BUTONMAGZ--Gubernur Sulawesi Tenggara, H. Ali Mazi, SH menjadi salah satu dari 8 Gubernur di Indonesia yang menerima penghargaan Golden Award SIWO-PWI 2019 di pentas malam ramah tamah Hari Pers Nasional (HPN) Jumat semalam-8 Februari 2019 yang dipusatkan di Gedung Grahadi – Surabaya, Jawa Timur.
Penghargaan Ali Mazi diserahkan langsung Ketua Komite Olahraga Indonesia (KOI) Pusat – Erick Tohir disaksikan pejabat pusat dan daerah beserta ratusan kalangan jurnalis yang menghadiri acara tersebut. Ali Mazi dinobatkan pada kategori ‘pembina olah raga daerah terbaik’ tahun 2019 – bersama Gubernur Sumatra Utara, Gubernur Kepulauan Riau, Gubernur Sumatera Selatan, Gubernur Papua, Gubernur Jawa Timur, Gubernur Kalimantan Utara, dan Gubernur Kalimantan Selatan.
Tak hanya 8 gubernur tersebut, sejumlah Menteri Negara juga diberikan penghargaan serupa, bersama atlet terbaik, atlet disabilitas terbaik, pembina atlet, pembina atlet disabilitas, serta media massa terbaik. Salah satu nama besar yang disebut menerima penghargaan adalah Lalu Zuhri, juara dunia U-20 dari cabang atletik, dan pebulu tangkis Markus Gideon-Kevin Sanjaya. Bahkan nama Prabowo Subianto juga menerima award tersebut, karena sumbangsihnya di cabang olah raga Pencak Silat.
Dari Sultra, tak hanya Ali Mazi, Wakil Gubernur Sulawesi Tenggara Dr. H. Lukman Abunawas, SH., M.Si juga menerima award serupa, tetapi dalam kategori berbeda, yakni salah satu KONI terbaik di Indonesia. Berbeda dengan Ali Mazi, penghargaan untuk Lukman diserahkan langsung Ketua Umum PWI Pusat, Atal Sembiring Depari.
Di acara ini, seumlah pejabat asal Sultra tampak ikut mendampingi Gubernur dan Wakil Gubernur diantaranya Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika Prov.Sultra, Drs. H. Kusnadi dan Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika Kota Baubau, H. Idrus Tufiq Saidi, S.Kom., M.Si – juga Ketua PWI Sultra – Sartono, S.Sos beserta segenap anggota PWI di Sultra.
Sebelum penyerahan penghargaan, diawali dengan ucapan selamat datang dari Gubernur Jawa Timur – Dr. H. Soekarwo, selanjutnya digelar ceramah kebangsaan oleh Emha Ainun Nadjib (Cak Nun). Pandangan mata Butonmagz di acara ini, acara sempat diwarnai suara ‘ribut-ribut’ oleh sejumlah oknum jurnalis yang membuat Cak Nun langsung menghentikan ceramahnya.
Pagi ini, 9 Februari 2019 puncak peringatan Hari Pers Nasional di pusatkan di Grand City Hotel dan rencananya dihadiri langsung Presiden RI, Ir. H. Joko Widodo. (ref)
Tentang Seksi Wartawan Olahraga (SIWO) PWI
Awal era Orde Baru, 1966, pers Indonesia, masih didominasi oleh media cetak dan radio (RRI). Televisi satu-satunya, barulah TVRI, itupun masih hitam putih. Jangkauan siarannyapun belum menjamah seluruh tanah air. Rubrik olahraga di media massa, masih merupakan rubrik tambahan yang kolomnya terbatas. Bahkan kadang tergusur oleh iklan atau berita lainnya.
Saat itu, masyarakat olahraga Indonesia tengah berbenah diri. Munculnya rasa tidak puas induk-induk organisasi olahraga terhadap pemerintah yang dinilai terlalu “menguasai” Dewan Olahraga Republik Indonesia (DORI), membuka wacana perlunya wadah independen yang memahami tuntutan murni olahraga.
Dalam situasi seperti inilah sejumlah wartawan ibukota yang biasa meliput dan menyenangi olahraga melakukan diskusi dengan melibatkan tokoh-tokoh olahraga. Dalam kesempatan bertukar pikiran ini menghasilkan usulan tentang upaya-upaya membangun masa depan olahraga. Salah satu usulan yang muncul adalah cikal bakal bentuk organisasi olahraga di tanah air.
Rasa kebersamaan kepentingan profesi di kalangan peliput olahraga, menumbuhkan pemikiran untuk menggalang organisasi yang diharapkan dapat menjembatani kepentingan liputan bagi wartawan, sekaligus untuk membantu induk organisasi olahraga mengembangkan pembinaaan prestasi yang menjadi tugas pokok mereka.
Wartawan-wartawan senior yang intens melibatkan diri, diantaranya Sondang Meliala (Berita Buana), Max Karundeng (Sinar Harapan), Edy Sihombing (RRI), Boy Sohibi (AB), serta wartawan-wartawan yunior, seperti Ardi Syarif (KAMI), Zuchry Husein (PAB), Rahian Usman (Antara), dan Nurdin Tambunan (Antara).
Kebutuhan wadah organisasi profesi ini, bukan saja untuk kepentingan tugas jurnalistik, tapi mencakup hal yang lebih luas lagi, yaitu punya peran lebih dalam pembinaan olahraga di tanah air. Bukan sekadar menjadi peliput belaka.
Atas dasar itu, pada suatu petang di bulan Oktober 1966, atas inisiatif bersama bertemu sekitar sebelas teman-teman wartawan yang biasa meliput olahraga di Sekretariat PWI Jaya di Jalan Merdeka Selatan No. 11, Jakarta. Dari pertemuan itu, dicetuskan sikap bersama bahwa para wartawan peliput olahraga, membentuk wadah dan dinamakan Seksi Wartawan Olahraga - PWI Jaya (SIWO PWI Jaya), yang menjadi satu-satunya seksi kegiatan profesi dalam tubuh PWI Jaya saat itu.
Dalam pertemuan itu ditetapkan susunan pengurus SIWO PWI Jaya, dengan susunan, Ketua: Sondang Meliala, Wakil Ketua: Max Karundeng, Sekretaris: Boy Sohibi. Langkah ini disepakati oleh pengurus PWI Jaya, karena memahami perlunya wartawan olahraga terlibat lebih intens dengan dunia lahraga.
Kelahiran SIWO kemudian mendorong rekan-rekan wartawan dari berbagai kegiatan profesi lain membentuk seksi profesi lainnya, seperti Seksi Foto dan Seksi Film.
Terbentuknya KONI
Berawal dari dialog, diskusi dengan tokoh-tokoh olahraga, seperti Brigjen Jono Sewoyo, Fery Soneville dan lain-lain, tercetuslah pemikiran untuk membentuk satu wadah keolahragaan nasional dari dan untuk masyarakat olahraga tanpa campur tangan pemerintah.
Pada Desember 1966, gagasan untuk membentuk organisasi keolahragaan nasional yang sejalan dengan prinsip yang digariskan International Olympic Committee (IOC) yaitu bebas dari pengaturan pemerintah semakin keras disuarakan oleh pimpinan induk organisasi yang tergabung dalam Sekretariat Bersama (Sekber).
Puncak dari lobi intensif Sekber, disepakatilah suatu pertemuan yang dinamakan Musyawarah Nasional Olahraga (Munasor), yang dilaksanakan pada tanggal 31 Desember 1966.
Wartawan olahraga Jakarta, yang sudah membentuk SIWO PWI Jaya, sejak awal sangat terlibat dalam menggelindingkan Munasor. Kedudukan SIWO PWI Jaya, yang berada dipusat kegiatan nasional, sejajar dengan organisasi keolahragaan lainnya. Di sinilah keunikan wartawan olahraga Jakarta, apalagi ketika itu media nasional memang konotasinya hanyalah media yang terbit di ibukota, dan daerah belum berkembang seperti saat ini.
Melalui Munasor, yang sejak 1971 berubah menjadi Musyawarah Olahraga Nasional (Musornas), dimana SIWO ikut berperan di dalamnya, terbentuklah Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI). KONI merupakan organisasi nasional non government di bidang olahraga yang menjadi mitra bagi pemerintah dalam kebijakan pembangunan prestasi olahraga bangsa.
Melalui musyawarah olahraga ini, masyarakat olahraga berupaya untuk mengembalikan “fitrah” gerakan olahraga di Indonesia sejalan dengan cita-cita gerakan Olimpiade yang dibangun dari dasar pemikiran Bapak Olimpiade, Baron de Cubertain, bangsawan Prancis yang bercita-cita menjadikan olahraga kegiatan yang mensetarakan segenap bangsa-bangsa di dunia.
SIWO PWI Pusat
Pekan Olahraga Nasional (PON) V, yang seyogianya berlangsung di kota Bandung pada 1965, terpaksa dibatalkan karena terjadinya pergolakan politik ditanah air dengan peristiwa G.30.S./PKI. Padahal sebagian peserta dalam perjalanan menuju Kota Kembang.
Begitu situasi tanah air pulih, pada 1967, dipikirkanlah kembali untuk menggelar PON yang sempat tertunda. Semua pihak, baik masyarakat olahraga maupun pemerintah, apalagi bagi KONI yang baru terbentuk-pelaksanaan PON sangat dirasakan kebutuhannya. Sebagaimana PON I 1948, maka PON VII sangat strategis menjadi alat pemersatu bangsa yang baru saja terkoyak oleh gejolak politik.
Pilihan kota penyelenggara jatuh pada Surabaya. Seorang tokoh energik yang saat itu menjabat Komandan Korem Baskara Jaya, Kolonel Acub Zaenal - tampil kedepan meyakinkan kemampuan Surabaya/Jawa Timur sebagai kota penyelenggara PON VII - 1969.
Pada masa persiapan ini, peran SIWO PWI Jaya tidak kecil. Sejak ditunjuk sebagai penanggung jawab penyelenggaraan PON VII, Acub Zainal, selalu mengundang wartawan-wartawan olahraga dari Jakarta (ketika itu media nasional masih didominasi penerbitan Jakarta), guna melihat dari dekat jalanya persiapan, melakukan dialog dan tidak jarang kritikan-kritikan atas proses yang tengah berjalan, demi suksesnya penyelenggaraan.
Merasa punya keterkaitan erat untuk suksesnya persiapan pelaksanaan multi event nasional pertama pada awal Orde Baru itu, Acub, melalui SIWO PWI Jaya, mengundang dua orang wartawan dari setiap daerah peserta sebagai tamu PB PON VII, termasuk seluruh anggota SIWO PWI Jaya.
Memanfaatkan fasilitas yang diberikan oleh PB PON VII, wartawan peliput PON VII dari berbagai daerah yang hadir di Surabaya, dengan dimotori SIWO PWI Jaya dan SIWO PWI Surabaya, mengadakan musyawarah untuk membentuk wadah nasional. Dan lahirlah SIWO PWI Pusat yang bersifat nasional. Kepada cabang-cabang PWI (kecuali DKI) diminta membentuk SIWO di daerah masing-masing.
Perkembangan SIWO PWI yang menduduki fungsi strategis karena perannya dalam kehidupan keolahragaan nasional sebagai mitra induk-induk organisasi, rupanya menarik perhatian Menteri Penerangan Marsekal Budiharjo, yang tak ingin melihat wartawan olahraga terlihat dalam ‘perpecahan’ pengurus PWI, antara kubu Rosihan dan kubu B.M. Diah, pasca Kongres PWI di Palembang.
Menpen memanggil pengurus PWI, di ruang kerja Menteri di Jalan Merdeka Barat, dan para pengurus mendapat wejangan dalam suasana yang akrab. Pesan utamanya, “Sebagai wartawan olahraga, para anggota SIWO dan organisasinya jangan ikut-ikutan berpihak pada salah satu kubu”. Pesan Pak Bud ini, setidaknya untuk konsumsi publik, jangan sampai SIWO latah untuk ikut mendukung pada salah satunya.
Sesungguhnya, Pak Bud paham, teman-teman SIWO ini markasnya di Merdeka Selatan, kantornya PWI Jaya yang merupakan pendukung kuat kubu Rosihan Anwar.
"Kami memang sepakat, SIWO tidak perlu turut latah mengeluarkan pernyataan, karena SIWO tak ingin aroma benturan terimbas pula pada kehidupan olahraga, Untunglah, perseteruan antara dua kubu PWI itu, segera teratasi pada kongres PWI di Pandaan - Jawa Timur, yang menampilkan Harmoko sebagai ketua umum."
Sampai dengan terbentuknya SIWO sebagai organisasi dan kemudian ikut andil sebagai pelaku dan saksi dari kelahiran organisasi keolahragaan nasional, KONI - Desember 1966, wartawan olahraga ketika itu masih punya kemampuan terbatas akan seluk beluk “dunia” olahraga yang menjadi bidang liputannya.
Untuk meningkatkan wawasan dan pengetahuan tentang dasar dan istilah dalam olahraga, pengurus SIWO melakukan kerjasama dengan Dirjen Olahraga Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, yang saat itu dipimpin olah Brigjen Sukamto Sayidiman. Sukamto sangat mendukung upaya peningkatan pengetahuan wartawan olahraga. Ditjen Olahraga memfasilitasi adanya penataran, dengan menyediakan board & loging, sementara KONI dan Induk Organisasi menyediakan tenaga pengajar sesuai cabang olahraganya.
Pada Februari 1967, selama dua pekan, diadakan Penataran Nasional Wartawan Olahraga yang diikuti sekitar empat puluh wartawan olahraga dari semua koran ibukota, ditambah utusan dari Medan, Pekan Baru, Jambi, Padang, Palembang, Bandung, Yogyakarta, Semarang, Surabaya, Denpasar, Makassar, dan Banjarmasin. Adapun cabang olahraga yang dilibatkan ketika itu adalah sepakbola, bola voli, bola basket, tenis lapangan, golf, pencak silat, judo. Kemudian pada 1968, penataran nasional ke-2 diselenggarakan lagi dengan peserta yang lebih banyak dari sebelumnya.
Langkah-langkah SIWO PWI Jaya berhasil menempatkan diri dalam kegiatan olahraga nasional membuat rubrik olahraga semakin mendapat kolom di media cetak, baik di tingkat pusat maupun daerah. Bahkan, kemudian, rubrik olahraga merupakan salah satu rubrik yang menjadi andalan bagi koran-koran terkemuka.
Keberhasilan SIWO PWI, mengilhami seksi-seksi lainnya dalam kepengurusan PWI Pusat, misalnya seksi film, foto dan ekonomi. Kiprah SIWO PWI Jaya, secara khusus mendapat perhatian kongres PWI tahun 1968 di Banjarmasin. Dengan mengakui keberadaan SIWO Jaya dan merekomendasikan pada PWI cabang lainnya, jika ingin adanya SIWO setempat.
Di tiap-tiap daerah, SIWO-SIWO daerah menjadi anggota koni daerah. Keberadaan mereka diterima dalam kehidupan olahraga, bukan saja sebagai peliput kegiaran, tetapi perannya menjadi mitra yang duduk sama rendah berdiri sama tinggi dengan komponen masyarakat olahraga lainnya. Pengurus-pengurus SIWO di berbagai daerah, duduk dalam kepengurusan KONI daerah, sebanyak yang duduk dalam kepengurusan cabang olahraga.
Perkembangan ini, menjadi salah satu topik bahasan pada Konperensi Kerja (Konker) PWI di Kinilow - Sulut pada 1969. Sondang Meliala yang terpilih sebagai Ketua SIWO Pusat dan menjadi utusan di Konker PWI ini, menjelaskan perkembangan yang terjadi. Konker PWI kemudian menetapkan status otonomi pada SIWO, dan dapat beraktifitas sesuai dengan tuntutan kegiatan olahraga nasional dan internasional.
Dengan status otonomi itu, SIWO, baik pusat maupun daerah semakin dapat mengembangkan aktifitasnya sebagai bagian dari masyarakat olahraga Indonesia.
Sejak mendapat status otonomi. Siwo PWI telah beberapa kali, menyelenggarakan Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) untuk memilih kepengurusan Siwo PWI Pusat periode 1969-1973, 1973-1977, dan 1977-1981. Mukernas selalu diadakan bersamaan dengan berlangsungnya PON di Jakarta, sebab pada kesempatan itu sejumlah wartawan olahraga dari berbagai media dan daerah berkumpul meliput pertandingan PON.
Karena keadaan sekaligus keinginan turut berkembang secara bersama, pada Kongres PWI di Padang tahun 1978 diputuskan status Siwo PWI di dalam struktur organisasi PWI Pusat diubah menjadi sebuah departemen yang disebut Departemen Wartawan Olahraga. Sedangkan di tingkat daerah atau cabang tetap dengan nama Siwo PWI.
Sejak menjadi departemen, dalam menyelenggarakan setiap kegiatannya, Ketua Departemen selalu dibantu oleh wartawan olahraga senior atau anggota Siwo PWI Jaya. Dan, dalam perjalanannya, Siwo PWI telah banyak mengadakan kegiatan olahraga melalui kerjasama yang baik dengan organisasi olahraga nasional.
Kerjasama tersebut antara lain perebutan Piala Siwo dengan Pengurus Besar Gabungan Bridge Seluruh Indonesia (Gabsi) pertama kali pada 1976 di Jakarta. Kemudian kerjasama Siwo Cabang Lampung dengan PB Pertina dalam melahirkan kejuaraan tinju “Sarung Tinju Emas” (STE). Kejuaraan tinju yang idenya menduplikasi Golden Gloves di Amerika ini pertama kali diselenggarakan di Ambon.
Selain menggelar berbagai event olahraga Siwo juga berusaha menumbuhkan motivasi para pelaku olahraga dengan mengadakan acara pemilihan Atlet Putra dan Putri Terbaik, juga Pelatih, Pembina, dan Penunjang secara nasional.
Pada 1983, acara pemilihan olahraga terbaik yang diselenggarakan oleh Siwo PWI Jaya itu malah dikemas lebih profesional. Namanya diubah menjadi Anugerah Olahraga dan sistem maupun kriteria pemilihannya disempurnakan sehingga acara ini menjadi komersial.
Gagasan menjadikan Anugerah Olahraga lebih bergengsi lahir dari kejenuhan Pengurus Siwo PWI Jaya, pada saat itu dipimpin oleh Atal S. Depari, mengisi kas organisasi dengan cara membentangkan tangan kepada simpatisan.
Ternyata, Anugerah Olahraga mampu menjadi sajian yang menarik secara komersial bagi stasiun televisi RCTI dan ANTV. Kedua stasiun televisi ini menayangkan Anugerah Olahraga dengan membayar fee kepada Siwo PWI Jaya. Organisasi hidup sehat tanpa mengulurkan tangan ke kiri dan ke kanan.
Salah satu catatan emas, kelahiran Liga Sepakbola Utama (Galatama) PSSI, kini liga Djarum, tidak lepas dari peran SIWO PWI Pusat. Pernah menyelenggarakan dua kali seminar sepakbola bertempat di Press Club Jakarta, yang melibatkan tokoh-tokoh sepakbola, pengurus PSSI, bahkan ketua LIPI waktu itu (Dr. Bachtiar Rivai) turut menyumbang pikiran. Dari seminar dua kali ini, kemudian lahirlah apa yang dikenal dengan nama Galatama, sebagai rumusan yang dikemas oleh Yusuf Kadir dan Suparyo Poncowinoto.
Anggota AIPS dan ASPU
Setelah orde baru mengambil alih kekuasaan pemerintahan dari orde lama, pemuka olahraga yang dipimpin Sri Sultan Hamengkubuwono IX, serta didukung Pemerintah, Indonesia kembali memulihkan keanggotaannya di dunia olahraga IOC, dan federasi-federasi olahraga internasional, wartawan olahraga Indonesia yang telah memiliki wadah organisasi (walau baru setingkat DKI Jaya), melihat perlunya keterlibatan jurnalistik olahraga Indonesia pada level internasional.
Dukungan penuh KONI Pusat, dan Dirjen Olahraga, membuat Siwo Jaya bersemangat untuk bergabung sebagai anggota Association International de La Press Sportive (AIPS). Atas dasar itu, SIWO Jaya mengirimkan Ketua SIWO Jaya, Sondang Meliala untuk menghadiri Kongres AIPS di kota Florence, Italia, 1967. Saat itu Sondang didampingi, AA Pesik, seorang pejabat Departemen Luar Negeri yang diperbantukan pada Ditjen Olahraga, dengan status awal sebagai peninjau.
Baru pada Kongres AIPS 1968 di Bukarest, Rumania, SIWO diterima menjadi anggota AIPS, organisasi wartawan olahraga internasional yang juga berafiliasi ke IOC. Sejak itu, SIWO tidak pernah absen dari aktivitas AIPS.
Keanggotaan wartawan pada AIPS, bersifat individu, karena setiap wartawan olahraga yang diajukan keanggotaannya oleh organisasi negara masing-masing, akan mendapatkan kartu anggota tahunan setelah membayar iuran. Banyak kemudahan yang didapat jika seorang wartawan memiliki kartu AIPS, apabila yang bersangkutan meliput event atau multi event internasional.
Pada Desember 1978, bertepatan dengan berlangsungnya Asian Games Bangkok, wartawan-wartawan olahraga Asia menyelenggarakan pertemuan untuk membentuk organisasi wartawan olahraga Asia. Pertemuan yang diprakarsasai oleh Mikawa, ketua AIPS untuk Asia, dihadiri oleh utusan-utusan negara-negara peserta Asian Games, berlangsung sehari penuh di hotel Hyatt.
Pertemuan menghasilkan berdirinya Asian Sport Journalis Union (ASJU), yang kemudian berubah menjadi Asian Sport Press Union (ASPU) sampai sekarang.
Dalam pembentukan ASJU, Indonesia yang diwakili oleh Zuchry Husein, terpilih sebagai anggota EXCO, yang kemudian pada periode 1978-1982, Ketua Departemen Wartawan Olahraga PWI Pusat, Sondang Meliala, terpilih sebagai salah satu Komite Eksekutif ASPU.
Periode 1986-1990 Suharmono Tjitrosoewarno terpilih sebagai Komite Eksekutif, dan untuk periode 1990- 1994 Sondang Meliala terpilih sebagai salah satu Wakil Presiden ASPU.
Pada Kongres AIPS 1993 di Istambul, Indonesia diminta untuk mengisi majalah AIPS dan ditunjuk Suharmono Tjitrosoewamo sebagai koresponden majalah dimaksud.
Dalam upaya meningkatkan kerjasama wartawan olahraga Asia, SIWO berhasil menyelenggarakan dua pertemuan (seminar) wartawan olahraga Asia di Jakarta, yaitu pada 1973 dan 1977, bertepatan dengan penyelenggaraan PON di Jakarta. Pada dua seminar tersebut, tokoh-tokoh AIPS hadir seperti Bobby Naidoo (Sekjen/Inggris), Steve Malonga, (Ketua AIPS utusan Afrika), dan Togay Bayalti (Turki).
Anugerah Olahraga
Wartawan olahraga punya cara sendiri untuk menjadikan dirinya sebagai bagian dari pembinaan prestasi anak bangsa.
Terbentuknya Siwo sejak semula, tidak lepas dari obsesi wartawan sendiri, menjadikan keberadaannya tidak saja sebagai penyampai kabar atas apa yang terjadi di arena lapangan ataupun dari markas induk organisasi, mereka juga berupaya bagaimana pers berperan untuk mendorong kemajuan, memotivasi semangat atlet atau pembina olahraga.
Terdorong oleh semangat yang demikian itulah, rapat pengurus Siwo Pusat, mencetuskan perlunya diselenggarakan pemilihan olahragawan terbaik setiap tahun.
Sesuai jamannya, pemilihan pertama pada 1971 dilakukan sendiri oleh pengurus Siwo Pusat, memilih atlet terbaik berdasarkan prestasi terbaiknya sepanjang tahun 1970.
Tidak pelak, cabang olahraga bulutangkis dengan prestasinya yang dominan di pentas dunia adalah cabang olahraga yang hampir setiap tahun tampil di pentas terbaik dari era 70 sampai dengan 80-an. Rudy Hartono, maestro bulutangkis yang sejak tampil perdana pada Thomas Cup 1967 di Istora Senayan, kemudian berturut-turut merajai arena All England di Wembley, mendominasi pilihan terbaik Siwo - empat kali berturut-turut.
Di acara ini, seumlah pejabat asal Sultra tampak ikut mendampingi Gubernur dan Wakil Gubernur diantaranya Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika Prov.Sultra, Drs. H. Kusnadi dan Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika Kota Baubau, H. Idrus Tufiq Saidi, S.Kom., M.Si – juga Ketua PWI Sultra – Sartono, S.Sos beserta segenap anggota PWI di Sultra.
Sebelum penyerahan penghargaan, diawali dengan ucapan selamat datang dari Gubernur Jawa Timur – Dr. H. Soekarwo, selanjutnya digelar ceramah kebangsaan oleh Emha Ainun Nadjib (Cak Nun). Pandangan mata Butonmagz di acara ini, acara sempat diwarnai suara ‘ribut-ribut’ oleh sejumlah oknum jurnalis yang membuat Cak Nun langsung menghentikan ceramahnya.
Pagi ini, 9 Februari 2019 puncak peringatan Hari Pers Nasional di pusatkan di Grand City Hotel dan rencananya dihadiri langsung Presiden RI, Ir. H. Joko Widodo. (ref)
Tentang Seksi Wartawan Olahraga (SIWO) PWI
Awal era Orde Baru, 1966, pers Indonesia, masih didominasi oleh media cetak dan radio (RRI). Televisi satu-satunya, barulah TVRI, itupun masih hitam putih. Jangkauan siarannyapun belum menjamah seluruh tanah air. Rubrik olahraga di media massa, masih merupakan rubrik tambahan yang kolomnya terbatas. Bahkan kadang tergusur oleh iklan atau berita lainnya.
Saat itu, masyarakat olahraga Indonesia tengah berbenah diri. Munculnya rasa tidak puas induk-induk organisasi olahraga terhadap pemerintah yang dinilai terlalu “menguasai” Dewan Olahraga Republik Indonesia (DORI), membuka wacana perlunya wadah independen yang memahami tuntutan murni olahraga.
Dalam situasi seperti inilah sejumlah wartawan ibukota yang biasa meliput dan menyenangi olahraga melakukan diskusi dengan melibatkan tokoh-tokoh olahraga. Dalam kesempatan bertukar pikiran ini menghasilkan usulan tentang upaya-upaya membangun masa depan olahraga. Salah satu usulan yang muncul adalah cikal bakal bentuk organisasi olahraga di tanah air.
Rasa kebersamaan kepentingan profesi di kalangan peliput olahraga, menumbuhkan pemikiran untuk menggalang organisasi yang diharapkan dapat menjembatani kepentingan liputan bagi wartawan, sekaligus untuk membantu induk organisasi olahraga mengembangkan pembinaaan prestasi yang menjadi tugas pokok mereka.
Wartawan-wartawan senior yang intens melibatkan diri, diantaranya Sondang Meliala (Berita Buana), Max Karundeng (Sinar Harapan), Edy Sihombing (RRI), Boy Sohibi (AB), serta wartawan-wartawan yunior, seperti Ardi Syarif (KAMI), Zuchry Husein (PAB), Rahian Usman (Antara), dan Nurdin Tambunan (Antara).
Kebutuhan wadah organisasi profesi ini, bukan saja untuk kepentingan tugas jurnalistik, tapi mencakup hal yang lebih luas lagi, yaitu punya peran lebih dalam pembinaan olahraga di tanah air. Bukan sekadar menjadi peliput belaka.
Atas dasar itu, pada suatu petang di bulan Oktober 1966, atas inisiatif bersama bertemu sekitar sebelas teman-teman wartawan yang biasa meliput olahraga di Sekretariat PWI Jaya di Jalan Merdeka Selatan No. 11, Jakarta. Dari pertemuan itu, dicetuskan sikap bersama bahwa para wartawan peliput olahraga, membentuk wadah dan dinamakan Seksi Wartawan Olahraga - PWI Jaya (SIWO PWI Jaya), yang menjadi satu-satunya seksi kegiatan profesi dalam tubuh PWI Jaya saat itu.
Dalam pertemuan itu ditetapkan susunan pengurus SIWO PWI Jaya, dengan susunan, Ketua: Sondang Meliala, Wakil Ketua: Max Karundeng, Sekretaris: Boy Sohibi. Langkah ini disepakati oleh pengurus PWI Jaya, karena memahami perlunya wartawan olahraga terlibat lebih intens dengan dunia lahraga.
Kelahiran SIWO kemudian mendorong rekan-rekan wartawan dari berbagai kegiatan profesi lain membentuk seksi profesi lainnya, seperti Seksi Foto dan Seksi Film.
Terbentuknya KONI
Berawal dari dialog, diskusi dengan tokoh-tokoh olahraga, seperti Brigjen Jono Sewoyo, Fery Soneville dan lain-lain, tercetuslah pemikiran untuk membentuk satu wadah keolahragaan nasional dari dan untuk masyarakat olahraga tanpa campur tangan pemerintah.
Pada Desember 1966, gagasan untuk membentuk organisasi keolahragaan nasional yang sejalan dengan prinsip yang digariskan International Olympic Committee (IOC) yaitu bebas dari pengaturan pemerintah semakin keras disuarakan oleh pimpinan induk organisasi yang tergabung dalam Sekretariat Bersama (Sekber).
Puncak dari lobi intensif Sekber, disepakatilah suatu pertemuan yang dinamakan Musyawarah Nasional Olahraga (Munasor), yang dilaksanakan pada tanggal 31 Desember 1966.
Wartawan olahraga Jakarta, yang sudah membentuk SIWO PWI Jaya, sejak awal sangat terlibat dalam menggelindingkan Munasor. Kedudukan SIWO PWI Jaya, yang berada dipusat kegiatan nasional, sejajar dengan organisasi keolahragaan lainnya. Di sinilah keunikan wartawan olahraga Jakarta, apalagi ketika itu media nasional memang konotasinya hanyalah media yang terbit di ibukota, dan daerah belum berkembang seperti saat ini.
Melalui Munasor, yang sejak 1971 berubah menjadi Musyawarah Olahraga Nasional (Musornas), dimana SIWO ikut berperan di dalamnya, terbentuklah Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI). KONI merupakan organisasi nasional non government di bidang olahraga yang menjadi mitra bagi pemerintah dalam kebijakan pembangunan prestasi olahraga bangsa.
Melalui musyawarah olahraga ini, masyarakat olahraga berupaya untuk mengembalikan “fitrah” gerakan olahraga di Indonesia sejalan dengan cita-cita gerakan Olimpiade yang dibangun dari dasar pemikiran Bapak Olimpiade, Baron de Cubertain, bangsawan Prancis yang bercita-cita menjadikan olahraga kegiatan yang mensetarakan segenap bangsa-bangsa di dunia.
SIWO PWI Pusat
Pekan Olahraga Nasional (PON) V, yang seyogianya berlangsung di kota Bandung pada 1965, terpaksa dibatalkan karena terjadinya pergolakan politik ditanah air dengan peristiwa G.30.S./PKI. Padahal sebagian peserta dalam perjalanan menuju Kota Kembang.
Begitu situasi tanah air pulih, pada 1967, dipikirkanlah kembali untuk menggelar PON yang sempat tertunda. Semua pihak, baik masyarakat olahraga maupun pemerintah, apalagi bagi KONI yang baru terbentuk-pelaksanaan PON sangat dirasakan kebutuhannya. Sebagaimana PON I 1948, maka PON VII sangat strategis menjadi alat pemersatu bangsa yang baru saja terkoyak oleh gejolak politik.
Pilihan kota penyelenggara jatuh pada Surabaya. Seorang tokoh energik yang saat itu menjabat Komandan Korem Baskara Jaya, Kolonel Acub Zaenal - tampil kedepan meyakinkan kemampuan Surabaya/Jawa Timur sebagai kota penyelenggara PON VII - 1969.
Pada masa persiapan ini, peran SIWO PWI Jaya tidak kecil. Sejak ditunjuk sebagai penanggung jawab penyelenggaraan PON VII, Acub Zainal, selalu mengundang wartawan-wartawan olahraga dari Jakarta (ketika itu media nasional masih didominasi penerbitan Jakarta), guna melihat dari dekat jalanya persiapan, melakukan dialog dan tidak jarang kritikan-kritikan atas proses yang tengah berjalan, demi suksesnya penyelenggaraan.
Merasa punya keterkaitan erat untuk suksesnya persiapan pelaksanaan multi event nasional pertama pada awal Orde Baru itu, Acub, melalui SIWO PWI Jaya, mengundang dua orang wartawan dari setiap daerah peserta sebagai tamu PB PON VII, termasuk seluruh anggota SIWO PWI Jaya.
Memanfaatkan fasilitas yang diberikan oleh PB PON VII, wartawan peliput PON VII dari berbagai daerah yang hadir di Surabaya, dengan dimotori SIWO PWI Jaya dan SIWO PWI Surabaya, mengadakan musyawarah untuk membentuk wadah nasional. Dan lahirlah SIWO PWI Pusat yang bersifat nasional. Kepada cabang-cabang PWI (kecuali DKI) diminta membentuk SIWO di daerah masing-masing.
Perkembangan SIWO PWI yang menduduki fungsi strategis karena perannya dalam kehidupan keolahragaan nasional sebagai mitra induk-induk organisasi, rupanya menarik perhatian Menteri Penerangan Marsekal Budiharjo, yang tak ingin melihat wartawan olahraga terlihat dalam ‘perpecahan’ pengurus PWI, antara kubu Rosihan dan kubu B.M. Diah, pasca Kongres PWI di Palembang.
Menpen memanggil pengurus PWI, di ruang kerja Menteri di Jalan Merdeka Barat, dan para pengurus mendapat wejangan dalam suasana yang akrab. Pesan utamanya, “Sebagai wartawan olahraga, para anggota SIWO dan organisasinya jangan ikut-ikutan berpihak pada salah satu kubu”. Pesan Pak Bud ini, setidaknya untuk konsumsi publik, jangan sampai SIWO latah untuk ikut mendukung pada salah satunya.
Sesungguhnya, Pak Bud paham, teman-teman SIWO ini markasnya di Merdeka Selatan, kantornya PWI Jaya yang merupakan pendukung kuat kubu Rosihan Anwar.
"Kami memang sepakat, SIWO tidak perlu turut latah mengeluarkan pernyataan, karena SIWO tak ingin aroma benturan terimbas pula pada kehidupan olahraga, Untunglah, perseteruan antara dua kubu PWI itu, segera teratasi pada kongres PWI di Pandaan - Jawa Timur, yang menampilkan Harmoko sebagai ketua umum."
Sampai dengan terbentuknya SIWO sebagai organisasi dan kemudian ikut andil sebagai pelaku dan saksi dari kelahiran organisasi keolahragaan nasional, KONI - Desember 1966, wartawan olahraga ketika itu masih punya kemampuan terbatas akan seluk beluk “dunia” olahraga yang menjadi bidang liputannya.
Untuk meningkatkan wawasan dan pengetahuan tentang dasar dan istilah dalam olahraga, pengurus SIWO melakukan kerjasama dengan Dirjen Olahraga Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, yang saat itu dipimpin olah Brigjen Sukamto Sayidiman. Sukamto sangat mendukung upaya peningkatan pengetahuan wartawan olahraga. Ditjen Olahraga memfasilitasi adanya penataran, dengan menyediakan board & loging, sementara KONI dan Induk Organisasi menyediakan tenaga pengajar sesuai cabang olahraganya.
Pada Februari 1967, selama dua pekan, diadakan Penataran Nasional Wartawan Olahraga yang diikuti sekitar empat puluh wartawan olahraga dari semua koran ibukota, ditambah utusan dari Medan, Pekan Baru, Jambi, Padang, Palembang, Bandung, Yogyakarta, Semarang, Surabaya, Denpasar, Makassar, dan Banjarmasin. Adapun cabang olahraga yang dilibatkan ketika itu adalah sepakbola, bola voli, bola basket, tenis lapangan, golf, pencak silat, judo. Kemudian pada 1968, penataran nasional ke-2 diselenggarakan lagi dengan peserta yang lebih banyak dari sebelumnya.
Langkah-langkah SIWO PWI Jaya berhasil menempatkan diri dalam kegiatan olahraga nasional membuat rubrik olahraga semakin mendapat kolom di media cetak, baik di tingkat pusat maupun daerah. Bahkan, kemudian, rubrik olahraga merupakan salah satu rubrik yang menjadi andalan bagi koran-koran terkemuka.
Keberhasilan SIWO PWI, mengilhami seksi-seksi lainnya dalam kepengurusan PWI Pusat, misalnya seksi film, foto dan ekonomi. Kiprah SIWO PWI Jaya, secara khusus mendapat perhatian kongres PWI tahun 1968 di Banjarmasin. Dengan mengakui keberadaan SIWO Jaya dan merekomendasikan pada PWI cabang lainnya, jika ingin adanya SIWO setempat.
Di tiap-tiap daerah, SIWO-SIWO daerah menjadi anggota koni daerah. Keberadaan mereka diterima dalam kehidupan olahraga, bukan saja sebagai peliput kegiaran, tetapi perannya menjadi mitra yang duduk sama rendah berdiri sama tinggi dengan komponen masyarakat olahraga lainnya. Pengurus-pengurus SIWO di berbagai daerah, duduk dalam kepengurusan KONI daerah, sebanyak yang duduk dalam kepengurusan cabang olahraga.
Perkembangan ini, menjadi salah satu topik bahasan pada Konperensi Kerja (Konker) PWI di Kinilow - Sulut pada 1969. Sondang Meliala yang terpilih sebagai Ketua SIWO Pusat dan menjadi utusan di Konker PWI ini, menjelaskan perkembangan yang terjadi. Konker PWI kemudian menetapkan status otonomi pada SIWO, dan dapat beraktifitas sesuai dengan tuntutan kegiatan olahraga nasional dan internasional.
Dengan status otonomi itu, SIWO, baik pusat maupun daerah semakin dapat mengembangkan aktifitasnya sebagai bagian dari masyarakat olahraga Indonesia.
Sejak mendapat status otonomi. Siwo PWI telah beberapa kali, menyelenggarakan Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) untuk memilih kepengurusan Siwo PWI Pusat periode 1969-1973, 1973-1977, dan 1977-1981. Mukernas selalu diadakan bersamaan dengan berlangsungnya PON di Jakarta, sebab pada kesempatan itu sejumlah wartawan olahraga dari berbagai media dan daerah berkumpul meliput pertandingan PON.
Karena keadaan sekaligus keinginan turut berkembang secara bersama, pada Kongres PWI di Padang tahun 1978 diputuskan status Siwo PWI di dalam struktur organisasi PWI Pusat diubah menjadi sebuah departemen yang disebut Departemen Wartawan Olahraga. Sedangkan di tingkat daerah atau cabang tetap dengan nama Siwo PWI.
Sejak menjadi departemen, dalam menyelenggarakan setiap kegiatannya, Ketua Departemen selalu dibantu oleh wartawan olahraga senior atau anggota Siwo PWI Jaya. Dan, dalam perjalanannya, Siwo PWI telah banyak mengadakan kegiatan olahraga melalui kerjasama yang baik dengan organisasi olahraga nasional.
Kerjasama tersebut antara lain perebutan Piala Siwo dengan Pengurus Besar Gabungan Bridge Seluruh Indonesia (Gabsi) pertama kali pada 1976 di Jakarta. Kemudian kerjasama Siwo Cabang Lampung dengan PB Pertina dalam melahirkan kejuaraan tinju “Sarung Tinju Emas” (STE). Kejuaraan tinju yang idenya menduplikasi Golden Gloves di Amerika ini pertama kali diselenggarakan di Ambon.
Selain menggelar berbagai event olahraga Siwo juga berusaha menumbuhkan motivasi para pelaku olahraga dengan mengadakan acara pemilihan Atlet Putra dan Putri Terbaik, juga Pelatih, Pembina, dan Penunjang secara nasional.
Pada 1983, acara pemilihan olahraga terbaik yang diselenggarakan oleh Siwo PWI Jaya itu malah dikemas lebih profesional. Namanya diubah menjadi Anugerah Olahraga dan sistem maupun kriteria pemilihannya disempurnakan sehingga acara ini menjadi komersial.
Gagasan menjadikan Anugerah Olahraga lebih bergengsi lahir dari kejenuhan Pengurus Siwo PWI Jaya, pada saat itu dipimpin oleh Atal S. Depari, mengisi kas organisasi dengan cara membentangkan tangan kepada simpatisan.
Ternyata, Anugerah Olahraga mampu menjadi sajian yang menarik secara komersial bagi stasiun televisi RCTI dan ANTV. Kedua stasiun televisi ini menayangkan Anugerah Olahraga dengan membayar fee kepada Siwo PWI Jaya. Organisasi hidup sehat tanpa mengulurkan tangan ke kiri dan ke kanan.
Salah satu catatan emas, kelahiran Liga Sepakbola Utama (Galatama) PSSI, kini liga Djarum, tidak lepas dari peran SIWO PWI Pusat. Pernah menyelenggarakan dua kali seminar sepakbola bertempat di Press Club Jakarta, yang melibatkan tokoh-tokoh sepakbola, pengurus PSSI, bahkan ketua LIPI waktu itu (Dr. Bachtiar Rivai) turut menyumbang pikiran. Dari seminar dua kali ini, kemudian lahirlah apa yang dikenal dengan nama Galatama, sebagai rumusan yang dikemas oleh Yusuf Kadir dan Suparyo Poncowinoto.
Anggota AIPS dan ASPU
Setelah orde baru mengambil alih kekuasaan pemerintahan dari orde lama, pemuka olahraga yang dipimpin Sri Sultan Hamengkubuwono IX, serta didukung Pemerintah, Indonesia kembali memulihkan keanggotaannya di dunia olahraga IOC, dan federasi-federasi olahraga internasional, wartawan olahraga Indonesia yang telah memiliki wadah organisasi (walau baru setingkat DKI Jaya), melihat perlunya keterlibatan jurnalistik olahraga Indonesia pada level internasional.
Dukungan penuh KONI Pusat, dan Dirjen Olahraga, membuat Siwo Jaya bersemangat untuk bergabung sebagai anggota Association International de La Press Sportive (AIPS). Atas dasar itu, SIWO Jaya mengirimkan Ketua SIWO Jaya, Sondang Meliala untuk menghadiri Kongres AIPS di kota Florence, Italia, 1967. Saat itu Sondang didampingi, AA Pesik, seorang pejabat Departemen Luar Negeri yang diperbantukan pada Ditjen Olahraga, dengan status awal sebagai peninjau.
Baru pada Kongres AIPS 1968 di Bukarest, Rumania, SIWO diterima menjadi anggota AIPS, organisasi wartawan olahraga internasional yang juga berafiliasi ke IOC. Sejak itu, SIWO tidak pernah absen dari aktivitas AIPS.
Keanggotaan wartawan pada AIPS, bersifat individu, karena setiap wartawan olahraga yang diajukan keanggotaannya oleh organisasi negara masing-masing, akan mendapatkan kartu anggota tahunan setelah membayar iuran. Banyak kemudahan yang didapat jika seorang wartawan memiliki kartu AIPS, apabila yang bersangkutan meliput event atau multi event internasional.
Pada Desember 1978, bertepatan dengan berlangsungnya Asian Games Bangkok, wartawan-wartawan olahraga Asia menyelenggarakan pertemuan untuk membentuk organisasi wartawan olahraga Asia. Pertemuan yang diprakarsasai oleh Mikawa, ketua AIPS untuk Asia, dihadiri oleh utusan-utusan negara-negara peserta Asian Games, berlangsung sehari penuh di hotel Hyatt.
Pertemuan menghasilkan berdirinya Asian Sport Journalis Union (ASJU), yang kemudian berubah menjadi Asian Sport Press Union (ASPU) sampai sekarang.
Dalam pembentukan ASJU, Indonesia yang diwakili oleh Zuchry Husein, terpilih sebagai anggota EXCO, yang kemudian pada periode 1978-1982, Ketua Departemen Wartawan Olahraga PWI Pusat, Sondang Meliala, terpilih sebagai salah satu Komite Eksekutif ASPU.
Periode 1986-1990 Suharmono Tjitrosoewarno terpilih sebagai Komite Eksekutif, dan untuk periode 1990- 1994 Sondang Meliala terpilih sebagai salah satu Wakil Presiden ASPU.
Pada Kongres AIPS 1993 di Istambul, Indonesia diminta untuk mengisi majalah AIPS dan ditunjuk Suharmono Tjitrosoewamo sebagai koresponden majalah dimaksud.
Dalam upaya meningkatkan kerjasama wartawan olahraga Asia, SIWO berhasil menyelenggarakan dua pertemuan (seminar) wartawan olahraga Asia di Jakarta, yaitu pada 1973 dan 1977, bertepatan dengan penyelenggaraan PON di Jakarta. Pada dua seminar tersebut, tokoh-tokoh AIPS hadir seperti Bobby Naidoo (Sekjen/Inggris), Steve Malonga, (Ketua AIPS utusan Afrika), dan Togay Bayalti (Turki).
Anugerah Olahraga
Wartawan olahraga punya cara sendiri untuk menjadikan dirinya sebagai bagian dari pembinaan prestasi anak bangsa.
Terbentuknya Siwo sejak semula, tidak lepas dari obsesi wartawan sendiri, menjadikan keberadaannya tidak saja sebagai penyampai kabar atas apa yang terjadi di arena lapangan ataupun dari markas induk organisasi, mereka juga berupaya bagaimana pers berperan untuk mendorong kemajuan, memotivasi semangat atlet atau pembina olahraga.
Terdorong oleh semangat yang demikian itulah, rapat pengurus Siwo Pusat, mencetuskan perlunya diselenggarakan pemilihan olahragawan terbaik setiap tahun.
Sesuai jamannya, pemilihan pertama pada 1971 dilakukan sendiri oleh pengurus Siwo Pusat, memilih atlet terbaik berdasarkan prestasi terbaiknya sepanjang tahun 1970.
Tidak pelak, cabang olahraga bulutangkis dengan prestasinya yang dominan di pentas dunia adalah cabang olahraga yang hampir setiap tahun tampil di pentas terbaik dari era 70 sampai dengan 80-an. Rudy Hartono, maestro bulutangkis yang sejak tampil perdana pada Thomas Cup 1967 di Istora Senayan, kemudian berturut-turut merajai arena All England di Wembley, mendominasi pilihan terbaik Siwo - empat kali berturut-turut.
0 Komentar