BUTONMAGZ---Dulu ketika orang Buton menyebut penamaaan Kota Baubau lebih ‘sreg’ menyebut nama Wolio – sebutlah dalam kalimat ‘Lingka Yi Wolio’ yang ia maksud adalah pergi ke Wolio atau Baubau era sekarang. Namun saat ini telah menyusut sebagai nama kecamatan di kota ini.
Sebuah artikel tentang penamaan Wolio memberi banyak pengetahuan pada generasi Buton masa kini. Artikel ini dinukil dari jurnal berjudul “Wolio, Buton, atau Baubau Sebagai Wacana Nama Kota Baubau (Identitas dan Transformasi Nilai Budaya Kesultanan Buton)” yang ditulis Tasrifin Tahara (Antropolog Unhas) dan Syamsul Bahri Balai Pelestarian Nilai Budaya Sulawesi Selatan.
-----------------------------
Konon di akhir abad ke-13 mendarat di daratan Pulau Buton empat orang pendatang dari Melayu yang membawa peradaban penting bagi masyarakat sebagai cikal bakal terbentuknya Kerajaan Buton. Keempat orang ini di kenal dengan sebutan mia patamiana yakni Sipajonga dan Sijawangkati serta Simalui dan Sitamanajo yang datang secara bertahap di Pulau Buton. Rombingan pertama Sipajonga dan Simalui mendarat di Pantai Sulaa yang terletak di Pantai Selatan Pulau Buton. Kedatangan rombongan tersebut membawa bendera warna-warni (longa-longa), yang konon dijadikan sebagai bendera kerajaan yang disebut “tombi pagi”. Sedang wilayah tempat pemasangan bendera disebut Sulaa yang berarti ”memasang bendera”.
Rombongan kedua Sitamanajo dan Sijawangkati yang mendarat pantai timur agak ke utara yakni di Welalogusi atau sekarang dalam wilayah Kecamatan Kapontori yang kemudian terus berpindah pada bagian selatan yang akhirnya tiba di daerah yang dikenal dengan Kota Baubau. Kedua kelompok ini yang hanya dipisahkan oleh sungai ini akhirnya bersatu di Kalampa. Pemukiman di Kalampa ini tidak berlangsung lama karena adanya gangguan bajak laut yang mengakibatkan mereka pindah ke arah perbukitan yang disebut Wolio yang menjadi pusat Kerajaan Buton.
Kerajaan Buton pada awalnya merupakan afiliasi atau penyatuhan empat kampung yang dikenal dengan istilah pata limbona. Secara etimologi pata dalam Bahasa Wolio berarti empat, sedangkan limbo dalam Bahasa Wolio berarti kampung, na mengandung arti kepunyaan. Keempat kampung tersebut yakni Kampung Baluwu, Kampung Peropa, Kampung Gundu-gundu, dan Kampung Barakatopa. Berdasarkan hasil permufakatan dari para kepala kampung (bonto) tersebut, kemudian mereka mendirikan Kerajaan Buton, bersepakat menobatkan Putri Wa Kaa kaa yang konon berasal dari Negeri Cina sebagai raja pertama Kerajaan Buton.
Istilah Wolio juga bisa dikategorikan sebagai sub etnik dari Buton sebagai kelompok sosial yang memegang peranan penting dalam kesultanan, kemudian Wolio juga sebagai wilayah pusat kesultanan, dan Wolio juga bisa dikategorikan sebagai kelompok sosial penutur bahasa.
Orang-orang memberikan gagasan yang berbeda-beda tentang asal usul kata "wolio". Beberapa menyatakan bahwa kata "Wolio" berasal dari kata kerja "welia" yang berarti "menebas hutan/semak". Mereka menghubungkan kata kerja "welia" ini dengan aktivitas yang pertama kali dilakukan oleh leluhur mereka, ketika membuka hutan untuk tempat pemukiman mereka di masa lampau. Pemukiman inilah yang kemudian berkembang menjadi pusat dari kerajaan Wolio.
Beberapa yang lain mengkaitkan kata "wolio" dengan kata "waliullah" yang berarti "wali Allah". Beberapa yang lain lagi menghubungkan kata "wolio" dengan "waliyu" yang merupakan satu kerajaan di dalam Kecamatan Lasalimu yang dianggap sudah ada jauh sebelum Kerajaan Wolio lahir. Terlepas dari berbagai macam pengertian mengenai etimologi kata ini, "Wolio" sekarang dipahami sebagai nama dari kelompok sosial yang merupakan dua kelompok penguasa di dalam masyarakat ini, yakni kaomu dan walaka.
Kata ini juga digunakan untuk mengacu nama dari bahasa yang mereka gunakan. Kata "Wolio" ini juga dipakai sebagai nama dari kesultanan, yakni Kesultanan Wolio, yang mencakup juga kelompok sosial yang bukan merupakan orang Wolio ke dalam wilayah kesultanan ini. Pada akhirnya, Bahasa Wolio juga berfungsi sebagai bahasa pengantar di dalam kesultanan ini yang mengakomodasi bahasa-bahasa dalam wilayah Kesultanan Buton.
Masyarakat Buton oleh Rudyansjah (2009: 8) didefinisikan ke dalam orang Wolio dan bukan-Wolio. Dua kategori sosial yang pertama, yakni Kaomu dan Walaka, termasuk ke dalam kategori orang Wolio. Sebaliknya dua kategori sosial yang terakhir, yakni papara dan batua, termasuk ke dalam kategori bukan orang Wolio (Penjelasan mengenai kaomu, walaka, papara dan batua bisa dilihat Rudyansjah, 1997; Schrool, 2003; Tahara, 2014).
Kata ini juga digunakan untuk mengacu nama dari bahasa yang mereka gunakan. Kata "Wolio" ini juga dipakai sebagai nama dari kesultanan, yakni Kesultanan Wolio, yang mencakup juga kelompok sosial yang bukan merupakan orang Wolio ke dalam wilayah kesultanan ini. Pada akhirnya, Bahasa Wolio juga berfungsi sebagai bahasa pengantar di dalam kesultanan ini yang mengakomodasi bahasa-bahasa dalam wilayah Kesultanan Buton.
Masyarakat Buton oleh Rudyansjah (2009: 8) didefinisikan ke dalam orang Wolio dan bukan-Wolio. Dua kategori sosial yang pertama, yakni Kaomu dan Walaka, termasuk ke dalam kategori orang Wolio. Sebaliknya dua kategori sosial yang terakhir, yakni papara dan batua, termasuk ke dalam kategori bukan orang Wolio (Penjelasan mengenai kaomu, walaka, papara dan batua bisa dilihat Rudyansjah, 1997; Schrool, 2003; Tahara, 2014).
![]() |
Peta Benteng Keraton Buton di Kota Baubau |
Wolio merupakan centrum bagi kebudayaan Buton secara luas sebagai bekas pusat Kesultanan Buton memiliki arti simbolis yang sangat penting bagi masyarakat Buton dan sekitarnya. Sebagai sebuah pusat kekuasaan telah menjadi peletak dasar struktur kekuasaan yang kuat dan mendorong terbentuknya pemukiman penduduk untuk menetap dalam kawasan tersebut.
Memahami nilai yang tentang Wolio tidak hanya dilihat dalam konteks kebendaan tapi dilihat secara holistik, baik kesejarahan, material, aspek sosial budaya masyarakat yang menjadi pewaris kebudayaan ini. Sebagai sebuah negara, simbol-simbol dan aspek kehidupan melekat pada masyarakat Buton. Dalam adat istiadat kesultanan (Sarana Wolio, harfiah “undang-undang” Wolio) apa yang dinamai Wolio didalamnya mengandung tiga pengertian, yakni perahu, Benteng Keraton, dan Mesjid (Sara Kidina) yang berada di dalam wilayah Benteng Wolio Buton.
Paling tidak terdapat empat simbol yang dapat memberikan legitimasi kekuasaan bagi Wolio sebagai simbol kebesaran di Pulau Buton. Simbol yang pertama adalah bekas keraton dan sisa-sisa reruntuhan bentengnya. Kedua adalah bangunan mesjid dan seluruh tradisi dan upacara-upacara keagamaan yang sampai sekarang masih dijunjung tinggi oleh para pengasuh dan warga Buton pada umumnya. Simbol ketiga adalah bangunan makam sultan dan keturunannya beserta silsilah yang sangat lengkap dari awal berdirinya sampai hari ini. Simbol keempat adalah museum Wolio dan segenap isinya yang mencerminkan berbagai lambang kebesaran Kesultanan Buton dan keluarganya. (ref)
Memahami nilai yang tentang Wolio tidak hanya dilihat dalam konteks kebendaan tapi dilihat secara holistik, baik kesejarahan, material, aspek sosial budaya masyarakat yang menjadi pewaris kebudayaan ini. Sebagai sebuah negara, simbol-simbol dan aspek kehidupan melekat pada masyarakat Buton. Dalam adat istiadat kesultanan (Sarana Wolio, harfiah “undang-undang” Wolio) apa yang dinamai Wolio didalamnya mengandung tiga pengertian, yakni perahu, Benteng Keraton, dan Mesjid (Sara Kidina) yang berada di dalam wilayah Benteng Wolio Buton.
Paling tidak terdapat empat simbol yang dapat memberikan legitimasi kekuasaan bagi Wolio sebagai simbol kebesaran di Pulau Buton. Simbol yang pertama adalah bekas keraton dan sisa-sisa reruntuhan bentengnya. Kedua adalah bangunan mesjid dan seluruh tradisi dan upacara-upacara keagamaan yang sampai sekarang masih dijunjung tinggi oleh para pengasuh dan warga Buton pada umumnya. Simbol ketiga adalah bangunan makam sultan dan keturunannya beserta silsilah yang sangat lengkap dari awal berdirinya sampai hari ini. Simbol keempat adalah museum Wolio dan segenap isinya yang mencerminkan berbagai lambang kebesaran Kesultanan Buton dan keluarganya. (ref)
0 Komentar