan antiterorismenya usai belajar dari kejadian aksi teror bom tahun 2005.
Indonesia, kata Ansyaad, selama ini terlalu longgar dalam mengawasi para pelaku terorisme. Indikasinya, dua gembong teroris yang sempat sangat diburu, Noordin M. Top dan Dr. Azhari memilih melancarkan aksinya di Tanah Air. “Mereka tidak punya ruang gerak di negerinya. Sangat sulit untuk melakukan rekrutmen apalagi pelatihan militer,” ujarnya.
Tenggat waktu penahanan selama masa penyelidikan dan penyidikan juga menurut Ansyaad terlalu pendek dalam UU sekarang, yakni hanya 7 hari. Karena jika polisi tergopoh-gopoh melakukan penyelidikan, akan terbuka kemungkinan jaringan teroris tidak sempat dibongkar sehingga membuat banyak orang yang terlibat akhirnya lepas atau tidak terjaring oleh hukum.
Selain itu, peraih berbagai penghargaan Satya Lencana dan Bintang Bhayangkara ini juga menyarankan agar ancaman hukuman bagi terpidana terorisme diperberat. Sebab beberapa narapidana terorisme yang keluar dari lembaga pemasyarakatan selama ini ternyata mengulangi lagi perbuatannya.
“Logikanya orang baru keluar tapi melakukan lagi, berarti ancamannya terlalu singkat,” kata Ansyaad usai acara Kelompok Diskusi Terfokus bertema ‘Pembinaan Khusus Narapidana Teroris Dalam Rangka Penanggulangan Terorisme di Indonesia’ di Kantor Kementerian Hukum dan HAM, Selasa (12/10/2010). Intinya, undang-undang penanggulangan terorisme yang dimiliki Indonesia sekarang ini, menurut ayah dari tiga orang anak ini, mungkin paling lembek di dunia.
Dalam beberapa kesempatan, suami dari Sumarni ini menyatakan karena terorisme selalu berlatar belakang politik dan ideologi, maka keberadaan gerakan itu tidak tergantung kepada salah satu figur. Ansyaad mencontohkan apa yang ditunjukkan oleh Darul Islam puluhan tahun lalu, seperti di Jawa Barat ada Kartosuwiryo, Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan dan Daud Beurauh di Aceh.
Itu adalah gerakan DI/TII yang tujuannya mendirikan Negara Islam Indonesia (NII) berdasarkan syariat Islam. Reaktualisasi sejarah lama gerakan mereka terjadi karena turunan-turunannya tidak pernah berhenti kendati figur pimpinannya sudah tertangkap. Tokoh-tokoh ideologis mereka memang tidak pernah tertangani dengan baik.
“Nah, sekarang JI (Jamaah Islamiyah, Red) persis mengangkat itu, tujuan ideologis dan politisnya masih sama yakni membentuk negara Islam dengan syariat Islam, hanya sekarang dia go international,” kata Ansyaad beberapa waktu lalu.
Ansyaad menambahkan, teroris, narkotika, dan pencucian uang (money laundring) ada dalam satu lini. Malahan kunci kegiatan terorisme adalah dana. Menumpas kejahatan narkotika berarti menumpas terorisme dan money laundring, dan sebaliknya.
Base camp teroris internasional di Afghanistan, misalnya, yang menjadi pusat infrastruktur operasional dan pendukung Al-Qaeda, berperan pula sebagai pusat pengembangan opium kualitas terbaik dunia. Dari sana kokain dikirim ke seluruh dunia, hasilnya ditransfer untuk mendanai sel-sel terorisme di berbagai penjuru dunia.
Kejahatan narkoba dan terorisme saling berhubungan dan merupakan kejahatan internasional yang terorganisir. Dampak keduanya sangat dahsyat dan mematikan. Narkotika kendati tak meledak namun menimbulkan efek mematikan, menghancurkan dan melemahkan bangsa. Pengedar atau bandar narkotika karenanya bisa pula disebut sebagai teroris, sama seperti di Kolumbia dikenal istilah narkotika terorisme.
Sebagai Wakil Kepala Pelaksana BNN, Ansyaad punya dua kiat untuk memberantas kejahatan narkoba yang ia disebut dengan demand reduction. Secara represif memotong suplai narkoba, misalnya menempatkan satgas-satgas BNN di bandara dan lapas, dan bekerja sama dengan negara lain. Kemudian, secara preventif menggencarkan kampanye anti narkoba misalnya mendirikan Pusat Dukungan dan Pencegahan.
Kata Ansyaad, pendirian BNN adalah bentuk nyata besarnya perhatian dan upaya pemerintah mengatasi narkoba. Namun efektivitas penanganannya sangat tergantung kepada usaha kita bersama. Seperti, kemauan politik seluruh elit haruslah sungguh-sungguh untuk memerangi narkoba. Kemauan politik kemudian dielaborasi dengan pembuatan undang-undang. (eti | tokoh.id)