DI TAHUN 1990-an, Kompas - media terbesar di Tanah Air pernah menulis sosok La Ode Manarfa dengan judul, “ La Ode Manarfa, Guru Orang Buton’. Tulisan yang mengisahkan kecintaannya pada dunia pendidikan. Beberapa tulisan lain menulis ‘La Ode Manarfa, Pahlawan Pendididkan dari Celebes’, dan banyak sematan lainnya.
Satu hal yang menarik dalam perjalanan hidup La Ode Manarfa, ia dikenal sebagai sarjana pertama di Sulawesi Tenggara dengan gelar doktorandus (Drs), tetapi beberapa catatan penting tentangnya menulis pendidikan La Ode Manrfa, S3 – Doktoral jurusan Indologie Economie Rijskuniversiteit Leiden-Nederland, yang tercatat sejak ia menjadi anggota konstituante RI dari fraksi Partai Masjumi tahun 1959.
Pantas saja jika seorang jenderal asal Makassar (alm) Andi Mattalatta dalam buku biografinya menulis Manarfa, seorang professor dari Buton. Lalau bagaimana riwayat hidup almarhum La Ode Manarfa?
La Ode Manarfa, begitu kedua orangtuanya menamainya tatkala lahir di Kulisusu, kini Buton Utara Sulawesi Tenggara, 22 Maret 1919, tetapi dalam beberapa biografinya Manarfa menulis kelahirnannya dengan Kulisusu-Baubau-Buton.
Ia adalah putra tertua dari Sri Sultan Buton ke-38, La Ode Falihi Qaimuddin Khalifatul Khamis, dan seorang ibu yang mengandung dan melahirkannya bernama Wa Ode Azizah, anak dari Lakina Sorawolio, salah satu keturunan raja-raja Buton juga.
Lahir di masa penjajahan, La Ode Manarfa sejak usia dini memang didik oleh kedua orang tuanya agar membuka diri pada ilmu pengetahuan yang diperoleh lewat bangku sekolah. Ibunya adalah sosok yang tegas dalam mendidik dan memotivasi La Ode Manarfa bersekolah. Bahkan saat usianya baru memasuki 9 tahun, ia meninggalkan Buton dan mengenyam pendidikan di Sulawesi Selatan.
La Ode Manarfa benar-benar hidup sebagai perantau. Ia tinggal di rumah seseorang yang bukan bagian dari keluarganya. Tempaan keras orang tuanya membentuk La Ode Manarfa menjadi sosok yang mandiri dan cinta Pendidikan. Tak heran jika ketika menamatkan pendidikan di sekolah dasar La Ode Manarfa dengan yakin memutuskan melanjutkan sekolah ke Batavia. Padahal Ayahnya La Ode Falihi berkeinginan memasukan putranya itu ke sebuah sekolah pemerintahan.
La Ode Manarfa di usianya yang masih sangat muda sudah memahamii betul betapa pentingnya arti Pendidikan bagi kehidupannya kelak, khususnya di tengah keterbatasan masyarakat akan minimnya pendidikan kala itu. Cermin anak bangsawan yang kerap terlihat manja tak tampak pada dirinya.
Di Belanda Manarfa aktif di Perhimpunan Pelajar Mahasiswa Indonesia (PPMI) dan dikenal sebagai sosok yang kritis dalam berbagai hal. Lewat forum itu pula Manarfa menumpahkan kekritisannya terhadap agresi militer Belanda di Yogjakarta, sebagaimana dituliskan dalam buku Biografi Drs. La Ode Manarfa berjudul Tongkat Putra Sultan, Insprirasi dan Kisah Hidup La Oede Manarfa yang ditulis oleh Ramadan dkk.
Tak ayal ia menjadi intaian polisi rahasia Belanda. Namun hal itu tidak membuat nyalinya ciut dan tetap menjadi salah satu anggota kelompok pergerakan dalam rangka mengamankan rapat-rapat penting dan rahasia.
Dalam beberapa literatur, La Ode Manarfa dikenal pula sebagai ‘para penggerak zaman’ Kota Makassar. La Ode Manarfa terukir dalam tinta emas kota itu bersama sejumlah tokoh lainnya, seperti; Sawang Daeng Muntu, Nazarudin Rahmat, Sutan Muhammad Yusuf Samah, Mohammad Noor, Andi Pawitiri, dan La Ode Manarfa sendiri.
Motor Pendidikan
Kurang lebih lima tahun lamanya Manarfa mengenyam pendidikan di Belanda. Setelahnya Ia kembali ke tanah Celebes, sebutan orang-orang Portugis untuk Pulau Sulawesi, tanah kelahirannya.
Dimulailah babak baru geliat pendidikan di Sulawesi. Bermodalkan ilmu pengetahuan yang diperolehnya selama kuliah di Belanda, inspirasi mendirikan perguruan tinggi pun tercetus. Tak mau inspirasi itu hanya tertanam dalam tataran angan-angan, Manarfa bersama teman-temannya aktif sebagai pengajar dan ikut terlibat dalam pembuatan lambang Universitas Hasanuddin di Sulawasi Selatan.
Di benak Manarfa, ia ingin agar masyarakat mendapat kemudahan dalam mengakses pendidikan. Karena itu pula ia mendirikan Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar, dengan harapan generasi-generasi muda dapat melanjutkan pendidikannya ke tingkat perguruan tinggi.
Manarfa bukanlah tipikal orang yang mudah berpuas diri, apalagi di kampung halamannya di Buton akses pendidikan di tingkat perguruan tinggi belum ada. Tergeraklah hatinya pulang ke kampung halamannya. Segera ia mengkampanyekan pentingnya arti pendidikan dan berharap kepada pelajar-pelajar melanjutkan pendidikan sampai pada jenjang perguruan tinggi.
Untuk memuluskan cita-citanya itu Manarfa kemudian mendirikan sebuah universitas, perguruan tinggi pertama di Buton yang kini kita kenal dengan Universitas Halu Oleo, sebuah kampus yang kini berstatus sebagai perguruan tinggi negeri. Universitas Halu Oleo pada mulanya berada di Buton, namun kemudian dipindahkan ke Kendari sebagai ibukota propinsi.
Perpindahan kampus Halu Oleo sama sekali tidak mengecilkan hati putra tertua Sultan La Ode Falihi Qaimuddin ini. Situasi ini justru merangsang dirinya untuk mendirikan kampus baru di Buton.
Maka, bersama dengan seorang teman yang juga kerbatanya, La Ode Malim ia kembali mendirikan sebuah kampus yang diberi nama Universitas Dayanu Ikhsanuddin (UNIDAYAN). Kampus ini dibangun pada tahun 1982 dengan semangat agar terlahir sarjana-sarjana berpendidikan yang akan menjadi sumber daya manusia berkualitas di Buton.
Berperan sebagai rektor sekaligus dosen, Manarfa melatih setiap mahasiswa-mahasiswinya menjadi pribadi yang tangguh. Ia menurunkan ilmu seni berpidato kepada anak didiknya, sama seperti dirinya dulu berbicara di hadapan banyak para pejabat dan petinggi negara.
Cita-cita mulia Manarfa menuai hasil yang ia harapkan. Semenjak Unidayan berdiri, secara perlahan kampus itu berkembang dan telah dihuni oleh ribuan mahasiswa. Ia telah menitipkan masa depan pendidikan kepada setiap generasi.
Integrasi NKRI
Membayangkan sumbangsih Manarfa terhadap dunia Pendidikan di Indonesia, khususnya di Sulawesi, tak terbayang apa jadinya jika sang ayah, Sultan Laode Falihi memutuskan enggan bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) di masa kepemimpinannya sebagai Sultan Buton
Menoleh ke belakang, Sultan La Ode Falihi memimpin Kesultanan Buton pada saat Indonesia sedang berjuang melawan hegemoni Belanda, dan mengusir penjajah dari nusantara. Kerajaan/Kesultanan Buton yang berdiri sejak abad ke-13 sesungguhnya merupakan negara yang berdaulat dan mempunyai pemerintahan tersendiri.
Hal ini dapat dibuktikan dengan Perjanjian Korte Verklaring pada masa pemerintan Sultan ke-33 Muhammad Asikin antara kesultanan Buton dan kerajaan Belanda pada 18 april 1906, dimana dalam perjanjian tersebut kesultanan Buton mengakui kekuasaan Belanda dan Belanda tidak menguasai Buton.
Inti dari perjanjian tersebut yaitu Kesultanan Buton dan Belanda sepakat dengan pembagian wilayah kekuasaaan dimana Buton mengakui kekuasaan Belanda yang meliputi Irian, Maluku, Sulawesi Selatan sampai Utara, sebagian Kalimantan, Jawa, Bali, dan Sumatra, sedangkan Belanda mengakui wilayah kedaulatan Kesultanan Buton.
Perjanjian ini menguatkan perjanjian yang telah dilakukan oleh sultan-sultan sebelumnya yakni Sultan Buton ke-4 Dayanu Iksanuddin dengan Gubernur jendral VOC, Pieter Both pada 17 Desember 1613. Adapun wilayah kekuasaan Buton yang diakui dalam perjanjiaan 1906 yaitu meliputi Sulawesi Tenggara (Afdeling Kolaka) pada saat ini, bahkan meliputi selayar di Sulawesi Selatan dan pulau Menui di Sulawesi Tengah (Afdeling Buton dan Laiwui atau Kendari) digabungkan dengan Bungku dan Mori dengan ibukota Baubau Buton.
Pasca Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Indonesia dan Belanda mengadakan Perjanjian Linggar Jati pada tanggal 7 Oktober 1947, dimana dalam perjanjian tersebut Belanda mengakui kedaulatan Indonesia atas Jawa, Sumatra dan Madura, sedangkan wilayah indonesia timur tetap dikuasai oleh Belanda, namun dalam hal ini tidak termasuk Kesultanan Buton (perjanjian Korte Verklaring).
Membayangkan sumbangsih Manarfa terhadap dunia Pendidikan di Indonesia, khususnya di Sulawesi, tak terbayang apa jadinya jika sang ayah, Sultan Laode Falihi memutuskan enggan bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) di masa kepemimpinannya sebagai Sultan Buton
Menoleh ke belakang, Sultan La Ode Falihi memimpin Kesultanan Buton pada saat Indonesia sedang berjuang melawan hegemoni Belanda, dan mengusir penjajah dari nusantara. Kerajaan/Kesultanan Buton yang berdiri sejak abad ke-13 sesungguhnya merupakan negara yang berdaulat dan mempunyai pemerintahan tersendiri.
Hal ini dapat dibuktikan dengan Perjanjian Korte Verklaring pada masa pemerintan Sultan ke-33 Muhammad Asikin antara kesultanan Buton dan kerajaan Belanda pada 18 april 1906, dimana dalam perjanjian tersebut kesultanan Buton mengakui kekuasaan Belanda dan Belanda tidak menguasai Buton.
Inti dari perjanjian tersebut yaitu Kesultanan Buton dan Belanda sepakat dengan pembagian wilayah kekuasaaan dimana Buton mengakui kekuasaan Belanda yang meliputi Irian, Maluku, Sulawesi Selatan sampai Utara, sebagian Kalimantan, Jawa, Bali, dan Sumatra, sedangkan Belanda mengakui wilayah kedaulatan Kesultanan Buton.
Perjanjian ini menguatkan perjanjian yang telah dilakukan oleh sultan-sultan sebelumnya yakni Sultan Buton ke-4 Dayanu Iksanuddin dengan Gubernur jendral VOC, Pieter Both pada 17 Desember 1613. Adapun wilayah kekuasaan Buton yang diakui dalam perjanjiaan 1906 yaitu meliputi Sulawesi Tenggara (Afdeling Kolaka) pada saat ini, bahkan meliputi selayar di Sulawesi Selatan dan pulau Menui di Sulawesi Tengah (Afdeling Buton dan Laiwui atau Kendari) digabungkan dengan Bungku dan Mori dengan ibukota Baubau Buton.
Pasca Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Indonesia dan Belanda mengadakan Perjanjian Linggar Jati pada tanggal 7 Oktober 1947, dimana dalam perjanjian tersebut Belanda mengakui kedaulatan Indonesia atas Jawa, Sumatra dan Madura, sedangkan wilayah indonesia timur tetap dikuasai oleh Belanda, namun dalam hal ini tidak termasuk Kesultanan Buton (perjanjian Korte Verklaring).
Bahkan ketika pada 7- 24 desember 1947, Belanda menggagas berdirinya Negara Indonesia Timur di Denpasar Bali yang terdiri atas 13 daerah otonomi (Sulawesi Selatan, Minahasa, Kepulauan Singihe dan Talaud, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Bali, Lombok, Sumbawa,Flores, Sumba, Timor dan Kepulauan, Maluku Selatan dan Maluku Utara) dan lima Keresidenan yaitu Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Bali, Lombok dan Maluku, dalam hal ini, Kesultanan Buton, masih merupakan negara yang berdaulat dan tidak termasuk wilayah Negara Indonesia Timur (NIT).
Usai Agresi Belanda yang ke-2, pada tanggal 23 agustus - 27 Desember 1949, Indonesia yang saat itu masih bernama RIS (Jawa, Madura dan Sumatra) kembali mengadakan perjanjian dengan Belanda melalui Konferensi Meja Bundar (KMB), dimana hasil dari perjanjian tersebut yaitu Negara Indonesia Timur (NIT) diintegrasikan kedalam Republik Indonesia Serikat (RIS), dan semua bekas jajahan Belanda (Hindia-Belanda), tidak termasuk Irian Barat.
Dari fakta sejarah itu bisa disimpulkan bahwa sampai akhir tahun 1950, Wilayah Indonesia kala itu masih terdiri atas 3 negara berdaulat yaitu Belanda (Irian Barat), Indonesia (NIT dan RIS) dan Kesultanan Buton (Sulawesi tenggara dan Timur).
Sadar akan Kesultanan Buton yang berdaulat, pada awal Februari 1950, Presdien Sukarno menggelar pertemuan di Malino (Makassar) dengan mengundang seluruh raja-raja se-Sulawesi yang dihadiri Sultan Andi Mappanyuki (raja Bone) dan Andi Pangerang Pettarani (Gubenur Afdeling makassar) yang sebelumnya telah masuk kedalam wilayah RI (KMB), serta Kesultanan Buton yang diwakili oleh sultan La Ode Falihi.
Soekarno kemudian menerangkan bentuk pemerintahan NKRI kepada Sultan La Ode Falihi, dimana Kesultanan Buton akan menjadi wilayah istimewa. Tawaran itu diterima Sultan La Ode Falihi sehingga pada 15 Januari 1951 Kesultanan Buton pun dinyatakan berakhir, berganti menjadi bagian dari Provinsi Sulawesi Selatan-Tengara (Suseltra) yang terdiri atas dua kabupaten, yaitu kabupaten Sulawesi Selatan yang beribukota di Ujung Pandang dan Kabupaten Sulawesi Tenggara (Bekas wilayah Kesultanan Buton) yang beribukota Baubau (Buton).
Pada tahun 1960, Kabupaten Sulawesi Tenggara dimekarkan menjadi empat kabupaten yaitu Buton, Muna, Kolaka dan Kendari. Dan tahun 1962 Sulawesi Tenggara menjadi sebuah Provinsi dengan Ibukota di Kendari.
Jelas dan nyata sumbangsih yang diberikan oleh kedua anak dan bapak ini bagi Indonesia. Jika Sultan La Ode Falihi adalah pemersatu bagi keutuhan NKRI, putranya La Ode Manarfa adalah penggerak dunia pendidikan, terlebih bagi masyarakat Sulawesi. Sebegitu besarnya kontribusi La Ode Manarfa sehingga masyarakat Buton mendapuknya sebagai Sultan Buton ke-39, meneruskan ayahnya. ** (dari berbagai sumber)
Baca Juga : La Ode Basir, Politisi muda Buton di Rimba Politik Ibu kota