Butonmagz, masih dalam proses perbaikan web, bila ada kendala pembacaan informasi mohon permakluman

Seabad Lalu, Flu Spanyol Pernah Mengganas di Buton Pada Awal Januari 1919.

 
 
BUTONMAGZ---Pandemi Corona Virus-19 belum berakhir, termasuk di kawasan Kepulauan Buton. Tak hanya masyarakat umum yang terpapar, kalangan elite pun demikian. Informasi terkini, Jumat, 7 Agustus 2020 Bupati Buton Drs. La Bakry, M.Si dinyatakan positf terpapar Covid-19 meski pun ia sendiri mengaku tak ada gejala penyertanya. Semoga lekas sembuh.

Banyak penelitian menyebutkan, pandemi seperti ini adalah siklus 100-tahunan. Sebab se-abad lalu, pandemi juga pernah hadir dengan nama Flu Spanyol, yang memangsa jutaan orang di dunia termasuk Indonesia.

Buton pun kala itu tak luput dari bahaya Flu Spanyol ini. Para tetua Buton masih menyisakan ingatan tentang wabah berbahaya dengan menyebutnya sebagai ‘Taonu’ – (Mungkin) diserap dari bahasa Arab dari diksi ‘thoun’.

Tentang mengganasnya virus Flu Spanyol di Buton, dari artikel Ravando Lie dari Historia yang merangkum perjalanan Flu Spanyol di dunia dan di Indonesia, menuliskan masuknya Flu Spanyol di Buton terjadi dalam gelombang kedua. Seperti dinukilkan berikut ini;

“Gelombang kedua Flu Spanyol terjadi pada Oktober-Desember 1918 meski di beberapa tempat, terutama di kawasan timur, berlangsung hingga akhir Januari 1919. Pewarta Soerabaia melaporkan, virus masih mengganas di Buton pada awal Januari 1919. Kasus kematian juga terjadi di beberapa perkebunan di Sumatera, yang dilaporkan Harian Andalas”.

Merujuk tahun kejadian, maka dipastikan flu Spanyol ini menyebar di Buton di masa pemerintahan Sultan Buton ke-35 – Sri Sultan Muhammad Ali, yang memerintah dari tahun 1918 sampai dengan 1921.

Sejarah Flu Spanyol Di Dunia

Lalu bagaimana sejarah dan cerita Flu Spanyol yang mengguncang dunia itu? Tepat satu abad silam, Flu Spanyol mengguncang dunia. Tidak ada negara yang luput dari serangannya. Pandemi influenza itu membunuh jutaan orang.

Flu Spanyol membunuh sekitar dua sampai 20 persen penderita yang terinfeksi. Persentase tersebut jauh lebih besar dibandingkan influenza biasa yang hanya mampu membunuh 0,1 persen dari total penderita.

Dahsyatnya serangan wabah ini membuat virologis Amerika Serikat Jeffery Taubenberger menyebut Flu Spanyol sebagai "The Mother of All Pandemics."

Asal-muasal virus ini masih menjadi perdebatan. Menurut Frank Macfarlane Burnet, virologis Australia yang mendedikasikan hidupnya untuk mempelajari influenza, pandemi 1918 bermula di Camp Funston dan Haskell County (Kansas) Amerika Serikat. Sementara menurut North China Daily News, seperti dikutip harian Pewarta Soerabaia, pandemi bermula di Swedia atau Rusia lalu menyebar ke Tiongkok, Jepang, dan Asia Tenggara.

Beberapa epidemiologis Amerika menyimpulkan, virus flu dibawa oleh buruh Tiongkok dan Vietnam yang dipekerjakan militer Inggris dan Perancis selama Perang Dunia I (PD I). Alasan utamanya, mereka terbiasa hidup berdekatan dengan burung dan babi. Namun argumen tersebut dibantah Dr. Edwin Jordan, editor dari Journal of Infectious Disease, dengan menyebut bahwa wabah flu di Tiongkok tidak menyebar dan berbahaya.

Jordan juga tidak sepakat dengan teori yang menyebutkan India atau Perancis sebagai asal dari virus mengingat virus flu di kedua negara tersebut hanya bersifat endemik.

Namun, tidak satu pun teori menyebutkan Spanyol sebagai tempat asal virus penyebab pandemi yang terjadi berbarengan dengan PD I itu. Penamaan pandemi dengan Flu Spanyol, menurut Gina Kolata dalam bukunya, Flu: The Story of the Great Influenza Pandemic of 1918 and the Search for the Virus that Caused It, berasal dari pemberitaan media-media Spanyol yang saat itu sirkulasinya cukup terbuka akibat netralitas negeri itu dalam PD I.

Pemberitaan tersebut segera menyebar ke luar Spanyol sehingga membuat wabah tersebut dikenal dengan nama “Flu Spanyol” meski orang-orang Spanyol menyebut pandemi itu dengan “Flu Perancis”.

Cepatnya penularan disebabkan karena virus ditularkan melalui udara. Cepatnya penularan dan luasnya jangkauan pandemi membuat jumlah korban amat tinggi. Satu miliar orang (60 persen dari total populasi dunia) diperkirakan terkontaminasi virus tersebut.

Jumlah korban tewas diperkirakan mencapai 21 juta jiwa (John Barry) hingga 50-100 juta jiwa (Nial Johnson dan Juergen Mueller), di mana kematian terbesar terjadi pada balita, orang berumur 20-40 tahun, dan orang berumur 70-74 tahun.

Itu berarti, dalam kurun waktu Maret 1918-September 1919, Flu Spanyol merenggut sekitar dua persen populasi dunia yang saat itu berkisar 1,7 miliar orang. Angka tersebut jauh melebihi jumlah korban PD I yang berkisar 9,2 juta-15,9 juta jiwa.

Para epidemiologis menyimpulkan, Flu Spanyol merupakan penyakit menular paling mematikan dalam sejarah umat manusia, jauh lebih berbahaya dari cacar, pes, dan kolera.

Flu Spanyol sampai Indonesia

Di Hindia (kini Indonesia), pandemi itu terbawa masuk besar kemungkinan melalui jalur laut, entah lewat kapal penumpang ataupun kapal kargo. Pemerintah Hindia Belanda mencatat, virus ini pertamakali dibawa oleh penumpang kapal dari Malaysia dan Singapura dan menyebar lewat Sumatera Utara.

Investigasi polisi laut terhadap kapal penumpang Maetsuycker, Singkarah, dan Van Imhoff mendapati beberapa penumpang positif terjangkit virus tersebut. Virus bahkan menjangkiti seluruh penumpang dan awak kapal Toyen Maru yang baru tiba di Makassar dari dari Probolinggo.

Menariknya, harian Sin Po dan Pewarta Soerabaia memiliki beberapa nama untuk menyebut pandemi itu: “Penjakit Aneh”, “Penjakit Rahasia”, dan “Pilek Spanje”. Dalam salah satu artikelnya, Pewarta Soerabaia bahkan menggunakan istilah "Russische Influenza" meskipun pandemi Flu Rusia sudah berakhir pada 1890. Namun dalam artikel-artikel berikutnya, Sin Po maupun Pewarta Soerabaia menggunakan terminologi yang lazim digunakan di seluruh dunia untuk menyebut penyakit ini: Flu Spanyol.

Ketika virus itu mulai menyerang kota-kota besar di Jawa pada Juli 1918, pemerintah dan penduduk tidak memperhatikan. Mereka tidak sadar virus tersebut akan menjalar dengan cepat dan mengamuk dengan sangat ganas. Terlebih, saat itu perhatian pemerintah lebih terfokus pada penanganan penyakit-penyakit menular lain seperti kolera, pes, dan cacar.

Beberapa suratkabar juga menganggap Flu Spanyol belum berbahaya. Aneta, misalnya, dari korespondensinya dengan Asosiasi Dokter Batavia menyimpulkan bahwa Flu Spanyol tidaklah berbahaya bila dibandingkan dengan flu pada umumnya. Sementara, Sin Po menulis, “Ini penjakit lagi sedang hebatnja mengamoek di seantero negeri, sekalipoen tiada begitoe berbahaja seperti kolera atau pes."

Burgerlijken Geneeskundigen Dienst (BGD/Dinas Kesehatan Sipil) Hindia Belanda bahkan sempat salah kaprah dengan menganggap serangan Flu Spanyol sebagai kolera. Akibatnya, setelah muncul beragam gejala, pemerintah menginstruksikan BGD untuk mengadakan vaksinasi kolera di tiap daerah. Kesalahan penanganan itu menyebabkan jumlah korban semakin banyak, mayoritas berasal dari golongan Tionghoa dan Bumiputera.

Menurut BGD, gejala Flu Spanyol layaknya flu biasa. Penderita merasakan pilek berat, batuk kering, bersin-bersin, dan sakit kepala akut di awal. Dalam beberapa hari, otot terasa sakit dan disusul demam tinggi. Gejala umum lainnya, mimisan, muntah-muntah, menggigil, diare, dan herpes.

Pada hari keempat atau kelima, virus telah menyebar hingga ke paru-paru. Dalam banyak kasus, gejala itu berkembang menjadi pneumonia. Bila penderita sudah sampai pada tahapan ini, kecil kemungkinan bisa bertahan.

Menurut Sinar Hindia, penyakit itu disebabkan perang yang berkecamuk di Eropa membuat kondisi udara menjadi buruk. Faktor tersebut berkelindan dengan musim kemarau panjang yang tengah terjadi di Hindia. Namun, De Sumatra Post membantah pendapat itu dengan menyebut influenza tersebut sebagai “Penjakit Rakjat”, berasal dari dalam Hindia, dan tidak menular.

De Sumatra Post terpaksa menelan ludahnya sendiri ketika dalam salah satu artikelnya mendorong agar seluruh suratkabar di Hindia Belanda berkenan menyediakan rubrik singkat guna memberikan informasi mengenai bahaya penyakit ini.

Terjadi Dua Gelombang. Buton Masuk gelombang Kedua

Penyebaran Flu Spanyol di Hindia terjadi dalam dua gelombang. Pertama, Juli 1918-September 1918, sekalipun di beberapa tempat, seperti Pangkatan (Sumatera Utara), virus ini sudah menyebar pada Juni 1918. Diduga kuat penyakit itu ditularkan penumpang dari Singapura. Sementara, kawasan timur, seperti Sulawesi dan Maluku, masih terbebas dari Flu Spanyol selama gelombang pertama.

Dalam hitungan minggu, virus menyebar secara masif ke Jawa Barat (Bandung), Jawa Tengah (Purworejo dan Kudus), dan Jawa Timur (Kertosono, Surabaya, dan Jatiroto). Dari Jawa, virus menjangkiti Kalimantan (Banjarmasin dan Pulau Laut), sebelum mencapai Bali, Sulawesi, dan pulau-pulau kecil di sekitarnya.

Memasuki Oktober 1918, virus telah mencapai pulau-pulau kecil di sekitar Kepulauan Sunda. Sebulan berselang, virus telah mencapai Papua dan Maluku, 10 dari 1000 orang meninggal akibat flu ini.

Menurut Oetoesan Hindia, lebih dari 10 persen populasi di Pulau Seram meninggal akibat keganasan virus ini. Sementara, 60 persen penduduk Makassar yang berjumlah sekitar 26.000 jiwa dilaporkan terjangkit virus ini dan 6 persen dari mereka tewas.

Pewarta Soerabaia mencatat, hingga pertengahan Juli 1918, Flu Spanyol telah menjangkiti 70 polisi di Jawa dan membunuh 10 orang Tionghoa di Medan. Beberapa perusahaan di Surabaya bahkan harus mengurangi produksi karena lebih dari setengah karyawannya tidak dapat masuk kerja karena terkena Flu Spanyol.

Sin Po bahkan mengabarkan kemungkinan keterlambatan tiba korannya agar masyarakat memaklumi. Sementara itu, sebuah perusahaan di Ambon harus menerima kenyataan hanya sembilan pekerjanya (dari total 800 pekerja) yang bisa masuk kerja.

Seluruh rumahsakit mendadak kebanjiran pasien sampai harus menolak banyak pasien karena keterbatasan kamar. Para dokter tidak mampu berbuat banyak lantaran mayoritas dari mereka belum pernah melihat gejala penyakit seperti itu. Mereka hanya bisa merekomendasikan kina dan aspirin untuk menurunkan panas sang pasien.

Menurut Koloniaal Weekblad (1919), masing-masing dokter di Makassar harus bertanggungjawab terhadap nasib 800 pasien. Saking frustasinya, dalam sebuah rapat regional di Rembang, Dr. Deggeler sampai menyatakan bahwa tidak ada obat untuk menyembuhkan penyakit itu, selain amal baik seseorang.

Beberapa dokter justru memanfaatkan momentum pandemi itu untuk menaikkan tarif pengobatan. Dr. Hoefer dan Dr. Rademaker di Surabaya, misalnya, secara sepihak menaikkan tarif dari f.1,5 menjadi f.3. Mereka berdalih tindakan tersebut diambil supaya tidak harus melayani banyak pasien.

Pewarta Soerabaia menganggap dokter tipe tersebut hanya mengambil keuntungan dari orang sakit. Mereka dianggap melanggar sumpah dokter karena tidak memprioritaskan pasien yang membutuhkan dan hanya berpikir memperkaya diri.

Akibatnya, berkembang stereotip dokter Eropa cenderung memprioritaskan pasien dari golongan berada sehingga pasien kurang mampu takut berobat ke rumahsakit atau memanggil dokter. Umumnya, mereka hanya mengandalkan pengobatan tradisional, yang seringkali juga tidak berakhir manjur.

Dalam rapat Volskraad, Dr. Abdul Rivai menyebutkan bahwa pandemi telah menjangkiti lima persen dari total populasi di Surabaya. Di Pasuruan, mayat-mayat terpaksa dibaringkan di jalan karena banyak penggali kubur terjangkiti virus tersebut. Koloniaal Weekblad (1919) menuliskan, influenza masih mengamuk di berbagai wilayah Kalimantan pada akhir Desember 1918.

Menurut laporan Zendeling Borch, banyak penduduk meninggal akibat influenza dan pneumonia, biasanya didahului dengan demam tinggi hingga 41 derajat Celsius.

Gelombang kedua Flu Spanyol terjadi pada Oktober-Desember 1918 meski di beberapa tempat, terutama di kawasan timur, berlangsung hingga akhir Januari 1919. Pewarta Soerabaia melaporkan, virus masih mengganas di Buton pada awal Januari 1919. Kasus kematian juga terjadi di beberapa perkebunan di Sumatera, yang dilaporkan Harian Andalas.

Sin Po menyebutkan Flu Spanyol membuat beberapa perkebunan di Jawa Barat menderita. Sebanyak 200 pekerja di Wanasukan terinfeksi pandemi sehingga tidak dapat bekerja. Kondisi serupa terjadi di Talun, mengakibatkan produksi kopi terhambat. Di Padang, kegiatan belajar-mengajar di Sekolah Adabiah dihentikan karena mayoritas murid dan gurunya terinfeksi Flu Spanyol. Begitu juga dengan Kartinischool Goenoeng Sari dan Kweekschool Goenoeng Sari di Batavia dan HIS Gorontalo.

Laporan BGD tahun 1920 menyebutkan, “Seloeroeh desa di Hindia Olanda hampir tidak ada jang tidak terinfeksi oleh penjakit flu." Akibatnya, menurut laporan itu, "[P]intu rumah tertutup. Jalan-jalan begitu lengang. Anak-anak menangis di dalam rumah karena merasa lapar dan haus. Banyak binatang bahkan meninggal kelaparan. Hari-hari tersebut sangat penuh dengan kesengsaraan."

Menurut data mortalitas dalam Handelingen van den Volksraad tahun 1918, pada November 1918 sebanyak 9.956 orang meninggal karena kolera, 909 karena cacar, 733 karena pes. Jumlah itu jauh lebih kecil dibanding jumlah korban Flu Spanyol di bulan yang sama, 402.163 jiwa.

Tidak diketahui pasti berapa jumlah korban Flu Spanyol di Hindia mengingat jumlah penduduk Indonesia saat itu belum diketahui pasti dan sensus pertama baru diadakan pemerintah kolonial pada 1920 sehingga besar kemungkinan korban Flu Spanyol di daerah-daerah terpencil tidak tercatat.

Pewarta Soerabaia menyebutkan, hingga 23 November 1918, jumlah korban meninggal akibat berbagai wabah penyakit di Indonesia mencapai 1,5 juta jiwa dan mayoritas adalah korban Flu Spanyol. Sementara menurut Colin Brown dalam “The Influenza Pandemic of 1918 in Indonesia”, korban Flu Spanyol di Indonesia sebanyak 1,5 juta jiwa.

Statistik dalam Koloniaal Verslag menginformasikan, Flu Spanyol mengakibatkan peningkatan persentase angka kematian di berbagai wilayah di Jawa Tengah dan Jawa Timur hingga dua kali lipat, bahkan lebih. (**)

Posting Komentar

0 Komentar



  • Asal Usul Nama Sulawesi dan Sebutan Celebes
    Lukisan tentang kehidupan masyarakat Sulawesi Selatan pada abad ke-16. (Tropenmuseum, part of the National Museum of World Cultures)BUTONMAGZ--Sulawesi dan Celebes merupakan pulau terbesar kesebelas di dunia. Menurut data Sensus 2020, penduduknya mencapai kurang dari 20 juta jiwa, yang tersebar di...
  • Tragedi Sejarah Lebaran Kedua di Tahun 1830
    Diponegoro (mengenakan surban dan berkuda) bersama pasukannya tengah beristirahat di tepian Sungai Progo.BUTONMAGZ---Hari ini penanggalan islam menunjukkan 2 Syawal 143 Hijriah, dalam tradisi budaya Islam di Indonesia dikenal istilah 'Lebaran kedua',  situasi dimana semua orang saling...
  • Kilas sejarah singkat, Sultan Buton ke-4 : Sultan Dayyanu Ikhsanuddin
    Apollonius Schotte (ilustrasi-Wikipedia)BUTONMAGZ—Tulisan ini merupakan bagian dari jurnal Rismawidiawati – Peneliti pada Kantor Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Makassar, dengan judul  Sultan La Elangi (1578-1615) (The Archaeological Tomb of the Pioneers “Martabat Tujuh” in the Sultanate...
  • Peranan Politik Sultan Mardan Ali di Kesultanan Buton (Bagian 3)
    Pulau Sagori (kini wilayah Bombana) yang banyak menyimpan cerita zaman Kesultanan ButonBUTONMAGZ---Tulisan ini disadur dari Jurnal Ilmiah berjudul ‘Peranan Sultan Mardan Ali di Kesultanan Buton: 1647-1657M, yang ditulis Asniati, Syahrun, La Ode Marhini dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Halu...
  • Mengenal Pribadi Sultan Mardan Ali. Sultan Buton yang dihukum Mati (Bagian 2)
    Pulau Makasar di Kota BaubauBUTONMAGZ---Tulisan ini disadur dari Jurnal Ilmiah berjudul ‘Peranan Sultan Mardan Ali di Kesultanan Buton: 1647-1657M, yang ditulis Asniati, Syahrun, La Ode Marhini dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Halu Oleo Kendari.Di bagian pertama menjelaskan tentang profil awal...
  • Mengenal sosok Sultan Mardan Ali. Sultan Buton yang dihukum Mati (Bagian I)
    Makam Sultan Mardan Ali 'Oputa Yi Gogoli'  (foto rabani Unair Zone)BUTONMAGZ--- cerita tentang kepemimpinan raja dan sultan di Buton masa lalu menjadi catatan tersendiri dalam sejarah masyarakat Buton kendati literasi tentang itu masih jarang ditemukan. Salah satu kisah yang menarik adalah...
  • Sejarah Kedaulatan Buton dalam Catatan Prof. Susanto Zuhdi
    foto bertahun 1938 dari nijkmusem.dd----8 April 1906, Residen Belanda untuk Sulawesi, Johan Brugman (1851–1916), memperoleh tanda tangan atas kontrak baru dengan Sultan Aidil Rakhim (bernama asli Muhamad Asyikin, bertakhta 1906–1911) dari keluarga Tapi-tapi setelah satu minggu berada di...
  • Perdana Menteri Negara Indonesia Timur Kelahiran Buton, Siapa Dia?
    Nadjamuddin Daeng MalewaBUTONMAGZ---Tak banyak yang mengenal nama tokoh ini di negeri Buton, namun di Makassar hingga politik ibu kota masa pergerakan kemerdekaan, nama ini dikenal sebagai sosok politis dengan banyak karakter. Namanya Nadjamuddin Daeng Malewa, lahir di Buton pada tahun 1907. Ia...

  • Inovasi di Desa Kulati - Wakatobi, Sulap Sampah Jadi Solar
    BUTONAMGZ---Kabupaten Wakatobi yang terkenal dengan keindahan surga bawah lautnya, ternyata memiliki sebuah desa yang berbeda dengan daerah lainnya di Indonesia, dimana dihuni oleh masyarakat yang sangat sadar akan pentingnya menjaga lingkungan hidup.Daerah ini bernama Desa Kulati yang mayoritas...
  • Repihan Tradisi dan Sejarah di Kepulauan Pandai Besi - Wakatobi
    BUTONMAGZ---Kepulauan Pandai Besi adalah julukan untuk empat pulau besar dan sejumlah pulau kecil lain di ujung tenggara Pulau Buton, Sulawesi Tenggara. Penamaan itu diberikan pada masa Hindia Belanda karena kepandaian masyarakatnya dalam pembuatan senjata tradisional berbentuk keris dan peralatan...
  • Tari Lariangi - Kaledupa; Tarian Penyambutan dengan Nuansa Magis
    Penari Lariangi. (Dokumen Foto La Yusrie)BUTONMAGZ---Kepulauan Buton tak hanya kaya dengan kesejarahan dan maritim, budaya seninya pun memukau. Salah satunya Tari Lariangi yang berasal dari Kaledupa Kabupaten Wakatobi – Sulawesi Tenggara saat ini.Melihat langsung tarian ini, magisnya sungguh terasa...
  • KaTa Kreatif 2022: Potensi 21 Kabupaten/Kota Kreatif Terpilih. Wakatobi terpilih!
    Wakatobi WaveBUTONMAGZ--Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Kepala Badan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Uno, secara resmi membuka kick off KaTa Kreatif 2022 pada Januari lalu. Di dalam program ini terdapat 21 Kabupaten/Kota Kreatif Terpilih dari total 64 Kabupaten/Kota yang ikut serta.KaTa Kreatif...
  • Tiga Lintasan Baru ASDP di Wakatobi Segera Dibuka
    BUTONMAGZ---Sebanyak tiga lintasan baru Angkutan, Sungai, Danau, dan Penyeberangan (ASDP) Cabang Baubau di Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara, segera dibuka menyusul telah disiapkannya satu unit kapal untuk dioperasikan di daerah itu. Manager Usaha PT ASDP Cabang Baubau, Supriadi, di Baubau,...
  • La Ola, Tokoh Nasionalis dari Wakatobi (Buton) - Pembawa Berita Proklamasi Kemerdekaan Dari Jawa.
    BUTONMAGZ—Dari sederet nama besar dari Sulawesi Tenggara yang terlibat dalam proses penyebaran informasi Proklamasi Kemerdekaan RI pada tanggal 17 Agustus 1945. Ada satu nama yang (seolah) tenggelam dalam sejarah.  Di adalah La Ola. Nama La Ola terekam dalam buku berjudul “Sejarah Berita...
  • Jatuh Bangun dan Tantangan bagi Nelayan Pembudidaya Rumput Laut di Wakatobi
    ilustrasi : petani rumput laut BUTONMAGZ---Gugusan Kepulauan Wakatobi di Sulawesi Tenggara terdiri dari 97 persen lautan dan hanya 3 persen daratan. Dari 142 pulau-pulau kecil, hanya 7 pulau yang berpenghuni manusia. Saat ini pariwisata bahari menjadi andalan pendapatan perkapita masyarakat di...
  • Kaombo, Menjaga Alam dengan Kearifan Lokal
    BUTONMAGZ--Terdapat sebuah kearifan lokal di masyarakat Kepulauan Buton pada umumnya. Di Pulau Binongko - Wakatobi misalnya, oleh masyarakat setempat kearifan ini digunakan untuk menjaga kelestarian alam. Mereka menyebutnya tradisi kaombo, yakni sebuah larangan mengeksploitasi sumber daya alam di...