Butonmagz, masih dalam proses perbaikan web, bila ada kendala pembacaan informasi mohon permakluman

Hadirnya Gelar Guru Besar dan Profesor di Indonesia, Begini Sejarahnya.

BUTONMAGZ---Disadur dari media historia.id - sematan profesor merupakan sebutan lain untuk guru besar. Profesor bukanlah gelar akademik, melainkan penyebutan untuk orang yang menjabat guru besar dalam struktur pengajar di universitas. Profesor berasal dari bahasa latin, artinya orang yang memiliki keahlian.

Nama Hussein Djajadiningrat tercatat sebagai orang Indonesia pertama yang mengemban jabatan guru besar dan memiliki atribut profesor. Dia memperolehnya dari Rechtshogeschool (Perguruan Tinggi Hukum) di Jakarta pada 1924.

Waktu itu hampir seluruh aturan dan sistem pendidikan tinggi di Hindia Belanda meniru aturan dan sistem pendidikan tinggi di Belanda. Termasuk pula penyebutan gelar untuk para sarjananya (Mr. atau Meester in de Rechten) dan penyematan jabatan guru besar.

Seturut dengan tradisi kampus-kampus di Eropa, kaprah pada masa itu komunitas akademik di sebuah kampus di Belanda saling mengusulkan seseorang untuk diangkat sebagai guru besar. Sebelumnya orang itu harus memiliki sejumlah karya akademik yang berbobot dan diakui komunitas akademik.

Sebelum pengangkatan menjadi guru besar, seseorang harus menyiapkan pidato ilmiah. Dia akan membacakan pidato itu di hadapan komunitas akademik tempat dia bekerja. Pidato lazimnya disampaikan dengan bahasa yang bisa dipahami oleh orang yang tidak sebidang dengan kepakaran atau keilmuannya. Menurut laman uu.se (Uppsala University, universitas pertama di Swedia) tradisi seperti ini telah berakar di kampus-kampus Eropa pada abad pertengahan (14–16 M).

Tradisi pengukuhan guru besar masuk ke Hindia Belanda seiring dengan pendirian perguruan tinggi di Hindia Belanda sepanjang 1920-an. Tradisi tanpa aturan tertulis ini terus bertahan di perguruan tinggi Indonesia selama masa 1950-an. Bachtiar Rifai dkk. dalam Perguruan Tinggi di Indonesia menyebut masa ini sebagai masa bertahan atau survival perguruan tinggi.  

Masa ini perguruan tinggi Indonesia mendasarkan geraknya pada Undang-Undang Darurat No. 7 Tahun 1950 tentang pemberian kekuasaan kepada menteri pendidikan, pengajaran, dan kebudayaan untuk menyelenggarakan universitas. Sebagian besar isi UU itu berupa upaya penambahan tenaga pengajar dari orang Indonesia dan pengambilalihan perguruan tinggi dari tangan NICA Belanda.

Sementara Nugroho Notoususanto dkk. dalam Sedjarah Singkat Universitas Indonesia menyebut masa 1950-an sebagai masa Indonesianisasi perguruan tinggi. Ini termasuk pula upaya mendorong pengukuhan guru besar dari kalangan bangsa Indonesia. “Lagi pula Senat Guru Besar sebagian besar terdiri dari orang-orang Belanda, demikian pula tenaga-tenaga dosen lainnya,” catat Nugroho.

Memasuki dekade 1960-an, aturan tertulis tentang pengangkatan guru besar dan penyematan sebutan profesor mulai diperkenalkan. Ini seiring dengan keluarnya UU No. 22 Tahun 1961 tentang Perguruan Tinggi. UU ini mengatur penyelenggaraan pendidikan seperti tujuan, bentuk-bentuk perguruan tinggi, tingkat ujian dan gelar, jenis pengajar, dan definisi guru besar dan profesor.

Pasal 11 ayat 7 menyebut pemakaian sebutan profesor diatur dengan Peraturan Pemerintah (PP). Ada ancaman pidana jika seseorang sembarang menggunakannya. Tapi PP tentang pemakaian sebutan profesor tak kunjung keluar selama setahun. Ini membuat sejumlah perguruan tinggi menerapkan kembali konvensi lama tentang penyematan sebutan profesor. Seseorang pun terkadang menyematkan sebutan profesor di depan namanya secara mana suka.

“Pernah terjadi bahwa gelar profesor telah digunakan secara disengaja atau tidak disengaja oleh yang bersangkutan sebelum keluar Surat Keputusan Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan, hal mana sama sekali tidak dapat dibenarkan,” catat Himpunan Peraturan Perundang-Undangan tentang Perguruan Tinggi di Indonesia terbitan tahun 1975.

Peraturan Tertulis Pertama                                

Kekosongan peraturan tertulis tentang penyematan sebutan profesor mendorong Tojib Hadiwijaya, Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan, mengeluarkan Surat Keputusan No. 74 Tahun 1962 tentang Pedoman Sementara Mengenai Pengangkatan Guru Besar Pada Perguruan Tinggi dan Penggunaan Sebutan/Gelar Profesor. Inilah aturan tertulis pertama sejak Indonesia merdeka tentang pengangkatan guru besar dan penggunaan sebutan profesor.

SK No. 74 memuat lampiran tentang tata cara pengangkatan seseorang menjadi guru besar dan penyebutan profesor. Menurut SK ini, guru besar adalah jabatan dalam suatu perguruan tinggi. Sedangkan sebutan profesor merupakan pengakuan dan penghormatan tertinggi pada seorang pengajar di perguruan tinggi.

“Karena itu, pengangkatan menjadi Guru Besar dan penggunaan gelar Profesor harus diatur,” catat SK No 74. Syaratnya ada lima. Seseorang harus mempunyai spesialisasi bidang ilmu; menulis karya ilmiah dalam bentuk buku, majalah, jurnal, disertasi; memiliki pengalaman mengajar; bermoral dan berintegritas tinggi; dan berjiwa Pancasila-Manipol USDEK.

Syarat terakhir tak lepas dari kondisi politik saat itu. Sukarno sedang giat-giatnya menggelorakan gagasannya tentang Manipol dan USDEK. Karena posisinya terus menguat, Sukarno pun ikut menentukan proses seseorang menjadi guru besar. Mula-mula para guru besar mengadakan rapat untuk mengajukan calon guru besar.

“Bilamana dalam rapat tersebut dicapai suara bulat, usul pengangkatan sebagai Guru Besar (biasa atau luar biasa) diteruskan kepada Presiden/Ketua Perguruan Tinggi,” tulis SK No. 74. Presiden berhak menerima atau menolak pencalonan guru besar.

SK No. 74 juga menyebutkan, jabatan guru besar tak mesti selalu harus diisi seorang bergelar doktor atau Ph.D. Sebaliknya, seorang bergelar doktor atau Ph.D tak lantas menjadi guru besar. Dengan demikian, seorang bergelar sarjana bisa saja menjabat guru besar dan memakai sebutan profesor.

“Setelah cukup lama mengabdi sebagai akademisi, sudah ubanan bahkan karena sudah tua diplesetkan dengan ‘profesor linglung’,” tulis Adnan Kasry dalam Riau Pos, 13 Juni 2006.

Profesor yang Pensiun

Mengenai apakah penyebutan profesor itu bersifat permanen atau sementara, SK No. 47 menyebut akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah. Tapi Peraturan Pemerintah pun tak lantas cepat keluar. Akibatnya beberapa guru besar dan profesor masih membawa jabatan dan sebutan itu hingga liang lahat. Sebagaimana tertulis di batu nisannya. Bahkan sebagian menjadi nama jalan.

SK No. 47 sempat ditinjau ulang melalui SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 211/P/1976. Meski begitu, SK No. 47 baru diganti secara resmi setelah keluarnya UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).

“Sebutan Guru Besar atau Profesor, hanya dipergunakan selama yang bersangkutan masih aktif bekerja… Karenanya seorang profesor yang telah pensiun, secara akademik tidak berhak lagi menuliskan kata ‘Prof’ di depan namanya,” catat Adnan Kasry, dalam Riau Pos, 13 Juni 2006.

Kasry juga menyebut sejak UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas berlaku, guru besar hanya bisa diisi oleh seorang dosen yang bergelar doktor atau Ph.D. “Tidak seperti dosen sebelumnya,” kata Adnan. (**)
-----
Keterangan  foto : Para pengajar dan guru besar di Rechtshogeschool te Batavia atau Sekolah Tinggi Hukum Batavia pada 1920-an. (Tropenmuseum).



  • Asal Usul Nama Sulawesi dan Sebutan Celebes
    Lukisan tentang kehidupan masyarakat Sulawesi Selatan pada abad ke-16. (Tropenmuseum, part of the National Museum of World Cultures)BUTONMAGZ--Sulawesi dan Celebes merupakan pulau terbesar kesebelas di dunia. Menurut data Sensus 2020, penduduknya mencapai kurang dari 20 juta jiwa, yang tersebar di...
  • Tragedi Sejarah Lebaran Kedua di Tahun 1830
    Diponegoro (mengenakan surban dan berkuda) bersama pasukannya tengah beristirahat di tepian Sungai Progo.BUTONMAGZ---Hari ini penanggalan islam menunjukkan 2 Syawal 143 Hijriah, dalam tradisi budaya Islam di Indonesia dikenal istilah 'Lebaran kedua',  situasi dimana semua orang saling...
  • Kilas sejarah singkat, Sultan Buton ke-4 : Sultan Dayyanu Ikhsanuddin
    Apollonius Schotte (ilustrasi-Wikipedia)BUTONMAGZ—Tulisan ini merupakan bagian dari jurnal Rismawidiawati – Peneliti pada Kantor Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Makassar, dengan judul  Sultan La Elangi (1578-1615) (The Archaeological Tomb of the Pioneers “Martabat Tujuh” in the Sultanate...
  • Peranan Politik Sultan Mardan Ali di Kesultanan Buton (Bagian 3)
    Pulau Sagori (kini wilayah Bombana) yang banyak menyimpan cerita zaman Kesultanan ButonBUTONMAGZ---Tulisan ini disadur dari Jurnal Ilmiah berjudul ‘Peranan Sultan Mardan Ali di Kesultanan Buton: 1647-1657M, yang ditulis Asniati, Syahrun, La Ode Marhini dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Halu...
  • Mengenal Pribadi Sultan Mardan Ali. Sultan Buton yang dihukum Mati (Bagian 2)
    Pulau Makasar di Kota BaubauBUTONMAGZ---Tulisan ini disadur dari Jurnal Ilmiah berjudul ‘Peranan Sultan Mardan Ali di Kesultanan Buton: 1647-1657M, yang ditulis Asniati, Syahrun, La Ode Marhini dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Halu Oleo Kendari.Di bagian pertama menjelaskan tentang profil awal...
  • Mengenal sosok Sultan Mardan Ali. Sultan Buton yang dihukum Mati (Bagian I)
    Makam Sultan Mardan Ali 'Oputa Yi Gogoli'  (foto rabani Unair Zone)BUTONMAGZ--- cerita tentang kepemimpinan raja dan sultan di Buton masa lalu menjadi catatan tersendiri dalam sejarah masyarakat Buton kendati literasi tentang itu masih jarang ditemukan. Salah satu kisah yang menarik adalah...
  • Sejarah Kedaulatan Buton dalam Catatan Prof. Susanto Zuhdi
    foto bertahun 1938 dari nijkmusem.dd----8 April 1906, Residen Belanda untuk Sulawesi, Johan Brugman (1851–1916), memperoleh tanda tangan atas kontrak baru dengan Sultan Aidil Rakhim (bernama asli Muhamad Asyikin, bertakhta 1906–1911) dari keluarga Tapi-tapi setelah satu minggu berada di...
  • Perdana Menteri Negara Indonesia Timur Kelahiran Buton, Siapa Dia?
    Nadjamuddin Daeng MalewaBUTONMAGZ---Tak banyak yang mengenal nama tokoh ini di negeri Buton, namun di Makassar hingga politik ibu kota masa pergerakan kemerdekaan, nama ini dikenal sebagai sosok politis dengan banyak karakter. Namanya Nadjamuddin Daeng Malewa, lahir di Buton pada tahun 1907. Ia...

  • Inovasi di Desa Kulati - Wakatobi, Sulap Sampah Jadi Solar
    BUTONAMGZ---Kabupaten Wakatobi yang terkenal dengan keindahan surga bawah lautnya, ternyata memiliki sebuah desa yang berbeda dengan daerah lainnya di Indonesia, dimana dihuni oleh masyarakat yang sangat sadar akan pentingnya menjaga lingkungan hidup.Daerah ini bernama Desa Kulati yang mayoritas...
  • Repihan Tradisi dan Sejarah di Kepulauan Pandai Besi - Wakatobi
    BUTONMAGZ---Kepulauan Pandai Besi adalah julukan untuk empat pulau besar dan sejumlah pulau kecil lain di ujung tenggara Pulau Buton, Sulawesi Tenggara. Penamaan itu diberikan pada masa Hindia Belanda karena kepandaian masyarakatnya dalam pembuatan senjata tradisional berbentuk keris dan peralatan...
  • Tari Lariangi - Kaledupa; Tarian Penyambutan dengan Nuansa Magis
    Penari Lariangi. (Dokumen Foto La Yusrie)BUTONMAGZ---Kepulauan Buton tak hanya kaya dengan kesejarahan dan maritim, budaya seninya pun memukau. Salah satunya Tari Lariangi yang berasal dari Kaledupa Kabupaten Wakatobi – Sulawesi Tenggara saat ini.Melihat langsung tarian ini, magisnya sungguh terasa...
  • KaTa Kreatif 2022: Potensi 21 Kabupaten/Kota Kreatif Terpilih. Wakatobi terpilih!
    Wakatobi WaveBUTONMAGZ--Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Kepala Badan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Uno, secara resmi membuka kick off KaTa Kreatif 2022 pada Januari lalu. Di dalam program ini terdapat 21 Kabupaten/Kota Kreatif Terpilih dari total 64 Kabupaten/Kota yang ikut serta.KaTa Kreatif...
  • Tiga Lintasan Baru ASDP di Wakatobi Segera Dibuka
    BUTONMAGZ---Sebanyak tiga lintasan baru Angkutan, Sungai, Danau, dan Penyeberangan (ASDP) Cabang Baubau di Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara, segera dibuka menyusul telah disiapkannya satu unit kapal untuk dioperasikan di daerah itu. Manager Usaha PT ASDP Cabang Baubau, Supriadi, di Baubau,...
  • La Ola, Tokoh Nasionalis dari Wakatobi (Buton) - Pembawa Berita Proklamasi Kemerdekaan Dari Jawa.
    BUTONMAGZ—Dari sederet nama besar dari Sulawesi Tenggara yang terlibat dalam proses penyebaran informasi Proklamasi Kemerdekaan RI pada tanggal 17 Agustus 1945. Ada satu nama yang (seolah) tenggelam dalam sejarah.  Di adalah La Ola. Nama La Ola terekam dalam buku berjudul “Sejarah Berita...
  • Jatuh Bangun dan Tantangan bagi Nelayan Pembudidaya Rumput Laut di Wakatobi
    ilustrasi : petani rumput laut BUTONMAGZ---Gugusan Kepulauan Wakatobi di Sulawesi Tenggara terdiri dari 97 persen lautan dan hanya 3 persen daratan. Dari 142 pulau-pulau kecil, hanya 7 pulau yang berpenghuni manusia. Saat ini pariwisata bahari menjadi andalan pendapatan perkapita masyarakat di...
  • Kaombo, Menjaga Alam dengan Kearifan Lokal
    BUTONMAGZ--Terdapat sebuah kearifan lokal di masyarakat Kepulauan Buton pada umumnya. Di Pulau Binongko - Wakatobi misalnya, oleh masyarakat setempat kearifan ini digunakan untuk menjaga kelestarian alam. Mereka menyebutnya tradisi kaombo, yakni sebuah larangan mengeksploitasi sumber daya alam di...