ORANG Buton yang dikenal sebagai pelintas samudera, tentu akan membawa perubahan peradaban tersendiri di kampung halamannya. Salah satunya tanaman pesohor asal Pulau Siompu-Buton Selatan yang dikenal dengan nama jeruk Siompu, konon berasal dari Pattani- sebuah provinsi Muslim di Thailand.
Muahmmad Musnawir – pemerhati pertanian asal Siompu yang kini menetap sebagai warga Kota Baubau mengemukakan ikhwal muasal jeruk Siompu yang menyatakan sebelum tahun 1985 nama jeruk Siompu ini adalah Jeruk Patani, warga di sana menyebutnya Makolona Patani, yang kemudian tahun-tahun sesudahnya (kemungkinan) berubah nama menjadi jeruk Siompu, sebagai identitas lokal pula itu.
“Nanti setelah tahun 1985-an baru mendapat penamaan sebagai jeruk Siompu, kemungkinan supaya ada identitas nama lokal untuk jeruk tersebut. Banyak yang Kita tahu bahwa masyarakat Thailand adalah pemulia hampir semua jenis tanaman.” urai Musnawir kepada Butonmagz medio Januari 2019.
Tafsir Musnawir sederhana, dahulu memang banyak warga Siompu yang berkelana ke berbagai tempat lain untuk mencari kerja, baik ke bagian timur atau barat Indonesia.
“Kalau ke bagian barat kebanyakan ke sumatera, biasanya bekerja diperkebunan karet/tebu bahkan hingga ke Malaysia. Kemungkinannya bibit jeruk yang ada di Siompu saat ini diperoleh dari perjalanan mereka bekerja di Malaysia atau sumatera,” tandasnya.
Berkait penjelasan bila jeruk Siompu itu adalah merupakan tanaman yang sangat manja dibenarkan, karena tanaman ini hanya berbuah sedikit atau bahkan tidak berbuah sama sekali jika ada tanaman lain yg menaunginya.
“Namun pernyataan yang menyebut jeruk Siompu mau berbuah jika ada kontak langsung dengan asap dapur / karbondioksida adalah tidak benar, juga faktor penyakit sehingga membuat malas warga lokal untuk membudidayakannya,” imbuhnya.
Baca berita lainnya : Kemana nama besar Jeruk Siompu?
Tentang Pattani
Cerita tentang Buton dan Pattani Thailand, bagi tetua-tetua di sini memprlihatkan tautan pada banyak cerita, utamanya berkait hubungan penyebaran Islam, sayang tak ada literatur resmi mengungkap hubungan itu.
Pattani dalam berbagai literasi merupakan sebuah kerajaan Melayu Islam yang berdaulat, mempunyai kesultanan dan perlembagaan yang tersendiri. Patani adalah sebagian dari 'Tanah Melayu'. Namun pada pertengahan abad ke-19 Patani telah menjadi korban penaklukan Kerajaan Siam, - nama Thailand di masa lalu.
Pada tahun 1826, penaklukan Siam terhadap Patani mendapat pengakuan Britania Raya. Dalam usahanya untuk mengokohkan kedudukannya di Pattani, pada tahun 1902 Kerajaan Siam melaksanakan undang-Undang Thesaphiban.
Dengan itu, sistem pemerintahan kesultanan Melayu telah dihapuskan. Dengan ditandatanganinya Perjanjian Bangkok pada tahun 1909, Pattani telah diakui oleh Britania sebagai bagian dari jajahan Siam walaupun tanpa mempertimbangkan keinginan penduduk asli Melayu Patani.
Sejak penghapusan pemerintahan Kesultanan Melayu Pattani, masyarakat Melayu-Pattani berada dalam posisi tertekan dan lemah . Seperti yang diungkap oleh W.A.R. Wood, Konsul Britania di Songkhla, penduduk Melayu telah menjadi mangsa sebuah pemerintahan yang tidak diperintah dengan baik. Justru akibat pemaksaan inilah kekacauan sering terjadi di Pattani.
Pada tahun 1923, Tengku Abdul Kadir Kamaruddin, mantan Raja Melayu Patani, dengan dukungan pejuang-pejuang Turki, memimpin gerakan pembebasan. Semangat anti-Siam menjadi lebih hebat saat Kerajaan Pibul Songgram (1939-44) mencoba mengasimilasikan kaum minoritas Melayu ke dalam masyarakat Siam melalui Undang-Undang Rathaniyom.
Keterlibatan Siam dalam Perang Dunia Kedua di pihak Jepang telah memberikan harapan kepada orang-orang Melayu Pattani untuk membebaskan tanah air mereka dari penjajahan Siam. Tengku Mahmood Mahyideen, putra mantan Raja Melayu Patani juga seorang pegawai berpangkat Mayor dalam pasukan Force 136, telah mengajukan proposal kepada pihak berkuasa Britania di India supaya mengambil alih Pattani dan wilayah sekitarnya serta digabungkan dengan Tanah Melayu.
Proposal Tengku Mahmud itu selaras dengan proposal Pejabat Tanah Jajahan Britania dalam mengkaji kedudukan tanah ismus Kra dari sudut kepentingan keamanan Tanah Melayu setelah perang nanti.
Harapan itu semakin terbuka saat pihak sekutu, dalam Perjanjian San Francisco pada bulan April 1945, menerima prinsip hak menentukan nasib sendiri (self-determination) sebagai usaha membebaskan tanah jajahan dari belenggu penjajahan.
Atas semangat itu, pada 1 November 1945, sekumpulan pemimpin Melayu Patani dipimpin oleh Tengku Abdul Jalal, bekas wakil rakyat wilayah Narathiwat, telah mengemukakan petisi kepada Kerajaan Britania dengan tujuan membujuk agar empat wilayah di Selatan Siam dibebaskan dari kekuasaan Pemerintahan Siam dan digabungkan dengan Semenanjung Tanah Melayu. Namun sudut pandang Britania terhadap Siam berubah saat Peperangan Pasifik selesai. Keselamatan tanah jajahan dan kepentingan British di Asia Tenggara menjadi pertimbangan utama kerajaan Britania dalam perbincangannya dengan Siam maupun Pattani.
Kerajaan Britania memerlukan kerjasama Siam untuk mendapatkan stok beras untuk keperluan tanah jajahannya. Tidak kurang pentingnya, kerajaan Britania terpaksa menyesuaikan perundangannya terhadap Siam dengan tuntutan Amerika Serikat yang ingin menetapkan wilayah Siam seperti pada tahun 1941.**