![]() |
LM. Halaka Manarfa - paling kanan |
“...Mencapai tujuan hidup yang berkualitas, jangan takut dengan resiko, semakin beresiko itu berarti Anda semakin mengasah diri, mengasah intuisi dan mengasah kemampuan. Mereka yang takut dengan resiko, tak akan pernah mendapat apa yang ia inginkan,” begtu kata-kata Pak Halaka pada banyak orang, dan juga kepada penulis yang pernah mendampinginya sebagai staf di kepramukaan...”
SABTU siang, 15 Agustus 2009 Bandar Udara Betoambari Kota Baubau penuh sesak manusia. Tak ada lagi ‘aturan main’ penerbangan di apron area, terkecuali riuh dan isak tangis menyaksikan keranda jenazah berbalut selembar kain merah putih yang diturunkan dari pesawat Merpati jenis Fokker, yang diarak sejumlah purna praja menuju ruang VIP. Sejumlah tokoh, pejabat daerah, bahkan institusi kemiliteran tampak hadir memberi penghormatan terakhir.
Begitulah cara masyarakat Buton menghormati sosok Drs. H.LM. Halaka Manarfa, Wakil Wali Kota Baubau periode 2008-2013, yang wafat sehari sebelumnya di Jakarta tepatnya di hari Jumat, 14 Agustus 2009 setelah kurang lebih sebulan di rawat karena sakitnya. Waktu yang sejatinya ia menjadi pembina upacara hari nasional – Hari Ulang Tahun Pramuka, organisasi yang dipimpinnya sebagai Ketua Kwartir Cabang Gerakan Pramuka Kota Baubau, periode 2009-2014.
Tetapi apa hendak dinyana, Pak Haji – demikian sapaan akrabnya tak lagi bisa menikmati kepemimpinannya sebagai seorang wakil wali kota yang baru lebih setahun dijabatnya, untuk mendampingi Wali Kota H.Mz. Amirul Tamim. Padahal dia adalah sosok begitu dielu-elukan di zamannya sebagai ‘the next wali kota’. Paling tidak ia dikenal tak hanya sebagai tokoh yang pandai bergaul, memiliki pikiran cemerlang, serta selalu melepaskan status sosialnya sebagai seorang darah biru keturunan sultan-sultan di Buton.
Soal aneka macam nama sematan yang melekat pada dirinya, bukan persoalan.“Tidak jadi masalah dengan nama, yang penting saya dan semua orang bisa berkomunikasi, bertukar pendapat, serta bisa berbagai tentang apa saja dengan semua orang, itu yang terpenting,” demikian pengakuannya yang dikutip beberapa situs media saat itu.
Kepergian Pak Haji untuk selamanya, tak hanya duka bagi istrinya Ny. Wa Ode Gustini dan dua putrinya; Wa Ode Mufriha Halaka, SH., dan Wa Ode Maya maisarah Halaka, S.STP, tetapi duka segenap warga Kota Baubau dan Buton pada umumnya. Sebab banyak mimpi orang Buton melekat pada dirinya, sebab dialah tokoh yang dikenal sejak dulu menyuarakan agar Buton menjadi provinsi.
Pria kelahiran Makassar, 20 september 1957 ini sebelum menjadi wakil wali kota di Baubau dikenal sebagai aktivis sekaligus politisi yang tangguh. Di awal-awal reformasi ia dikenal sebagai politisi PDIP, lalu kemudian bergabung dengan Partai Bulan Bintang (PBB) dan menjadi ketua umum DPW – PBB Sulawesi Tenggara periode 2008-2013, setelah sebelumnya juga menjadi Ketua DPC PBB Kabupaten Buton.
“Saya terlahir di Kota Makassar, saat papi tugas negara ditahun 1957. Kira-kira waktu usia 4 tahun saya ikut di mobil Papi dan ditembaki gerombolan, tetapi saya tetap berdiri di dalam mobil, saya tidak paham kalau itu berbahaya, saya tetap berdiri, ha..ha..ha. Saya juga pernah panjat gedung gereja depan rumah tinggal Papi hingga di atap, yang beribadah di gereja tentu bubar karena ada anak-anak di atas atap. Saya pun tidak bisa turun, terpaksa ditolong dengan menggunakan tangga milik PLN,” katanya mengenang masa kecilnya1.
Mungkin itu yang membuat sosok ini dikenal sebagai figur yang berani mengambil resiko pada sebuah komitmen yang dimilikinya. Sempat mengenyam dunia ke pamong-prajaan sebagai PNS di lingkup pemerintah kabupaten Dati II Buton, namun putra ketujuh dari tokoh Buton, Drs. H. La Ode Manarfa ini, memilih mundur di awal tahun 2000, dan konsentrasi di dunia politik. Ia pun di kenal sebagai tokoh pemerhati media, dengan mendirikan Surat Kabar Umum Berita Keraton di Baubau.
“Mencapai tujuan hidup yang berkualitas, jangan takut dengan resiko, semakin beresiko itu berarti Anda semakin mengasah diri, mengasah intuisi dan mengasah kemampuan. Mereka yang takut dengan resiko, tak akan pernah mendapat apa yang ia inginkan,” begtu kata-kata Pak Halaka pada banyak orang, dan juga kepada penulis yang pernah mendampinginya sebagai staf di kepramukaan.
**
BAGI masyarakat Buton, Halaka dikenal sangat bersahaja, suara khas bariton dengan penampilan tenang kharismatik, dan sederhana, menjadi penciri dalam pergaulannya. Ia juga sosok yang selalu penuh semangat, sebagaimana yang dimiliki ayahandanya serta ‘papi’ bagi segenap masyarakat Buton benar-benar terwarisi dalam diri Halaka. Kendati sadar, jika wibawa, kharismatik dan popularitas yang dimiliki almarhum H. La Ode Manarfa diakuinya sulit untuk ia miliki sepenuhnya. Tetapi nama baik keluarga besar La Ode Manarfa harus tetap terpelihara, sebagai bagian dari sejarah panjang negeri ini.
Halaka kecil ‘sempat’ bersekolah di SD Mangkura Makassar, lalu SMP dan SMA ‘putar-putar’ antara Bau-Bau-Kendari-Makassar-Bandung-Jakarta. Tentu karena sang ayahanda saat itu banyak bertugas di Makassar-dan Jakarta. Sementara di Bandung ia mengikuti sang kakak, La Ode Izat Manarfa.
Masa kecilnya juga sempat dua tahun di Kendari, saat itu La Ode Manarfa serumah dengan gubernur Wayong. “Di sinilah saya kerap bermain dengan Kanda Amirul, kebetulan Paman Tamim (ayah Amirul Tamim) bertugas di Kendari juga. Dengan kanda Amirul saya sering main kelereng sama-sama” ujarnya saat itu.
BAGI masyarakat Buton, Halaka dikenal sangat bersahaja, suara khas bariton dengan penampilan tenang kharismatik, dan sederhana, menjadi penciri dalam pergaulannya. Ia juga sosok yang selalu penuh semangat, sebagaimana yang dimiliki ayahandanya serta ‘papi’ bagi segenap masyarakat Buton benar-benar terwarisi dalam diri Halaka. Kendati sadar, jika wibawa, kharismatik dan popularitas yang dimiliki almarhum H. La Ode Manarfa diakuinya sulit untuk ia miliki sepenuhnya. Tetapi nama baik keluarga besar La Ode Manarfa harus tetap terpelihara, sebagai bagian dari sejarah panjang negeri ini.
Halaka kecil ‘sempat’ bersekolah di SD Mangkura Makassar, lalu SMP dan SMA ‘putar-putar’ antara Bau-Bau-Kendari-Makassar-Bandung-Jakarta. Tentu karena sang ayahanda saat itu banyak bertugas di Makassar-dan Jakarta. Sementara di Bandung ia mengikuti sang kakak, La Ode Izat Manarfa.
Masa kecilnya juga sempat dua tahun di Kendari, saat itu La Ode Manarfa serumah dengan gubernur Wayong. “Di sinilah saya kerap bermain dengan Kanda Amirul, kebetulan Paman Tamim (ayah Amirul Tamim) bertugas di Kendari juga. Dengan kanda Amirul saya sering main kelereng sama-sama” ujarnya saat itu.
Tak pernah menetap, Halaka dipulangkan ke Bau-Bau, tentunya untuk lebih mengenal daerahnya sendiri. Meski kemudian ke Jakarta lagi hingga tamat SMP. Masuk SMA, Halaka banyak bergaul dengan dunia luar. Menariknya, ia lebih suka bergaul dengan orang yang lebih dewasa darinya. Yang paling digemarinya justru menjadi penyiar radio. Media inilah yang mempertemukan Halaka dengan tokoh kritis Indonesia, Sri Bintang Pamungkas, termasuk istri pengusaha Pontjo Sutowo. Namanya Mbak Wini. “Tapi saat itu masih sama-sama menyiar di radio”. Ujarnya.
Diakuinya, jika di Jakarta ia banyak bergaul dengan kalangan-kalangan ‘jetset’ saat itu. Namanya juga remaja. Lalu bagaimana pengawasan orang tua? “Jujur yang paling saya takuti justru mami, saya paling takut sama beliau, sementara kalau dengan papi, saya anggap teman, meski beliau sangat disiplin dengan sesuatu.”
Takut ‘salah jalan’ di Jakarta, Halaka dipulangkan oleh orang tuanya ke Bau-Bau. Itu juga masih status pelajar SMA. Halaka sempat menolak, namun karena yang meminta adalah mami yang ditakutinya maka ia turuti. Dengan syarat, ia dibelikan radio pemancar AM. Permintaan disahuti. Maka berdirilah Radio Latalombo di Bau-Bau saat itu. “Latalombo itu artinya, juru penerang,” katanya.
Keberadaan radio ini lagi-lagi menjadi medium Halaka ‘merekrut’ berbagai kalangan, mulai anak polisi, anak tentara, anak pejabat, dan remaja dari berbagai profesi. “Semuanya saya jadikan satu, pergaulan remaja saya meluas.”
Mendekati tamat SMA, Halaka sejak awal bercita-cita masuk ABRI, tapi papi menolaknya, ia pun minta jadi polisi, lagi-lagi papi menolaknya. “Kamu itu punya bakat pemimpin, jadi jurusan kamu bukan di sana,” kata papi kala itu.
Keinginan kuat Halaka untuk menjadi prajurit TNI bukan tanpa dasar, semasa kecilnya ia sering melihat pistol papi, bahkan ia juga pernah belajar menembak dari pak Mardianto. (mantan Menteri Dalam Negeri). ”Waktu itu, kalau tidak salah beliau setingkat Komandan Yonif di Makassar. Bahkan saya terdorong dengan kharisma rekan saya. Namanya pak Mustofa (mantan Kapolda Maluku) mengispirasi saya masuk TNI-Polri, tapi apa boleh buat papi melarang dengan alasan, bukan bakat dan wataknya.”
Singkat cerita, Halaka lulus di APDN, disini ia kembali bertemu kawan lamanya, Amirul Tamim. Banyak cerita semasa pendidikan tersebut. Selesai, kembali lagi ke Bau-Bau, lalu kemudian masuk IIP Jakarta. Disini, ia kembali bertemu Amirul Tamim. “Beliau sempat memplonco saya karena beliau adalah kakak senior saya di kampus,” kenangnya.
Selesai dengan gelar doktorandus ilmu pemerintahan, Halaka kembali berkiprah sebagai PNS, hingga beberapa kali mendapat jabatan setingkat Kancam, Kasubag dan Kepala Seksi. “Tapi ada yang mengganjal, saya merasa ada pressing, sebab setiap saya menyelesaikan sesuatu, baru mau selesai, dipindahkan lagi, saya pikir ini ujian jadi birokrasi. Mau bertanya entah ke mana, tapi naluri untuk membangun Buton sebagai sebuah negeri yang besar terus bergelora, saya ingin mundur sebagai PNS. Mungkin saya tidak cocok di sana,” katanya.
Di tengah pencarian jati dirinya di tahun 1994, terlintas dibenaknya untuk menunaikan ibadah haji. Meski keluarga belum ada yang tahu rencana itu. Ia segera mendaftar dan menyetor biaya ONH, apalagi saat itu batas akhir pendaftaran. Mendengar hal itu, keluarga kaget bukan main. “Ada apa Halaka naik haji? ada yang nangis, tapi intinya mereka terharu, mungkin saya saat itu dinilai orang yang tidak punya arah, bimbang dan sebagainya, padahal saya sudah punya anak-istri,” katanya.
Sugesti ritual terus bergelora dibenaknya, dahaga rohani dalam tubuhnya pun meminta air untuk disiram air ukhrawi. Maklum Halaka era 80-90-an memang dikenal tokoh ‘geng’ Bau-Bau,. “Tapi kami tidak pernah buat onar, justru kalau ada yang macam-macam di negeri ini, kami yang mengingatkan,” katanya.
Halaka pun ke tanah suci. Ada satu sumpah yang tak lekang dalam ingatannya. Bunyinya demikan; “Ya Allah, beri aku kekuatan dan kesehatan dalam memenuhi Panggilan-MU, kalau tidak! Cabut saja nyawa ini.” Sumpah ini, diikrarkan saat tiba di Bandara King Abdul Azis Jeddah. Entah kenapa, saya yang saat itu diamanahkan sebagai ketua rombongan, bisa membantu jamaah sekuat tenaga, dan saya juga bisa menyelesaikan ibadah saya dengan baik. Semoga sempurna di hadapan Allah! Bayangkan saya sempat melakukan ibadah di gua hira malam-malam, bahkan saat tawaf, tujuh kali mutar, tujuh kali juga cium Hajar Aswat. Anehnya, saya dapat kemampuan membantu orang yang sakit. Artinya saya jadi dukun saat itu, ha..ha..” ujarnya.
Sampai di tanah air, profesi ‘dukun’ mulai melekat di masyarakat. “Saat itu saya tinggal di Tanah Abang (Bau-Bau), silih berganti orang datang berobat, atas izin Allah sembuh juga. Tapi kemudian saya sadar, kok saya jadi dukun, padahal saya ingin mengabdi di negeri ini. Saya salah, ha..ha..ha…namun yang pasti jiwa saya menjadi tenang”.
Pergulatan bathin antara keinginan untuk membesarkan Butuni dengan posisi sebagai PNS dengan job yang tidak terlalu strategis terus bergolak, pada akhirnya di tahun 2000 memilih mundur sebagai PNS tanpa pensiun. Pilihannya ikut partai, meski sebelumnya beberapa tahun saat bestatus sebagai PNS sudah ‘curi-curi pandang’ dengan partai tertentu. Inilah awal pencarian Halaka menjadi sosok yang mulai dihitung pada belantika perpolitikan Sulawesi Tenggara. Namanya pun terus melambung sebagai seorang calon pemimpin masa depan.
“Saya ke Jakarta sempat tanya kepada beberapa perwira TNI saat itu. Saya Tanya pak Sulatin, saya tanya Ma’ruf (Mantan Mendagri), bertanya kepada pak Tamliha Ali, dan bertanya kepada beberapa tokoh sipil saat itu. Kata saya, “suksesi kepemimpinan di Buton sejak awal 2000-an, itu masih proyek ABRI atau sudah masuk ranah proyek sipil?
Semuanya menjawab, itu sudah proyek sipil!” “Saya pun kemudian masuk mencalonkan diri sebagai calon Bupati Buton, termasuk menjadi calon Walikota Bau-Bau, dimana saya berhadapan dengan Kanda Amirul Tamim. Saya kalah tipis, dan saya ikhlas!” Lima tahun, Kanda Amirul, telah berbuat yang terbaik kepada negeri ini. Makanya saya bersedia saja ketika kami sepakat untuk memimpin negeri ini di tahun 2008-2013. Sebagai Wakil Walikota, saya ingin menjadi wakil Walikota yang baik dan benar, itu sudah cukup!” begtu ungkapannya.
**
KINI, nama Halaka Manarfa tetap dikenang banyak orang dalam ingatan. Namanya pun diabadikan menjadi sebuah nama jalan di Kelurahan Batulo, di sekitar kediamannya saat ini. Ia memang memiliki karakter pemimpin berbeda dengan banyak orang. Sebegitu berbedanya, Wali Kota Mz. Amirul Tamim, pernah bertutur, “Tak ada duanya seorang Halaka Manarfa”.
Ia juga ‘tak besar’ sendiri, orang-orang yang pernah mengenalnya secara dekat termasuk para aktivis di kota ini, telah banyak sukses sebagai pembesar daerah. Mereka mengakui sebagian karena ‘pengkaderan’ seorang Halaka Manarfa, seorang pewaris darah biru kesultanan Buton yang sangat dikenal sebagai sosok merakyat, tetapi disegani banyak orang.** (catatan : hamzah)
-------------------
Seluruh pernytaan LM. Halaka Manarfa dalam tulisan ini adalah catatan bincang-bincang dengan penulis di tahun 2008, dalam berbagai kesempatan untuk kebutuhan pendokumentasian profil Wakil Wali Kota Baubau, dan telah terpublikasi di beberapa media sehari setelah beliau wafat .