Di masa lampau wilayah dan masyarakat Kepulauan Tukang Besi tidak banyak dikenal di dunia luar. Ini disebabkan karena selama beratus-ratus tahun lamanya kepulauan ini merupakan bagian dari wilayah Kesultanan Buton pada masa sebelum kemerdekaan dan bagian dari wilayah Kabupaten Buton pada masa sesudah kemerdekaan.
Rangkaian artikel ini masih bersumber dari tulisan Ali Hadara, Akademisi Universitas Halu Oleo yang pernah disampaikannya dalam sebuah seminar nasional di tahun 2006. Ia juga tercatat sebagai putra Kepulauan Besi kelahiran Usuku, salah satu wilayah di Pulau Tomia – Wakatobi saat ini.
Rangkaian artikel ini masih bersumber dari tulisan Ali Hadara, Akademisi Universitas Halu Oleo yang pernah disampaikannya dalam sebuah seminar nasional di tahun 2006. Ia juga tercatat sebagai putra Kepulauan Besi kelahiran Usuku, salah satu wilayah di Pulau Tomia – Wakatobi saat ini.
Popularitasnya masyarakat Kepulauan Tukang Besi di masa lampau, terutama sepak terjangnya dalam dunia pelayaran, tenggelam dalam kebesaran nama Buton. Peran dan kontribusinya dalam proses panjang sejarah Buton, terutama dalam aspek pelayaran niaga, tidak bisa diabaikan begitu saja. Para pelayar, yang biasanya di dunia luar lebih dikenal sebagai pelayar-pelayar Buton, sesungguhnya adalah pelayar-pelayar asal Kepulauan Tukang Besi akan tetapi mereka mempertegas dirinya sebagai sosok orang Buton karena memang wilayahnya adalah bagian dari kekuasaan Buton.
Karena itu perannya dalam dunia pelayaran tradisional telah menambah keharuman nama Buton sebagai kerajaan maritim dan salah satu dari enam etnik maritim yang paling dominan di Indonesia (Hughes, 1984 : 152; Southon, 1995 : 5) bahkan bersama Bugis dan Makassar dikelompokkan sebagai tiga kekuatan yang paling dinamis dan ekspansif dalam kegiatan pelayaran di kawasan timur Indonesia (James J. Foxdalam Southon, 1995 : viii).
Dari aspek ideologi, masyarakat Kepulauan Tukang Besi memegang teguh falsafah gau satoto yang menekankan pentingnya prinsip keteguhan pendirian, ketegasan sikap, dan satunya kata dengan perbuatan. Ideologi ini dijabarkan ke dalam lima prinsip nilai, yaitu tara (ketangguhan), turu (kesabaran), toro (kemitmen), taha (keberanian), dan toto (kejujuran).
Kelima prinsip ini secara filsofis adalah respons posisitf atas berbagai tantangan lingkungan alam pulau-pulau yang tandus dan berbatu-batu, serta perairan yang ganas akibat hempasan ombak yang datang dari Laut Banda di musim timur dan Laut Flores di musim barat. Untuk bisa bertahan hidup dalam kondisi alam yang demikian maka harus dihadapi dengan prinsip-prinsip nilai di atas.
Bagi orang Kepulauan Tukang Besi, pelayaran ke seantero Nusantara, Singapura, Malaysia, Deli, Filipina Selatan dianggap sebagai rutinitas biasa. Bahkan mereka ada yang sampai di perairan Australiua Utara, Pakistan. Dan Kepulauan Palau di sebelah timur Filipina dengan hanya menggunakan perahu layar tradisional yang disebut Lambo.
Jaringan dan peran serta mereka dalam dunia pelayaran niaga, sejauh yang dapat dilacak, mulai tampak sejak abad terakhir masa kurun niaga yang mula-mula dipelopori oleh orang-orang Binongko, nama salah satu pulau dalam gugus Kepulauan Tukang Besi (Wakatobi) kemudian disusul oleh pulau-pulau lainnya.
Ada tiga keunggulan utama yang dimiliki oleh pelayar-pelayar Kepulauan Tukang Besi dan dua peran serta yang dimainkan, yaitu kemahiran membuat perahu layar tradisional, keberanian berlayar di alam bebas yang ganas dan penuh misteri, dan kemampuan menerima perkembangan teknologi pelayaran, serta peranserta mereka untuk ikut menyebarluaskan Islam dan kebudayaan melalui jalur pelayaran dan perdagangan dan ikut membantu perjuangan untuk mencapai dan mempertahankan kemerdekaan. (ref)
Baca Awal tulisan : Hoger, si Belanda Pencipta nama 'Kepulauan Tukang Besi' Wakatobi Kini. (Bagian I)
0 Komentar