![]() |
Abdul Mulku Zahari (dok.keluarga) |
BUTONMAGZ—Tulisan ini disadur langsung dari portal pendidikan www.academia.edu dari catatan seorang Syaifuddin Gani, peneliti dari Kantor Balai Bahasa Sulawesi Tenggara yang ditulisnya April 2015 silam. Banyak hal yang bisa dipetik dari tulisan ini, utamanya tentang gugahan hati untuk menghormati seorang pendokumenter naskah-naskah kesejarahan. Begini catatannya;
--------------------------------
Di dalam sejarah sastra Indonesia, H.B Jassin dikenal sebagai Bapak Dokumentator Sastra Indonesia. Jasa-jasanya di dalam mendokumetasikan karya sastra Indonesia dinilai tiada tandingnya, melalui sebuah lembaga yang didirikannya yaitu Pusat Dokumentasi Sastra H.B Jassin.
Siapa pun yang ingin membaca dan meneliti sastra Indonesia, datang saja di Kompleks Taman Ismail Marzuki, di dalamnya terdapat lembaga tersebut yang siap menyajikan bacaan yang Anda cari.
Buton yang pernah jaya sebagai kerajaan dan kesultanan, memiliki khazanah naskah yang berharga, merekam berbagai pemikiran keagamaan, sufisme, undang-undang, sastra,dan sejarah yang sangat bernilai. Kerajaan yang diperkirakan berdiri pada awal abad XIV dan berakhir pada tahun 1960 tersebut, mewariskanratusan naskah dalam ribuan halaman kepada generasinya.
Di masa kini, yakni masa dari ratusan tahun silam ketika tradisi tulis dimulai, naskah tersebut masih dapat diakses dan dibaca oleh berbagai kalangan. Tetapi siapakah sosok paling berperan di dalam upaya menjaga, merawat, dan mewartakan warisan pemikiran cemerlang tersebut, sehingga ia masih “hidup” diera kekinian?
Satu sosok yang harus disebut adalah Abdul Mulku Zahari. Juru tulis Sultan Falihi tersebut lahir tanggal 9 September 1928, satu minggu setelah pelantikan Sultan Buton ke-37 yaitu La Ode Hamidi Kaimuddin.
Di rumahnya, tepatnya di Kelurahan Badia, KecamatanWolio (kini Murhum), Kota Baubau, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Achdiati Ikram dkk pada tahun 2001, terdapat 320 naskah yang terdiri atas kurang lebih 6505 halaman.
Sebuah warisan yang hanya dapat dilahirkan dari kerajaan/kesultanan yang memberi perhatian dan daya hidup bagi intelektualisme. Kiranya, seandainya bukan karena ketekunan dan tanggung jawab moralakan masa depan pemikiran Kesultanan Wolio, Abdul Mulku Zahari mungkin tidak akan sesetia itu menjaga naskahnya.
Tahun 2012 silam, penulis berkunjung yang ketiga kalinya ke rumah budaya Abdul Mulku Zahari yang dinaungi sebuah pohon Sawo Manila tua yang sudah ada sejak zaman Bekanda. Rumahnya persis bersisian dengan tembok benteng Keraton Wolio yang megah.
Adalah Al Mujazi, anak bungsunya yang kini melanjutkan tanggung jawab penjagaan ratusan koleksi naskah warisan bapaknya. Ia menyambut penulis dengan ramah dan terbuka,sehingga tercipta suasana kedekatan batin tersendiri terhadapnya.Pesan moral dari almarhumbapaknya yang sangat berpengaruh papa kesetiaannya menjaga naskah tersebut adalah “jagalah baik-baik naskah ini sebab pada suatu masa akan datang orang-orang dari berbagai latar pendidikan, beragam latar belakang lembaga dan negeri yang akan membutuhkannya”.
Seperti keyakinan bapaknya, telah terbukti tak berbilang jumlah orang yang mengakses naskah-naskah tersebut, baik dari Indonesia maupun mancanegara.
Koleksi naskah di rumah budaya tersebut — penulis menyebut rumah budaya, karena ia telah menjadi perpustakaan penyimpanan naskah, diskusi, dan persinggahan para peneliti — tidak tersedia begitu saja. Ia merupakan koleksi dari Abdul Mulku Zahari dan Syamsiah Faoka, istrinya. Ternyata setelah penulis telusuri dari berbagai bahan, Syamsiah Faoka adalah buyut dari Abdul Halik seorang bonto-ogena (menteri besar) di Kesultanan Buton sebagai juru tulis Sultan Muhammad Idrus.
Sebagaimana yang jamak diketahui oleh masyarakatButon dan para peneliti, Sultan Muhammad Idrus adalah seorang pujangga kerajaan yangtelah mengarang banyak syair, salah satu yang paling terkenal adalah Kabanti Bula Malino, Bulan yang Tenang. Naskah yang ada pada Abdul Halik lalu diwariskan keLa Adi MaFaoka, yang lalu mewariskannya pula ke Syamsiah Faoka.
Dapatlah diperkirakan betapa banyak dan besar artinya koleksi yang dimiliki Syamsiah Faoka, istri Abdul Mulku Zahari, karena merupakan karangan langsung Sultan Idrus Kaimuddin. Selain bersumber dari istrinya, dari buku Katalog Naskah Buton, Koleksi Abdul Mulku Zahari suntingan Achdiati Ikram dkk, bahwa ayah Mulku bernama La Hude yang pernah menjabat sebagai Kepala Distrik Wakarumba. Kakeknya bernama La Wungu, seorang bontona Balawu, Sampolawa. Sedangkan ayah La Wungu adalah Ma Zahari, buyut langsung Abdul Mulku Zahari adalah seorang pengarang pada masanya. (Bersambung ke bagian 2 : Abdul Mulku Zahari, Wafat 21 Februari 1978 di Kendari (Bagian II-selesai))
--------------------------------
Di dalam sejarah sastra Indonesia, H.B Jassin dikenal sebagai Bapak Dokumentator Sastra Indonesia. Jasa-jasanya di dalam mendokumetasikan karya sastra Indonesia dinilai tiada tandingnya, melalui sebuah lembaga yang didirikannya yaitu Pusat Dokumentasi Sastra H.B Jassin.
Siapa pun yang ingin membaca dan meneliti sastra Indonesia, datang saja di Kompleks Taman Ismail Marzuki, di dalamnya terdapat lembaga tersebut yang siap menyajikan bacaan yang Anda cari.
Buton yang pernah jaya sebagai kerajaan dan kesultanan, memiliki khazanah naskah yang berharga, merekam berbagai pemikiran keagamaan, sufisme, undang-undang, sastra,dan sejarah yang sangat bernilai. Kerajaan yang diperkirakan berdiri pada awal abad XIV dan berakhir pada tahun 1960 tersebut, mewariskanratusan naskah dalam ribuan halaman kepada generasinya.
Di masa kini, yakni masa dari ratusan tahun silam ketika tradisi tulis dimulai, naskah tersebut masih dapat diakses dan dibaca oleh berbagai kalangan. Tetapi siapakah sosok paling berperan di dalam upaya menjaga, merawat, dan mewartakan warisan pemikiran cemerlang tersebut, sehingga ia masih “hidup” diera kekinian?
Satu sosok yang harus disebut adalah Abdul Mulku Zahari. Juru tulis Sultan Falihi tersebut lahir tanggal 9 September 1928, satu minggu setelah pelantikan Sultan Buton ke-37 yaitu La Ode Hamidi Kaimuddin.
Di rumahnya, tepatnya di Kelurahan Badia, KecamatanWolio (kini Murhum), Kota Baubau, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Achdiati Ikram dkk pada tahun 2001, terdapat 320 naskah yang terdiri atas kurang lebih 6505 halaman.
Sebuah warisan yang hanya dapat dilahirkan dari kerajaan/kesultanan yang memberi perhatian dan daya hidup bagi intelektualisme. Kiranya, seandainya bukan karena ketekunan dan tanggung jawab moralakan masa depan pemikiran Kesultanan Wolio, Abdul Mulku Zahari mungkin tidak akan sesetia itu menjaga naskahnya.
Tahun 2012 silam, penulis berkunjung yang ketiga kalinya ke rumah budaya Abdul Mulku Zahari yang dinaungi sebuah pohon Sawo Manila tua yang sudah ada sejak zaman Bekanda. Rumahnya persis bersisian dengan tembok benteng Keraton Wolio yang megah.
Adalah Al Mujazi, anak bungsunya yang kini melanjutkan tanggung jawab penjagaan ratusan koleksi naskah warisan bapaknya. Ia menyambut penulis dengan ramah dan terbuka,sehingga tercipta suasana kedekatan batin tersendiri terhadapnya.Pesan moral dari almarhumbapaknya yang sangat berpengaruh papa kesetiaannya menjaga naskah tersebut adalah “jagalah baik-baik naskah ini sebab pada suatu masa akan datang orang-orang dari berbagai latar pendidikan, beragam latar belakang lembaga dan negeri yang akan membutuhkannya”.
Seperti keyakinan bapaknya, telah terbukti tak berbilang jumlah orang yang mengakses naskah-naskah tersebut, baik dari Indonesia maupun mancanegara.
Koleksi naskah di rumah budaya tersebut — penulis menyebut rumah budaya, karena ia telah menjadi perpustakaan penyimpanan naskah, diskusi, dan persinggahan para peneliti — tidak tersedia begitu saja. Ia merupakan koleksi dari Abdul Mulku Zahari dan Syamsiah Faoka, istrinya. Ternyata setelah penulis telusuri dari berbagai bahan, Syamsiah Faoka adalah buyut dari Abdul Halik seorang bonto-ogena (menteri besar) di Kesultanan Buton sebagai juru tulis Sultan Muhammad Idrus.
Sebagaimana yang jamak diketahui oleh masyarakatButon dan para peneliti, Sultan Muhammad Idrus adalah seorang pujangga kerajaan yangtelah mengarang banyak syair, salah satu yang paling terkenal adalah Kabanti Bula Malino, Bulan yang Tenang. Naskah yang ada pada Abdul Halik lalu diwariskan keLa Adi MaFaoka, yang lalu mewariskannya pula ke Syamsiah Faoka.
Dapatlah diperkirakan betapa banyak dan besar artinya koleksi yang dimiliki Syamsiah Faoka, istri Abdul Mulku Zahari, karena merupakan karangan langsung Sultan Idrus Kaimuddin. Selain bersumber dari istrinya, dari buku Katalog Naskah Buton, Koleksi Abdul Mulku Zahari suntingan Achdiati Ikram dkk, bahwa ayah Mulku bernama La Hude yang pernah menjabat sebagai Kepala Distrik Wakarumba. Kakeknya bernama La Wungu, seorang bontona Balawu, Sampolawa. Sedangkan ayah La Wungu adalah Ma Zahari, buyut langsung Abdul Mulku Zahari adalah seorang pengarang pada masanya. (Bersambung ke bagian 2 : Abdul Mulku Zahari, Wafat 21 Februari 1978 di Kendari (Bagian II-selesai))
0 Komentar