FENOMENA minimnya peserta seleksi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) yang lulus di beberapa daerah di Sulawesi Tenggara, menimbulkan rasa empati dari seorang Gubernur Sulawesi Tenggara, H. Ali Mazi, SH. Ia memandang tingkat kesulitan soal dan tingginya skor passing grade membuat peserta sulit menembus target, apalagi memenuhi kuota yang ditetapkan di sejumlah daerah.
“hasil seleksi ini menjadi perhatian saya, sebab Sultra butuh tenaga-tenaga baru yang berdampak pada pelaksanaan pembangunan yang lebih cepat dan lebih baik,” ujar Ali Mazi dilansir zonasultra.com, media partner Butonmagz di Kendari pekan ini.
Sebagai tindak lanjut atas rasa empati dan perhatian itu, Gubernur memerintahkan jajarannya di Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sulawesi Tenggara (Sultra) untuk berkonsultasi ke Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (MenpanRB) menyusul banyaknya peserta seleksi calon pegawai negeri sipil (CPNS) yang tak lulus.
“Ya kita komunikasi dengan KemenpanRB. Ketemu paling tidak kita diskusi bagaimana solusinya,” ungkap Ali Mazi saat ditemui di gedung DPRD Sultra,”
Gubernur kelahiran Pasarwajo Kabupaten Buton ini memahami kondisi psikologis peserta seleksi, dimana kegagalan dalam ujian lebih karena minimnya pemahaman mengikuti tes melalui perangkat elektronik, buka sekadar ketidakmampuan menjawab soal-soal. Hal yang berbeda dengan di beberapa perkotaan besar yang terbiasa dengan sistem test seperti ini.
“Kalau di Jakarta kan sudah biasa. Kalau kita bukan tidak mampu, tapi mungkin baru menemukan sehingga mungkin mereka tidak percaya diri,” tuturnya.
Ali Mazi tak sekadar membela para calon aparaturnya itu, tetapi ia juga memberi saran kepada pemerintah pusat, agar kedepannya peserta CPNS sebelum tes diberikan kursus terlebih dahulu.
“Penurunan standar passing grade, sebetulnya standarnya sama dan itu sudah dipelajari, tapi karena tidak terbiasa. Nah ini memang perlu kita biasakan mereka. Ya nanti kita diskusikan dengan KemenpanRB,” ujarnya.
Ungkapan senada juga datang dari politisi PKS - Yaudu Salam Ajo, ia menilai ada beberapa faktor yang menyebabkan banyaknya peserta CPNS yang gugur. Pertama kualitas peserta dan kedua dari sistemnya sendiri.
“Artinya mungkin sistem IT-nya orang tidak terbiasa. Kemungkinan untuk melakukan kesalahan dalam pengisian itu sangat besar. Atau pun soal-soalnya sendiri yang terasa sulit, standarnya terlalu berat, waktunya mungkin terlalu sempit, sehingga peserta dalam mengisi jawaban panik karena terpikir dengan waktu,” kata Yaudu yang juga Ketua Komisi IV DPRD Sulawesi Tenggara.
Karena itu, politikus asal kawasan Kepulauan Buton ini menyarankan agar pemerintah pusat melakukan evaluasi dengan memahami lebih jauh proses awal sampai akhir.
“Ini yang harus menjadi perhatian pemerintah pusat. Setelah melakukan tes ini dia harus evaluasi dirinya sendiri. Kenapa banyak yang tidak lulus, berarti ada apa dengan kualitas sumber daya manusia kita,” jelasnya.
Sementara itu, pengamat komunikasi sosial asal Kota Baubau, Dr. Hamzah, M.I.Kom.- mengamati sisi lain dari fenomena minimnya peserta yang lolos dalam seleksi CPNSD di Sulawesi Tenggara, yang menurutnya bisa diterjemahkan sebagai ketidak seriusan pemerintah pusat dalam menerima CPNS berdasarkan alokasi dan kuota yang disepakati.
“Bisa dibayangkan jika kuota satu daerah diberi pusat sekitar 400 orang pegawai, tetapi yang lulus hanya sekitar 40 orang di tahap pertama, belum tahapan berikutnya, mungkin bisa lebih minim lagi yang lulus. Apakah itu berarti pusat mengikhlaskan daerah menadapatkan tenaga-tenaga barunya? Kita bisa menjawab ‘tdak’, bisa pula publik berpersepsi jika Pemeribtah Pusat tidak terlalu serius menerima CPNS,” tandas doktor komunikasi politik asal Universitas Sahid Jakarta itu.
“hasil seleksi ini menjadi perhatian saya, sebab Sultra butuh tenaga-tenaga baru yang berdampak pada pelaksanaan pembangunan yang lebih cepat dan lebih baik,” ujar Ali Mazi dilansir zonasultra.com, media partner Butonmagz di Kendari pekan ini.
Sebagai tindak lanjut atas rasa empati dan perhatian itu, Gubernur memerintahkan jajarannya di Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sulawesi Tenggara (Sultra) untuk berkonsultasi ke Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (MenpanRB) menyusul banyaknya peserta seleksi calon pegawai negeri sipil (CPNS) yang tak lulus.
“Ya kita komunikasi dengan KemenpanRB. Ketemu paling tidak kita diskusi bagaimana solusinya,” ungkap Ali Mazi saat ditemui di gedung DPRD Sultra,”
Gubernur kelahiran Pasarwajo Kabupaten Buton ini memahami kondisi psikologis peserta seleksi, dimana kegagalan dalam ujian lebih karena minimnya pemahaman mengikuti tes melalui perangkat elektronik, buka sekadar ketidakmampuan menjawab soal-soal. Hal yang berbeda dengan di beberapa perkotaan besar yang terbiasa dengan sistem test seperti ini.
“Kalau di Jakarta kan sudah biasa. Kalau kita bukan tidak mampu, tapi mungkin baru menemukan sehingga mungkin mereka tidak percaya diri,” tuturnya.
Ali Mazi tak sekadar membela para calon aparaturnya itu, tetapi ia juga memberi saran kepada pemerintah pusat, agar kedepannya peserta CPNS sebelum tes diberikan kursus terlebih dahulu.
“Penurunan standar passing grade, sebetulnya standarnya sama dan itu sudah dipelajari, tapi karena tidak terbiasa. Nah ini memang perlu kita biasakan mereka. Ya nanti kita diskusikan dengan KemenpanRB,” ujarnya.
Ungkapan senada juga datang dari politisi PKS - Yaudu Salam Ajo, ia menilai ada beberapa faktor yang menyebabkan banyaknya peserta CPNS yang gugur. Pertama kualitas peserta dan kedua dari sistemnya sendiri.
“Artinya mungkin sistem IT-nya orang tidak terbiasa. Kemungkinan untuk melakukan kesalahan dalam pengisian itu sangat besar. Atau pun soal-soalnya sendiri yang terasa sulit, standarnya terlalu berat, waktunya mungkin terlalu sempit, sehingga peserta dalam mengisi jawaban panik karena terpikir dengan waktu,” kata Yaudu yang juga Ketua Komisi IV DPRD Sulawesi Tenggara.
Karena itu, politikus asal kawasan Kepulauan Buton ini menyarankan agar pemerintah pusat melakukan evaluasi dengan memahami lebih jauh proses awal sampai akhir.
“Ini yang harus menjadi perhatian pemerintah pusat. Setelah melakukan tes ini dia harus evaluasi dirinya sendiri. Kenapa banyak yang tidak lulus, berarti ada apa dengan kualitas sumber daya manusia kita,” jelasnya.
Sementara itu, pengamat komunikasi sosial asal Kota Baubau, Dr. Hamzah, M.I.Kom.- mengamati sisi lain dari fenomena minimnya peserta yang lolos dalam seleksi CPNSD di Sulawesi Tenggara, yang menurutnya bisa diterjemahkan sebagai ketidak seriusan pemerintah pusat dalam menerima CPNS berdasarkan alokasi dan kuota yang disepakati.
“Bisa dibayangkan jika kuota satu daerah diberi pusat sekitar 400 orang pegawai, tetapi yang lulus hanya sekitar 40 orang di tahap pertama, belum tahapan berikutnya, mungkin bisa lebih minim lagi yang lulus. Apakah itu berarti pusat mengikhlaskan daerah menadapatkan tenaga-tenaga barunya? Kita bisa menjawab ‘tdak’, bisa pula publik berpersepsi jika Pemeribtah Pusat tidak terlalu serius menerima CPNS,” tandas doktor komunikasi politik asal Universitas Sahid Jakarta itu.
Memang menurut Dr. Hamzah, asumsi filosofis Pusat menerapkan standar dengan skore dan passing grade yang tinggi agar mendapatkan aparatur yang berkualitas. “tetapi pendekatannya sangat kuantitatif. Bayangkan seorang calon guru bahasa Indonesia berhadapan dengan soal-soal matematis. Sementara saat megajar nanti mereka tak mengajar itu,” katanya.
Oleh karena itu, kesan ketidak seriusan, termasuk kesan politis dengan pembukaan penerimaan CPNS di momentum tahun politik sepertinya sangat beririsan dengan pola-pola pencitraan.
“semoga saja ini persepsi keliru, dan niatnya benar-benar untuk memperoleh aparat yang berkualitas. Namun pertanyaannya, apa gunanya pemerintah daerah melakukan lobi kuota CPNS ke pusat, jika tidak untuk memenuhi kuota tersebut. Jadi sistem ini memang perlu di evaluasi. Sehingga terjadi keselarasan pemenuhan aparatur di daerah,” pungkasnya. (ref)