BUTONMAGZ—Membicarakan kesejarahan antara Makassar (Gowa) dan Buton di masa silam tentu banyak cerita rakyat yang mengiringinya. Sebuah jurnal ilmiah oleh Syahrir Kila dari Balai Pelestarian Nilai Budaya Sulawesi Selatan, menulis hal ini secara runtut. Mengingat panjangnya tulisan jurnal ini, Butonmagz menyajikan secara bertahap dalam beberapa bagian.
Disebutkan, hubungan awal antara Kerajaan Makassar dengan Kerajaan Buton, rupanya agak sulit untuk ditelusuri sebab data dan keterangan menyangkut masalah itu hampir tidak ditemukan. Meskipun demikian, petunjuk lain yang dapat memberikan kita gambaran ke arah itu hanyalah berupa mithos melalui suatu perkawinan antara putra bangsawan Pulau Kabaena dengan seorang putri bangsawan dari Kerajaan Makassar.
Dari berbagai literatur pendukung yang ditemukan, memang sangat sedikit di antaranya yang dapat menjelaskan hal itu. Dengan demikian, hubungan yang akan lebih banyak mendominasi pembahasan ini nanti adalah hubungan di bidang politik pada masa kekuasaan VOC sebab pada masa inilah terjadi konflik antara keduanya.
Tidak diketahui dengan pasti kapan terjadinya perkawinan antara seorang putra bangsawan Kabaena dengan seorang putri bangsawan Makassar. Hal senada juga diungkapkan Almujazi
”Bahwa hanya diduga perkawinan itu telah terjadi setelah Kerajaan Makassar sudah berkembang dengan baik dan pesat. Putra raja Kabaena itu diberitakan pernah tinggal di istana Kerajaan Makassar, lalu kemudian kembali ke Pulau Kabaena. Sebenarnya tidak jelas kapan kepulangan putra raja Kabaena itu, juga tidak ditemukan penjelasannya. Juga tidak ada data yang rinci menjelaskan bahwa apakah kepulangannya itu dilakukan setelah terjadi perkawinan dengan putri bangsawan Makassar tersebut atau tidak” (Wawancara:Almujazi di Baubau, 14 Mei 2016).
Bukan hanya itu persoalannya, tetapi juga tidak diketahui dengan pasti anak siapa putri bangsawan Makassar yang dimaksud itu dan apakah ada keturunannya atau tidak.
Ceritra ini diakui kebenarannya oleh masyarakat setempat. Perkawinan itu terjadi pada abad ke-16 atau awal abad ke-17 sebab di situ waktu mulainya Kerajaan Makassar melakukan perluasan pengaruh wilayah kekuasaannya (Zuhdi, 2010:142). Dan hal seperti itu memungkinkan terjadi pada kerajaan-kerajaan kecil seperti Pulau Kabaena. Mungkin perkawinan itu dimaksudkan bertujuan politik dimana Kerajaan Kabaena berharap untuk mendapatkan perlindungan dari Kerajaan Makassar.
Besar kemungkinan bahwa perkawinan yang dilakukan tersebut, adalah sebagai upaya Pulau Kabaena untuk memperkuat kedudukannya dalam menghadapi serangan dari Kerajaan Buton. Kenapa Kerajaan Buton yang dikhawatirkan akan melakukan serangan terhadap Kabaena?
Kerajaan Buton-lah yang memberikan nama kabaena, yang berarti “gudang berasnya kesultanan”.
Menurut La Ode Syaifuddin bahwa ” Dalam versi ceritra rakyat tersebut tidak ditemukan data dan keterangan yang menjelaskan raja (sultan) Buton ke berapa yang memberikan penamaan seperti itu.
Hanya dijelaskan bahwa Kabaena juga harus menyerahkan upeti kepada Kerajaan Buton dengan istilah Sapoikiana humbuna Kabaena. Upeti itu biasanya dikirim melalui Pelabuhan Baubau” (Wawancara: La Ode Syaifuddin di Baubau,15 Mei 2016).
Dikemudian hari, Kabaena terlihat ada indikasi akan melepaskan diri dari pengaruh kekuasaan Kerajaan Buton ke Kerajaan Makassar. Hal ini tentu saja membuat gusar Kerajaan Buton mengingat bagaimana kebesaran Kerajaan Makassar ketika itu. Hampir semua kerajaan lokal menyadari kalau Kerajaan Makassar tak ada yang dapat mengalahkannya pada saat itu.
Dalam tradisi lisan masyarakat setempat menyatakan bahwa ketika Kabaena diserang oleh Kerajaan Buton, ia menggunakan senjata pemungkasnya yang bernama meriam La Tondu (badili La Tondu). Salah satu gunung yang terdapat di Kabaena yang bernama Sabanpolulu, dan salah satu cekungan dari gunung itu terjadi karena terkena badili La Tondu (Zuhdi, 2010:143).
Jika dicermati tradisi lisan tersebut, dapat diperkirakan bahwa hubungan awal Kerajaan Makassar dan Kerajaan Buton pada versi ceritra tersebut di atas, terjadi pada masa Arung Palakka melarikan diri ke Buton ataukah setelah Arung Palakka berkuasa di Sulawesi Selatan. Senjata pamungkas yang bernama La Tondu yang dimaksud, adalah nama lain yang diberikan kepada Arung Palakka oleh masyarakat Buton ketika yang bersangkutan berada di Buton untuk minta suaka politik atau perlindungan dari Sultan Buton.
Versi tradisi lisan yang kedua adalah berdasarkan epos I La Galigo yang ternyata juga dikenal di Sulawesi Tenggara, dan juga dalam lingkungan budaya masyarakat Makassar, demikian pula dengan Sawerigading. Menurut penuturan seorang sejarahwan lokal bahwa mithos yang berhubungan dengan Sawerigading ini menarik juga untuk dijelaskan sebab ternyata pada daerah lain, ia muncul dengan versi yang berbeda-beda, yaitu:
“Bagi masyarakat Tolaki, Konawe di Sulawesi Tenggara, Sawerigading disebutkan berasal dari Malili. Ia bersaudara kandung dengan We Koila, seorang ratu Cina di Konawe, lalu kembali ke negeri asalnya. Sedang di masyarakat Tolaki, Kerajaan Mekongga, Sawerigading dikenal dengan nama Larumbalangi yang datang dari langit.
Ia berhubungan dengan raja setempat. Setelah itu, ia lalu kembali lagi ke langit. Hal ini juga dikenal oleh masyarakat Muna mengenai Sawerigading yang disebutnya sebagai Baizulzaman yang konon muncul dari sebatang pohon bambu. Keturunannya kemudian kawin dengan keturunan raja-raja setempat. Setelah itu, ia menghilang dan tidak diketahui kemana perginya.
Sementara di Buton sendiri yang menjadi objek kajian ini, Sawerigading dikenal dengan nama Sinoya yang datang dari laut. Keturunannya kawin dengan anak raja-raja Buton dan tinggal di Buton” (Zuhdi, 2010:143).
Kalau dicermati versi-versi dari tradisi lokal tersebut di atas, lalu dihubungkan mithos- mithos yang berkembang di masyarakat, barulah kita temukan benang merah adanya hubungan kedua kerajaan yang dimaksud.
Benang merah itu menurut Rasyinuddin bahwa ”Yaitu adanya ungkapan orang Tolaki yang melihat Sawerigading laksana burung. Dimana burung itu lalu dibagi menjadi tujuh bagian yang disimbolkan kepada tujuh wilayah pula. Untuk bagian kepalanya disimbolkan sebagai Kerajaan Makassar (uluno o Makassar); lehernya disimbolkan sebagai Kerajaan Bone (worokone o Bone); tubuhnya disimbolkan sebagai Kerajaan Konawe (wotoluno Konawe); paruhnya disimbolkan sebagai Kerajaan Mandar (ponduno Mandara); hatinya disimbolkan sebagai Kerajaan Wolio (wuleno Wolio); sayapnya disimbolkan sebagai Kerajaan Luwu (panino o Luwu); sedangkan kakinya disimbolkan sebagai Kerajaan Ternate (karino o Ternate)" (Wawancara: La Ode Rasyinuddin di Baubau, 13 Mei 2016).
Berdasarkan pembagian tersebut di atas, sebenarnya hanya bertujuan untuk melegitimasi kekuatan dan kekuasaan Kerajaan Makassar yang tak tertandingi ketika itu. Meski secara tidak langsung pengakuan itu diberikan kepada Makassar.
Lebih jauh dijelaskan oleh Imran Kudus bahwa “Perumpamaan tersebut muncul ketika Sawerigading memotong seekor ayam dan membagi-bagikan setiap bagian kepada tujuh orang anaknya. Anak tertuanya kemudian menjadi raja di Makassar, anak keduanya menjadi raja di Bone, anak ketiganya menjadi raja di Konawe, anak yang keempat menjadi raja Ternate, anak kelima menjadi raja di Mandar, anak keenam menjadi raja di Luwu, dan anak bungsunya menjadi raja di Wolio” (Wawancara: Irman Kudus di Baubau, 16 Mei 2016). (Bersambung)
0 Komentar