Ada kabar kurang menyenangkan bagi penikmat kopi. Biji kopi sebagai bahan utama minuman beraroma sedap ini terancam punah karena perubahan iklim global.
Para peneliti di Royal Botanic Gardens, Inggris menemukan sebanyak 75 dari 124 spesies kopi liar di dunia terancam oleh penebangan liar di hutan, perubahan iklim, serta masalah penyakit jamur dan hama yang semakin memburuk.
Perubahan iklim terutama menjadi ancaman bagi jenis kopi Arabika liar, spesies kopi yang berasal dari Etiopia ini telah dibudidayakan untuk menjadi penyedia sebagian besar perdagangan global biji kopi bernilai miliaran Poundsterling selama bertahun-tahun.
Dengan kata lain stok kopi dunia turut dipengaruhi tersedianya tumbuhan kopi liar yang ada di pedalaman hutan, khususnya di negara Etiopia.
Etiopia adalah eksportir kopi terbesar di benua Afrika. Nilai ekspornya menembus angka $1 miliar (sekitar Rp14,1 triliun) setiap tahun.
Jumlah lokasi tumbuh tanaman kopi Arabika di negara tersebut diperkirakan dapat berkurang hingga 85 persen pada tahun 2080. Lalu, para ilmuwan mengungkapkan, hingga 60 persen lahan cocok tanamannya menjadi tidak lagi subur pada akhir abad ini.
Saat ini, di Etiopia kopi hutan asli yang liar tumbuh di wilayah konservasi Kafa Coffee Biosphere Reserve. Di tempat yang berjarak 488 kilometer dari ibu kota Adis Ababa itulah buah kopi liar jatuh ke tanah hingga tumbuh dengan sendirinya. Ada lebih dari lima ribu jenis kopi telah ditemukan di hutan hujan Kafa.
Keunggulan tanaman kopi liar dibutuhkan karena ragam sifat yang ditemukan pada biji kopi spesies liar dinilai penting untuk silang genetik sehingga di masa depan dapat menghasilkan tanaman yang tahan mengatasi ancaman, seperti musim kemarau yang lebih panjang atau ancaman lain yang disebabkan oleh perubahan iklim dan penyebaran hama.
"Jika bukan karena spesies kopi liar, kita tidak akan memiliki kopi sebanyak yang kita minum di dunia saat ini. Karena jika Anda melihat sejarah budi daya kopi, kita menggunakan spesies liar untuk membuat tanaman kopi yang memiliki daya tahan lebih baik," kata peneliti senior, Aaron Davis dari Royal Botanic Gardens, Inggris dinukil BBC.com.
Sebagian besar kopi liar tumbuh di hutan terpencil Afrika dan Pulau Madagaskar. Di luar benua Afrika, tanaman kopi liar juga ditemukan di negara iklim tropik, termasuk sebagian daerah India, Sri Lanka dan Australia.
Perdagangan kopi dunia bergantung pada dua jenis, yakni Arabika dan Robusta. Sementara jenis ketiga, yakni Liberica tumbuh di hampir seluruh wilayah dunia tetapi jarang dijadikan minuman kopi.
Penurunan produksi kopi juga dirasakan oleh petani kopi Gayo, di Aceh, Indonesia. Selain perubahan iklim, ancaman hama penggerek buah kopi, Hypothenemus hampei atau hama pengebor biji kopi, menjadi ancaman.
Hama ini tidak bisa hidup di ketinggian 800 meter di atas permukaaan laut, tetapi seiring berubahnya iklim maka sekarang mereka bisa hidup di ketinggian 1.200 meter, tempat pohon-pohon kopi Arabika tumbuh.
Akibat perubahan iklim juga mengancam kekayaan spesies lebah yang akan mendongkrak kualitas tanaman kopi.
"Jika kita kehilangan lebah, kita kehilangan penyerbuk. Jika kita kehilangan penyerbuk, kita mendapat lebih sedikit buah. Jika buah lebih sedikit, produksi kopi lebih sedikit," terang Robert Nasi, direktur jenderal dari lembaga riset lingkungan hidup CIFOR (Center for International Forestry Research).
CIFOR juga menemukan bahwa penyempitan lahan kopi Arabika saat ini akan memuncak pada tahun 2050 hingga berkurang sampai 80%. Untuk jenis kopi Robusta tidak akan berdampak karena tumbuh di dataran rendah dengan iklim lembap.
Semakin berkurang area perkebunan kopi, menurut Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution, juga menjadi ancaman produksi kopi lokal menurun.
Dia menyebutkan, dari produktivitas petani kopi Robusta hanya mencapai 0,53 ton per hektar dari potensi maksimal yang bisa mencapai 2 ton. Sementara itu, untuk kopi Arabika 0,55 ton dibanding potensi maksimal sebesar 1,5 ton.
Untuk meningkatkan jumlah produksi, perkebunan kopi harus melakukan penanaman baru atau replanting. Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian, Bambang, mengatakan hal ini bisa dilakukan terhadap sekitar 30% dari total luas lahan kopi yang mencapai 1,2 juta hektare.
Kementerian Pertanian berencana melakukan replanting terhadap 16.400 hektar lahan. Dana yang digunakan berasal dari Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN). "Tujuannya agar produktivitas meningkat hingga 2 ton per hektare," ujar Bambang.
Ke depan pemerintah berencana lebih menggenjot produksi kopi Arabika. “Kami akan ganti kopi Robusta di dataran ringgi dengan kopi Arabika yang lebih cocok iklimnya," pungkasnya.**
Para peneliti di Royal Botanic Gardens, Inggris menemukan sebanyak 75 dari 124 spesies kopi liar di dunia terancam oleh penebangan liar di hutan, perubahan iklim, serta masalah penyakit jamur dan hama yang semakin memburuk.
Perubahan iklim terutama menjadi ancaman bagi jenis kopi Arabika liar, spesies kopi yang berasal dari Etiopia ini telah dibudidayakan untuk menjadi penyedia sebagian besar perdagangan global biji kopi bernilai miliaran Poundsterling selama bertahun-tahun.
Dengan kata lain stok kopi dunia turut dipengaruhi tersedianya tumbuhan kopi liar yang ada di pedalaman hutan, khususnya di negara Etiopia.
Etiopia adalah eksportir kopi terbesar di benua Afrika. Nilai ekspornya menembus angka $1 miliar (sekitar Rp14,1 triliun) setiap tahun.
Jumlah lokasi tumbuh tanaman kopi Arabika di negara tersebut diperkirakan dapat berkurang hingga 85 persen pada tahun 2080. Lalu, para ilmuwan mengungkapkan, hingga 60 persen lahan cocok tanamannya menjadi tidak lagi subur pada akhir abad ini.
Saat ini, di Etiopia kopi hutan asli yang liar tumbuh di wilayah konservasi Kafa Coffee Biosphere Reserve. Di tempat yang berjarak 488 kilometer dari ibu kota Adis Ababa itulah buah kopi liar jatuh ke tanah hingga tumbuh dengan sendirinya. Ada lebih dari lima ribu jenis kopi telah ditemukan di hutan hujan Kafa.
Keunggulan tanaman kopi liar dibutuhkan karena ragam sifat yang ditemukan pada biji kopi spesies liar dinilai penting untuk silang genetik sehingga di masa depan dapat menghasilkan tanaman yang tahan mengatasi ancaman, seperti musim kemarau yang lebih panjang atau ancaman lain yang disebabkan oleh perubahan iklim dan penyebaran hama.
"Jika bukan karena spesies kopi liar, kita tidak akan memiliki kopi sebanyak yang kita minum di dunia saat ini. Karena jika Anda melihat sejarah budi daya kopi, kita menggunakan spesies liar untuk membuat tanaman kopi yang memiliki daya tahan lebih baik," kata peneliti senior, Aaron Davis dari Royal Botanic Gardens, Inggris dinukil BBC.com.
Sebagian besar kopi liar tumbuh di hutan terpencil Afrika dan Pulau Madagaskar. Di luar benua Afrika, tanaman kopi liar juga ditemukan di negara iklim tropik, termasuk sebagian daerah India, Sri Lanka dan Australia.
Perdagangan kopi dunia bergantung pada dua jenis, yakni Arabika dan Robusta. Sementara jenis ketiga, yakni Liberica tumbuh di hampir seluruh wilayah dunia tetapi jarang dijadikan minuman kopi.
Penurunan produksi kopi juga dirasakan oleh petani kopi Gayo, di Aceh, Indonesia. Selain perubahan iklim, ancaman hama penggerek buah kopi, Hypothenemus hampei atau hama pengebor biji kopi, menjadi ancaman.
Hama ini tidak bisa hidup di ketinggian 800 meter di atas permukaaan laut, tetapi seiring berubahnya iklim maka sekarang mereka bisa hidup di ketinggian 1.200 meter, tempat pohon-pohon kopi Arabika tumbuh.
Akibat perubahan iklim juga mengancam kekayaan spesies lebah yang akan mendongkrak kualitas tanaman kopi.
"Jika kita kehilangan lebah, kita kehilangan penyerbuk. Jika kita kehilangan penyerbuk, kita mendapat lebih sedikit buah. Jika buah lebih sedikit, produksi kopi lebih sedikit," terang Robert Nasi, direktur jenderal dari lembaga riset lingkungan hidup CIFOR (Center for International Forestry Research).
CIFOR juga menemukan bahwa penyempitan lahan kopi Arabika saat ini akan memuncak pada tahun 2050 hingga berkurang sampai 80%. Untuk jenis kopi Robusta tidak akan berdampak karena tumbuh di dataran rendah dengan iklim lembap.
Semakin berkurang area perkebunan kopi, menurut Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution, juga menjadi ancaman produksi kopi lokal menurun.
Dia menyebutkan, dari produktivitas petani kopi Robusta hanya mencapai 0,53 ton per hektar dari potensi maksimal yang bisa mencapai 2 ton. Sementara itu, untuk kopi Arabika 0,55 ton dibanding potensi maksimal sebesar 1,5 ton.
Untuk meningkatkan jumlah produksi, perkebunan kopi harus melakukan penanaman baru atau replanting. Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian, Bambang, mengatakan hal ini bisa dilakukan terhadap sekitar 30% dari total luas lahan kopi yang mencapai 1,2 juta hektare.
Kementerian Pertanian berencana melakukan replanting terhadap 16.400 hektar lahan. Dana yang digunakan berasal dari Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN). "Tujuannya agar produktivitas meningkat hingga 2 ton per hektare," ujar Bambang.
Ke depan pemerintah berencana lebih menggenjot produksi kopi Arabika. “Kami akan ganti kopi Robusta di dataran ringgi dengan kopi Arabika yang lebih cocok iklimnya," pungkasnya.**