SEPUCUK surat baru saja sampai di tangan Uwa, nenek pecandu arak. Sebelumnya, Uwa memang sering memanggilku ke gode-gode belakang rumahnya dan menikmati sore. Ia akan menyalakan api untuk menyiapkan bara. Aku bertugas membakar ikan yang telah dibumbui. Setelah matang, Uwa dan aku akan menyantapnya bersama. Uwa juga kerap menceritakan kisah kasihnya sambil menyuruhku menuangkan arak hingga ayam-ayamnya telah siap bertengger di pohon, menikmati waktu beristirahat di malam hari.
---------------------
Oleh: Zul Hayluz
---------------------
Oleh: Zul Hayluz
---------------------
Saat menjadi seorang istri yang utuh, Uwa selalu bahagia membilas kepalanya dengan santan kelapa. Bola mata Uwa bulat dan hitam. Gigi-gigi putihnya teratur, tampak saat bibir tipisnya yang mungil tersenyum. Hidungnya kecil dengan tulang yang tegas tajam. Lesung pipinya menambah keindahan parasnya. Kerampingannya membuat tubuh dan jiwanya tumbuh penuh gairah. Tidak heran ia menikah dengan pemuda idamannya. Tapi kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Suaminya hilang. Uwa sangat terpukul dan lebih sering menangis. Ia mulai mabuk untuk membuang kecemasannya.
Malam itu, Uwa dan suaminya sedang menikmati ibadah kasih sebagai suami istri. Lalu pintu rumahnya diketuk. Segerombolan lelaki menyeret suaminya yang masih telanjang. Peristiwa naas itu lekat dan lengket dalam ingatannya. Suaminya ditunduh memberontak negara dan melakukan tindak kriminal tepat setelah cumbu baru saja mencapai klimaks. Uwa sangat terpukul. Hari-harinya menjadi sunyi dan muram. Ia berupaya mencari kabar suaminya. Sampai suatu hari seorang yang mengaku sipir dari penjara membawakannya sepucuk surat.
Surat itu tidak mengobati lukanya. Surat itu ia yakini bukan milik suaminya. Suaminya tidak pandai merayu dan mencemasakannya dalam kondisi semacam itu. Suaminya adalah lelaki yang suka bercerita, berkeluh kesah tentang kondisinya dan sangat ingin perhatiannya. Bahkan untuk hal semacam bersin saja, suaminya mengadu padanya.
Jika suaminya yang menulis surat, isinya tentu soal makanan yang tidak sesuai dengan seleranya. Tentu akan mengeluhkan Uwa yang tidak memanjakannya saat malam-malam gairah, tidak ada yang memastikan semua kebutuhannya sehari-hari. Karena Uwa begitu tahu peringai suaminya yang manja kepadanya. Uwa sangat tahu suaminya begitu menyukai kelor panas dan ikan pindang pada sepiring ubi kayu kuning rebus.
Uwa menulis balasan surat itu dengan singkat. Suamiku bukan perayu! Karena Uwa tahu, suaminya adalah lelaki yang tidak pernah mencemaskannya. Setelah pulang bekerja, suaminya hanya ingin dilayani oleh istrinya. Tanpa pernah bertanya soal kondisi stamina Uwa yang seharian sibuk dengan pekerjaan rumah, ternak, dan kebun sayur di halaman.
Uwa tetaplah istri yang memanjakan suaminya dengan telaten dan sabar. Uwa selalu membuat laki-laki kesayangannya itu seperti anak kecil yang dimanjakan ibunya. Setelah mengirim surat itu, Uwa tak pernah menerima balasannya.
Kisah cinta Uwa semacam arak yang memabukkan. Meskipun telah tua dan renta, ia masih saja berharap suaminya pulang. Uwa suka membayangkan diri dan suaminya menjelma sepasang pengantin baru pada perayaan pertemuan. Saat fajar mulai merangkak, Uwa selalu mengajakku melihat lembah dari bukit Benteng Keraton yang berhadapan langsung dengan kampung Sora Wolio. Menunjukkan keindahan daratan rendah yang menjadi hamparan Kota Baubau yang berkabut dan pelan-pelan disinari matahari.
Tempat kami berdiri dan daratan sebelah dipisahkan oleh kali meliuk, mengalirkan airnya yang bermuara di lautan. Kami tidak pernah melewatkan pemandangan menakjubkan dan menikmati udara pagi. Selepas itu, kami turun ke kali mencelupkan kaki-kaki telanjang di air sambil merebahkan diri ke batu-batu besar yang licin.
Aku akan melihat Uwa mengunyah bongkahan kelapa untuk mencuci rambutnya dengan santan. Menggosok wajahnya dengan rempah yang entah berbahan apa. Uwa semakin cantik untuk nenek seusianya. Ia merawat tubuhnya demi memanjakan suaminya yang masih dinantinya. Uwa pernah bilang padaku, suamiku akan pulang dan dia tidak boleh mengeluh dengan tubuhku.
Hari itu, aku adalah salah satu eksodus yang tiba di Buton. Tempat kelahiran bapak yang tidak pernah kulihat sejak lahir. Ibu berjuang membesarkanku dengan berjualan. Hingga suatu hari kami menjadi korban amukan massa dalam kerusuhan. Nyawa ibu tidak tertolong.
Aku mengikut rombongan pengungsi dan berlayar ke tempat ini. Tanah Wolio, kampung bapak dan ibu memadu kasih. Berbekal lipatan kertas di dompet ibu, aku berjumpa Uwa dan menganggapnya sebagai nenek sendiri. Untuk mengatasi rinduku pada mendiang ibu, Uwa mengajakku tinggal bersamanya di Melai.
Pada suatu pagi yang masih begitu remaja, Uwa kembali menerima surat. Sayangnya, surat itu berisi kabar kematian suaminya. Suasana cerah yang baru saja dimulai matahari seketika menjadi malapetaka bagi Uwa. Waktu dan penantiannya ambruk saat ia membaca dua kata dalam surat itu. Suamimu meninggal.
Tanpa air mata, Uwa bangkit dan menyuruhku memesan beberapa liter arak. Ia membeli seikat ikan karang segar. Uwa membersihkan sisik dan ingsan ikan. Mencuci dan melumurinya dengan bumbu. Aku bertugas menyalakan api untuk membuat bara. Membakar ikan dan menyiapkan gelas kebesaran kami.
Uwa lalu mengalasi ikan-ikan yang telah matang dengan daun pisang. Tidak seperti hari-hari sebelumnya, Uwa mengeluarkan sebotol lombo biji yang telah direndam arak. Menuangnya dan menghaluskannya dengan garam. Kami duduk berdua dan mulai menikmati hari itu. Uwa meneguk arak tanpa bercerita. Mencubit ikan dan mencocolnya di sambal dengan pelan. Aku yang bertugas menuangkan arak merasa waktu lebih lambat dari sebelumnya.
Kami diselimuti keheningan. Bahkan suara lalat tidak sebising biasanya. Uwa seperti sedang meratapi akhir dari penantiannya hingga tak merasakan kedatangan sore. Petang seperti terbuat dari kerinduan kepada suaminya. Ayam-ayamnya tak ada yang bertengger di pohon, hanya berjajar di bawah gode-gode tempat kami duduk.
Malam itu Uwa mabuk berat. Uwa terkapar dan berbaring pasrah di gode-gode. Aku berupaya memapahnya ke kamar. Menyalakan lampu minyak pada gantungan di sudut kamar yang menyimpan seluruh peristiwa cumbunya. Kurebahkan perempuan tua itu di kasurnya. Menatap keriputnya yang berkilau, melihat lebih dekat bibir tipisnya.
Aku mengingat kembali apa yang ia katakan perihal suaminya. Suaminya adalah seorang guru yang menamatkan pendidikan di sekolah rakyat. Suaminya membantu anak-anak sekolah dasar belajar mengenali huruf dan angka. Belajar mengeja dan membaca.
Berkali-kali ia ceritakan padaku tentang pemberontakan suaminya di atas ranjang. “Suamiku hanyalah seorang pemberotak yang bergairah di atas ranjang. Suamiku tidak mencumbui negara dan menelanjanginya. Suamiku menjaga kehormatan negara dengan memberikan segala kemampuannya untuk anak-anak. Bahkan suamiku menjadi anak-anak saat bermanja denganku. Mereka telah keliru menangkap suamiku. Mereka menyeretnya, tanpa sempat menutup kemaluannya.”
Uwa tidak pernah tahu kesalahan suaminya. Uwa tidak mengerti soal penculikan pada pertengahan Maret 1969 itu. Mayoritas yang diseret tanpa surat perintah adalah anggota ABRI dan aparat pemerintah seperti bapakku.
Ibu pernah bilang tentang nasib seorang bupati yang meninggal tragis di penjara. Sayangnya ibu tidak bercerita banyak soal kekejaman itu. Juga tentang suami Uwa, seorang guru yang ikut ditangkap secara brutal pada perisiwa mengerikan itu. Ibu lebih sering mengulang-ngulang sejarah saat mengandungku yang ditandai dengan banyak kehilangan. Bapak ditangkap. Rumah dijarah.
Beruntunglah ibu masih sempat berteman dengan perempuan lebih tua yang bernasib sama saat mencari informasi tentang suami-suami mereka. Karena tak ada kabar, ibu mengurus segalanya dan pindah ke pulau lain untuk melanjutkan hidup.
Bapak tidak pernah kembali untuk melihatku lahir. Sedangkan Uwa adalah istri seorang guru yang belum sempat melahirkan anak karena suaminya ditangkap dan tidak pernah pulang untuk menanam benih cinta mereka.
Surat-surat itu hanya hiburan dari seorang kerabat yang khawatir dengan kondisi Uwa. Kesamaan nasib membiasakan kami saling mengisi dan melengkapi, yang tumbuh dari rasa kesepian menggebu di puncak pulau karang itu.
“Uma....Uma.....Uma........”, suara Uwa membuyarkan kenanganku. Perempuan tua itu seperti mengigau dan memanggil seseorang dalam tidurnya.
“Iya, Uwa? Aku di sini menjagamu.”
Masih dengan mata tertutup, Uwa terus berbicara dengan nada yang pelan. “Saya berharap mendapat kesempatan yang hilang di ingatanku. Saya sungguh berharap melakukannya, Uma.”
“Uma....Uma....Uma.....mbulimo kaasii......”
“Uma? Siapa Uma, Uwa? Kesempatan apa, Uwa? Aku berusaha merespon kalimat-kalimat Uwa dengan membisiknya pelan. Mbulimo kaasi berarti pulanglah dalam bahasa daerah Uwa. Mungkin Uma adalah suami yang selalu diharapkannya untuk kembali.
Uwa berbicara lebih pelan lagi “Sarungmu telah saya cuci. Ada dalam lemari.”
Sambil terus berjaga di sampingnya, pertama kalinya kunikmati pemandangan senyap itu. Uwa terlihat lebih menggoda saat berbaring. Sungguh berbeda ketika kami mandi dengan menggunakan sarung di kali. Entah apa yang terjadi padaku. Bibir dan suara napas Uwa membuat getaran lain dalam jantungku. Posisi tangan Uwa yang melengket di atas sarung bawah pusarnya menghadirkan Uma ke dalam pikiranku. Aku seperti menjelma Uma. Sesuatu yang belum pernah merasuki gadis tua sepertiku.
Tiba-tiba Uwa mengagetkanku. Matanya berbinar melihatku. “Akan saya pakaikan sarung itu, suamiku. Menutup kemaluanmu pada negara. ”
“U.......?”
Belum sempat bibirku berucap, Uwa meraihku dan memelukku erat. Sesuatu dalam diriku bergejolak saat kulit kami menyatu. Aku tidak bisa menahan hasrat untuk menyentuh bibirnya. Getaran itu tidak bisa kutolak. Kami saling tindih dan menenun tubuh bersama. Sentakan-sentakan dasyat penuh kelembutan itu melukiskan senyum berbeda di bibirku dan mata Uwa.
Uwa, perempuan tua yang setia menunggu suaminya itu puas dan pulas dalam kerinduannya di kasur saat klimaks. Saat aku terbangun, kokok ayam pagi itu tidak pernah lagi mengantarkan Uwa ke halaman belakang rumah untuk menghambur jagung.
Malam itu, Uwa dan suaminya sedang menikmati ibadah kasih sebagai suami istri. Lalu pintu rumahnya diketuk. Segerombolan lelaki menyeret suaminya yang masih telanjang. Peristiwa naas itu lekat dan lengket dalam ingatannya. Suaminya ditunduh memberontak negara dan melakukan tindak kriminal tepat setelah cumbu baru saja mencapai klimaks. Uwa sangat terpukul. Hari-harinya menjadi sunyi dan muram. Ia berupaya mencari kabar suaminya. Sampai suatu hari seorang yang mengaku sipir dari penjara membawakannya sepucuk surat.
Surat itu tidak mengobati lukanya. Surat itu ia yakini bukan milik suaminya. Suaminya tidak pandai merayu dan mencemasakannya dalam kondisi semacam itu. Suaminya adalah lelaki yang suka bercerita, berkeluh kesah tentang kondisinya dan sangat ingin perhatiannya. Bahkan untuk hal semacam bersin saja, suaminya mengadu padanya.
Jika suaminya yang menulis surat, isinya tentu soal makanan yang tidak sesuai dengan seleranya. Tentu akan mengeluhkan Uwa yang tidak memanjakannya saat malam-malam gairah, tidak ada yang memastikan semua kebutuhannya sehari-hari. Karena Uwa begitu tahu peringai suaminya yang manja kepadanya. Uwa sangat tahu suaminya begitu menyukai kelor panas dan ikan pindang pada sepiring ubi kayu kuning rebus.
Uwa menulis balasan surat itu dengan singkat. Suamiku bukan perayu! Karena Uwa tahu, suaminya adalah lelaki yang tidak pernah mencemaskannya. Setelah pulang bekerja, suaminya hanya ingin dilayani oleh istrinya. Tanpa pernah bertanya soal kondisi stamina Uwa yang seharian sibuk dengan pekerjaan rumah, ternak, dan kebun sayur di halaman.
Uwa tetaplah istri yang memanjakan suaminya dengan telaten dan sabar. Uwa selalu membuat laki-laki kesayangannya itu seperti anak kecil yang dimanjakan ibunya. Setelah mengirim surat itu, Uwa tak pernah menerima balasannya.
Kisah cinta Uwa semacam arak yang memabukkan. Meskipun telah tua dan renta, ia masih saja berharap suaminya pulang. Uwa suka membayangkan diri dan suaminya menjelma sepasang pengantin baru pada perayaan pertemuan. Saat fajar mulai merangkak, Uwa selalu mengajakku melihat lembah dari bukit Benteng Keraton yang berhadapan langsung dengan kampung Sora Wolio. Menunjukkan keindahan daratan rendah yang menjadi hamparan Kota Baubau yang berkabut dan pelan-pelan disinari matahari.
Tempat kami berdiri dan daratan sebelah dipisahkan oleh kali meliuk, mengalirkan airnya yang bermuara di lautan. Kami tidak pernah melewatkan pemandangan menakjubkan dan menikmati udara pagi. Selepas itu, kami turun ke kali mencelupkan kaki-kaki telanjang di air sambil merebahkan diri ke batu-batu besar yang licin.
Aku akan melihat Uwa mengunyah bongkahan kelapa untuk mencuci rambutnya dengan santan. Menggosok wajahnya dengan rempah yang entah berbahan apa. Uwa semakin cantik untuk nenek seusianya. Ia merawat tubuhnya demi memanjakan suaminya yang masih dinantinya. Uwa pernah bilang padaku, suamiku akan pulang dan dia tidak boleh mengeluh dengan tubuhku.
Hari itu, aku adalah salah satu eksodus yang tiba di Buton. Tempat kelahiran bapak yang tidak pernah kulihat sejak lahir. Ibu berjuang membesarkanku dengan berjualan. Hingga suatu hari kami menjadi korban amukan massa dalam kerusuhan. Nyawa ibu tidak tertolong.
Aku mengikut rombongan pengungsi dan berlayar ke tempat ini. Tanah Wolio, kampung bapak dan ibu memadu kasih. Berbekal lipatan kertas di dompet ibu, aku berjumpa Uwa dan menganggapnya sebagai nenek sendiri. Untuk mengatasi rinduku pada mendiang ibu, Uwa mengajakku tinggal bersamanya di Melai.
Pada suatu pagi yang masih begitu remaja, Uwa kembali menerima surat. Sayangnya, surat itu berisi kabar kematian suaminya. Suasana cerah yang baru saja dimulai matahari seketika menjadi malapetaka bagi Uwa. Waktu dan penantiannya ambruk saat ia membaca dua kata dalam surat itu. Suamimu meninggal.
Tanpa air mata, Uwa bangkit dan menyuruhku memesan beberapa liter arak. Ia membeli seikat ikan karang segar. Uwa membersihkan sisik dan ingsan ikan. Mencuci dan melumurinya dengan bumbu. Aku bertugas menyalakan api untuk membuat bara. Membakar ikan dan menyiapkan gelas kebesaran kami.
Uwa lalu mengalasi ikan-ikan yang telah matang dengan daun pisang. Tidak seperti hari-hari sebelumnya, Uwa mengeluarkan sebotol lombo biji yang telah direndam arak. Menuangnya dan menghaluskannya dengan garam. Kami duduk berdua dan mulai menikmati hari itu. Uwa meneguk arak tanpa bercerita. Mencubit ikan dan mencocolnya di sambal dengan pelan. Aku yang bertugas menuangkan arak merasa waktu lebih lambat dari sebelumnya.
Kami diselimuti keheningan. Bahkan suara lalat tidak sebising biasanya. Uwa seperti sedang meratapi akhir dari penantiannya hingga tak merasakan kedatangan sore. Petang seperti terbuat dari kerinduan kepada suaminya. Ayam-ayamnya tak ada yang bertengger di pohon, hanya berjajar di bawah gode-gode tempat kami duduk.
Malam itu Uwa mabuk berat. Uwa terkapar dan berbaring pasrah di gode-gode. Aku berupaya memapahnya ke kamar. Menyalakan lampu minyak pada gantungan di sudut kamar yang menyimpan seluruh peristiwa cumbunya. Kurebahkan perempuan tua itu di kasurnya. Menatap keriputnya yang berkilau, melihat lebih dekat bibir tipisnya.
Aku mengingat kembali apa yang ia katakan perihal suaminya. Suaminya adalah seorang guru yang menamatkan pendidikan di sekolah rakyat. Suaminya membantu anak-anak sekolah dasar belajar mengenali huruf dan angka. Belajar mengeja dan membaca.
Berkali-kali ia ceritakan padaku tentang pemberontakan suaminya di atas ranjang. “Suamiku hanyalah seorang pemberotak yang bergairah di atas ranjang. Suamiku tidak mencumbui negara dan menelanjanginya. Suamiku menjaga kehormatan negara dengan memberikan segala kemampuannya untuk anak-anak. Bahkan suamiku menjadi anak-anak saat bermanja denganku. Mereka telah keliru menangkap suamiku. Mereka menyeretnya, tanpa sempat menutup kemaluannya.”
Uwa tidak pernah tahu kesalahan suaminya. Uwa tidak mengerti soal penculikan pada pertengahan Maret 1969 itu. Mayoritas yang diseret tanpa surat perintah adalah anggota ABRI dan aparat pemerintah seperti bapakku.
Ibu pernah bilang tentang nasib seorang bupati yang meninggal tragis di penjara. Sayangnya ibu tidak bercerita banyak soal kekejaman itu. Juga tentang suami Uwa, seorang guru yang ikut ditangkap secara brutal pada perisiwa mengerikan itu. Ibu lebih sering mengulang-ngulang sejarah saat mengandungku yang ditandai dengan banyak kehilangan. Bapak ditangkap. Rumah dijarah.
Beruntunglah ibu masih sempat berteman dengan perempuan lebih tua yang bernasib sama saat mencari informasi tentang suami-suami mereka. Karena tak ada kabar, ibu mengurus segalanya dan pindah ke pulau lain untuk melanjutkan hidup.
Bapak tidak pernah kembali untuk melihatku lahir. Sedangkan Uwa adalah istri seorang guru yang belum sempat melahirkan anak karena suaminya ditangkap dan tidak pernah pulang untuk menanam benih cinta mereka.
Surat-surat itu hanya hiburan dari seorang kerabat yang khawatir dengan kondisi Uwa. Kesamaan nasib membiasakan kami saling mengisi dan melengkapi, yang tumbuh dari rasa kesepian menggebu di puncak pulau karang itu.
“Uma....Uma.....Uma........”, suara Uwa membuyarkan kenanganku. Perempuan tua itu seperti mengigau dan memanggil seseorang dalam tidurnya.
“Iya, Uwa? Aku di sini menjagamu.”
Masih dengan mata tertutup, Uwa terus berbicara dengan nada yang pelan. “Saya berharap mendapat kesempatan yang hilang di ingatanku. Saya sungguh berharap melakukannya, Uma.”
“Uma....Uma....Uma.....mbulimo kaasii......”
“Uma? Siapa Uma, Uwa? Kesempatan apa, Uwa? Aku berusaha merespon kalimat-kalimat Uwa dengan membisiknya pelan. Mbulimo kaasi berarti pulanglah dalam bahasa daerah Uwa. Mungkin Uma adalah suami yang selalu diharapkannya untuk kembali.
Uwa berbicara lebih pelan lagi “Sarungmu telah saya cuci. Ada dalam lemari.”
Sambil terus berjaga di sampingnya, pertama kalinya kunikmati pemandangan senyap itu. Uwa terlihat lebih menggoda saat berbaring. Sungguh berbeda ketika kami mandi dengan menggunakan sarung di kali. Entah apa yang terjadi padaku. Bibir dan suara napas Uwa membuat getaran lain dalam jantungku. Posisi tangan Uwa yang melengket di atas sarung bawah pusarnya menghadirkan Uma ke dalam pikiranku. Aku seperti menjelma Uma. Sesuatu yang belum pernah merasuki gadis tua sepertiku.
Tiba-tiba Uwa mengagetkanku. Matanya berbinar melihatku. “Akan saya pakaikan sarung itu, suamiku. Menutup kemaluanmu pada negara. ”
“U.......?”
Belum sempat bibirku berucap, Uwa meraihku dan memelukku erat. Sesuatu dalam diriku bergejolak saat kulit kami menyatu. Aku tidak bisa menahan hasrat untuk menyentuh bibirnya. Getaran itu tidak bisa kutolak. Kami saling tindih dan menenun tubuh bersama. Sentakan-sentakan dasyat penuh kelembutan itu melukiskan senyum berbeda di bibirku dan mata Uwa.
Uwa, perempuan tua yang setia menunggu suaminya itu puas dan pulas dalam kerinduannya di kasur saat klimaks. Saat aku terbangun, kokok ayam pagi itu tidak pernah lagi mengantarkan Uwa ke halaman belakang rumah untuk menghambur jagung.
------------------------
Baubau, 29 April-14 Mei 2020
gode-gode (bahasa Wolio) sama dengan balai-balai: tempat duduk atau tempat tidur yang terbuat dari bambu atau kayu.
Baubau, 29 April-14 Mei 2020
gode-gode (bahasa Wolio) sama dengan balai-balai: tempat duduk atau tempat tidur yang terbuat dari bambu atau kayu.