![]() |
Napak tilas hubungan Bone-Buton masa lalu di Kota Baubau |
Persamaan nasib dan cita-cita telah mendorong kedua kerajaan yakni Bone dan Buton menjalin hubungan kerjasama. Hal ini diawali ketika Arung Palakka bersama pengikutnya mengamankan diri ke Buton setelah terdesak oleh upaya ekspansi politik kerajaan Gowa pada awal abad XVII. Kekalahan Kerajaan Bone di Pasempe, sebagaimana telah dijelaskan, menyebabkan Raja Bone La Tentoaji ditangkap bersama pembesar dan bangsawan yang turut dalam perang, termasuk keluarga Arung Palakka. Mereka diasingkan ke Kerajaan Siang (kini wilayah Pangkep) dan kemudian dipindahkan ke Kerajaan Gowa.
Ketika dalam pengasingan di Gowa, Arung Palakka sangat disenangi Karaeng Patingalloang karena berkepribadian yang kuat, cerdas, gagah dan simpatik. Karena itulah dia diangkat menjadi pembawa puang bagi Karaeng Pattingaloang (Hamid, 1992). Dalam lingkungan istana, Arung Palakka bebas bergaul dengan pemuda-pemuda bangsawan Gowa, termasuk Sultan Hasanuddin. Ia sendiri dalam lingkungan istana dikenal dengan nama Daeng Serang, nama yang diberikan oleh Karaeng Pattingaloang.
Ketika Arung Palakka memasuki masa dewasa (20 tahun) mulai pula timbul kesadaran akan harkat dan martabatnya sebagai bangsawan Bugis. Disadarinya kedudukan sekeluarga pada masa itu sebagai tawanan perang, yang pada hakekatnya tidak jauh berbeda dengan kedudukan budak, karna segala tindak tanduknya tidak lepas dari kontrol dan pengawasan kerajaan Gowa sebagai tuannya.
Terlebih lagi setelah jatuhnya benteng Panakukkang ketangan VOC pada tanggal 12 Juni 1660 yang membawa pengaruh yang sangat besar dalam menentukan nasib orang Bone selanjutnya. Dalam hal ini kerajaan Gowa terpaksa merubah kebijaksanaan politiknya terhadap tawanan perangnya. Perlakuan kasar tidak hanya diperuntukkan kepada budak-budak, tetapi juga terhadap bang-sawan-bangsawan Bugis yang ditawan, termasuk La Tenritatta dan keluarganya, dipekerjakan secara paksa, sebagimana halnya dengan tawanan perang lainnya.
Diriwayatkan oleh Rapi (1988) bahwa sementara delegasi Karaeng Popo (Abdul Kadir I Mallawakkang Daeng Sisila Karaeng Popo) berlayar ke Batavia untuk berunding dengan Belanda. Atas perintah Karaeng Karunrung didatang-kan 10.000 orang Bone ke Gowa untuk menggali parit di Sebelah Utara Benteng Sombaopu ke Ujung Tanah sepanjang 2,5 mil. Parit itu adalah untuk pertahanan Gowa dari serangan Belanda jika Belanda mendaratkan serdadu-nya di kerajaan Gowa.
Rombongan orang Bone itu dipimpin oleh Tobala yang menjadi kuasa kerajaan Gowa menjalankan pemerintahan di Bone. Diriwayatkan juga oleh Patunru (1989) bahwa sementara Karaeng Popo selaku pimpinan utusan kerajaan Gowa pergi ke Batavia untuk merundingkan perjanjian perdamaian tersebut, sultan bersama Karaeng Karunrung giat sekali mendirikan benteng pertahanan di Mariso sebelah Utara Somba-Opu dibuat tembok dari parit yang panjangnya 2 mil. Dimulai dari Binanga-Beru sampai ke Ujung Tanah. Atas perintah dari Karaeng Karunrung didatangkanlah 10.000 orang Bone ke Gowa untuk menggali sebuah parit yang harus memisahkan Benteng Panakukkang dari Daratan Gowa.
Penderitaan rakyat Bone dibawah dominasi kerajaan Gowa, demikian pula tawanan lainnya yang terdiri dari beberapa orang bangsawan, seperti Arung Bila Daeng Mabela, Arung Belo To Sade dan Arung Appanang, mengalami nasib yang sama. Sementara itu rakyat di Bone sendiri menderita akibat berbagai macam beban yang harus dipikul. Tobala yang mewakili raja Gowa dalam Melaksanakan pemerintahan di kerajaan Bone, tidaklah sanggup membela rakyat Bone. Bahkan, dalam pertengahan tahun 1660 ia mendapat intsruksi dari Karaeng Karunrung untuk mendatangkan rakyat Bone.
Pada akhir Juli 1660 tibalah Tobala di Gowa yang disertai oleh 10.000 orang Bone yang terdiri dari berbagai lapisan masyarakat, seperti petani, nelayan, pandai besi, budak, orang ke-banyakan dan bangsawan. Ada usia anak-anak, remaja, dewasa dan usia lanjut. Keanekaragaman ini disebabkan karena Tobala tidak sempat lagi untuk memilih orang-orang yang kuat saja, ataupun orang kebanyakan dan hamba sahaja saja, karena mengingat waktu yang diberikan sangat singkat.
Orang-orang Bone tersebut membawa bekal dan berbagai macam peralatan, seperti, pacul, linggis, dan lain-lain. Banyak diantara mereka yang jatuh sakit setelah tiba di Gowa akibat perjalanan yang jauh dan sulit. Sedangkan mereka yang sehat, mulai melaksanakan tugasnya menggali parit dan membangun kubu-kubu pertahanan itu mulai dari pagi sampai petang hari. Waktu istirahat mereka hanya diwaktu makan saja. Itupun hanya sebentar karena pengawasan yang ketat dari mandor-mandor yang terdiri dari orang-orang Gowa. Mereka tidak segan-segan menghukum dengan cambuk para pekerja yang dianggapnya malas. Nasib mereka sangat menyedihkan apalagi waktu itu bertepatan dengan musim kemarau.
Banyak di antara mereka yang jatuh sakit lalu meninggal. Banyak pula yang mencoba melarikan diri dan bagi mereka yang tertangkap mendapat hukuman yang berat. Karena semakin banyak pekerja yang melarikan diri sedangkan target penggalian parit dan pembangunan kubu-kubu pertahanan harus selesai sebelum turun hujan bulan Oktober-Nopember, menyebabkan tawanan-tawanan perang yang terdiri atas bangsawan-bangsawan Bone dan Soppeng, terpaksa harus dikerahkan untuk mengganti dari pekerjaan fisik, namun tidak tega melihat orang Bone dan Soppeng menderita akibat kerja paksa yang tidak berperikemanusian. Pada suatu waktu ia mengamuk dihadapan Sultan Hasanuddin untuk membebaskan rakyatnya atau Sempungi’na. Karena itulah, ia akhirnya dibunuh secara keji.
Perlakuan itu menimbulkan dampak psikologis bagi diri Arung Palakka dan sebagai reaksinya ia bersumpah akan menuntut utang darah bayar darah. Disusunlah suatu rencana pemberontakan bersama Tobala, Arung Bila, Arung Appanang, Datu Citta dan para ponggawa lainnya. Pada bulan September 1660 diadakan pesta panen di Tallo. Raja Gowa dan para pembesar lainnya meninggalkan istana menghadiri pesta panen tersebut. Arung Palakka dan bangsawan-bangsawan Bugis lainnya beserta para pekerja rodi melarikan diri dari Gowa menuju Bone. Arung Palakka menempatkan markas dan laskarnya di Lamuru dengan kekuatan sekitar 11.000 personil.
Mendengar tentang adanya usaha kerajaan Bone dan kerajaan Soppeng untuk berontak melawan kerajaan Gowa, maka Raja Gowa Sultan Hasanuddin mengirim tentaranya ke Lamuru dibawah pimpinan Karaeng Sumanna dan dibantu oleh La Tenrilai To Songeng dari Wajo. Pada 9 Oktober 1660, Gowa menyerang markas besar Arung Palakka di Lamuru, terjadilah pertempuran yang sengit antara pasu-kan kerajaan Bone dan kerajaan Soppeng melawan pasukan kerajaan Gowa dan kerajaan Wajo.
Pada awal pertempuran kekuatan berimbang, tetapi tiba-tiba kerajaan Wajo menyerang kerajaan Soppeng dari belakang, sehingga laskar kerajaan Soppeng yang sementara di medan perang kembali ke daerahnya untuk menghadapi laskar kerajaan Wajo. Laskar kerajaan Bone di bawah Tobala terdesak mundur ke arah Bone Utara, dan Tobala gugur di medan perang 11 Oktober 1660. La Tenritatta kemudian merubah taktik perangnya dengan perang gerilya di daerah pegunungan antara Bone Soppeng dan Wajo.
Sementara itu Arung Palakka dan kawan-kawan seper-juangannya dalam pertempuran Polelolo Timur, memutuskan hijrah ke Buton dan Ternate untuk meminta suaka politik. Gagasan hijrah tersebut mendapat dukungan dari Datu Soppeng La Tenri Bali dan mem-berikan bantuan dana perjuangan sebesar 100 kati emas dari Mario Riwawo diperoleh bantuan 20 kati emas.
Sebelum mereka bertolak ke Buton, Datu Soppeng berpesan kepada Arung Appanang dan Arung Bila sebagai-mana tersebut dalam lontara yang artinya kurang lebih sebagai berikut: Walau sampai di Ujung langit sekalipun, jangan terpisah dengan Datu Mario (Arung Palakka) jangan kembali ke Tanah Bone sebelum menemukan (kekuatan) yang dapat melawan Raja Gowa. Tanggal 25 Desember 1660 La Tenritatta (Arung Palakka) dan kawan-kawannya berlayar dari bukit Campalagi menuju Buton.
Sebelum berangkat, Arung Palakka bernazar akan membuat nasi ketan tujuh macam setinggi gunung Campalagi dan menyembelih seratus ekor kerbau yang bertanduk emas serta akan mengalirkan darah bangsawan tinggi Kerajaan Gowa bila berhasi membebaskan orang Bugis Bone dan Soppeng, ia juga bersumpah tidak akan memotong rambutnya sebelum berhasil mengalahkan Gowa.
Arung Palakka terpaksa meninggalkan Bone karena merasa bahwa daratan Sulawesi Selatan sudah tidak aman lagi bagi dirinya. Oleh karena itu, ia kemudian mencari perlindungan di kerajaan Buton. Dengan cara ini, ia berharap dapat menjalin kerja sama dengan Buton dalam menghadapi Gowa.
Setelah meninggalkan Bone (25 Desember 1660), tibalah di Buton Arung Palakka bersama rombongannya. Di sana ia mendapat sambutan baik dari Sultan Buton, La Awu dan para pembesar kerajaan Buton. Di samping karena mereka menghadapi musuh yang sama, juga karena berasal dari keturunan bangsawan Bugis yang terhormat. Sedangkan menurut Rapi Arung Palakka bisa tinggal lama bersembunyi di Benteng Wolio. Oleh karena Panglima Besar Kerajaan Buton paman dari Arung Palakka dari garis ibundanya, puteri Raja Bone ke-11 La Tenriruwa”.
Sejak awal kedatangan Arung Palakka di Buton, telah terjadi hubungan yang erat antara kerajaan Bone dan kerajaan Buton. Namun hubungan kerjasama itu perlu dituangkan dalam bentuk perjanjian yang dapat dijadikan dasar dan pegangan bersama. Untuk keperluan itulah maka Sultan La Awu dan Arung Palakka atas nama kerajaan Bone dan Buton menandatangani suatu perjanjian yang disimpulkan dalam suatu pengertian bahwa “Buton adalah Bone Timur, dan sebaliknya Bone adalah Buton Barat”.
Sebelum mereka bertolak ke Buton, Datu Soppeng berpesan kepada Arung Appanang dan Arung Bila sebagai-mana tersebut dalam lontara yang artinya kurang lebih sebagai berikut: Walau sampai di Ujung langit sekalipun, jangan terpisah dengan Datu Mario (Arung Palakka) jangan kembali ke Tanah Bone sebelum menemukan (kekuatan) yang dapat melawan Raja Gowa. Tanggal 25 Desember 1660 La Tenritatta (Arung Palakka) dan kawan-kawannya berlayar dari bukit Campalagi menuju Buton.
Sebelum berangkat, Arung Palakka bernazar akan membuat nasi ketan tujuh macam setinggi gunung Campalagi dan menyembelih seratus ekor kerbau yang bertanduk emas serta akan mengalirkan darah bangsawan tinggi Kerajaan Gowa bila berhasi membebaskan orang Bugis Bone dan Soppeng, ia juga bersumpah tidak akan memotong rambutnya sebelum berhasil mengalahkan Gowa.
Arung Palakka terpaksa meninggalkan Bone karena merasa bahwa daratan Sulawesi Selatan sudah tidak aman lagi bagi dirinya. Oleh karena itu, ia kemudian mencari perlindungan di kerajaan Buton. Dengan cara ini, ia berharap dapat menjalin kerja sama dengan Buton dalam menghadapi Gowa.
Setelah meninggalkan Bone (25 Desember 1660), tibalah di Buton Arung Palakka bersama rombongannya. Di sana ia mendapat sambutan baik dari Sultan Buton, La Awu dan para pembesar kerajaan Buton. Di samping karena mereka menghadapi musuh yang sama, juga karena berasal dari keturunan bangsawan Bugis yang terhormat. Sedangkan menurut Rapi Arung Palakka bisa tinggal lama bersembunyi di Benteng Wolio. Oleh karena Panglima Besar Kerajaan Buton paman dari Arung Palakka dari garis ibundanya, puteri Raja Bone ke-11 La Tenriruwa”.
Sejak awal kedatangan Arung Palakka di Buton, telah terjadi hubungan yang erat antara kerajaan Bone dan kerajaan Buton. Namun hubungan kerjasama itu perlu dituangkan dalam bentuk perjanjian yang dapat dijadikan dasar dan pegangan bersama. Untuk keperluan itulah maka Sultan La Awu dan Arung Palakka atas nama kerajaan Bone dan Buton menandatangani suatu perjanjian yang disimpulkan dalam suatu pengertian bahwa “Buton adalah Bone Timur, dan sebaliknya Bone adalah Buton Barat”.
Dalam kaitan ini pula Sultan Buton berkenan memberi perlindungan pada Arung Palakka untuk tinggal di Keraton Buton selama tiga tahun dan memberinya jabatan kehormatan sebagai Lakina Holimombo, sebuah daerah di Pasar Wajo.
Pengungsian Arung Palakka di Buton segera diikuti oleh orang-orang Bugis lainnya baik dari Bone maupun dari Soppeng. Dalam pengungsian itu terdapat beberapa orang bangsawan. Selain Arung Palakka sendiri yang menjadi pemimpin dari pengungsi itu, terdapat sembilan Arung Mattola dari Soppeng dan Bone, diantaranya yang terkenal adalah Arung Bila, Arung Appanang, Arung Pattojo, Arung Belo dan Arung Kaju.
Setelah Sultan Hasanuddin mendengar kabar bahwa Arung Palakka telah mengungsi ke Buton ia segera pula mengirimkan utusannya ke Buton untuk mencari informasi yang jelas apakah benar Arung Palakka berada di Buton. Setibanya utusan Sultan Hasanuddin di Buton, mereka segera menghubungi Sultan La Awu tentang perihal keberadaan Arung Palakka berada di Atas Tanah Buton.
Arung Palakka ketika itu disembunyikan dalam satu lubang rahasia di bawah tanah, maka ia dalam sejarah Buton dikenal dengan nama “La Toondu”. Sumber lain menyebutkan bahwa Arung Palakka di bawah mihrab Masjid Buton. Arung Palakka disembunyikan melalui pintu gerbang keraton yang dinamakan “Lawakepabumi” yang artinya pintu gerbang yang menyembunyikan.
Kerjasama antara Kerajaan Bone dengan Buton dalam abad XVII telah membawa akibat yang sangat luas, baik terhadap Bone maupun Buton. Setelah Perjanjian Bungaya (18 September 1667), disusul kemudian dikuasainya Benteng Sombaopu (24 Juni 1669) yang menandai kekalahan kerajaan Gowa. Hal ini telah membawa pengaruh yang besar bagi Kerajaan Bone yang bukan hanya mengantarnya mencapai kemerdekaan tetapi juga mengantar dapat memegang supremasi di Sulawesi Selatan.
Di bawah Arung Palakka, Kerajaan Bone berhasil mempersatukan seluruh kerajaan-kerajaan yang ada di Sulawesi Selatan, dengan menggunakan strategi militer, strategi diplomasi dan perkawinan atau kombinasi dari ketiganya. Untuk mengatur pemerintah daerah-daerah pendudukan di Sulawesi Selatan, menurut perjanjian Bungaya pasal 19 dan 20, Arung Palakka yang ditunjuk untuk mengkoordinirnya yang berkedudukan di Bontoala Ujung Pandang (1667-1696).
Kehadiran Arung Palakka ini tidak diterima baik oleh sebahagian kepala pemerintahan daerah-daerah pendudu-kan sebagai koordinator mereka. Kerajaan-kerajaan yang menentang ditundukkan dengan kekerasan senjata, seperti Wajo dan daerah-daerah lainnya yang masih menentang seperti Mandar, Cenrana, Binuang, Sawitto, mereka ditundukkan baik dengan tekanan militer maupun dengan diplomasi.
Kerajaan Wajo yang pada awalnya merupakan sekutu kerajaan Bone terikat dalam perjanjian Tellupoccoe, kemudian membelok dan bersekutu dengan Gowa. Hal ini membuat Arung Palakka dendam terhadap kerajaan Wajo. Arung Palakka mengetahui bahwa Wajo adalah sekutu Gowa yang paling setia. Dibuktikan dengan keikutsertaannya mengejar Arung Palakka dari pelariannya dari Gowa. Bahkan La Tenrilai secara tegas menentang Arung Palakka dengan mengatakan: “sepuluh ribu orang Wajo menyertai saya kemari, Karaeng Bila mati semua barulah Kerajaan Gowa mengaku kalah, dan itu Malampe-E Gemme’na (maksudnya Arung Palakka) akan kuakui sebagai laki-laki jika dapat mengalahkan saya dalam pertarungan satu lawan satu”.
Hal serupa juga diungkapkan oleh Patunru (1983) bahwa: “kalau Laskar saya yang sepuluh ribu orang banyaknya itu sudah habis semuanya tewas, barulah saya mau menyerah”. Sebaliknya Arung Palakka pernah berkata kepada Sultan Hasanuddin bahwa: “persolan di antara kita telah selesai, tetapi dengan itu, saudaraku dari Wajo (maksudnya La Tenrialai) saya masih harus membikin perhitungan”. Amarah Arung Palakka dan La Tenrilai masing-masing menyimpan dendam yang mendalam. Arung Palakka yang telah berhasil mengalahkan Kerajaan Gowa kemudian menyerang Wajo tahun 1670 dan berhasil menaklukkan, dan La Tenrilai gugur akibat ledakan meriamnya sendiri.
Keberhasilan Arung Palakka menundukkan Wajo dan kerajaan-kerajaan lainnya telah menambah legalitas Arung Palakka sebagai tokoh sentral di Sulawesi Selatan. Untuk menciptakan hidup berdampingan secara damai antara kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan, Arung Palakka menggunakan pendekatan perkawinan. Misalnya, mengawinkan kemanakannya, La Patau, dengan puteri Sultan Gowa Abdul Jalil dengan perjanjian putera pertama dari perkawinan itu harus akan menggantikan neneknya menjadi Raja Gowa.
Selain itu La Patau dikawinkan juga dengan Datu Luwu. Ini merupakan bahwa Arung Palakka berjuang untuk menciptakan perdamaian di Sulawesi Selatan dengan alternatif perkawinan antara puteri-puteri Luwu, Gowa dan Bone. Sukses yang mencapai dengan pendekatan perkawinan itu bukan hanya menciptakan hidup berdampingan secara damai antara Bone, Gowa dan Luwu, akan tetapi juga Wajo, Mandar, dan lain-nya. Bahkan mewujudkan perdamaian di Sulawesi Selatan sampai dengan jatuhnya Bone di tangan Belanda tahun 1905.
Seperti halnya Bone, hasil kerjasama tersebut juga sangat menguntungkan bagi Kerajaan Buton. Hal ini dapat kita lihat dari isi perjanjian Bungaya pasal 16 di mana Gowa harus melepaskan segala haknya atas Kerajaan Buton. Oleh karena itu sejak ditandatanganinya perjanjian Bungaya, Gowa tidak lagi mengadakan campur tangan atas Tiworo dan Muna, Kalingsusu dan Kepulauan Tukang Besi.
Buton yang selama ini menjadi musuh Gowa, begitupula Gowa adalah musuh Buton, dengan anggapan bahwa Buton adalah jajahan Gowa, sehingga di Buton sudah menjadikan irama naluri yang ditanam atas seluruh rakyat. Setelah Perjanjian Bungaya, hilanglah seluruh permusuhan. Kerajaan Buton telah mengadakan pendekatan dengan Kerajaan Gowa. Demikian pula hubungan bilateralnya dengan Bone, Ternate, maupun kerajaan-kerajaan lainnya ditingkatkan.
Buton telah menemukan kembali jati dirinya sebagai sebuah kerajaan yang merdeka dan berdaulat yang sejajar dengan kerajaan-kerajaan lainnya. Khusus dengan Kerajaan Bone, Buton mengadakan suatu perjanjian yang mengingat antara kedua kerajaan tersebut dalam suatu hubungan persahabatan yang disebut Sumanang dan Tawakara. Bahwa Kerajaan Bone memberikan Sumanang kepada Kerajaan Buton dan Kerajaan Buton memberikan Tawakara kepada Kerajaan Bone.(ref)
Sumber: Buku Sulawesi Selatan Tempo Doeloe: Mozaik Sejarah Lokal (2016).
Pengungsian Arung Palakka di Buton segera diikuti oleh orang-orang Bugis lainnya baik dari Bone maupun dari Soppeng. Dalam pengungsian itu terdapat beberapa orang bangsawan. Selain Arung Palakka sendiri yang menjadi pemimpin dari pengungsi itu, terdapat sembilan Arung Mattola dari Soppeng dan Bone, diantaranya yang terkenal adalah Arung Bila, Arung Appanang, Arung Pattojo, Arung Belo dan Arung Kaju.
Setelah Sultan Hasanuddin mendengar kabar bahwa Arung Palakka telah mengungsi ke Buton ia segera pula mengirimkan utusannya ke Buton untuk mencari informasi yang jelas apakah benar Arung Palakka berada di Buton. Setibanya utusan Sultan Hasanuddin di Buton, mereka segera menghubungi Sultan La Awu tentang perihal keberadaan Arung Palakka berada di Atas Tanah Buton.
Arung Palakka ketika itu disembunyikan dalam satu lubang rahasia di bawah tanah, maka ia dalam sejarah Buton dikenal dengan nama “La Toondu”. Sumber lain menyebutkan bahwa Arung Palakka di bawah mihrab Masjid Buton. Arung Palakka disembunyikan melalui pintu gerbang keraton yang dinamakan “Lawakepabumi” yang artinya pintu gerbang yang menyembunyikan.
Kerjasama antara Kerajaan Bone dengan Buton dalam abad XVII telah membawa akibat yang sangat luas, baik terhadap Bone maupun Buton. Setelah Perjanjian Bungaya (18 September 1667), disusul kemudian dikuasainya Benteng Sombaopu (24 Juni 1669) yang menandai kekalahan kerajaan Gowa. Hal ini telah membawa pengaruh yang besar bagi Kerajaan Bone yang bukan hanya mengantarnya mencapai kemerdekaan tetapi juga mengantar dapat memegang supremasi di Sulawesi Selatan.
Di bawah Arung Palakka, Kerajaan Bone berhasil mempersatukan seluruh kerajaan-kerajaan yang ada di Sulawesi Selatan, dengan menggunakan strategi militer, strategi diplomasi dan perkawinan atau kombinasi dari ketiganya. Untuk mengatur pemerintah daerah-daerah pendudukan di Sulawesi Selatan, menurut perjanjian Bungaya pasal 19 dan 20, Arung Palakka yang ditunjuk untuk mengkoordinirnya yang berkedudukan di Bontoala Ujung Pandang (1667-1696).
Kehadiran Arung Palakka ini tidak diterima baik oleh sebahagian kepala pemerintahan daerah-daerah pendudu-kan sebagai koordinator mereka. Kerajaan-kerajaan yang menentang ditundukkan dengan kekerasan senjata, seperti Wajo dan daerah-daerah lainnya yang masih menentang seperti Mandar, Cenrana, Binuang, Sawitto, mereka ditundukkan baik dengan tekanan militer maupun dengan diplomasi.
Kerajaan Wajo yang pada awalnya merupakan sekutu kerajaan Bone terikat dalam perjanjian Tellupoccoe, kemudian membelok dan bersekutu dengan Gowa. Hal ini membuat Arung Palakka dendam terhadap kerajaan Wajo. Arung Palakka mengetahui bahwa Wajo adalah sekutu Gowa yang paling setia. Dibuktikan dengan keikutsertaannya mengejar Arung Palakka dari pelariannya dari Gowa. Bahkan La Tenrilai secara tegas menentang Arung Palakka dengan mengatakan: “sepuluh ribu orang Wajo menyertai saya kemari, Karaeng Bila mati semua barulah Kerajaan Gowa mengaku kalah, dan itu Malampe-E Gemme’na (maksudnya Arung Palakka) akan kuakui sebagai laki-laki jika dapat mengalahkan saya dalam pertarungan satu lawan satu”.
Hal serupa juga diungkapkan oleh Patunru (1983) bahwa: “kalau Laskar saya yang sepuluh ribu orang banyaknya itu sudah habis semuanya tewas, barulah saya mau menyerah”. Sebaliknya Arung Palakka pernah berkata kepada Sultan Hasanuddin bahwa: “persolan di antara kita telah selesai, tetapi dengan itu, saudaraku dari Wajo (maksudnya La Tenrialai) saya masih harus membikin perhitungan”. Amarah Arung Palakka dan La Tenrilai masing-masing menyimpan dendam yang mendalam. Arung Palakka yang telah berhasil mengalahkan Kerajaan Gowa kemudian menyerang Wajo tahun 1670 dan berhasil menaklukkan, dan La Tenrilai gugur akibat ledakan meriamnya sendiri.
Keberhasilan Arung Palakka menundukkan Wajo dan kerajaan-kerajaan lainnya telah menambah legalitas Arung Palakka sebagai tokoh sentral di Sulawesi Selatan. Untuk menciptakan hidup berdampingan secara damai antara kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan, Arung Palakka menggunakan pendekatan perkawinan. Misalnya, mengawinkan kemanakannya, La Patau, dengan puteri Sultan Gowa Abdul Jalil dengan perjanjian putera pertama dari perkawinan itu harus akan menggantikan neneknya menjadi Raja Gowa.
Selain itu La Patau dikawinkan juga dengan Datu Luwu. Ini merupakan bahwa Arung Palakka berjuang untuk menciptakan perdamaian di Sulawesi Selatan dengan alternatif perkawinan antara puteri-puteri Luwu, Gowa dan Bone. Sukses yang mencapai dengan pendekatan perkawinan itu bukan hanya menciptakan hidup berdampingan secara damai antara Bone, Gowa dan Luwu, akan tetapi juga Wajo, Mandar, dan lain-nya. Bahkan mewujudkan perdamaian di Sulawesi Selatan sampai dengan jatuhnya Bone di tangan Belanda tahun 1905.
Seperti halnya Bone, hasil kerjasama tersebut juga sangat menguntungkan bagi Kerajaan Buton. Hal ini dapat kita lihat dari isi perjanjian Bungaya pasal 16 di mana Gowa harus melepaskan segala haknya atas Kerajaan Buton. Oleh karena itu sejak ditandatanganinya perjanjian Bungaya, Gowa tidak lagi mengadakan campur tangan atas Tiworo dan Muna, Kalingsusu dan Kepulauan Tukang Besi.
Buton yang selama ini menjadi musuh Gowa, begitupula Gowa adalah musuh Buton, dengan anggapan bahwa Buton adalah jajahan Gowa, sehingga di Buton sudah menjadikan irama naluri yang ditanam atas seluruh rakyat. Setelah Perjanjian Bungaya, hilanglah seluruh permusuhan. Kerajaan Buton telah mengadakan pendekatan dengan Kerajaan Gowa. Demikian pula hubungan bilateralnya dengan Bone, Ternate, maupun kerajaan-kerajaan lainnya ditingkatkan.
Buton telah menemukan kembali jati dirinya sebagai sebuah kerajaan yang merdeka dan berdaulat yang sejajar dengan kerajaan-kerajaan lainnya. Khusus dengan Kerajaan Bone, Buton mengadakan suatu perjanjian yang mengingat antara kedua kerajaan tersebut dalam suatu hubungan persahabatan yang disebut Sumanang dan Tawakara. Bahwa Kerajaan Bone memberikan Sumanang kepada Kerajaan Buton dan Kerajaan Buton memberikan Tawakara kepada Kerajaan Bone.(ref)
Sumber: Buku Sulawesi Selatan Tempo Doeloe: Mozaik Sejarah Lokal (2016).