Dalam melakukan pelayaran, para pelaut Batuatas menjalankan kegiatan dagang. Barang komoditi ekspor yang dibawa oleh pelayar niaga dan pelayar Buton pada umumnya adalah rotan, damar, agel, kopra, cengkeh, pala, teripang, dan berbagai hasil laut lainnya.
Komoditas rotan, damar, kopra, cengkih, pala, kulit binatang, dan teripang diekspor ke Singapura dan Malaysia, sedangkan ke Cina di ekspor agel dan teripang. Sejak 1926, dimulai perdagangan kopra, cengkih, dan pala dari Kepulauan Maluku yang dibawa ke kawasan barat Nusantara sampai ke mancanegara yakni Singapura dan Malaysia.
Pada mulanya perdagangan tersebut mendapat rintangan dari pemerintah Belanda karena keuntungannya berlipat ganda sehingga para pedagang harus melakukan pelayaran secara ilegal terutama ke Singapura dan Malaysia. Fenomena tersebut berlanjut hingga akhir abad ke-20 ketika
pelayar niaga orang Batuatas, orang Buton, dan Buton Selatan pada umumnya, tetap melakukan pelayaran niaga ke Singapura, Malaysia, Filipina, Australia, dan wilayah Pasifik lainnya.
Pada awal abad ke-20 barang komoditi impor dari mancanegara masih terbatas pada keramik dan tekstil. Kemudian pada pertengahan abad ke-20 meningkat baik volume maupun jenis barang termasuk elektronik.
Keramik (guci, mangkuk dan piring) didatangkan dari Cina dan Thailand yang ditukar atau imbal beli dengan agel dan kopra. Hal itu berlangsung hingga pertengahan abad ke-20. Elektronik, teksitl yang dikenal dengan akronim RB ‘rombengan’ atau pakaian bekas didatangkan dari Singapura dan Malaysia (Johor, Pulau Penang, dan Tawau di Sabah) secara ilegal.
Barang-barang komoditi impor dijual ke wilayah Buton, Kndari, Muna, Sulawesi Tengah, Maluku, Papua, Nusa Tenggara, dan Timor Timur.
Dalam proses transaksi dagang dan pergaulan dengan orang-orang dari berbagai suku bangsa lain yang dijumpainya, pelayar Buton sejak awal berusaha keras menggunakan bahasa Indonesia dengan baik.
Dalam percakapan ternyata mereka lebih mampu berbahasa Indonesia daripada orang-orang dar komunitas petani, peternak, pedagang, dan perantau Buton lainnya yang hidup di pulau dan di daratan. Diakuinya kelancaran transaksi dagang yang mereka kelola banyak ditentukan oleh kemampuan berkomunikasi dalam bahasa Indonesia dengan mitra dagang dan konsumen, buruh-buruh pelabuhan, aparat pemerintah dan sebagainya.
Bagi pelayar Buton, pengalaman pengembaraan yang panjang diakuinya telah memperkaya pengetahuan dan wawasan ruang samudera dan dunia internasional serta sikap keterbukaan.
Komoditas rotan, damar, kopra, cengkih, pala, kulit binatang, dan teripang diekspor ke Singapura dan Malaysia, sedangkan ke Cina di ekspor agel dan teripang. Sejak 1926, dimulai perdagangan kopra, cengkih, dan pala dari Kepulauan Maluku yang dibawa ke kawasan barat Nusantara sampai ke mancanegara yakni Singapura dan Malaysia.
Pada mulanya perdagangan tersebut mendapat rintangan dari pemerintah Belanda karena keuntungannya berlipat ganda sehingga para pedagang harus melakukan pelayaran secara ilegal terutama ke Singapura dan Malaysia. Fenomena tersebut berlanjut hingga akhir abad ke-20 ketika
pelayar niaga orang Batuatas, orang Buton, dan Buton Selatan pada umumnya, tetap melakukan pelayaran niaga ke Singapura, Malaysia, Filipina, Australia, dan wilayah Pasifik lainnya.
Pada awal abad ke-20 barang komoditi impor dari mancanegara masih terbatas pada keramik dan tekstil. Kemudian pada pertengahan abad ke-20 meningkat baik volume maupun jenis barang termasuk elektronik.
Keramik (guci, mangkuk dan piring) didatangkan dari Cina dan Thailand yang ditukar atau imbal beli dengan agel dan kopra. Hal itu berlangsung hingga pertengahan abad ke-20. Elektronik, teksitl yang dikenal dengan akronim RB ‘rombengan’ atau pakaian bekas didatangkan dari Singapura dan Malaysia (Johor, Pulau Penang, dan Tawau di Sabah) secara ilegal.
Barang-barang komoditi impor dijual ke wilayah Buton, Kndari, Muna, Sulawesi Tengah, Maluku, Papua, Nusa Tenggara, dan Timor Timur.
Dalam proses transaksi dagang dan pergaulan dengan orang-orang dari berbagai suku bangsa lain yang dijumpainya, pelayar Buton sejak awal berusaha keras menggunakan bahasa Indonesia dengan baik.
Dalam percakapan ternyata mereka lebih mampu berbahasa Indonesia daripada orang-orang dar komunitas petani, peternak, pedagang, dan perantau Buton lainnya yang hidup di pulau dan di daratan. Diakuinya kelancaran transaksi dagang yang mereka kelola banyak ditentukan oleh kemampuan berkomunikasi dalam bahasa Indonesia dengan mitra dagang dan konsumen, buruh-buruh pelabuhan, aparat pemerintah dan sebagainya.
Diasumsikan bahwa segenap pengalamanan, pengalaman berinteraksi dan saling kenal dengan orang-orang Indonesia yang berbeda suku bangsa terlibat secara mendalam dan mematuhi segala peraturan dengan memahami keberagaman atau keseragaman simbol-simbol itulah yang menumbuhkan wawasan kebangsaan, kesatuan Tanah Air, kesatuan bahasa, dan kesatuan bangsa Indonesia.
Bagi pelayar Buton, pengalaman pengembaraan yang panjang diakuinya telah memperkaya pengetahuan dan wawasan ruang samudera dan dunia internasional serta sikap keterbukaan.
Para pelaut niaga Buton lebih dominan memperdagangkan kopra dan cengkih ke wilayah Jawa, sedangkan untuk wilayah Jakarta adalah hasil laut, yakni Teripang laut. Sementara hasil yang dibawa pulang kembali dari hasil perdagangan itu adalah barang kebutuhan pokok, seperti pakaian, semen, gula, dan beras.
Hal itu menunjukkan bahwa dalam berusaha mencari nafkah, khususnya di bidang pelayaran niaga atau perdagangan antarpulau, pelaut Buton menggunakan perahu dan/atau kapal.
Artikel ini merupakan kelanjutan dari tulisan bertajuk ‘bagi orang Buton, perahu adalah desa kecil yang mengapung di laut, yang dipetik dalam jurnal “melacak jalur rempah pelayaran dan migrasi Orang Buton di Kepulauan Maluku” karya Tasrifin Tahara, dalam ‘jejak nusantara’ vol. 04 November 2016 ** (Bersambung ke bagian 5)
Baca sebelumnya : Siapa sebenarnya Buton dalam sejarah Nusantara? (bagian-3)