USAHA untuk mendapat gaji yang setara antarpemerintah desa terus diperjuangkan oleh Perkumpulan Perangkat Desa Indonesia (PPDI). Pada Senin lalu, 7 Januari mereka menemui Sekretaris Jenderal Kementerian Dalam Negeri, Hadi Prabowo, untuk membicarakan hal tersebut.
Untuk menentukan besaran gaji tersebut, PPDI meminta minimal mereka digaji setara dengan Aparatur Sipil Negara (ASN) golongan IIA. Untuk ASN golongan tersebut, gaji paling rendah adalah sekitar Rp1,9 juta dan tunjangan Rp800.000.
Permintaan penyetaraan gaji kepada pemerintah desa dengan minimal golongan IIA ini diungkapkan oleh Ketua Dewan Pimpinan Nasional PPDI, Widhi Hartono. Menurut Widhi, saat ini belum ada kesetaraan penghasilan yang diperoleh pemerintah desa.
"Minimal, setara golongan IIA dengan catatan mengikat sesuai dengan masa jabatannya, pengabdiannya," ucap Widhi dihadapan awak media. "Artinya nol tahun setara dengan IIA. Kemudian yang sudah dua tahun berbeda juga dengan yang tiga atau empat tahun. Terakhir, berbeda dengan yang 32 tahun."
Permintaan standarisasi gaji ini, diharapkan Widhi dapat dimasukkan ke dalam perubahan Peraturan Presiden No. 43 tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No. 6/2014 mengenai Desa.
Permohonan ini bukan kali pertama disuarakan PPDI. Pada pertengahan 2018, mereka juga pernah melakukan permintaan serupa. Menurut Sekjen PPDI, Sarjoko, saat ini masih ada perangkat desa yang mendapat gaji di bawah upah minimum daerah.
"Saat ini, di Indonesia masih banyak perangkat desa yang mendapatkan penghasilan di bawah upah minimum. Sementara pekerjaan perangkat desa, tata kerja, dan tata kelola hampir persis dengan ASN," kata Sarjoko.
Memang, jika merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2015, yang merupakan revisi PP No. 43/2014, penghasilan untuk pemerintah desa tak setara,
Pada Pasal 81 Ayat (1) dan (2) menjabarkan hal tersebut. Besarannya, tergantung dari Alokasi Dana Daerah (ADD). Jika alokasi ADD-nya sampai Rp500 juta setahun, penghasilan tetap kepala desa (kades) dan perangkatnya dapat digunakan maksimal 60 persen.
Sedangkan untuk ADD Rp500 juta-Rp750 juta, penggunaan untuk penghasilan kades bisa mencapai Rp300 juta atau tak lebih dari 50 persen. Begitu seterusnya, semakin besar ADD, semakin kecil alokasi untuk jatah gaji kades dan perangkatnya.
Selain meminta penyesuaian gaji dengan besaran minimal golongan IIA, PPDI juga meminta fasilitas lainnya. Yakni, "Kawan-kawan akan mengalami purnatugas. Saat purna itu kita berharap di situ (perubahan PP No. 43/2014) sudah diatur seberapa besar kita mendapatkan (uang) purnatugas," kata Widhi.
Pemerintah desa meliputi kades dan perangkat desa. Perangkat desa terdiri dari kesekretariatan, sekretaris desa serta kepala urusan, kepala seksi, kemudian kepala dusun.
Permintaan untuk menyesuaikan kesetaraan gaji ini boleh saja disuarakan. Namun, ada satu fakta miris mengenai kades soal kasus rasuah. Dalam catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), kades menjadi salah satu pelaku terbesar dalam kasus penyelewengan anggaran desa.
Salah satu contohnya adalah kasus korupsi dana desa yang melibatkan Kades Dasok, Kecamatan Pademawu, Pamekasan, Agus Mulyadi. Pun demikian dengan Nur Halim, Kades Pamatata, Bontomantene, Selayar, Sulawesi Selatan.
Menurut ICW, dalam data yang mereka miliki, kasus penyelewengan anggaran desa melibatkan 139 pelaku, 107 di antaranya kades. Sisanya yaitu, 30 orang perangkat desa, dan dua orang istri kades. Total kerugian mencapai lebih dari Rp30 miliar. (nas)
Untuk menentukan besaran gaji tersebut, PPDI meminta minimal mereka digaji setara dengan Aparatur Sipil Negara (ASN) golongan IIA. Untuk ASN golongan tersebut, gaji paling rendah adalah sekitar Rp1,9 juta dan tunjangan Rp800.000.
Permintaan penyetaraan gaji kepada pemerintah desa dengan minimal golongan IIA ini diungkapkan oleh Ketua Dewan Pimpinan Nasional PPDI, Widhi Hartono. Menurut Widhi, saat ini belum ada kesetaraan penghasilan yang diperoleh pemerintah desa.
"Minimal, setara golongan IIA dengan catatan mengikat sesuai dengan masa jabatannya, pengabdiannya," ucap Widhi dihadapan awak media. "Artinya nol tahun setara dengan IIA. Kemudian yang sudah dua tahun berbeda juga dengan yang tiga atau empat tahun. Terakhir, berbeda dengan yang 32 tahun."
Permintaan standarisasi gaji ini, diharapkan Widhi dapat dimasukkan ke dalam perubahan Peraturan Presiden No. 43 tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No. 6/2014 mengenai Desa.
Permohonan ini bukan kali pertama disuarakan PPDI. Pada pertengahan 2018, mereka juga pernah melakukan permintaan serupa. Menurut Sekjen PPDI, Sarjoko, saat ini masih ada perangkat desa yang mendapat gaji di bawah upah minimum daerah.
"Saat ini, di Indonesia masih banyak perangkat desa yang mendapatkan penghasilan di bawah upah minimum. Sementara pekerjaan perangkat desa, tata kerja, dan tata kelola hampir persis dengan ASN," kata Sarjoko.
Memang, jika merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2015, yang merupakan revisi PP No. 43/2014, penghasilan untuk pemerintah desa tak setara,
Pada Pasal 81 Ayat (1) dan (2) menjabarkan hal tersebut. Besarannya, tergantung dari Alokasi Dana Daerah (ADD). Jika alokasi ADD-nya sampai Rp500 juta setahun, penghasilan tetap kepala desa (kades) dan perangkatnya dapat digunakan maksimal 60 persen.
Sedangkan untuk ADD Rp500 juta-Rp750 juta, penggunaan untuk penghasilan kades bisa mencapai Rp300 juta atau tak lebih dari 50 persen. Begitu seterusnya, semakin besar ADD, semakin kecil alokasi untuk jatah gaji kades dan perangkatnya.
Selain meminta penyesuaian gaji dengan besaran minimal golongan IIA, PPDI juga meminta fasilitas lainnya. Yakni, "Kawan-kawan akan mengalami purnatugas. Saat purna itu kita berharap di situ (perubahan PP No. 43/2014) sudah diatur seberapa besar kita mendapatkan (uang) purnatugas," kata Widhi.
Pemerintah desa meliputi kades dan perangkat desa. Perangkat desa terdiri dari kesekretariatan, sekretaris desa serta kepala urusan, kepala seksi, kemudian kepala dusun.
Permintaan untuk menyesuaikan kesetaraan gaji ini boleh saja disuarakan. Namun, ada satu fakta miris mengenai kades soal kasus rasuah. Dalam catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), kades menjadi salah satu pelaku terbesar dalam kasus penyelewengan anggaran desa.
Salah satu contohnya adalah kasus korupsi dana desa yang melibatkan Kades Dasok, Kecamatan Pademawu, Pamekasan, Agus Mulyadi. Pun demikian dengan Nur Halim, Kades Pamatata, Bontomantene, Selayar, Sulawesi Selatan.
Menurut ICW, dalam data yang mereka miliki, kasus penyelewengan anggaran desa melibatkan 139 pelaku, 107 di antaranya kades. Sisanya yaitu, 30 orang perangkat desa, dan dua orang istri kades. Total kerugian mencapai lebih dari Rp30 miliar. (nas)