BUTONMAGZ--Tersebutlah sepenggal kearifan yang telah bertahan sekitar delapan abad, dinisbatkan kepada seorang penyair besar Afghanistan. Kebijaksanaan itu kurang lebih berbunyi begini: "Yang kau cari, sedang mencarimu....Diri semata-mata gagasan, yang tinggal kini cuma kulit dan tulang".
Kata-kata dari Jalaluddin Rumi itu sungguh tak dipacakkan sebagai penghias tulisan. Ia hadir sebagai refleksi peristiwa berpuluh tahun lalu ketika saya membaca kisah seorang perempuan yang menembakkan protes kepada Tuhan. Cerita yang membuat saya membatin: suatu hari nanti, mesti bisa ketemu sama orang ini.
Dalam hikayat itu, sang perempuan protagonis tak lain gadis berusia sembilan atau 10 tahun, anak keempat dari 12 bersaudara pasangan Tugeno Puspowidjojo--seorang mantri kesehatan--dan Siti Mariam, yang menurut tokoh kita ini, "ibu rumah tangga biasa".
Hidup keluarganya acap kali serupa nomad, sebab mesti menganggut pada lokasi kerja Tugeno. Sekali waktu keluarga si gadis bisa tinggal di Jember, kali lain Surabaya. Atau Ambarawa dan Tanjung. Daerah terakhir disebut itu terletak di utara Kalimantan Selatan, tanah tumpah darah sang gadis pada Senin Kliwon,1 November 1937.
Jika meminjam penanggalan Hijriah, 26 Syaban 1356.
Bagi mereka, juga jutaan keluarga di Indonesia, era itu sesak oleh kesulitan. "Didatangi Belanda kere, didatangi Jepang soyo miskin," ujar putri Tugeno itu melukiskan keadaan. "Kalau aku lapar, (aku) jalan-jalan. Di pinggiran (jalan) lihat daun muda saya makan. Lihat (serdadu) Jepang makan pisang. Kulitnya dibuang. Kulit itu saya bersihin, saya buangin kotorannya, lalu saya makan saking laparnya".
Mayat-mayat bergelimpang di depan mata, mayat-mayat kurus.
Ingatan mengenai kondisi demikian bahkan tak terekam di Tanjung, tapi Kranggan, sebuah kecamatan di Temanggung, Jawa Tengah.
Meski begitu, dia bilang keluarga Tugeno masih lebih beruntung karena masih bisa makan keong sawah, kondisi serupa nan sempat dikekalkan Arifin C. Noer pada film bertarikh 1982, Serangan Fajar. Karya yang melambungkan karakter Temon itu mencuplik keong sumber protein warga pada periode revolusi nasional.
Peristiwa penentangan terhadap Tuhan yang saya baca itu terjadi di Kranggan, pada hari-hari sebelum pecah Agresi Militer Belanda II. Kemarahan tokoh kita itu dipicu rasa kecewa karena sakit-sakitan. Ayahnya pun seperti tak menemukan solusi atas ketahanan fisik sang putri yang buruk. Jalan yang dia tempuh justru tak beririsan dengan profesinya sebagai juru rawat.
Gadis itu diputuskan beralih nama. Bermula dari Sudarwati, lantas menjadi Kadarwati, kemudian bersulih Sumarti saat sakit tak kunjung menjauh.
Yang kau cari, sedang mencarimu.
13 April 2017. Hari bersua tokoh itu--yang radiasi kisahnya tak jua memudar dari kepala saya meski melampaui dua dasawarsa--tiba. Di lantai tujuh petak apartemen bilangan Dharmawangsa--dengan jendela mengintai arah timur ke kawasan Kemang, Jakarta Selatan--perempuan itu merekonstruksi pengalamannya kepada saya dan juru foto Beritagar.id, Bismo Agung Sukarno.
"Mana Sang Mahakuasa, Sang Mahapencipta, kok saya dibikin sakit terus? Kok yang lain boleh menyanyi, boleh ketawa, boleh belajar, kok saya mesti nangis terus?" demikian gugat gadis itu, yang kini nyaris berusia 80 tahun. "Kenapa saya dibuat begini?"
Dia bercerita insiden itu terjadi setelah ia diusir dari kelas karena ketahuan menanggung malaria. Gurunya tak menerima dalih hujan yang dipakai tokoh kita. "Pak, jawah," katanya menyebut kata berbahasa Jawa untuk hujan kepada sang guru.
"Pulang sana!"
Terperangkap hujan dan halilintar, perempuan itu menyusuri jalan seraya dikerkah demam. Jarak dari sekolahnya di Temanggung ke rumah sekitar lima kilometer. "Ora wedhi!" teriaknya ke langit. "Pokoke aku arep bunuh diri! Saiki aku ora wedhi!"
Titiek Puspa: dari dusun jadi diva /Beritagar ID
Setiba di kebun dekat rumah, dia mengaku "mengumpulkan semua buah muda yang ada." Mangga, mengkudu, pepaya, jambu, putik nangka. "Tanpa dicuci, saya masukkan ke lesung. Saya ambil cabai rawit, garam, lalu saya tumbuk"
Piring seng kemudian jadi alas makan. Selepas bersantap, hujan sontak lesap. Kilat padam. Dunia gelap. Matanya baru menangkap cahaya berjam-jam kemudian setelah malam jatuh dan lampu-lampu rumah sudah menyala.
"Ibu saya anaknya banyak. Hilang satu enggak dicari. Tuh, kalau Tuhan mau," katanya. Dia pun melangkah ke dalam rumah dan mencari ruang berbaring di antara saudara-saudaranya yang sudah terlelap. Mengabaikan kuyup, dia ikut tidur.
Esok melahirkan dia yang baru. "Jalan sekolah berasa sangat enteng dan bertenaga, kayak ada tenaga seribu kali," ujarnya seraya menambahkan bahwa semua yang dilakukan di sekolah disambut baik.
Dia pun menawarkan rujuk pada pihak yang dituntutnya usai jam sekolah.
"Gusti Allah, kok Tuhan tidak marah dengan saya? Kok tadi di sekolahan malah disenengin orang? Kok saya sekarang sehat? Gusti, nyuwun ngapunten, nggih. Gusti enggak tahunya baik. Saya sudah sembuh. Karena sudah sembuh, saya akan nyanyi buat Gusti," katanya.
Ruangan pada 13 April itu di Jakarta tentu saja tak mewakili situasi 70 tahun lalu di Kranggan. Pendingin udara menampik peluh. Patung Dewi Themis mengawal foto Sukarno. Sepeda Polygon Lerun hadiah dari Presiden Joko Widodo tekun menelengkan standar.
"Tadinya saya pemalu, minder. Sekarang sudah punya Sahabat luar biasa. Akhirnya, saya kalau ada apa-apa ngomongnya ke atas," ujarnya.
Kebiasaan menyanyi "buat Gusti" berlanjut ke titik yang oleh penulis dan pengamat musik Indonesia, Denny Sakrie, patut membuat perempuan itu menyandang gelar "diva sesungguhnya" bertahun-tahun kemudian.
Yang kau cari, sedang mencarimu.
Capaian itu direngkuh bukan atas lantaran ambisi, tapi bertolak dari keinginan bertemu idola sekaligus 'guru' baginya: Bing Slamet. "Saat itu menjadi penyanyi bukan nomor satu. Yang nomor satu adalah menjadi pengagum Bing," katanya.
1954 menjadi tonggak jalan hidupnya. Saat itu, dia menjadi pemenang kedua festival Bintang Radio tingkat daerah di Semarang, Jawa Tengah. Namun, dia justru diundang ke Jakarta untuk mengikuti festival sama di tingkat nasional. Pasalnya, perolehan nilainya cukup tinggi, mendekati skor pemegang juara.
Hati perempuan yang sebelumnya tak pernah mendapat restu Tugeno untuk menjadi penyanyi itu susut seperti buah kering. Gairahnya patah. Di sisi lain, prospek bertemu para idola--Ratna, Sam Saimun, dan, terutama, Bing--membangkitkan energinya. "Semua yang Bing nyanyikan selalu bikin hati saya blegeda gebek gabuk," katanya menggamit onomatope sebagai salah satu ekspresi khasnya.
Problem terbesarnya, panitia di Jakarta meminta peserta mengantongi izin orang tua. Untung sang abang, Sumarno, yang mengerti hasrat berkesenian sang adik, memiliki wibawa di tengah keluarga. Status sebagai mahasiswa Universitas Gadjah Mada membuat suaranya didengar. Sumarno pun memintakan permisi bagi adiknya kepada Tugeno.
Ke Jakarta gadis pemamah tumbukan cabai dan buah muda itu--dan kini sudah remaja--melenggang girang. Tujuan yang satu, dan cuma satu, untuk bertemu Bing Slamet terpenuhi. Ketika menjalani proses penyaringan pertama, dia sukses beroleh tanda tangan sang idola. "Mintanya sampai jatuh-jatuh," ujarnya.
Kata-kata dari Jalaluddin Rumi itu sungguh tak dipacakkan sebagai penghias tulisan. Ia hadir sebagai refleksi peristiwa berpuluh tahun lalu ketika saya membaca kisah seorang perempuan yang menembakkan protes kepada Tuhan. Cerita yang membuat saya membatin: suatu hari nanti, mesti bisa ketemu sama orang ini.
Dalam hikayat itu, sang perempuan protagonis tak lain gadis berusia sembilan atau 10 tahun, anak keempat dari 12 bersaudara pasangan Tugeno Puspowidjojo--seorang mantri kesehatan--dan Siti Mariam, yang menurut tokoh kita ini, "ibu rumah tangga biasa".
Hidup keluarganya acap kali serupa nomad, sebab mesti menganggut pada lokasi kerja Tugeno. Sekali waktu keluarga si gadis bisa tinggal di Jember, kali lain Surabaya. Atau Ambarawa dan Tanjung. Daerah terakhir disebut itu terletak di utara Kalimantan Selatan, tanah tumpah darah sang gadis pada Senin Kliwon,1 November 1937.
Jika meminjam penanggalan Hijriah, 26 Syaban 1356.
Bagi mereka, juga jutaan keluarga di Indonesia, era itu sesak oleh kesulitan. "Didatangi Belanda kere, didatangi Jepang soyo miskin," ujar putri Tugeno itu melukiskan keadaan. "Kalau aku lapar, (aku) jalan-jalan. Di pinggiran (jalan) lihat daun muda saya makan. Lihat (serdadu) Jepang makan pisang. Kulitnya dibuang. Kulit itu saya bersihin, saya buangin kotorannya, lalu saya makan saking laparnya".
Mayat-mayat bergelimpang di depan mata, mayat-mayat kurus.
Ingatan mengenai kondisi demikian bahkan tak terekam di Tanjung, tapi Kranggan, sebuah kecamatan di Temanggung, Jawa Tengah.
Meski begitu, dia bilang keluarga Tugeno masih lebih beruntung karena masih bisa makan keong sawah, kondisi serupa nan sempat dikekalkan Arifin C. Noer pada film bertarikh 1982, Serangan Fajar. Karya yang melambungkan karakter Temon itu mencuplik keong sumber protein warga pada periode revolusi nasional.
Peristiwa penentangan terhadap Tuhan yang saya baca itu terjadi di Kranggan, pada hari-hari sebelum pecah Agresi Militer Belanda II. Kemarahan tokoh kita itu dipicu rasa kecewa karena sakit-sakitan. Ayahnya pun seperti tak menemukan solusi atas ketahanan fisik sang putri yang buruk. Jalan yang dia tempuh justru tak beririsan dengan profesinya sebagai juru rawat.
Gadis itu diputuskan beralih nama. Bermula dari Sudarwati, lantas menjadi Kadarwati, kemudian bersulih Sumarti saat sakit tak kunjung menjauh.
Yang kau cari, sedang mencarimu.
13 April 2017. Hari bersua tokoh itu--yang radiasi kisahnya tak jua memudar dari kepala saya meski melampaui dua dasawarsa--tiba. Di lantai tujuh petak apartemen bilangan Dharmawangsa--dengan jendela mengintai arah timur ke kawasan Kemang, Jakarta Selatan--perempuan itu merekonstruksi pengalamannya kepada saya dan juru foto Beritagar.id, Bismo Agung Sukarno.
"Mana Sang Mahakuasa, Sang Mahapencipta, kok saya dibikin sakit terus? Kok yang lain boleh menyanyi, boleh ketawa, boleh belajar, kok saya mesti nangis terus?" demikian gugat gadis itu, yang kini nyaris berusia 80 tahun. "Kenapa saya dibuat begini?"
Dia bercerita insiden itu terjadi setelah ia diusir dari kelas karena ketahuan menanggung malaria. Gurunya tak menerima dalih hujan yang dipakai tokoh kita. "Pak, jawah," katanya menyebut kata berbahasa Jawa untuk hujan kepada sang guru.
"Pulang sana!"
Terperangkap hujan dan halilintar, perempuan itu menyusuri jalan seraya dikerkah demam. Jarak dari sekolahnya di Temanggung ke rumah sekitar lima kilometer. "Ora wedhi!" teriaknya ke langit. "Pokoke aku arep bunuh diri! Saiki aku ora wedhi!"
Titiek Puspa: dari dusun jadi diva /Beritagar ID
Setiba di kebun dekat rumah, dia mengaku "mengumpulkan semua buah muda yang ada." Mangga, mengkudu, pepaya, jambu, putik nangka. "Tanpa dicuci, saya masukkan ke lesung. Saya ambil cabai rawit, garam, lalu saya tumbuk"
Piring seng kemudian jadi alas makan. Selepas bersantap, hujan sontak lesap. Kilat padam. Dunia gelap. Matanya baru menangkap cahaya berjam-jam kemudian setelah malam jatuh dan lampu-lampu rumah sudah menyala.
"Ibu saya anaknya banyak. Hilang satu enggak dicari. Tuh, kalau Tuhan mau," katanya. Dia pun melangkah ke dalam rumah dan mencari ruang berbaring di antara saudara-saudaranya yang sudah terlelap. Mengabaikan kuyup, dia ikut tidur.
Esok melahirkan dia yang baru. "Jalan sekolah berasa sangat enteng dan bertenaga, kayak ada tenaga seribu kali," ujarnya seraya menambahkan bahwa semua yang dilakukan di sekolah disambut baik.
Dia pun menawarkan rujuk pada pihak yang dituntutnya usai jam sekolah.
"Gusti Allah, kok Tuhan tidak marah dengan saya? Kok tadi di sekolahan malah disenengin orang? Kok saya sekarang sehat? Gusti, nyuwun ngapunten, nggih. Gusti enggak tahunya baik. Saya sudah sembuh. Karena sudah sembuh, saya akan nyanyi buat Gusti," katanya.
Ruangan pada 13 April itu di Jakarta tentu saja tak mewakili situasi 70 tahun lalu di Kranggan. Pendingin udara menampik peluh. Patung Dewi Themis mengawal foto Sukarno. Sepeda Polygon Lerun hadiah dari Presiden Joko Widodo tekun menelengkan standar.
"Tadinya saya pemalu, minder. Sekarang sudah punya Sahabat luar biasa. Akhirnya, saya kalau ada apa-apa ngomongnya ke atas," ujarnya.
Kebiasaan menyanyi "buat Gusti" berlanjut ke titik yang oleh penulis dan pengamat musik Indonesia, Denny Sakrie, patut membuat perempuan itu menyandang gelar "diva sesungguhnya" bertahun-tahun kemudian.
Yang kau cari, sedang mencarimu.
Capaian itu direngkuh bukan atas lantaran ambisi, tapi bertolak dari keinginan bertemu idola sekaligus 'guru' baginya: Bing Slamet. "Saat itu menjadi penyanyi bukan nomor satu. Yang nomor satu adalah menjadi pengagum Bing," katanya.
1954 menjadi tonggak jalan hidupnya. Saat itu, dia menjadi pemenang kedua festival Bintang Radio tingkat daerah di Semarang, Jawa Tengah. Namun, dia justru diundang ke Jakarta untuk mengikuti festival sama di tingkat nasional. Pasalnya, perolehan nilainya cukup tinggi, mendekati skor pemegang juara.
Hati perempuan yang sebelumnya tak pernah mendapat restu Tugeno untuk menjadi penyanyi itu susut seperti buah kering. Gairahnya patah. Di sisi lain, prospek bertemu para idola--Ratna, Sam Saimun, dan, terutama, Bing--membangkitkan energinya. "Semua yang Bing nyanyikan selalu bikin hati saya blegeda gebek gabuk," katanya menggamit onomatope sebagai salah satu ekspresi khasnya.
Problem terbesarnya, panitia di Jakarta meminta peserta mengantongi izin orang tua. Untung sang abang, Sumarno, yang mengerti hasrat berkesenian sang adik, memiliki wibawa di tengah keluarga. Status sebagai mahasiswa Universitas Gadjah Mada membuat suaranya didengar. Sumarno pun memintakan permisi bagi adiknya kepada Tugeno.
Ke Jakarta gadis pemamah tumbukan cabai dan buah muda itu--dan kini sudah remaja--melenggang girang. Tujuan yang satu, dan cuma satu, untuk bertemu Bing Slamet terpenuhi. Ketika menjalani proses penyaringan pertama, dia sukses beroleh tanda tangan sang idola. "Mintanya sampai jatuh-jatuh," ujarnya.
Namun, tersebab pasungan sukacita, dia tak mendengar panggilan untuk tampil di panggung. "Saya sampai harus didorong-dorong untuk masuk panggung oleh peserta lain. Musiknya sudah intro," katanya.
Ujung dari keikutsertaan di Jakarta itu adalah kekalahan. "Tapi, saya enggak nangis. Gembira aja," ujarnya. Dia--telah beberapa tahun memakai nama Titiek Puspa setelah berdiskusi dengan sahabatnya, Rahayu--merasa kariernya takkan beranjak.
Tapi, itu sebelum panitia, sekali lagi, menghampirinya dan menyampaikan kabar istimewa: gadis dusun itu diminta menyanyi pada 'Malam Gembira' festival, acara puncak yang cuma lazim diisi para juara. "Woo, ngejek ya, ngenyek yo," ujarnya kepada sang penyampai pesan.
Keyakinan Titiek Puspa jadi nyata setelah Sjaiful Bachri, pemimpin Orkes Studio Djakarta--penggarap musik film "Tiga Dara" arahan Usmar Ismail--memintanya langsung untuk membawakan "Candra Buana" karya komponis besar Indonesia, Ismail Marzuki. "Musiknya paling bagus waktu itu," ujar Titiek tentang lagu gubahan putra Betawi tersebut.
Aksi panggung remaja yang pernah bercita-cita sebagai guru TK itu bersambut kepuasan penonton. "Begitu selesai nyanyi, tepuk tangan lebih menggemuruh," ujarnya. Batinnya kembali ditujukan kepada sang 'Sahabat'. "Gusti Allah, jadi saya harus jadi penyanyi, to, Gusti? Kok ini saya kalah kok tepuknya lebih banyak saya ya, Gusti?"
Segala yang terjadi setelah malam itu adalah sejarah. "Candra Buana" versinya kerap diputar di Radio Republik Indonesia (RRI). Kerja sama dengan Sjaiful berlanjut karena OSD mengikatnya sebagai penyanyi tetap.
Pada dekade pertama 1960 itu, sejumlah pencipta lagu beken sudah percaya dengan kecakapan Titiek menafsir lagu ciptaan mereka dengan suaranya. Mochtar Embut memberikan "Di Sudut Bibirmu"; Surni Warkiman mengangsurkan "Daun yang Gugur" dan "Esok Malam Kau Kujelang"; Iskandar mengulurkan "Puspa Dewi".
Terhadap nama terakhir itu, Titiek Puspa berkomentar: "Iskandar dulu seperti yang memandikan saya untuk tahu bunyi-bunyian."
Menurutnya, Iskandar saban pagi memintanya untuk bernyanyi mengikuti musik dari piano yang dia mainkan. "Paling sedikit dua-tiga hari, ada lagu baru," ujarnya seraya memikirkan metode mencipta lagu semacam itu. "Tapi, saya tidak pernah mengerti not," katanya.
Pembicaraan mengenai kiprahnya sampai juga ke kantor presiden. Pemimpin Indonesia saat itu, Sukarno, kemudian mengundangnya untuk ke lstana Negara.
"Oh, ini TitiekPuspa," kata Titiek menirukan Bung Karno, panggilan sang orator. "Jarene pinter nyanyi?" tanya Sukarno. "Sedikit," jawabnya. "Wis, jajal saiki nyanyi," ujar proklamator itu dengan bahasa Jawa saat meminta Titiek menyanyi.
Waktu Titiek Puspa menanyakan judul yang dikehendaki, Bung Karno berkata "sakarepmu". Terserah saja. Beberapa tembang dilantunkan, termasuk "Kasih di Antara Remaja".
Di ujung pertunjukan, Sukarno mengatakan bahwa suara Titiek begitu baik. "Pokoknya mulai dari sekarang, kamu menjadi penyanyi istana," kata Titiek mengenang perkataan sosok yang dia anggap "cakep banget" dan "karismatik" itu.
Dalam hemat Titiek Puspa, sang presiden pertama RI "bukan orang sembarangan," dan bukan jenis orang yang mudah main perempuan. "Beliau itu orang sangat menghormati (perempuan)."
Mulai pertengahan 1960-an, Titiek Puspa produktif mencipta lagu. Apalagi setelah bertemu dengan pria yang kemudian akan jadi suaminya, Mus Mualim. Di akhir 1960an, dia mulai bermain film, dan ranah operet dijamah pada awal 1970an. Namun, produktivitasnya mencipta lagu tak luntur.
Begitu pun saat 'guru' dan idolanya, Bing Slamet, meninggal pada 1974.
Titiek mengatakan saat jenazah Bing Slamet akan dimakamkan, dia tengah terbang ke Singkep, Kalimantan Timur, untuk menyanyi. Pikirannya kalut.
"Aduh, ini Om Bing baru diarak, diantar sama berjuta orang. Saya nangis," ujarnya. Rangkaian lagu dan kata tak lama berjejalan di benaknya. Dengan memakai pulpen Mus Mualim, yang telah menjadi suaminya, dia menulis lagu untuk Bing "di disposal bag".
"Kalau saya bilang, 'kekasih berpulang tuk selamanya', bukan kekasih yang pernah kissing atau apa. Nge-touch aja enggak. Tapi, kalau saya sudah dalam keadaan mengagumi, itu saya bisa melebihi daripada kekasih," katanya tentang salah satu larik lagu berjudul "Bing".
Sebelum tampil di festival Bintang Radio Jakarta 1954, Titiek mengaku sudah kadung angkat topi pada Bing Slamet. Semasa masih di Jawa Tengah, dia sungguh-sungguh mempelajari cara Bing membawakan lagu lewat radio.
Di Jakarta, dia sering menonton pertunjukan Bing, dan bahkan sejajar-sepanggung sebagai pementas. "Kalau Bing tampil, (saya) sering berdiri di dekat panggung sambil terkagum-kagum," katanya.
Caranya menyerap ilmu seperti metode Bambang Ekalaya dalam kisah pewayangan saat berlatih di hadapan patung Resi Drona karena tak diterima sebagai murid: seorang autodidak par excellence.
Musikus Remy Sylado, seperti terurai dalam perbincangan dengan mantan editor Rolling Stone Indonesia, Soleh Solihun, mengatakan bahwa wafatnya Bing membuat "Titiek Puspa kehilangan sekali. Dan Titiek Puspa...penyanyi segala masa yang paling inspirasional dalam peta seni-seni populer Indonesia sampai menulis lagu buat Bing".
Namun, ketika Mus Mualim jadi mendiang pada 1991, seperti pernah ditulis Gatra pada 1997, produktivitasnya menurun drastis.
"Setahun (sesudah kematian Mus) itu, aku blackout. Nangis terus. Otak ini terasa stuck. Kayaknya semua blank," katanya dikutip Gatra. Setelah masa duka berakhir, dia tak lagi seproduktif sebelumnya.
Menurutnya, ketidakmampuan membaca not balok ikut menghambat proses kreatif dalam mencipta. "Otakku itu jurusannya bukan di situ," ujarnya kepada Gatra. Mus Mualim sanggup menerjemahkan kehendaknya menjadi musik, meski kadang dibelokkan "ke kiri dan ke kanan".
Mengenai pembikinan musik itu, Titiek Puspa bercerita tentang pengalaman pertama "membuat corat-coret sambil melagukannya, sampai sembilan kali" harus diulang.
Di tebing keputusasaan, dia mengadu kepada Sahabatnya, "Gusti, kalau yang kesepuluh ini enggak diterima, enggak bagus, berarti saya tidak bisa bikin lagu, nggih?"
Goresan kesepuluh pun--yang dijuduli "Kisah Hidup"--ditunjukkan kepada Mus. "Makin jelek, ya?" tanya Titiek. Mus menggeleng, katanya. "Itu lagu," ujar Mus kemudian, "Itu lagu bagus".
Titiek Puspa kontan berlari ke kamar mandi, dan menutup mulutnya dengan handuk. Teriakannya terpenjara dalam kekusutan pengering tubuh itu: "Aaaaaa".
Suami ketiganya itu tak memberinya anak, tapi daya cipta. Titiek mendapatkan anak hanya dari Sukasno--suami pertama--yang bernama Petty Tunjung Sari. Cerai dari Sukasno, dia menikah dengan Zainal Ardi. Perkawinan kedua itu melahirkan Ella Puspa Sari.
Mengenai ihwal kesendiriannya hingga sekarang, sosok yang berhasil menjadi penyintas kanker itu hanya menyiratkan bahwa sejak "kecil sudah diajarkan oleh orang tua untuk mandiri dan dikenalkan sama Tuhan".
Kebiasaan itu dia tularkan kepada anak-anaknya. "Begitu (mereka) bisa saya ajak bicara, nomor satu saya kenalkan sama Tuhan," katanya. "Di mana-mana ada Tuhan. Walaupun begitu, aku masih banyak dosa, salah, lupa, kadang sengaja. Tapi semua pakai takaran".
Urusan kemandirian itu dia gambarkan dengan aktivitas yang masih dia jalani hingga kini, termasuk proyek lagu anak bertajuk Duta Cinta. "Kamu tahu enggak umur segini saya masih kerja, meski tidak sebanyak dulu, dan tidak dibayar sebanyak dulu. Tapi, masih ada satu kehidupan...seperti lagu 'Minah Gadis Dusun'"
"Itu saya dulu waktu masih kelas dua SD, saya selalu berangkat sama ibu-ibu bawa gendongan (berisi) sayuran. Saya dari Gunung Sumbing. Kalau sekolah masih bawa obor (karena berkabut)," ujarnya.
Ujung dari keikutsertaan di Jakarta itu adalah kekalahan. "Tapi, saya enggak nangis. Gembira aja," ujarnya. Dia--telah beberapa tahun memakai nama Titiek Puspa setelah berdiskusi dengan sahabatnya, Rahayu--merasa kariernya takkan beranjak.
Tapi, itu sebelum panitia, sekali lagi, menghampirinya dan menyampaikan kabar istimewa: gadis dusun itu diminta menyanyi pada 'Malam Gembira' festival, acara puncak yang cuma lazim diisi para juara. "Woo, ngejek ya, ngenyek yo," ujarnya kepada sang penyampai pesan.
Keyakinan Titiek Puspa jadi nyata setelah Sjaiful Bachri, pemimpin Orkes Studio Djakarta--penggarap musik film "Tiga Dara" arahan Usmar Ismail--memintanya langsung untuk membawakan "Candra Buana" karya komponis besar Indonesia, Ismail Marzuki. "Musiknya paling bagus waktu itu," ujar Titiek tentang lagu gubahan putra Betawi tersebut.
Aksi panggung remaja yang pernah bercita-cita sebagai guru TK itu bersambut kepuasan penonton. "Begitu selesai nyanyi, tepuk tangan lebih menggemuruh," ujarnya. Batinnya kembali ditujukan kepada sang 'Sahabat'. "Gusti Allah, jadi saya harus jadi penyanyi, to, Gusti? Kok ini saya kalah kok tepuknya lebih banyak saya ya, Gusti?"
Segala yang terjadi setelah malam itu adalah sejarah. "Candra Buana" versinya kerap diputar di Radio Republik Indonesia (RRI). Kerja sama dengan Sjaiful berlanjut karena OSD mengikatnya sebagai penyanyi tetap.
Pada dekade pertama 1960 itu, sejumlah pencipta lagu beken sudah percaya dengan kecakapan Titiek menafsir lagu ciptaan mereka dengan suaranya. Mochtar Embut memberikan "Di Sudut Bibirmu"; Surni Warkiman mengangsurkan "Daun yang Gugur" dan "Esok Malam Kau Kujelang"; Iskandar mengulurkan "Puspa Dewi".
Terhadap nama terakhir itu, Titiek Puspa berkomentar: "Iskandar dulu seperti yang memandikan saya untuk tahu bunyi-bunyian."
Menurutnya, Iskandar saban pagi memintanya untuk bernyanyi mengikuti musik dari piano yang dia mainkan. "Paling sedikit dua-tiga hari, ada lagu baru," ujarnya seraya memikirkan metode mencipta lagu semacam itu. "Tapi, saya tidak pernah mengerti not," katanya.
Pembicaraan mengenai kiprahnya sampai juga ke kantor presiden. Pemimpin Indonesia saat itu, Sukarno, kemudian mengundangnya untuk ke lstana Negara.
"Oh, ini TitiekPuspa," kata Titiek menirukan Bung Karno, panggilan sang orator. "Jarene pinter nyanyi?" tanya Sukarno. "Sedikit," jawabnya. "Wis, jajal saiki nyanyi," ujar proklamator itu dengan bahasa Jawa saat meminta Titiek menyanyi.
Waktu Titiek Puspa menanyakan judul yang dikehendaki, Bung Karno berkata "sakarepmu". Terserah saja. Beberapa tembang dilantunkan, termasuk "Kasih di Antara Remaja".
Di ujung pertunjukan, Sukarno mengatakan bahwa suara Titiek begitu baik. "Pokoknya mulai dari sekarang, kamu menjadi penyanyi istana," kata Titiek mengenang perkataan sosok yang dia anggap "cakep banget" dan "karismatik" itu.
Dalam hemat Titiek Puspa, sang presiden pertama RI "bukan orang sembarangan," dan bukan jenis orang yang mudah main perempuan. "Beliau itu orang sangat menghormati (perempuan)."
Mulai pertengahan 1960-an, Titiek Puspa produktif mencipta lagu. Apalagi setelah bertemu dengan pria yang kemudian akan jadi suaminya, Mus Mualim. Di akhir 1960an, dia mulai bermain film, dan ranah operet dijamah pada awal 1970an. Namun, produktivitasnya mencipta lagu tak luntur.
Begitu pun saat 'guru' dan idolanya, Bing Slamet, meninggal pada 1974.
Titiek mengatakan saat jenazah Bing Slamet akan dimakamkan, dia tengah terbang ke Singkep, Kalimantan Timur, untuk menyanyi. Pikirannya kalut.
"Aduh, ini Om Bing baru diarak, diantar sama berjuta orang. Saya nangis," ujarnya. Rangkaian lagu dan kata tak lama berjejalan di benaknya. Dengan memakai pulpen Mus Mualim, yang telah menjadi suaminya, dia menulis lagu untuk Bing "di disposal bag".
"Kalau saya bilang, 'kekasih berpulang tuk selamanya', bukan kekasih yang pernah kissing atau apa. Nge-touch aja enggak. Tapi, kalau saya sudah dalam keadaan mengagumi, itu saya bisa melebihi daripada kekasih," katanya tentang salah satu larik lagu berjudul "Bing".
Sebelum tampil di festival Bintang Radio Jakarta 1954, Titiek mengaku sudah kadung angkat topi pada Bing Slamet. Semasa masih di Jawa Tengah, dia sungguh-sungguh mempelajari cara Bing membawakan lagu lewat radio.
Di Jakarta, dia sering menonton pertunjukan Bing, dan bahkan sejajar-sepanggung sebagai pementas. "Kalau Bing tampil, (saya) sering berdiri di dekat panggung sambil terkagum-kagum," katanya.
Caranya menyerap ilmu seperti metode Bambang Ekalaya dalam kisah pewayangan saat berlatih di hadapan patung Resi Drona karena tak diterima sebagai murid: seorang autodidak par excellence.
Musikus Remy Sylado, seperti terurai dalam perbincangan dengan mantan editor Rolling Stone Indonesia, Soleh Solihun, mengatakan bahwa wafatnya Bing membuat "Titiek Puspa kehilangan sekali. Dan Titiek Puspa...penyanyi segala masa yang paling inspirasional dalam peta seni-seni populer Indonesia sampai menulis lagu buat Bing".
Namun, ketika Mus Mualim jadi mendiang pada 1991, seperti pernah ditulis Gatra pada 1997, produktivitasnya menurun drastis.
"Setahun (sesudah kematian Mus) itu, aku blackout. Nangis terus. Otak ini terasa stuck. Kayaknya semua blank," katanya dikutip Gatra. Setelah masa duka berakhir, dia tak lagi seproduktif sebelumnya.
Menurutnya, ketidakmampuan membaca not balok ikut menghambat proses kreatif dalam mencipta. "Otakku itu jurusannya bukan di situ," ujarnya kepada Gatra. Mus Mualim sanggup menerjemahkan kehendaknya menjadi musik, meski kadang dibelokkan "ke kiri dan ke kanan".
Mengenai pembikinan musik itu, Titiek Puspa bercerita tentang pengalaman pertama "membuat corat-coret sambil melagukannya, sampai sembilan kali" harus diulang.
Di tebing keputusasaan, dia mengadu kepada Sahabatnya, "Gusti, kalau yang kesepuluh ini enggak diterima, enggak bagus, berarti saya tidak bisa bikin lagu, nggih?"
Goresan kesepuluh pun--yang dijuduli "Kisah Hidup"--ditunjukkan kepada Mus. "Makin jelek, ya?" tanya Titiek. Mus menggeleng, katanya. "Itu lagu," ujar Mus kemudian, "Itu lagu bagus".
Titiek Puspa kontan berlari ke kamar mandi, dan menutup mulutnya dengan handuk. Teriakannya terpenjara dalam kekusutan pengering tubuh itu: "Aaaaaa".
Suami ketiganya itu tak memberinya anak, tapi daya cipta. Titiek mendapatkan anak hanya dari Sukasno--suami pertama--yang bernama Petty Tunjung Sari. Cerai dari Sukasno, dia menikah dengan Zainal Ardi. Perkawinan kedua itu melahirkan Ella Puspa Sari.
Mengenai ihwal kesendiriannya hingga sekarang, sosok yang berhasil menjadi penyintas kanker itu hanya menyiratkan bahwa sejak "kecil sudah diajarkan oleh orang tua untuk mandiri dan dikenalkan sama Tuhan".
Kebiasaan itu dia tularkan kepada anak-anaknya. "Begitu (mereka) bisa saya ajak bicara, nomor satu saya kenalkan sama Tuhan," katanya. "Di mana-mana ada Tuhan. Walaupun begitu, aku masih banyak dosa, salah, lupa, kadang sengaja. Tapi semua pakai takaran".
Urusan kemandirian itu dia gambarkan dengan aktivitas yang masih dia jalani hingga kini, termasuk proyek lagu anak bertajuk Duta Cinta. "Kamu tahu enggak umur segini saya masih kerja, meski tidak sebanyak dulu, dan tidak dibayar sebanyak dulu. Tapi, masih ada satu kehidupan...seperti lagu 'Minah Gadis Dusun'"
"Itu saya dulu waktu masih kelas dua SD, saya selalu berangkat sama ibu-ibu bawa gendongan (berisi) sayuran. Saya dari Gunung Sumbing. Kalau sekolah masih bawa obor (karena berkabut)," ujarnya.
Dia pun melanjutkan, "Ini orang desa mensuplai orang kota, tapi apa yang dia dapat? Bisakah dia untuk makan itu sebulan? Tidak."
Tunggu saja kiriman hasil panenku/Orang orang dusun pandai bertani/Hanya pesanku kawan jaga negerimu/Sampai bertemu lagi salam manisku. (BERITAGAR/BISMO AGUNG)