Disadur dari buku Sulawesi Selatan Tempo Doeloe: Mozaik Sejarah Lokal (2016), menceritakan tentang ekspansi Kerajaan Gowa di masa lalu kepada Kerajaan Buton, tak bermula karena pelarian Arung Pallakka, malah jauh sebelum itu. Begini ceritanya;
Ekspansi Kerajaan Gowa tidak hanya ditujukan kepada kerajaan-kerajaan di sekitarnya dalam jazirah Sulawesi Selatan, juga meluas dan sampai ke wilayah timur Nusantara. Dalam hal ini, Kerajaan Buton tidak luput pula dari ekspansi politiknya, keadian ini terjadi di sekitar awal abad ke XVII.
Ditinjau dari kedudukan geografisnya, posisi Buton sangat penting dan strategis bagi pelayaran. Sebab terletak di persimpangan jalan rempah-rempah. Pedagang-pedagang dari Bagian Barat Nusantara yang hendak berlayar ke Kepulauan Maluku pasti singgah di Buton untuk menambah perbekalan seperti air, bahan bakar dan kebutuhan lainnya.
Sebaliknya, pedagang-pedagang dari timur yang hendak berlayar ke bagian barat Nusantara juga singgah di Buton. Apalagi wilayah Buton juga termasuk penghasil rempah-rempah, khususnya Pulau Wangi-wangi dan Pulau Keledupa. Tidak mengherankan jika kemudian Buton semakin ramai dalam aktivitas niaga. Hal itu membuat posisi Buton sebagai daerah perebutan kekuasaan oleh kerajaan-kerajaan di sekitarnya. Dari arah timur, Kerajaan Buton mendapat rongrongan dari kerajaan Ternate dan dari barat mendapat ancaman dari Kerajaan Gowa. Bahkan kekuatan asing sekalipun, seperti VOC turut dalam perebutan wilayah Buton.
Menurut sumber-sumber sejarah Kerajaan Buton bahwa sebelum kedatangan Arung Palakka di Buton, kerajaan Gowa telah beberapa kali melakukan serangan terhadap Buton. Serangan pertama terjadi pada tahun 1626 (Zahari, 1977). Buton pada waktu itu di bawah pemerintahan Sultan La Balawo (1617-1632), sedangkan Gowa di bawah pemerintahan Sultan Alauddin.
Ekspansi Kerajaan Gowa tidak hanya ditujukan kepada kerajaan-kerajaan di sekitarnya dalam jazirah Sulawesi Selatan, juga meluas dan sampai ke wilayah timur Nusantara. Dalam hal ini, Kerajaan Buton tidak luput pula dari ekspansi politiknya, keadian ini terjadi di sekitar awal abad ke XVII.
Ditinjau dari kedudukan geografisnya, posisi Buton sangat penting dan strategis bagi pelayaran. Sebab terletak di persimpangan jalan rempah-rempah. Pedagang-pedagang dari Bagian Barat Nusantara yang hendak berlayar ke Kepulauan Maluku pasti singgah di Buton untuk menambah perbekalan seperti air, bahan bakar dan kebutuhan lainnya.
Sebaliknya, pedagang-pedagang dari timur yang hendak berlayar ke bagian barat Nusantara juga singgah di Buton. Apalagi wilayah Buton juga termasuk penghasil rempah-rempah, khususnya Pulau Wangi-wangi dan Pulau Keledupa. Tidak mengherankan jika kemudian Buton semakin ramai dalam aktivitas niaga. Hal itu membuat posisi Buton sebagai daerah perebutan kekuasaan oleh kerajaan-kerajaan di sekitarnya. Dari arah timur, Kerajaan Buton mendapat rongrongan dari kerajaan Ternate dan dari barat mendapat ancaman dari Kerajaan Gowa. Bahkan kekuatan asing sekalipun, seperti VOC turut dalam perebutan wilayah Buton.
Menurut sumber-sumber sejarah Kerajaan Buton bahwa sebelum kedatangan Arung Palakka di Buton, kerajaan Gowa telah beberapa kali melakukan serangan terhadap Buton. Serangan pertama terjadi pada tahun 1626 (Zahari, 1977). Buton pada waktu itu di bawah pemerintahan Sultan La Balawo (1617-1632), sedangkan Gowa di bawah pemerintahan Sultan Alauddin.
Lambia, Menteri Baluwu meriwayatkan bahwa penyerangan Alauddin dapat ditangkis oleh Buton, kecuali barat Tiworo dijadikan sebagai daerah (vasal) dari Kerajaan Gowa dan pada sekitar tahun 1634 seorang putera bangsawan Kerajaan Bone bernama Daeng Pabila diasingkan karena kekalahan Kerajaan Bone dalam Perang Makassar.
Dalam perkembangan selanjutnya, tahun 1653 kembali Kerajaan Buton dan Kerajaan Gowa terlibat dalam peperangan di Kepulauan Maluku. Pada waktu itu Kerajaan Buton diperintah oleh Sultan Mardan Ali (1647-1654). Terlebih-lebih setelah Buton bekerjasama dengan VOC dan Ternate (Sultan Mandar Syah) menumpas pemberontakan di Sebelah Timur Pulau Buru, yaitu di Ambelau yang dikenal dengan pasukan Majira.
Dalam perkembangan selanjutnya, tahun 1653 kembali Kerajaan Buton dan Kerajaan Gowa terlibat dalam peperangan di Kepulauan Maluku. Pada waktu itu Kerajaan Buton diperintah oleh Sultan Mardan Ali (1647-1654). Terlebih-lebih setelah Buton bekerjasama dengan VOC dan Ternate (Sultan Mandar Syah) menumpas pemberontakan di Sebelah Timur Pulau Buru, yaitu di Ambelau yang dikenal dengan pasukan Majira.
Dalam pada itu pasukan Majira mendapat bantuan dari Kerajaan Gowa dimana pada tahun 1653 raja Gowa mengirim armadanya untuk membantu pasukan Majira tapi bantuan ini berhasil dicegat oleh armada de flamming.
Bantuan kedua menyusul pada tahun itu juga dengan 40 buah perahu yang berkekuatan 2000 orang. Dibawah pimpinan Daeng ri Bulekang dengan mengambil tempat pertahanan di Assahudi (Teluk Hoamoal). Pada tanggal 22-28 Desember 1653 kapal Leeuwarden dibawah komando de Ross dapat menghancurkan 10 di antara 40 buah perahu Gowa tersebut.
Bantuan kedua menyusul pada tahun itu juga dengan 40 buah perahu yang berkekuatan 2000 orang. Dibawah pimpinan Daeng ri Bulekang dengan mengambil tempat pertahanan di Assahudi (Teluk Hoamoal). Pada tanggal 22-28 Desember 1653 kapal Leeuwarden dibawah komando de Ross dapat menghancurkan 10 di antara 40 buah perahu Gowa tersebut.
Setahun kemudian Mardan Ali mengirim tentara bantuan ke Amboina (Ambon) yang kemudian dalam tahun itu juga dikirim oleh de Hamming ke Buton disertai dengan pemberian hadiah kepada Sultan Mardan Ali sebagai ucapan terima kasih atas bantuan yang diberikan.
Dalam pertempuran di perairan Maluku, Kerajaan Gowa berhasil dikalahkan oleh kerajaan Buton dan sekutu-sekutunya. Namun kekalahan yang dialami oleh Kerajaan Gowa tidak membuatnya berkecil hati, akan tetapi dijadikan titik tolak untuk kembali menyerang dan menghancurkan VOC yang semakin kuat menanamkan pengaruh kekuasaannya di Nusantara khususnya di bagian Timur.
Dalam pertempuran di perairan Maluku, Kerajaan Gowa berhasil dikalahkan oleh kerajaan Buton dan sekutu-sekutunya. Namun kekalahan yang dialami oleh Kerajaan Gowa tidak membuatnya berkecil hati, akan tetapi dijadikan titik tolak untuk kembali menyerang dan menghancurkan VOC yang semakin kuat menanamkan pengaruh kekuasaannya di Nusantara khususnya di bagian Timur.
Hal ini terbukti pada bulan Januari 1655 untuk ketiga kalinya kembali Kerajaan Gowa menyerang Kerajaan Buton dengan mengirim 40 buah perahu yang membawa pasukan-pasukan tangguh dan lengkap dengan persenjataan perangnya. Buton pada waktu itu di bawah pemerintahan Sultan La Awu (1654-1661).
Armada-aramada Kerajaan Gowa belum sempat menyerang pusat kerajaan Buton. Tiba pula armada VOC dibawah pimpinan de Flamming yang ketika itu baru saja menghancurkan Kerajaan Tiworo di sebelah utara Buton dalam perjalanan ke Maluku. Tidak lama setelah peristiwa di Tiworo, kerajaan Gowa kembali menyerang Buton. Kali ini pasukan Gowa dipimpin langsung oleh Sultan Hasanuddin. Berhubung saat itu pasukan kompeni dibawah de flamming telah berangkat ke Maluku, maka serangan Kerajaan Gowa kali ini tidak menemui banyak kesulitan.
Perlawanan Kerajaan Buton dapat dilumpuhkan dalam waktu yang singkat (kurang lebih dua bulan) dan dipaksa memusnahkan semua peralatan dan membakar semua bahan mesin. Sebagai pihak yang kalah perang, Kerajaan Buton diwajibkan membayar kerugian perang yang setiap tahunnya 870 tail yang setara dengan 13920 emas, di mana 1 emas nilainya = Rp.1.25,-. Itulah rangkaian penyerangan Kerajaan Gowa yang keempat kalinya dan berhasil menduduki Buton.
Kondisi inilah kemudian membangun kesamaan nasib dengan Kerajaan Bone, yang pada akhirnya Buton dan Bone membangun ikatan negara sebagai sekutu. (ref)
Baca selanjutnya : Bone dan Buton Bekerjasama
Armada-aramada Kerajaan Gowa belum sempat menyerang pusat kerajaan Buton. Tiba pula armada VOC dibawah pimpinan de Flamming yang ketika itu baru saja menghancurkan Kerajaan Tiworo di sebelah utara Buton dalam perjalanan ke Maluku. Tidak lama setelah peristiwa di Tiworo, kerajaan Gowa kembali menyerang Buton. Kali ini pasukan Gowa dipimpin langsung oleh Sultan Hasanuddin. Berhubung saat itu pasukan kompeni dibawah de flamming telah berangkat ke Maluku, maka serangan Kerajaan Gowa kali ini tidak menemui banyak kesulitan.
Perlawanan Kerajaan Buton dapat dilumpuhkan dalam waktu yang singkat (kurang lebih dua bulan) dan dipaksa memusnahkan semua peralatan dan membakar semua bahan mesin. Sebagai pihak yang kalah perang, Kerajaan Buton diwajibkan membayar kerugian perang yang setiap tahunnya 870 tail yang setara dengan 13920 emas, di mana 1 emas nilainya = Rp.1.25,-. Itulah rangkaian penyerangan Kerajaan Gowa yang keempat kalinya dan berhasil menduduki Buton.
Kondisi inilah kemudian membangun kesamaan nasib dengan Kerajaan Bone, yang pada akhirnya Buton dan Bone membangun ikatan negara sebagai sekutu. (ref)
Baca selanjutnya : Bone dan Buton Bekerjasama