Di Buton, nama Selayar bukanlah hal baru. Cerita bertutur masyarakat di sini menyebutkan jika wilayah tersebut pernah menjadi bagian dari Buton di masa lalu. Sulit menemukan data otentik baik dalam bentuk naskah maupun karya ilmiah lainnya. Butonmagz, menyarikan tautan-tautan cerita tersebut dari beberapa penggalan-penggalan dari beberapa tulisan di jagad maya. Tentu objektivitasnya masih perlu diuji keabsahannya. Begini ceritanya.
Di awal tahun 1500-an, ada raja dari Selayar bernama Opu Manjawari yang membantu Raja Mulae (Raja Buton V) mengusir kelompok bajak laut pimpinan La Bolontio yang saat itu menguasai Sulawesi bagian timur sampai Kepulauan Moro Filipina. Turut dalam pengusiran ini Lakilaponto, yang karena jasa-jasanya berhasil mengusir La Bolontio kemudian diangkat menjadi Sultan Buton I dengan gelar Sultan Muhrum. Opu Manjawari yang juga Raja Selayar diangkat menjadi Sapati pada tahun 1491 hingga tahun 1527.
Pengangkatan Opu Manjawari sebagai Sapati di Kerajaan Buton seolah mentasbihkan jika Selayar secara politik dinaungi Kerajaan Buton, kurun waktu tahun 1491-1527 Masehi, tetapi dalam cerita lain Buton dan Selayar terikat persahabatan yang kokoh.
Demi mempererat persahabatan mereka, Opu Manjawari kemudian menikahkan Lakilaponto dengan salah satu puterinya. Cucu Opu Manjawari dari Lakilaponto Sultan Muhrum bernama La Sangaji di kemudian hari diangkat menjadi sultan Buton ke-3 yang memerintah tahun 1566-1570 Masehi.
Anak perempuan Opu Manjawari yang lain bernama Banaka menikah dengan Raja Batauga. Lakilaponto juga menikahi puteri Raja Jampea dan memiliki anak bernama La Tumparassi yang kemudian diangkat menjadi Sultan Buton ke-2 yang memerintah tahun 1545-1542 Masehi. Jampea sendiri adalah nama pulau di selatan Selayar, biasa juga dikenal dengan Tanah Jampea, Letaknya berada di antara Pulau Kalao dan Pulau Kayuadi.
Selayar dikuasai Ternate
Pada tahun 1570-1584 Kerajaan Selayar berada dalam kekuasaan Kerajaan Ternate. Beberapa cerita bertutur menyebut bahwa Labolontio adalah seorang bajak laut yang menguasai kepulauan Moro di Filipina, perairan Banda sampai Selayar. Namun dalam manuskrip Buton, tercatat bahwa labolontio adalah seorang kapten laut dari kepulauan Tobelo Kesultanan Ternate.
La bolontio memimpin pasukan laut dibawah perintah Sultan Ternate ke-4 Sultan Baabullah Datu Sah (1570-1584), untuk memperluas wilayah kekuasaannya juga dalam rangka menyebarkan pengaruh Islam di kawasan timur Nusantara termasuk Buton, Bima, Selayar dan Makassar yang pada saat itu kebanyakan Kerajaan masih beragamakan Hindu.
Pada tahun 1580 Sultan Ternate Baabullah berkunjung ke Sombaopu Ibukota Kerajaan Gowa. Kedua Raja itu mengadakan perjanjian perseketuan (Bondgenooschap). Dari perjanjian itu, Sultan Ternate menyerahkan kembali Pulau Selayar ke Gowa yang pernah dikuasainya.
Secara geomorfologi dan karakter kebudayaan, walau terpisah, warga Selayar dan Bira di seberang yang masuk wilayah administrasi Kabupaten Bulukumba nyaris serupa. Dahulu, Pulau Selayar merupakan tempat persembunyian atau pelarian bagi lawan-lawan politik keluarga kerajaan Gowa, Bone dan beberapa kerajaan kecil di Sulawesi Selatan.
Di beberapa pulau kecil, seperti Bonerate, Jampea hingga Kalao Toa malah merupakan persembunyian para pasukan Buton dan kerajaan dari Sulawesi Tenggara lainnya, bahkan Nusatenggara. Jadi, tidak heran jika di sana, pengaruh etnik Makassar, Bugis, Buton bahkan Mandar sangat terasa.
Kita dapat mengenal nama-nama warga Selayar yang bergelar Andi, Karaeng, Opu, Daeng dan Ince bahkan beberapa tokoh penting, baik pengusaha, birokrat dan tokoh panutan warga malah merupakan akulturasi warga keturunan Cina dan Makassar atau suku lainnya. Bukan hanya saat ini tetap jauh sebelum lahirnya Indonesia.
Sejarah penamaan Selayar, hingga memasuki Indonesia modern
Selayar sebagai sebuah pulau, telah lama dikenal, tidak hanya dikenal ketika kakawin negarakartagama (1365) mengungkapkan nama Silajara (Selayar) yang disebut bergandengan dengan nama Butun, Banggawi, Bontayang, Mangkasara. Tetapi juga nama Selayar juga diungkapkan berbagai naskah-naskah lokal (lontara').
Di awal tahun 1500-an, ada raja dari Selayar bernama Opu Manjawari yang membantu Raja Mulae (Raja Buton V) mengusir kelompok bajak laut pimpinan La Bolontio yang saat itu menguasai Sulawesi bagian timur sampai Kepulauan Moro Filipina. Turut dalam pengusiran ini Lakilaponto, yang karena jasa-jasanya berhasil mengusir La Bolontio kemudian diangkat menjadi Sultan Buton I dengan gelar Sultan Muhrum. Opu Manjawari yang juga Raja Selayar diangkat menjadi Sapati pada tahun 1491 hingga tahun 1527.
Pengangkatan Opu Manjawari sebagai Sapati di Kerajaan Buton seolah mentasbihkan jika Selayar secara politik dinaungi Kerajaan Buton, kurun waktu tahun 1491-1527 Masehi, tetapi dalam cerita lain Buton dan Selayar terikat persahabatan yang kokoh.
Demi mempererat persahabatan mereka, Opu Manjawari kemudian menikahkan Lakilaponto dengan salah satu puterinya. Cucu Opu Manjawari dari Lakilaponto Sultan Muhrum bernama La Sangaji di kemudian hari diangkat menjadi sultan Buton ke-3 yang memerintah tahun 1566-1570 Masehi.
Anak perempuan Opu Manjawari yang lain bernama Banaka menikah dengan Raja Batauga. Lakilaponto juga menikahi puteri Raja Jampea dan memiliki anak bernama La Tumparassi yang kemudian diangkat menjadi Sultan Buton ke-2 yang memerintah tahun 1545-1542 Masehi. Jampea sendiri adalah nama pulau di selatan Selayar, biasa juga dikenal dengan Tanah Jampea, Letaknya berada di antara Pulau Kalao dan Pulau Kayuadi.
Selayar dikuasai Ternate
Pada tahun 1570-1584 Kerajaan Selayar berada dalam kekuasaan Kerajaan Ternate. Beberapa cerita bertutur menyebut bahwa Labolontio adalah seorang bajak laut yang menguasai kepulauan Moro di Filipina, perairan Banda sampai Selayar. Namun dalam manuskrip Buton, tercatat bahwa labolontio adalah seorang kapten laut dari kepulauan Tobelo Kesultanan Ternate.
La bolontio memimpin pasukan laut dibawah perintah Sultan Ternate ke-4 Sultan Baabullah Datu Sah (1570-1584), untuk memperluas wilayah kekuasaannya juga dalam rangka menyebarkan pengaruh Islam di kawasan timur Nusantara termasuk Buton, Bima, Selayar dan Makassar yang pada saat itu kebanyakan Kerajaan masih beragamakan Hindu.
Pada tahun 1580 Sultan Ternate Baabullah berkunjung ke Sombaopu Ibukota Kerajaan Gowa. Kedua Raja itu mengadakan perjanjian perseketuan (Bondgenooschap). Dari perjanjian itu, Sultan Ternate menyerahkan kembali Pulau Selayar ke Gowa yang pernah dikuasainya.
Secara geomorfologi dan karakter kebudayaan, walau terpisah, warga Selayar dan Bira di seberang yang masuk wilayah administrasi Kabupaten Bulukumba nyaris serupa. Dahulu, Pulau Selayar merupakan tempat persembunyian atau pelarian bagi lawan-lawan politik keluarga kerajaan Gowa, Bone dan beberapa kerajaan kecil di Sulawesi Selatan.
Di beberapa pulau kecil, seperti Bonerate, Jampea hingga Kalao Toa malah merupakan persembunyian para pasukan Buton dan kerajaan dari Sulawesi Tenggara lainnya, bahkan Nusatenggara. Jadi, tidak heran jika di sana, pengaruh etnik Makassar, Bugis, Buton bahkan Mandar sangat terasa.
Kita dapat mengenal nama-nama warga Selayar yang bergelar Andi, Karaeng, Opu, Daeng dan Ince bahkan beberapa tokoh penting, baik pengusaha, birokrat dan tokoh panutan warga malah merupakan akulturasi warga keturunan Cina dan Makassar atau suku lainnya. Bukan hanya saat ini tetap jauh sebelum lahirnya Indonesia.
Sejarah penamaan Selayar, hingga memasuki Indonesia modern
Selayar sebagai sebuah pulau, telah lama dikenal, tidak hanya dikenal ketika kakawin negarakartagama (1365) mengungkapkan nama Silajara (Selayar) yang disebut bergandengan dengan nama Butun, Banggawi, Bontayang, Mangkasara. Tetapi juga nama Selayar juga diungkapkan berbagai naskah-naskah lokal (lontara').
Asal-usul penamaan Selayar bermula ketika seorang ratu yang cantik jelita dari Tanah Luwu dengan memakai perahu (wenkang) satu layar dengan mendarat suatu pulau bernama silajara. Menurut epos Galigo ratu yang cantik itu utusan sawerigading menuju tanah Cina. Dalam epos galigo diceritakan bahwa sang ratu naik perahu mengarungi lautan yang tidak bertepi dengan diikuti perahu emas beserta dayang-dayangnya.(Lontara, Patta bangung Selayar)
Versi lain menyebutkan bahwa dimasa lampau, Selayar dikenal sebagai tempat transit para pedagang rempah-rempah yang akan menuju ke arah timur Indonesia. Letaknya yang strategis, sehingga menjadikannya sebagai rute dagang pada saat itu, Di Pulau Selayar, para pedagang singgah untuk mengisi perbekalan sambil menunggu musim yang baik untuk berlayar. Konon kabarnya dari aktifitas pelayarn ini, muncullah nama "Selayar" dari asal kata "Cedaya" yang bahsa ini berasal dari bahasa sansekerta yang berarti "satu layar".
Selain nama Selayar, pulau ini disebut juga dengan nama "Tanah Doang" yang berarti tanah tempat berdoa. Di masa lalu, Pulau Selayar menjadi tempat berdoa bagi para pelaut yang hendak melanjutkan perjalanan baik ke barat maupun ke timur untuk keselamatan pelayaran mereka.
Seiring masuknya penjajah Belanda ke Indonesia. Selayar menjadi salah satu wilayah jajahan pemrintah Belanda pada saat itu. Belanda mulai memerintah Selayar pada tahun 1739. Selayar ditetapkan sebagai sebuah keresidenan (setingkat Kabupaten) dimana residen pertamanya adalah W.Coutsier (menjabat dari 1739-1743).
Berturut-turut kemudian Selayar diperintah oleh seorang Belanda sebanyak 87 residen. Barulah kepala pemerintahan ke-88 dijabat oleh orang Selayar, yakni Moehammad Opoe Patta Guntjo Sodai, pada tahun 1942. Di zaman kolonial Belanda, jabatan pemerintahan di bawah keresidenan adalah Reganschappen saat itu adalah wilayah setingkat kecamatan yang dikepalai oleh pribumi bergelar "opu".
Di bawah Regaschappen ada kepala pemerintahan dengan gelar opu Lolo, Belagau, dan Gallarang. Pada tanggal 29 November 1945 (19 Hari setelah insiden Hotel Yamato di Surabaya) pukul 06.45 sekumpulan pemuda dari beberapa kelompok dengan jumlah sekitar 200 orang yang dipimpin oleh seorang pemuda bekas heibo bernama Rauf Rahman memasuki kantor polisi kolonial (Sekarang kantor PD. Berdikari). Para pemuda ini mengambil alih kekuasaan dari tangan belanda.
Atas kejadian tersebut, tanggal dan bulan dijadikan tanggal Hari jadi Kabupaten Kepulauan Selayar yang dibawa oleh Datuk Ribandang, yang ditandai dengan masuknya agama islam di selayar. Islamnya Raja gantarang dan Pangali Patta Radja, yang kemudian bernama Sultan Alauddin, pemberian Datuk Ribandang. Peristiwa itu terjadi pada tahun 1605, sehingga ditetapkan Hari jadi Kabupaten Kepulauan selayar adalah 29 November 1605.
Pulau Selayar termasuk wilayah administrasi Provinsi Sulawesi Selatan pada tahun 1957 berdasarkan undang-undang Nomor 29 Tahun 1959 tentang pembentukan Daerah-daerah tingkat II di Sulawesi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1959 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1822). Yang kemudian berubah nama menjadi Kabupaten Kepulauan Selayar berdasarkan PP. No. 59 Tahun 2008. Hingga saat ini, Kabupaten Kepulauan Selayar telah sebelas kali berganti kepala pemerintahan. (ref)
0 Komentar