Sebuah catatan penting tentang orang-orang Buton ke Maluku terekam dalam jurnal bertajuk “melacak jalur rempah pelayaran dan migrasi Orang Buton di Kepulauan Maluku” karya Tasrifin Tahara, antropolog Unhas yang terekam dalam jurnal ‘jejak nusantara’ vol. 04 November 2016 – menjadi kekuatan jiwa orang Buton sebagai pelintas samudra. Begini tuturannya.
TRADISI maritim orang Buton dan migrasi hingga kini merupakan kekuatan budaya yang penting dikaji, tidak hanya karena latar historisnya tetapi juga dapat menjadi sumber nilai kehidupan bagi mereka dalam menata masa depannya.
Tradisi ini telah melampau berbagai zaman dan generasi, dengan segala tantangannya, telah mengukuhkan orang Buton sebagai suku bangsa bahari Indonesia bersama dengan suku bangsa lainnya yakni Bajo, Bugis, Makassar, Mandar, dan Madura (Horridge 1986).
Menjalani lakon hidup sebagai pelayar tidak mudah dilaluinya tanpa landasan nilai kehidupan yang kuat diyakininya. Segala upaya pemerintah kolonial pada akhir abad ke-19 untuk menyempurnakan wilayah kekuasaannya, dengan mengoperasikan maskapai pelayaran Koninklijke Paketvaart Matschappij tampak tidak mampu menutup ruang pelayaran pribumi (Lapian 2009).
TRADISI maritim orang Buton dan migrasi hingga kini merupakan kekuatan budaya yang penting dikaji, tidak hanya karena latar historisnya tetapi juga dapat menjadi sumber nilai kehidupan bagi mereka dalam menata masa depannya.
Tradisi ini telah melampau berbagai zaman dan generasi, dengan segala tantangannya, telah mengukuhkan orang Buton sebagai suku bangsa bahari Indonesia bersama dengan suku bangsa lainnya yakni Bajo, Bugis, Makassar, Mandar, dan Madura (Horridge 1986).
Menjalani lakon hidup sebagai pelayar tidak mudah dilaluinya tanpa landasan nilai kehidupan yang kuat diyakininya. Segala upaya pemerintah kolonial pada akhir abad ke-19 untuk menyempurnakan wilayah kekuasaannya, dengan mengoperasikan maskapai pelayaran Koninklijke Paketvaart Matschappij tampak tidak mampu menutup ruang pelayaran pribumi (Lapian 2009).
Pelaut Buton mampu menunjukkan eksistensinya. Aktivitas mereka sulit dikontrol, selain karena kepiawaian mereka membaca ruang samudra, juga karena kekuatan nilai budaya yang dianutnya. Bagi mereka, laut dan perahu merupakan representasi kehidupan, seperti halnya di darat, meminjam istilah dari Hamid (1994), bahwa perahu adalah sebuah desa kecil yang mengapung di laut.
Bagi pelayar, perahu (bangka/wangka) memiliki peran yang sangat penting dalam rona kehidupan mereka di laut. Bahkan, karena pentingnya, istilah sabangka ‘perahu’ pun digunakan sebagai sapaan kepada kehidupan di darat, untuk menyebut kawan/teman/sahabat.
Kesatuan kata dan langkah dalam usaha pelayaran dan perdagangan maritim merupakan unsur utama penguat tradisi maritim. Dengan semangat selalu bersama atau satunya kata dan perbuatan, segala tantangan kehidupan di laut, baik yang bersumber dari ruang samudra maupun dari manusia, dapat dihadapi.
Itulah sebabnya, ketika perahu telah dilayarkan dan meninggalkan pantai,pantang bagi pelayar untuk mengubah haluan, apalagi kembali lagi ke pantai. Semangat yang dimaksud adalah asarope, diambil dari kata rope yakni bagian depan atau haluan perahu, diawali dengan kata asa yang bermakna satuatau sama (Tahara, dkk. 2015).
Semangat hidup dalam pelayaran merupakan nilai-nilai utama kebudayaan masyarakat Bugis di pulau-pulau. Nilai budaya inilah yang menjadi penopang utama kelangsungan tradisi bahari orang Buton dari waktu ke waktu dan dari satu tempat (ruang) ke tempat yang lain.
Mereka berlayar melintasi ruang samudra (laut) dan dari satu pulau ke pulau lain. Aktivitas ini membawa mereka lebih dekat mengenal komunitas dan budaya lain, dan yang tidak kalah pentingnya adalah “negeri baru” yang kelak dijadikan tempat bagi mereka mencari nafkah dan tinggal atau menetap di sana. Secara perlahan, mereka kemudian membangun permukiman di sepanjang rute pelayarannya, terutama di kawasan timur Indonesia.
Maluku adalah salah satu daerah tujuan utamanya. Hasil bumi Maluku berupa kopra, cengkih, dan (belakangan) jambu mente merupakan komoditi utama yang dibeli dan diangkut, kemudian dibawa dan dijual di Jawa dan Singapura. Dari daerah tujuan itu kemudian mereka membeli barangbarang kelontong untuk memenuhi kebutuhan penduduk di Maluku dengan cara menjual atau menukar (barter) dengan hasil bumi (La Malihu 1998).
Aktivitas tersebut membangun dan memperkuat jaringan maritim orang Buton di Indonesia. Sebaran orang Buton di berbagai daerah di kawasan timur Indonesia, khususnya Maluku, merupakan warisan tradisi bahari yang telah berlangsung cukup lama (Zuhdi 2002). ** (Ref-bersambung ke bagian-2)
0 Komentar