BANYAK literatur menuliskan jika Kerajaan/kesultanan Buton masa lalu dikelompokkan sebagai kerajaan Melayu. Persepsi ini bermula dari sejarah migrasi bahasa Melayu ke negeri Buton, sejarah terbentuknya Kerajaan Buton, sejarah hubungan Buton dengan kerajaan lain di Nusantara terutama Kerajaan Melayu dan Majapahit.
Disebutkan, Buton sangat penting dalam pelayaran dan perdagangan Nusantara dan Asia, serta jaringan para ulama Nusantara dan Arab dalam rangka penyiaran dan penyebaran ajaran agama Islam di Buton.
Dalam Hikayat Negeri Buton La Ode Syukur, (2009:40-43) dikisahkan bahwa jauh sebelum Kesultanan Buton terbentuk, bangsa Melayu telah menguasai sebagian besar daratan Pulau Buton. Mereka berasal dari Pulau Liya tanah Melayu.
Disebutkan, Buton sangat penting dalam pelayaran dan perdagangan Nusantara dan Asia, serta jaringan para ulama Nusantara dan Arab dalam rangka penyiaran dan penyebaran ajaran agama Islam di Buton.
Dalam Hikayat Negeri Buton La Ode Syukur, (2009:40-43) dikisahkan bahwa jauh sebelum Kesultanan Buton terbentuk, bangsa Melayu telah menguasai sebagian besar daratan Pulau Buton. Mereka berasal dari Pulau Liya tanah Melayu.
Sumber lain yang menerangkan kerajaan Buton terdapat dalam Negara Kertagama karya Mpu Prapanca pada tahun 1365 M, bahwa negeri Buton disebut dengan nama Butuni. Butuni merupakan sebuah desa tempat tinggal para resi (pendeta) yang dilengkapi taman, lingga dan saluran air. Rajanya bergelar Yang Mulia Mahaguru. Dalam sejarahnya, cikal bakal Buton sebagai negeri telah dirintis oleh empat orang yang disebut dengan Mia Patamiana. Mereka adalah: Sipanjonga, Simalui, Sitamanajo, Sijawangkati.
Menurut sumber sejarah lisan Buton, empat orang pendiri negeri ini berasal dari Semenanjung Melayu yang datang ke Buton pada akhir abad ke-13 M. Empat orang (Mia Patamiana) tersebut terbagi dalam dua kelompok, yakni: Sipanjongan dan Sijawangkati, sedangkan lainnya Simalui dan Sitamanajo.
Kelompok pertama beserta para pengikutnya menguasai daerah Gundu-Gundu, sementara kelompok kedua dengan para pengikutnya menguasai daerah Barangkatopa. Sipanjongan dan para pengikutnya meninggalkan tanah asal di Semenanjung Melayu menuju kawasan timur dengan menggunakan sebuah perahu yang di beri nama Lakuleba pada bulan Syaban 634 Hijriyah (1236 M).
Selain empat Limbo di atas, di pulau Buton juga telah berdiri beberapa kerajaan kecil yaitu: Tobe-Tobe, Kamaru, Wabula, Todanga dan Batauga. Dalam perjalanannya, kerajaan-kerajaan kecil dan empat Limbo di atas kemudian bergabung dan membentuk sebuah kerajaan baru, dengan nama kerajaan Buton. Pada saat itu, kerajaan tersebut memilih seorang wanita yang bernama Wa Kaa Kaa sebagai raja. Peristiwa ini terjadi sekitar tahun 1332 M.
Berkaitan dengan asal-usul nama Buton, menurut tradisi lokal berasal dari Butuni, sejenis pohon beringin (barringtonia asiatica). Penduduk setempat menerima penyebutan ini sebagai tanda dari para pelaut nusantara yang sering singgah di pulau itu. Dalam surat-menyurat, kerajaan ini menyebut dirinya Butuni, orang Bugis menyebutnya Butung, dan Belanda menyebutnya Buton. Selain itu, dalam arsip Belanda, negeri ini juga dicatat dengan nama Butong (Bouthong).
Menurut Zuhdi (1999:50) ada juga jalur dari Jawa ke Kepulauan Maluku melalui Butun. Dalam jalur ini, Butun merupakan salah satu mata rantai jaringan yang tidak terpisahkan. Meskipun tidak memiliki komoditas perdagangan yang diandalkan (kecuali perdagangan budak), letak strategisnya tidak dapat disangkal telah memberi peluang Butun masuk ke dalam jalur pelayaran di Nusantara dan Asia.
Namun setelah VOC menguasai Malaka tahun 1624 banyak perdagangan Melayu yang berpindah ke timur. Makasar memanfaatkan kesempatan ini untuk menjadi persinggahan dalam jalur pelayaran Maluku, Philipina, Patani, Cina, dan Kepulauan Sunda Kecil.
Dalam jaringan ini, Butun menjadi salah satu bagiannya. Dalam kerangka persaingan antara VOC (Belanda) dan Estado da India (Portugis) di perairan Nusantara, letak Butun juga memegang peranan strategis.
Posisi Butun di sini tidak semata-mata sebagai tempat persinggahan, melainkan juga tempat perdagangan sebagaimana terungkap dalam catatan Speelman, menyebutkan bahwa tekstil dari Siam, Johor, Malaka dan Aceh diteruskan ke Manggarai, Timor, Tanimbar, Alor, Bima, Palembang, Jambi, Johor, Maluku, Aceh, dan Banjarmasin.
Sehingga bisa dilihat bahwa kerajaan Buton dalam bidang ekonomi berjalan dengan baik, berkat relasi perdagangan dengan negeri sekitarnya. Dalam negeri Buton sendiri, telah berkembang suatu sistem perpajakan sebagai sumber pendapatan kerajaan. Jabatan yang berwenang memungut pajak di daerah kecil adalah tunggu weti.
Dalam perkembangannya, kemudian tejadi perubahan, dan jabatan ini ditingkatkan statusnya menjadi Bonto Ogena. Dengan perubahan ini, maka Bonto Ogena tidak hanya berwenang dalam urusan perpajakan, tapi juga sebagai kepala Siolimbona (lembaga legislatif saat itu).
Sebagai alat tukar dalam aktifitas ekonomi, Buton telah memiliki mata uang yang disebut Kampua. Panjang Kampua adalah 17,5 cm, dan lebarnya 8 cm, terbuat dari kapas, dipintal menjadi benang kemudian ditenun menjadi kain secara tradisional.
Begitu pun dalam kehidupan di bidang hukum berjalan denga baik tanpa diskriminasi. Siapapun yang bersalah, dari rakyat jelata hingga sultan akan menerima hukuman. Sebagai bukti, dari 38 orang sultan yang pernah berkuasa di Buton, 12 di antaranya mendapat hukuman karena melanggar sumpah jabatan. Satu di antaranya, yaitu Sultan ke-8, Mardan Ali (La Cila) dihukum mati dengan cara dililit lehernya dengan tali sampai mati.
Era pra Islam Kerajaan Buton berlangsung dari tahun 1332 hingga 1542 M. Selama rentang waktu ini, Buton diperintah oleh enam orang raja. Sementara periode Islam diawali pada tahun 1542 dan Buton menjadi kesultanan (pemerintahan Islam) yang dipemerintah oleh Sultan Kaimuddin (1542-1568). Sultan ini telah menciptakan filosofi masyarakat Buton dalam kehidupan bernegara yang salah satu butirnya berbunyi, Bolimo karo somanamo lipu (setiap individu harus mengalah demi kepentingan nasional).
Periode Kerajaan Buton yang dimulai tahu 1542 M ini kemudian berakhir pada 1960 M. Selama rentang waktu ini, telah berkuasa 38 orang raja. Sultan terakhir yang berkuasa di Buton adalah Muhammad Falihi Kaimuddin. Kekuasaannya berakhir pada tahun 1960 M. Kekuasaan Kerajaan Buton meliputi seluruh Pulau Buton dan beberapa pulau yang terdapat di Sulawesi.
Budaya Melayu dan Ciri-Cirinya
Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit termasuk sistem agama dan,politik,adat,istiadat, bahasa, perkakas, pakaian,bangunan, dan karya seni.
Umumnya, suku-suku yang dikategorikan sebagai Melayu memiliki identitas kepribadian pada umumnya yaitu adat-istiadat Melayu, bahasa Melayu, dan agama Islam. Dengan demikian, seseorang yang mengaku dirinya orang Melayu harus beradat-istiadat Melayu, berbahasa Melayu, dan beragama Islam.
Maka dari itu jika diperhatikan adat budaya melayu maka tidak lepas dari ajaran agama Islam seperti dalam ungkapan pepatah, perumpamaan, pantun, syair, dan sebagainya menyiratkan norma sopan-santun dan tata pergaulan orang Melayu.
AdatAturan-aturan tentang beberapa segi kehidupan manusia yang tumbuh dari usaha orang dalam suatu daerah yang terbentuk di Indonesia sebagai kelompok sosial untuk mengatur tata tertib tingkah-laku anggota masyarakatnya. Di Indonesia, aturan-aturan tentang segi kehidupan manusia itu menjadi aturan hukum yang mengikat dan disebut hukum adat (Yayasan Kanisius, 1973).
Bagi kelompok ‘Melayu’ terdapat tiga jenis adat yaitu adat sebenar adat atau adat yang memang tidak bisa diubah lagi karena merupakan ketentuan agama , adat yang diadatkan adalah adat yang dibuat oleh penguasa pada suatu kurun waktu dan adat itu terus berlaku selama tidak diubah oleh penguasa berikutnya, dan adat yang teradat adalah konsensus bersama yang dirasakan baik, sebagai pedoman dalam menentuhan sikap dan tindakan dalam menghadapi setiap peristiwa dan masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat.
Adat-istiadat yang merupakan pola sopan-santun dalam pergaulan orang Melayu seperti di Riau sebenarnya sudah lama menjadi pola pergaulan nasional sesama warga negara. Bahasa Melayu yang telah menjadi bahasa nasional Indonesia mengikutsertakan pepatah, ungkapan, peribahasa, pantun, seloka, dan sebagainya, sehingga tidak mudah untuk mengidentifikasi pepatah dan peribahasa yang berasal dari Melayu dan yang bukan dari Melayu.
KarakteristikOrang Melayu sangat identik dengan kesopanan dalam pergaulan dimana bisa kita lihat dalam sebuah karya sastra melayu :
Hidup sekandang sehalaman
tidak boleh tengking-menengking
tidak boleh tindih-menindih
tidak boleh dendam kesumat
Yang patut dipatutkan
Yang tua dituakan
Yang berbangsa dibangsakan
Yang berbahasa dibahasakan dan Orang Melayu sangat identik dengan sikap gotong royong yang dapat dilihat pada :
Lapang sama berlegar
Sempit sama berhimpit
Lebih beri-memberi
Kalau berjalan beriringanCiri Khas Budaya Melayu
Pada umunya masyarakat Melayu memiliki upacara lingkaran hidup mulai dari proses pernikahan, kelahiran di 7 bulan awal, hingga kelahiran bayi dimana ada pemotongan rambut bayi (aqiqah), kemudian upacara kematian dari 40 hari hingga 100 hari.
Hal lain, tetarian suku-suku kelompok Melayu, selalu rancak dan gembira. Umumnya juga meiliki kerajinan tradisional seperti budaya menenun kain, dan rata-rata pandai berbalas pantun.
Orang melayu umumnya di identitaskan sebagai orang yang tinggal di Tanah Melayu, beragama islam, dan melaksanakan adat istiadat melayu, namun sebenarnya Melayu sendiri ibarat rumah yang di isi oleh berbagai macam penghuni dengan berbagai macam jenis pandangan hidup pula dan tidak harus orang yang mendiami daerah melayu. dikarenakan dalam perkembangan zaman melayu memiliki berbagai macam versi. (dari berbagi sumber).
0 Komentar