![]() |
Jenderal Jassin dan Presiden Soeharto - dokumen keluarga |
BUTONMAGZ--Empat hari selepas proklamasi, dia menyatakan bahwa Tokubetsu Keisatsutai (kesatuan polisi zaman Jepang) bergabung dengan RI.
“Pada dasarnya, saya berkeberatan untuk masuk pendidikan polisi. Namun, Abu Baeda berusaha membujuk saya dengan mengatakan bahwa kader polisi juga amat gagah seragamnya,” ungkap Moehammad Jasin mengenang asal-muasal kariernya di kepolisian yang bermula pada awal dekade 1940-an dikutip dari situs Beritagar.
Abu Baeda yang dimaksud adalah kakak ipar Jasin. Dalam buku berjudul Memoar Jasin Sang Polisi Pejuang: Meluruskan Sejarah Kelahiran Polisi Indonesia (2010: 63), Jasin mengakui bahwa ia semula memang tidak tertarik masuk kepolisian pemerintah Hindia Belanda. Ia bercita-cita menjadi penerbang.
Maka, selulus sekolah menengah pada 1941, Jasin bermaksud mengikuti pelatihan penerbangan militer Koninklijke Nederlandsch-Indische Luchtvaart Maatschappij (KNILM) di Bandung. Namun, keinginannya itu tidak mendapat restu. Orangtua Jasin menganggap terbang dengan pesawat sama saja cari mati.
Untuk mengobati kekecewaan Jasin, kakak iparnya kemudian menghubungi Komisaris Polisi di Makassar dengan harapan bisa diterima sebagai anggota kepolisian. Dari situlah jejak langkah Jasin sebagai polisi bermula.
Justru di kepolisian inilah Jasin menunjukkan kecemerlangan dalam kariernya. Dari masa akhir pemerintah Hindia Belanda, berlanjut ke zaman pendudukan Jepang, hingga era kemerdekaan juga waktu-waktu setelahnya.
Hingga berpuluh-puluh tahun kemudian, tanggal 5 November 2015, Moehammad Jasin yang lahir di Baubau, Sulawesi Tenggara, pada 9 Juni 1920, mendapatkan gelar Pahlawan Nasional. Jasin adalah polisi pertama dalam sejarah Republik yang ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional.
“Pada dasarnya, saya berkeberatan untuk masuk pendidikan polisi. Namun, Abu Baeda berusaha membujuk saya dengan mengatakan bahwa kader polisi juga amat gagah seragamnya,” ungkap Moehammad Jasin mengenang asal-muasal kariernya di kepolisian yang bermula pada awal dekade 1940-an dikutip dari situs Beritagar.
Abu Baeda yang dimaksud adalah kakak ipar Jasin. Dalam buku berjudul Memoar Jasin Sang Polisi Pejuang: Meluruskan Sejarah Kelahiran Polisi Indonesia (2010: 63), Jasin mengakui bahwa ia semula memang tidak tertarik masuk kepolisian pemerintah Hindia Belanda. Ia bercita-cita menjadi penerbang.
Maka, selulus sekolah menengah pada 1941, Jasin bermaksud mengikuti pelatihan penerbangan militer Koninklijke Nederlandsch-Indische Luchtvaart Maatschappij (KNILM) di Bandung. Namun, keinginannya itu tidak mendapat restu. Orangtua Jasin menganggap terbang dengan pesawat sama saja cari mati.
Untuk mengobati kekecewaan Jasin, kakak iparnya kemudian menghubungi Komisaris Polisi di Makassar dengan harapan bisa diterima sebagai anggota kepolisian. Dari situlah jejak langkah Jasin sebagai polisi bermula.
Justru di kepolisian inilah Jasin menunjukkan kecemerlangan dalam kariernya. Dari masa akhir pemerintah Hindia Belanda, berlanjut ke zaman pendudukan Jepang, hingga era kemerdekaan juga waktu-waktu setelahnya.
Hingga berpuluh-puluh tahun kemudian, tanggal 5 November 2015, Moehammad Jasin yang lahir di Baubau, Sulawesi Tenggara, pada 9 Juni 1920, mendapatkan gelar Pahlawan Nasional. Jasin adalah polisi pertama dalam sejarah Republik yang ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional.
Sang Polisi Istimewa
Saat Indonesia merdeka tanggal 17 Agustus 1945, Moehammad Jasin (ejaan baru: Muhammad Yasin) menjabat sebagai Komandan Tokubetsu Keisatsutai, kesatuan polisi yang dibentuk pada masa pendudukan Jepang, di Surabaya. Benedict Anderson dalam Java in a Time of Revolution: Occupation and Resistance, 1944-1946 (2006) menyebutnya dengan istilah Special Police Force atau “Polisi Istimewa” (hlm. 141).
Kemerdekaan RI yang dikumandangkan di Jakarta langsung direspons Jasin dari Surabaya beberapa hari berselang. Tanggal 21 Agustus 1945, Jasin menyatakan bahwa Tokubetsu Keisatsutai beralih rupa menjadi Pasukan Polisi Republik Indonesia. Inilah cikal-bakal lahirnya Kepolisian Republik Indonesia.
Asvi Warman Adam dalam buku Menguak Misteri Sejarah (2010) menyebut pernyataan Jasin itu sebagai “proklamasi polisi Karesidenan Surabaya” yang mengakui bahwa mereka adalah “pegawai polisi Republik Indonesia yang berkewajiban menjunjung tinggi dan mempertahankan kedaulatan dan kehormatan negara Republik Indonesia” (hlm. 56).
Ketika terjadi rentetan perang di Surabaya melawan Sekutu yang dikenal dengan nama peristiwa 10 November 1945, Jasin memegang peranan penting. Soedarto, seorang petinggi militer yang turut terlibat dalam momen yang kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan itu, mengatakan bahwa tanpa peran Jasin dan pasukan polisi istimewanya, tidak akan ada pertempuran di Surabaya.
Kesan serupa juga diungkapkan oleh mantan Kapolri, Bambang Hendarso Danuri, dalam tulisan sambutannya di buku Memoar Jasin Sang Polisi Pejuang: Meluruskan Sejarah Kelahiran Polisi Indonesia (2010).
“Ketokohan Komjen Pol. (Purn.) DR. H Moehammad Jasin pada periode awal pasca-Proklamasi Kemerdekaan RI, dengan segenap anggota Tokubetsu Keisatsutai (Kesatuan Polisi Istimewa yang terorganisir rapi bersenjata lengkap, serta setia kepada perjuangan Indonesia), telah mampu mempelopori serta memberikan kesadaran akan kemampuan diri sendiri dan identitas bangsa [...] serta membangkitkan militansi pemuda-pemuda di Surabaya yang kemudian memantik pertempuran heroik sejak tanggal 28 Oktober hingga 28 November 1945 dengan titik puncaknya peristiwa 10 November 1945,” tulis Bambang.
Jasin memang bukan polisi sembarangan. Gelar Bapak Brigade Mobil (Brimob) tersemat pada namanya. Seperti diungkap dalam buku 44 Tahun Kepolisian Negara Republik Indonesia (1990), ia diakui sebagai pendiri Brimob yang diresmikan 14 November 1946. Saat itu, kesatuan tersebut masih bernama Mobile Brigade Polisi, disingkat Mobbrig (hlm. 48).
Pasukan Mobile Brigade Polisi yang dipimpin Jasin selanjutnya turut mengambil peran dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan, termasuk ketika Belanda dua kali melancarkan agresi militer.
Suatu hari pada 1947, Jasin dan pasukannya sempat tertangkap Belanda dan dikurung di Penjara Kalisosok Surabaya. Mereka dibebaskan pada 1948, ditukar dengan sejumlah tentara Belanda yang ditawan pihak republik.
Menumpas Separatisme
Moehammad Jasin senantiasa hadir ketika ada pihak-pihak yang dituding melakukan separatisme setelah Indonesia merdeka. Ia dan laskar brigade mobilnya nyaris selalu turun tangan setiap kali ada upaya macam itu.
Sebelum Peristiwa Madiun 1948, misalnya, Jasin sudah memantau pergerakan kaum kiri. Menurut Pinardi dalam Peristiwa Coup Berdarah PKI September 1948 di Madiun (1967), kegiatan PKI di kota tersebut dinilai secara tepat oleh Jasin selaku Komandan Mobile Brigade Besar Jawa Timur saat itu (hlm. 133).**
Baca artikel terkait : Jenderal Polisi Jasin, "Bapak Brimob" Kelahiran Baubau-Buton
Saat Indonesia merdeka tanggal 17 Agustus 1945, Moehammad Jasin (ejaan baru: Muhammad Yasin) menjabat sebagai Komandan Tokubetsu Keisatsutai, kesatuan polisi yang dibentuk pada masa pendudukan Jepang, di Surabaya. Benedict Anderson dalam Java in a Time of Revolution: Occupation and Resistance, 1944-1946 (2006) menyebutnya dengan istilah Special Police Force atau “Polisi Istimewa” (hlm. 141).
Kemerdekaan RI yang dikumandangkan di Jakarta langsung direspons Jasin dari Surabaya beberapa hari berselang. Tanggal 21 Agustus 1945, Jasin menyatakan bahwa Tokubetsu Keisatsutai beralih rupa menjadi Pasukan Polisi Republik Indonesia. Inilah cikal-bakal lahirnya Kepolisian Republik Indonesia.
Asvi Warman Adam dalam buku Menguak Misteri Sejarah (2010) menyebut pernyataan Jasin itu sebagai “proklamasi polisi Karesidenan Surabaya” yang mengakui bahwa mereka adalah “pegawai polisi Republik Indonesia yang berkewajiban menjunjung tinggi dan mempertahankan kedaulatan dan kehormatan negara Republik Indonesia” (hlm. 56).
Ketika terjadi rentetan perang di Surabaya melawan Sekutu yang dikenal dengan nama peristiwa 10 November 1945, Jasin memegang peranan penting. Soedarto, seorang petinggi militer yang turut terlibat dalam momen yang kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan itu, mengatakan bahwa tanpa peran Jasin dan pasukan polisi istimewanya, tidak akan ada pertempuran di Surabaya.
Kesan serupa juga diungkapkan oleh mantan Kapolri, Bambang Hendarso Danuri, dalam tulisan sambutannya di buku Memoar Jasin Sang Polisi Pejuang: Meluruskan Sejarah Kelahiran Polisi Indonesia (2010).
“Ketokohan Komjen Pol. (Purn.) DR. H Moehammad Jasin pada periode awal pasca-Proklamasi Kemerdekaan RI, dengan segenap anggota Tokubetsu Keisatsutai (Kesatuan Polisi Istimewa yang terorganisir rapi bersenjata lengkap, serta setia kepada perjuangan Indonesia), telah mampu mempelopori serta memberikan kesadaran akan kemampuan diri sendiri dan identitas bangsa [...] serta membangkitkan militansi pemuda-pemuda di Surabaya yang kemudian memantik pertempuran heroik sejak tanggal 28 Oktober hingga 28 November 1945 dengan titik puncaknya peristiwa 10 November 1945,” tulis Bambang.
Jasin memang bukan polisi sembarangan. Gelar Bapak Brigade Mobil (Brimob) tersemat pada namanya. Seperti diungkap dalam buku 44 Tahun Kepolisian Negara Republik Indonesia (1990), ia diakui sebagai pendiri Brimob yang diresmikan 14 November 1946. Saat itu, kesatuan tersebut masih bernama Mobile Brigade Polisi, disingkat Mobbrig (hlm. 48).
Pasukan Mobile Brigade Polisi yang dipimpin Jasin selanjutnya turut mengambil peran dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan, termasuk ketika Belanda dua kali melancarkan agresi militer.
Suatu hari pada 1947, Jasin dan pasukannya sempat tertangkap Belanda dan dikurung di Penjara Kalisosok Surabaya. Mereka dibebaskan pada 1948, ditukar dengan sejumlah tentara Belanda yang ditawan pihak republik.
Menumpas Separatisme
Moehammad Jasin senantiasa hadir ketika ada pihak-pihak yang dituding melakukan separatisme setelah Indonesia merdeka. Ia dan laskar brigade mobilnya nyaris selalu turun tangan setiap kali ada upaya macam itu.
Sebelum Peristiwa Madiun 1948, misalnya, Jasin sudah memantau pergerakan kaum kiri. Menurut Pinardi dalam Peristiwa Coup Berdarah PKI September 1948 di Madiun (1967), kegiatan PKI di kota tersebut dinilai secara tepat oleh Jasin selaku Komandan Mobile Brigade Besar Jawa Timur saat itu (hlm. 133).**
Baca artikel terkait : Jenderal Polisi Jasin, "Bapak Brimob" Kelahiran Baubau-Buton
0 Komentar